REPRODUKSI DOMINASI SOSIAL DAN KONFLIK KRATON YOGYAKARTA
Suatu agen sosial bisa mencapai dominasi melalui kemurahan dan kebaikan.. [yang mana] pada tingkat yang lebih lanjut bisa berkembang menjadi dominasi yang lebih lebar lingkupnya dan diobjektifikasi oleh hukum dan pendidikan. (Bourdieu, 1977)
Pada 20 Mei 1998, sekitar sejuta rakyat Yogyakarta berjalan kaki menuju Kraton Yogyakarta dari boulevard Universitas Gadjah Mada sebagai dukungan bagi gerakan Reformasi (Tugiman, 1998). Momen ini merupakan titik penting bagi sejarah Indonesia dan sejarah Kraton Yogyakarta. Peran Sultan Hamengkubuwono X pada saat itu dalam mendukung Reformasi yang bersifat nasional, serta memastikan keamanan kota Yogyakarta mengakhiri masa gelap Kraton yang selama bertahun-tahun terabaikan oleh negara. Jabatan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang seharusnya dipegang oleh Sultan dari Kraton Yogyakarta dipegang oleh KGPA Paku Alam, yang seharusnya menjadi wakil gubernur. Sejak Reformasi, peran Kraton Yogyakarta kembali diakui dan jabatan gubernur kembali menjadi milik Sultan.
Peristiwa Mei 1998 merupakan satu momen di mana pihak Kraton Yogyakarta sebagai agen sosial memberikan ‘kemurahan dan kebaikan’ dengan menjamin keamanan kota dan berperan dalam gerakan reformasi. Peristiwa ini membuat rakyat percaya kepada Kraton Yogyakarta dan rela memberikan dominasi kekuasaan pada Kraton. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kraton di bawah Sultan Hamengkubuwana IX pada masa perjuangan kemerdekaan dengan memberi dukungan penuh pada republik yang baru berdiri, merelakan kota beserta bangunan properti kraton untuk dijadikan ibu kota republik dan kantor kenegaraan sementara pada periode 1946-1949. Hal ini berakibat pada diakuinya Daerah Istimewa Yogyakarta dengan gubernur dan wakil gubernur dipegang oleh pihak Kraton Yogyakarta dan Pakualaman sesuai dengan amanat 5 September 1945 yang diajukan oleh Kraton dan Pakualaman. Apa yang dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwono IX pada awal kemerdekaan tersebut berhasil menyelamatkan kraton (Carey, 1986).
Walau mendapatkan keistimewaan, pengakuan terhadap peran Kraton Yogyakarta sejak
kemerdekaan dalam bentuk keistimewaan tersebut tidak pernah disahkan dengan perangkat hukum hingga tahun 2012 (Kurniadi, 2009). Hal ini membuat dominasinya tidak terobjektifikasi. Ketiadaan perangkat hukum pendukung keistimewaan tersebut membuat posisi Kraton Yogyakarta kurang kuat, terutama setelah Hamengkubuwana IX wafat. Karena itulah pada tahun 2010 pihak kraton berusaha untuk menekan negara untuk membuat Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta. Undang-undang ini akan mengobjektifikasi dominasi sosial kraton. Ketika akhirnya Undang-undang tersebut
diberlakukan pada tahun 2012, posisi Kraton Yogyakarta sudah menjadi lebih kuat karena jabatan gubernur secara hukum otomatis menjadi milik sultan kraton.
diadakan di Kepatihan, bukan lagi di Bangsal Kencana di kompleks kraton. Kedua peristiwa yang terakhir merupakan invented tradition(Hobsbawm & Ranger, 1983). Dilibatkannya Kepatihan sebagai kantor gubernur dalam ritual kraton menunjukkan keterkaitan erat antara kraton dengan jabatan gubernur. Bukan tidak mungkin hal ini secara simbolik menunjukkan Kepatihan atau pemerintah propinsi sebagai sub ordinat dari Kraton Yogyakarta, karena pengiriman gunungan Grebeg juga dilakukan pada Pakualaman yang memiliki posisi sebagai sub ordinat dari kraton.
Hal-hal tersebut di atas merupakan reproduksi yang dilakukan secara simbolik. Namun demikian, perlu diingat bahwa bentuk reproduksi yang paling mendasar adalah kemurahan dan kebaikan. Kemurahan dan kebaikan pada rakyat harus terus dilakukan secara riil. Jangan dilupakan, kebaikan Hamengkubuwana IX pada perjuangan kemerdekaan dan peran Hamengkubuwono X pada reformasi lah yang membuat dinasti kraton Yogyakarta tetap memiliki peran politik hingga saat ini. Kebaikan dan kemurahan membuat orang secara rela mengakui dominasi kraton. Karena itu adanya konflik tanah di Kulon Progo pada tahun 2006 antara masyarakat dengan perusahaan milik kraton (“Jejak Hitam Keraton di Kulonprogo,” n.d.) serta gerakan ‘Jogja ora didol’ pada tahun 2013 yang
mempertanyakan keistimewaan Yogyakarta, Kraton Yogyakarta seharusnya sudah waspada dan berhati-hati dalam bertindak. Dipertanyakannya keistimewaan Yogyakarta merupakan pertanda kurang kuatnya posisi sosial Kraton Yogyakarta.
Dalam posisi yang kurang kuat inilah terjadi konflik internal kraton terkait suksesi. GKR Pembayun diangkat oleh Sultan Hamengkubuwono X sebagai putr(i) mahkota berdasarkan Sabdaraja tanggal 10 Mei 2015. Hal ini ditentang oleh adik-adik Sultan dengan alasan tidak sesuai dengan Paugeran. Konflik ini sangat tidak menguntungkan bagi kekuatan sosial kraton. Legitimasi yang dipertanyakan menjadi semakin dipertanyakan. Konflik keluarga karena urusan kekuasaan bukanlah hal yang punya nilai positif, yang akan menimbulkan turunnya kekuatan sosial kraton.
Berkurangnya kekuatan sosial kraton tidak bisa dianggap remeh karena bukan tidak mungkin ini akan membawa nasib Kraton Yogyakarta menjadi seperti kembarannya, Kraton Surakarta; dengan
keistimewaan dihapus, properti diakuisisi dan tidak memiliki peran politik. Ketidakpuasan masyarakat juga lah yang menyebabkan dihapusnya keistimewaan Surakarta. Karena itu Kraton Yogyakarta sebaiknya segera berbenah diri dan melakukan reproduksi dominasi yang bukan hanya simbolik. Saya tidak mengatakan bahwa meraih dominasi kembali adalah tidak mungkin bagi Kraton Yogyakarta, tapi harus diakui ini adalah pekerjaan yang sangat berat karena penurunan tingkat legitimasi kraton kali ini cukup signifikan.
Ofita Purwani, ST., MT., Ph.D.