• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Antar Budaya cross culture co (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Komunikasi Antar Budaya cross culture co (1)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA (Sebuah Pengantar)

Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki

kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua

perbedaan ini). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang

serta berlangsung dari generasi ke generasi (Tubbs, Moss:1996).

Komunikasi antar budaya memiliki akarnya dalam bahasa (khususnya sosiolinguistik), sosiologi,

antropologi budaya, dan psikologi. Dari keempat disiplin ilmu tersebut, psikologi menjadi disiplin acuan

utama komunikasi lintas budaya, khususnya psikologi lintas budaya. Pertumbuhan komunikasi antar

budaya dalam dunia bisnis memiliki tempat yang utama, terutama perusahaan – perusahaan yang

melakukan ekspansi pasar ke luar negaranya notabene negara – negara yang ditujunya memiliki aneka

ragam budaya.

Selain itu, makin banyak orang yang bepergian ke luar negeri dengan beragam kepentingan mulai dari

melakukan perjalanan bisnis, liburan, mengikuti pendidikan lanjutan, baik yang sifatnya sementara

maupun dengan tujuan untuk menetap selamanya.Satelit komunikasi telah membawa dunia menjadi

semakin dekat, kita dapat menyaksikan beragam peristiwa yang terjadi dalam belahan dunia,baik

melalui layar televisi, surat kabar, majalah, dan media on line. Melalui teknologi komunikasi dan

informasi, jarak geografis bukan halangan lagi kita untuk melihat ragam peristiwa yang terjadi di

belahan dunia.

McLuhan (dalam Infante et.al, 1990 : 371) menyatakan bahwa dunia saat ini telah menjadi “Global

Village” yang mana kita mengetahui orang dan peristiwa yang terjadi di negara lain hampir sama

seperti layaknya seorang warga negara dalam sebuah desa kecil yang menjadi tetangga negara –

negara lainnya.Perubahan sosial adalah hal lain yang berpengaruh dalam komunikasi antar budaya

adalah dengan makin banyaknya perayaan - perayaaan budaya sebuah etnis dalam sebuah negara.

Perbedaan budaya dalam sebuah negara menciptakan keanekaragaman pengalaman, nilai, dan cara

memandang dunia. Keanekaragaman tersebut menciptakan pola – pola komunikasi yang sama di antara

anggota – anggota yang memiliki latar belakang sama dan mempengaruhi komunikasi di antara

anggota – anggota daerah dan etnis yang berbeda.Perusahaan – perusahaan yang memiliki cabangnya

di luar negeri, tentunya merupakan syarat mutlak bagi para karyawannya untuk memiliki bekal

pengetahuan yang cukup mengenai situasi dan kondisi budaya yang akan dihadapinya (intercultural

competence), salah – salah jika mereka gagal berkomunikasi dengan budaya yang dihadapinya,

perusahaan hanya akan bertahan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Gudykunst and Kim

(2003:17) mengkonsepkan fenmena komunikasi antar budaya sebagai “sebuah transaksional, proses

simbolik yang mencakup pertalian antar individu dari latar belakang budaya yang berbeda.” Kata

kuncinya adalah proses. Dalam wacana orang Swedia istilah kulturmöte (literally cultural encounter)

(2)

literatur, gaya komunikasi, gaya manajemen, adat istiadat, dan orientasi nilai). Namun demikian,

beberapa pertemuan biasa dianalisis tanpa mempertimbangkan pada karakter prosesnya. Komunikasi

antar budaya seharusnya, dapat dipandang dan dianalisa sebagai sebuah proses yang kompleks, bukan

sekedar sebuah pertemuan. Lebih lanjut, komunikasi antar budaya, oleh beberapa ilmuwan sosial

dilihat sebagai sebuah disiplin akademik – data dikatakan, satu cabang dari ilmu komunikasi, berlabuh

dalam karakteristik ontologinya, epistemiologi dan asumsi – asumsi aksilogi. Pada saat yang

bersamaan, komunikasi antar budaya adalah sebuah lingkup studi yang berhubungan dengan berbagai

disi[lin ilmu lainnya (seperti psikologi, psikologi sosial, sosiologi, pendidikan, studi media, antropologi

budaya dan manajemen). Bagi ilmu – ilmu tersebut, komunikasi antar budaya dipandang sebagai

sebuah objek studi atau sebuah permasalahan dalam bidang disiplin ilmu – ilmu tersebut[1]. Damen[2]

(1987: 23) mendefinisikan komunikasi komunikasi antar budaya sebagai “tindakan – tindakan

komunikasi yang dilakukan oleh individu – individu yang diidentifikasikan dengan kelompok – kelompok

yang menampilkan variasi antar kelompok dalam bentuk pertukaran sosial dan budaya. Pertukaran

bentuk, ekspresi individu, adalah variabel – variabel utama dalam tujuan, tatakrama, cara, dan arti –

arti yang mana proses komunikatif memberikan efek.

Komunikasi antar budaya, Lustig and Koester’s menyatakan (2003: 49-51), adalah sebuah “proses

simbolik yang mana orang dari dari budaya – budaya yang berbeda mneciptakan pertukaran arti – arti”.

Hal tersebut terjadi “ketika perbedaan – perbedaan budaya yang besar dan penting menciptakan

interpretasi dan harapan – harapan yang tidak sama mengenai bagaimana berkomunikasi secara baik”.

Jandt (2004: 4) mengatakan komunikasi antar budaya tidak hanya komunkasi antar individu tapi juga di

antara “kelompok – kelompok dengan identifikasi budaya yang tersebar’. Ringkasnya, komunikasi antar

budaya menjelaskan interaksi antar individu dan kelompok – kelompok yang memiliki persepsi yang

berbeda dalam perilaku komunikasi dan perbedaan dalam interpretasi. Beberapa studi mengenai

komunikasi antar budaya menguji apa yang terjadi dalam kontak dan interaksi antar budaya ketika

proses komunikasi mencakup orang – orang yang secara budaya tersebar (Samovar & Porter 1997).

Sebuah permasalahan yang sama dalam komunikasi antar budaya muncul “ketika orang – orang yang

menjelaskan dirinya sebagai kelompok yang berbangsa dan beretnis sama tidak mau melakukan

pertukaran ide – ide mengenai bagaimana menunjukkan identitas mereka dan tidak menyetujui tentang

norma – norma untuk interaksi” (Collier 1997: 43). Untuk mencapai komunikasi antar budaya yang

efektif, individu seharusnya mengembangkan kompetensi antar budaya; merujuk pada keterampilan

yang dibutuhkan untuk mencapai komunikasi antar budaya yang efektif Jandt (1998, 2004)

mengidentifikasikan empat keterampilan sebagai bagian dari kompetensi antar budaya, yaitu

personality strength, communication skills, psychological adjustment and cultural awareness.

(3)

Pendatang sementara secara kolektif disebut sebagai sojourners atau biasa kita kenal dengan istilah

ekspatriat, yaitu sekelompok orang asing (stranger) yang tinggal dalam sebuah negara yang memiliki

latar belakang budaya yang berbeda dengan negara tempat mereka berasal.Oberg (1960)

menggunakan istilah sojourners untuk mengindikasikan kesulitan – kesulitan yang muncul dari

pembukaan lingkungan yang tidak dikenal. Kesulitan yang dialami oleh sojourners tidak sama.

Beberapa variabel utama mencakup jarak antara budaya tempat mereka berasal dengan budaya tempat

pribumi, jenis keterlibatan, lamanya kontak, dan status pendatang dalam sebuah negara (cf. Bochner,

1982)Berdasarkan hasil beberapa penelitian mengatakan bahwa tinggal di negara orang lain tidak

secara otomatis menggiring pada sikap positif terhadap negara tersebut. Bukti dalam penelitian

seringkali muncul yang negatifnya dibandingkan dengan yang positifnya selama tinggal di negara

orang lain, setidaknya di kalangan pelajar (Stroeb, Lenkert, & Jonas, 1988)

Tujuan Komunikasi Antar Budaya adalah :

• Memahami perbedaan budaya yang mempengaruhi praktik komunikasi

• Mengkomunikasi antar orang yang berbeda budaya

• Mengidentifikasikan kesulitan – kesulitan yang muncul dalam komunikasi

• Membantu mengatasi masalah komunikasiyang disebabkan oleh perbedaan budaya

• Meningkatan ketrampilan verbal dan non verbal dalam komunikasi

• Menjadikan kita mampu berkomunikasi secara efektif

Ada beberapa alasan mengapa perlunya komunikasi antar budaya, antara lain:

a) membuka diri memperluas pergaulan;

b) meningkatkan kesadaran diri;

c) etika/etis;

d) mendorong perdamaian dan meredam konflik;

e) demografis;

(4)

g) menghadapi teknologi komunikasi; dan

h) menghadapi era globalisasi. (Alo Liliweri, 2003).

Komunikasi antar budaya menurut Samovar dan Porter merupakan komunikasi antara orang-orang

yang berbeda kebudayaannya, misalnya suku bangsa, etnik, dan ras, atau kelas sosial. Komunikasi

antar budaya ini dapat dilakukan dengan negosiasi, pertukaran simbol, sebagai pembimbing perilaku

budaya, untuk menujukkan fungsi sebuah kelompok. Dengan pemahaman mengenai komunikasi antar

budaya dan bagaimana komunikasi dapat dilakukan, maka kita dapat melihat bagaimana komunikasi

dapat mewujudkan perdamaian dan meredam konflik di tengah-tengah masyarakat. Dengan komunikasi

yang intens kita dapat memahami akar permasalahan sebuah konflik, membatasi dan mengurangi

kesalahpahaman, komunikasi dapat mengurangi eskalasi konflik sosial. Menurut Charles E Snare

bahwa usaha meredam konflik dan mendorong terciptanya perdamaian tergantung bagaimana cara kita

mendefinisikan situasi orang lain agar kita dapat mencapai perdamaian dan kerjasama. Dalam berbagai

kasus politik E Snare mengatakan “Kita perlu mengerti bagaimana letak bingkai rujukan para aktor

politik dan darimana pikiran mereka berasal”.

Jadi jelas dengan mempelajari komunikasi antar budaya berarti kita mempelajari (termasuk

membanding) kebiasaan-kebiasaan setiap etnis, adat, agama, geografis dan kelas sosial di masyarakat

kita. Dengan pemahaman tersebut kita mengkomunikasikan perbedaan-perbedaan tersebut dengan

komunikasi antar budaya, guna menyelesaikan konflik melalui dialog yang baik antara lain dengan

identifikasi perspektif budaya.

Hakikat Komunikasi Antarbudaya

Enkulturasi

Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur ditransmisikan dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar,

bukan melalui gen. Orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga ke-agamaan, dan lembaga

pemerintahan merupakan guru-guru utama dibidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka.

Akulturasi

Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan

langsung dengan kultur lain. Misalnya, bila sekelompok imigran emudian berdiam di AS (kultur tuan

rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur,

nilai-nilai, cara berperilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah akan menjadi bagian dari kultur

(5)

Fungsi-Fungsi Komunikasi Antarbudaya

Fungsi Pribadi

Fungsi pribadi adalah fungsi-fungsi komuniasi yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang

bersumber dari seorang individu.

•Menyatakan Identitas Sosial

Dalam proses komunikasi antarbudaya terdapat beberapa perilaku komunikasi individu

yang digunakan untuk menyatakan identitas sosial perlikau itu dinyatakan melalui tindakan berbahasa

baik secara verbal dan nonverbal. Dari perilaku berbahasa itulah dapat diketahui identitas diri maupun

sosial, misalnya dapat diketahui asal-usul suku bangsa, agama, , maupun tingkat pendidikan seseorang.

• Menyatakan Integrasi Sosial

Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antar pribadi,

antar kelompok namun tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap

unsur. Perlu dipahami bahwa salah satu tujuan komunikasi adalah memberikan makna

yang sama atas pesan yang dibagi antara komunikator dan komunikan. Dalam kasus

komunikasi antarbudaya yang melibatkan perbedaan budaya antar komunikator dengan

komunikan, maka integrasi sosial merupakan tujuan utama komunikasi. Dan prinsip

utama dalam proses pertukaran pesan komunikasi antarbudaya adalah: saya

memperlakukan anda sebagaimana kebudayaan anda memperlakukan anda dan bukan

sebagaimana yang saya kehendaki. Dengan demikian komunikator dan komunikan dapat

meningkatkan integrasi sosial atas relasi mereka.

• Menambah Pengetahuan

Seringkali komunikasi antarpribadi maupun antarbudaya menambah pengetahuan

bersama, saling mempelajari kebudayaan masing-masing.

• Melepaskan Diri atau Jalan Keluar

Kadang-kadang kita berkomunikasi dengan orang lain untuk melepaskan diri atau

mencari jalan keluar atas masalah yang sedang kita hadapi. Pilihan komunikasi

seperti itu kita namakan komunikasi yang berfungsi menciptakan hubungan yang

komplementer dan hubungan yang simetris.

(6)

berbeda. Perilaku seseorang berfungsi sebagai stimulus perilaku komplementer dari

yang lain. Dalam hubungan komplementer, perbedaan di antara dua pihak

dimaksimumkan. Sebaliknya hubungan yang simetris dilakukan oleh dua orang yang

saling bercermin pada perilaku lainnya. Perilaku satu orang tercermin pada

perilaku yang lainnya.

Fungsi Sosial

• Pengawasan

Funsi sosial yang pertama adalah pengawasan. Praktek komunikasi antarbudaya di antara komunikator

dan komunikan yang berbada kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi

antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan "perkembangan" tentang lingkungan.

Fungsi ini lebih banyak dilakukan oleh media massa yang menyebarlusakan secara rutin perkembangan

peristiwa yang terjadi disekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam sebuah konteks kebudayaan

yang berbeda.

•Menjembatani

Dalam proses komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang yang

berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di antara mereka. Fungsi menjembatani itu

dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan

perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama. Fungsi ini dijalankan

pula oleh pelbagai konteks komunikasi termasuk komunikasi.

• Sosialisasi Nilai

Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan

suatu masyarakat kepada masyarakat lain.

• Menghibur

Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi antarbudaya. Misalnya menonton tarian

hula-hula dan "Hawaian" di taman kota yang terletak di depan Honolulu Zaw, Honolulu hawai. Hiburan

tersebut termasuk dalam kategori hiburan antarbudaya.

Prinsip-Prinsip Komunkasi Antarbudaya

•( terdapatnya golongan ningrat sebagai budaya yang tertinggi))

(7)

mengharuskan dari keturunan darah biru.

• Relativitas Bahasa

Gagasan umum bahwa bahasa memengaruhi pemikiran dan perlkau paling banyak

disuarakan oleh para antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan

disepanjang tahun 1930-an, dirumuskan bahwa karakteristik bahasa memengaruhi

proses kognitif kita. Dan karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam

hal karakteristik semantik dan strukturnya, tampaknya masuk akal untuk mengatakan

bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara

mereka memandang dan berpikir tentang dunia.

• Bahasa Sebagai Cermin Budaya

Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan

komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar

perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin

sulit komunikasi dilakukan.Kesulitan ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih

banyak kesalahan komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar

kemungkinan salah paham, makin banyak salah persepsi, dan makin banyak potong

kompas (bypassing).

• Mengurangi Ketidak-pastian

Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dam ambiguitas

dalam komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian

ini sehingga kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan

perilaku orang lain. Karena letidak-pasrtian dan ambiguitas yang lebih besar ini,

diperlukan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengurangi ketidak-pastian dan untuk

berkomunikasi secara lebih bermakna.

• Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya[5]

Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para

partisipan selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif.

Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada. ini mencegah

kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut.

Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang

(8)

• Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya

Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur

berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih akrab. Walaupun

kita selalu menghadapi kemungkinan salah persepsi dan salah menilai orang lain,

kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi komunikasi antarbudaya.

• Memaksimalkan Hasil Interaksi

Dalam komunikasi antarbudaya - seperti dalam semua komunikasi - kita berusaha

memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank

(1989) mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Sebagai

contoh, orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan

memberikan hasil positif. Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, anda mungkin

menghindarinya. Dengan demikian, misalnya anda akan memilih berbicara dengan rekan

sekelas yang banyak kemiripannya dengan anda ketimbang orang yang sangat berbeda.

Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif, kita terus melibatkan diri dan

meningkatkan komunikasi kita. Bila kita memperoleh hasil negatif, kita mulai

menarik diri dan mengurangi komunikasi.

Ketiga, kita mebuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan

hasil positif. dalam komunikasi, anda mencoba memprediksi hasil dari, misalnya,

pilihan topik, posisisi yang anda ambil, perilaku nonverbal yang anda tunjukkan,

dan sebagainya.[5] Anda kemudian melakukan apa yang menurut anda akan memberikan

hasil positif dan berusaha tidak melakkan apa yang menurut anda akan memberikan

hasil negatif.

Daftar Rujukan

Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss. Human Communication :Konteks-konteks Komunikasi. 1996.

Bandung. Remaja Rosdakarya. Hal. 236-238

Andrik Purwasito. Komunikasi Multikultural. 2003. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Hal. 123

Fred E. Jandt. Intercultural Communication, An Introduction. 1998. London. Sage Publication. Hal. 36

Alo Liliweri. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. 2003. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 11-12,36-42

Joseph A. Devito. Komunikasi Antarmanusia. Kuliah Dasar. Jakarta. Professional Books. Hal. 479-488

(9)

Philipsen (dalam Griffin, 2003) mendeskripsikan budaya sebagai suatu konstruksi sosial dan pola simbol, makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan secara mensejarah. Pada dasarnya, budaya adalah suatu kode. Terdapat empat dimensi krusial yang dapat untuk memperbandingkan budaya-budaya, yaitu:

1. Jarak kekuasaan (power distance)

2. Maskulinitas.

3. Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).

4. Individualisme.

Berkenaan dengan pembahasan komunikasi antarbudaya, Griffin (2003) menyadur teori AnXiety/Uncertainty Management;Face-Negotiation; dan Speech Codes.

1. Anxiety/Uncertainty Management Theory (Teori Pengelolaan Kecemasan/Ketidakpastian).

Teori yang di publikasikan William Gudykunst ini memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan. Ia menggunakan istilah komunikasi efektif kepada proses-proses meminimalisir ketidakmengertian. Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama.

Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian melihat itu sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang bersifat afeksi- suatu emosi.

Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory: a. Konsep diri dan diri.

Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.

b. Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.

Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.

c. Reaksi terhadap orang asing.

Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat perilaku mereka.

Sebuah peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang asing menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing.

Sebuah peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu peningkatan kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara akurat.

d. Kategori sosial dari orang asing.

Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok.

Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka.

e. Proses situasional.

Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita terhadap perilaku mereka.

(10)

Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan perilaku mereka.

Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku orang lain.

2. Face-Negotiation Theory.

Teori yang dipublikasikan Stella Ting-Toomey ini membantu menjelaskan perbedaan –perbedaan budaya dalam merespon konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu negotiating face. Istilah itu adalahmetaphor citra diri publik kita, cara kita menginginkan orang lain melihat dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), dan menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan, dan kecemasan dan ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik yang membuat kita tidak berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis. Ketika face work adalah berbeda, gaya penangan konflik juga beragam. Terdapat tiga perbedaan penting diantara budaya individulis dan budaya kolektivis. Perbedaan-perbedaan itu adalah dalam cara mendefinisikan: diri; tujuan-tujuan; dan kewajiban.

konsep

Budaya individualis

Budaya kolektivis

Diri

Sebagai dirinya sendiri

Sebagai bagian kelompok

Tujuan

Tujuan

diperuntukan

Kewajiban

Melayani diri sendiri

Melayani kelompok/orang

lain.

Teori ini menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:

a. Avoiding (penghindaran) – saya akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan saya dengan anggota kelompok.

b. Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke kebijakan anggota kelompok.

c. Compromising – saya akan menggunakan memberi dan menerima sedemikian sehingga suatu kompromi bisa dibuat. d. Dominating – saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendak-ku.

e. Integrating – saya akan menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama-sama.

Face-negotiation teory menyatakan bahwa avoiding, obliging, compromising, dominating, dan integrating bertukar-tukar menurut campuran perhatian mereka untuk self-face dan other -face.

3. Speech Codes Theory.

Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan speech code dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah budaya. Ia menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut:

a. Dimanapun ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas. b. Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.

c. Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan pendengar untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.

d. Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.

(11)

Pendahuluan

Menurut Gudykunst(1983), dalam tradisi ilmu komunikasi dikenal lima pendekatan teoritis yang dapat

membantu kita dalam menelaah fenomena komunikasi antarbudaya:

1. Teori komunikasi berdasarkan analisis kebudayaan implisit;

2. Teori analisis kaidah peran;

3. Teori analisis interaksi antabudaya;

4. Teori yang bersumber dari tradisi retorika;

5. Teori yang bersumber pada teori sistem

Dari kelima pendekatan itu, hanya tiga pendekatan yang pertama dengan varian-variannya yang akan kita

bahas dalam bab ini.

Teori Analisis Kebudayaan Implisit

Kebudayaan Implisit, di sini diartikan sebagai kebudayaan imaterial, yaitu kebudayaan yang bentuknya tidak

nampak sebagai suatu “benda” namun dia “tersirat” dalam nilai dan norma budaya suatu masyarakat,

misalnya bahasa.

Setiap manusia telah menjadikan bahasa sebagai kebudayaan implisit tersebut untuk mengungkapkan skema

kognitif-nya. Yang dimaksud dengan skema kognitif di sini adalah skema pikiran, gagasan,pandangan dan

pengalaman manusia tentang dunia.

Manusia memakai bahasa untuk berkomunikasi guna mempertahankan hubungan antarpribadi maupun

hubungan antarpribadi dengan suatu institusi dalammasyarakat.Dalam bahasa itu simbol-simbol verbal dengan

suatu aturan tertentu diorganisasikan menjadi “kode-kode sosio-linguistik”. Kode-kode sosio-linguistik inilah

yang nantinya akan menjadi karakteristik utama suatu masyarakat dengan budaya lisan. Ini artinya, kode

linguistik menjadi bagian dari kebudayaan, sehingga logislah jika kode-kode itu juga dipengaruhi oleh

kebudayaan yang pada akhirnya menjelma menjadi bahasa verbal.

Para ahli sosio-linguistiklah yang pada mulanya tertarik untuk menelaah komunikasi antarbudaya dengan

pendekatan bahasa.Frake (1968) misalnya, pernah meneliti tentang hubungan antara kebudayaan dengan cara

anggota kebudayaan itu membentuk kata-kata.Dia menyimpulkan, bahwa setiap kata pasti mewakili konsep

tertentu dan konsep itu merupakan skema kognitif individu.Dia juga menerangkan bahwa struktur skema

kognitif individu, yang tercermin dalam komunikasi lewat bahasa, berasal dari dan dipengaruhi oleh latar

(12)

Seorang peneliti lain, yakni Halliday (1978), berpendapat bahwa bahasa merupakan satu alat yang terbaik

untuk mengkonseptualisasikan semua ikhwal tentang dunia secara objektif.Halliday melakukan penelitian

tentang fungsi bahasa yang kemudian sampai pada kesimpulan bahwa fungsi utama bahasa berkaitan dengan

pilihan strategi tindakan manusia.Menurutnya ada beberapa fungsi utama bahasa yang dapat dipakai sebagai

pedoman di dalam tindakan manusia,di antaranya adalah fungsi : pribadi,kontrol,referensial,imajinatif,dan

manajemen identitas.

Fungsi pribadi di sini nampak dalam tindakan mengelaborasi perasaan subjektif,motif,kebutuhan, perspektif

negosiasi, atau perundingan.

Fungsi kontrol dapat terekspresi dalam mempengaruhi cara orang berfikir dan bertindak.

Fungsi referensial mengambarkan objek dan relasi objektif antara manusia dengan dunia luar.

Fungsi imajinatif terlihat dari kemampuan suatu bahasa dalam menciptakan cara-cara baru melihat dunia luar.

Fungsi manajemen identitas terlihat dari kemampuan bahasa untuk menciptakan identitas individu.

Hasil penelitian lain tentang bahasa dalam kasus-kasus komunikasi lintas budaya menunjukkan bahwa

pemerkayaan bahasa mampu memperluas pemahaman terhadap struktur objek kebudayaan,tipe-tipe strategi

tindakan manusia dalam konteks komunikasi antarbudaya.

Menutup catatan kita tentang teori analisis kebudayaan implisit ini dapat kita garis bawahi bahwa pendekatan

kebudayaan implisit memuat beberapa asumsi dasar yaitu :

1. Bahwa kebudayaan mempengaruhi skema kognitif;

2. Kebudayaan mempengaruhi organisasi tujuan dan strategi tindakan;

3. Kebudayaan mempengaruhi pengorganisasian skema interaksi; dan

4. Kebudayaan mempengaruhi proses komunikasi.

Teori Analisis Kaidah Peran

Selain terdapat berbagai versi aplikasi teori kaidah peran, dalam berbagai literatur komunikasi yang membahas

tentang kaidah peranpun telah mendefinisikan konsep kaidah peran ini secara beragam.Namun secara umum

konsep kaidah peran ini dapat digambarkan sebagai berikut : bahwa setiap peran manusia mempunyai

“kaidah peran” tertentu sehingga satu peran akan diikuti oleh peran lain, satu perilaku akan diikuti oleh

(13)

Misalnya, jika terjadi X maka orang biasanya akan melakukan Y, oleh karena itu orang akan mempunyai

peluang melakukan Y.Akibatnya kita dapat meramalkan bentuk-bentuk perilaku individu.

Berikut ini beberapa contoh penelitian yang mendasarkan pada teori kaidah peran dan dipakai dalam konteks

komunikasi antarbudaya:

Penelitian Ekman dan Friesen terhadap beberapa kelompok budaya menunjukkan bahwaperanan ekspresi

wajah menggambarkan emosi yang selalu berubah secara teratur.Perubahan-perubahan itu memberikan

informasi tentang tingkat emosi manusia.

Morris dkk, dalam Pierce (1976), yang meneliti makna mimik komunikasi lintas budaya juga mendapati

bahwa setiap perilaku gerakan tubuh mengikuti pola yang teratur.Dia juga menemukan ada perbedaan makna

gerakan tubuh antarbudaya.Kesimpulan Morris, perilaku non-verbal antarbudaya mempunyai regularitas

tertentu di mana satu perilaku diikuti oleh perilaku yang lain.

Penelitian tentang kaidah peran oleh Cushman dan Pearce (dalam Pierce 1976), menunjukkan bahwa kaidah

peran ternyata juga membentuk perilaku.Mereka menyimpulkan bahwa pelaku(kaidah peran) sadar bahwa

yang ia lakukan pasti mempunyai dampak tertentu.Jadi misalkan, Si A menginginkan Y.Si A tahu bahwa dia

harus melakukan X kalau mau dapat Y.Karena itu si A menyiapkan tindakan tertentu untuk mendapatkan Y.

Teori Analisis Interaksi Antarbudaya

Di bawah payung teori analisis interaksi antarbudaya terdapat beberapa pendekatan yang sering digunakan:

1. Pendekatan jaringan metateoritikal;

2. Teori pertukaran;

3. Teori pengurangan tingkat ketidakpuasan;

4. Pendekatan psikologi humanistik

5. Pendekatan etnografi dan deskripsi kaidah peran;

6. Pendekatan adaptif;

7. Coordinated Management of Meaning/CMM Approach.

(1)Pendekatan jaringan metateoritikal

Teori ini memfokuskan pada tema hubungan antarpribadi dengan tekanan utamapertentangan atau

ketegangan mental akibat individu yang mempertahankan “prinsip otonomi pribadi” dengan “ketergantungan

(14)

Pada mulanya teori ini memang berawal dari kajian para ahli psikologi.Bohcner (1967) misalnya, pernah

meneliti tentang persaingan individu dalam sebuah organisasi.Iamenemukan, bahwa ketegangan individu

dapat dijelaskan dengan melihat sifat hubungan antarpribadi para karyawan.Bila hubungan antarpribadi

“tertutup”, maka tiap karyawan akan merasa tegang.Sebaliknya, semakin “terbuka”, maka ketegangan mereka

akan berkurang.

Ernest Becker(1971) meneliti tentang hubungan antara otonomi pribadi dengan ketergantungan pada

sesama.Becker menemukan semacam paradoks otonomi individu.Proses ini bermula sejak anak-anak yang

dalam pendidikan dalam keluarganya senantiasa diliputi oleh larangan ini dan itu.Pada mulanya, si anak akan

melanggar kontrol orang tuanya, namun kemudian anak tersebut sampai pada titik di mana dia selalu

ragu-ragu dalam bertindak.Akhirnya, setiap kali akan melakukan sesuatu anak tersebut berada pada dilema antara

mempertahankan otonomi individu atau bergantung pada orang tuanya. Dialektika seperti ini akan terbawa

sampai dewasa dan menentukan daya kontrol terhadap relasi antarpribadi.

Bagaimana teori ini ketika diterapkan dalam komunikasi antarbudaya? Lewat konstruksi teori yang kita pahami

di atas maka kita bisa menganalisis tindakan komunikasi dengan memperhatikan pada tingkat mana individu

memiliki otonomi dan pada tingkat mana individu masih bergantung pada orang lain.Artinya dua faktor di atas

menjadi variabel-variabel yang juga mempengaruhi komunikasi antarbudaya.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dengan pendekatan di atas menemukan bahwa dalam kebudayaan

Barat, yang mempunyai struktur kaidah relasi antarpribadi yang ketat sangat mempengaruhi derajad relasi,

yakni relasi yang sangat terbatas dan tertutup. Hal itu nampak dalam frekuensi komunikasi dan tingkat

pertukaran informasi antarpribadi.

Data-data dari berbagai hubungan antarbudaya menunjukkan bahwa orang Amerika berkulit hitam lebih

membutuhkan informasi tentang kelanjutan hubungan daripada orang Amerika kulit putih.

Kesimpulan dari pendekatan metateoritikal ini adalah bahwa nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat sangat

menentukan otonomi individu,ketergantungan individu dengan orang lain dalam rangka menciptakan derajad

hubungan antarpribadi.

(2)Teori Pertukaran

Teori pertukaran atau exchange theory,pada mulanya dikembangkan oleh para peneliti sosiologi.Thibaut dan

Kelly-lah (dalam Liliweri,1991) yang mengembangkan teori ini.

Inti teori ini mengatakan bahwa hubungan antarpribadi bisa diteruskan dan dihentikan.Hal ini dikarenakan

dalam perkembangan hubungan antarpribadi, setiap orang mempunyai pengalaman tertentu sehingga dia

(15)

beberapaorang.Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan antarpribadi, makin besar peluang

hubungan tersebut diteruskan.Begitu juga sebaliknya.

Wood (1982) mengidentifikasi 12 karakeristik pendekatan pertukaran tersebut:

1) Prinsip Individual

Komunikasi memasuki tahap awal.Antara individu yang memprakarsai hubungan antarpribadi berharap kualitas

hubungan meningkat. Apabila memburuk maka hubungan antarpribadi dihentikan

2) Komunikasi coba-coba

Tiap individu melakukan uji coba dalam hubungan antarpribadi dengan cara mencari informasi di antara

masing-masing pihak.Apakah hubungan akan berlanjut bergantung pada informasi yang diperoleh,apakah

informasi itu dapat meningkatkan loyalitas hubungan atau justru menambah keragu-raguan.

3) Komunikasi eksplorasi

Hampir sama dengan komunikasi coba-coba hanya saja sifatnya lebih mendalam.Informasi dari berbagai

sumber digali makin dalam.Individu yang terlibat di sini akan meneliti ulang tiap informasi yang didapatkan dan

tidak begitu mudah mengambil keputusan.

4) Komunikasi ephoria

Di sini, masing-masing individu sudah meleburkan kepentingan yang berbeda dan membentuk suatu

hubunganbaru atas dasar yang sama.

Fungsi komunikasi tahap ini:

(1) mengubah individu dari suatu peran sosial ke peran sosial yang baru dan menjadikan peran baru itu sebagai

dasar hubungan yang baru;

(2) membiarkan dasar hubungan yang sudah disepakati berlangsung terus;

(3)memberikan informasi tentang pribadi kepada partisipan komunikasi;

(4) membiarkan empaty dengan mengambil peran komunikan,

5) Komunikasi yang memperbaiki

Pada tahap ini komunikasi berfungsi memperbaiki dan mengevaluasi kembali hubungabn antarpribadi,

(16)

6) Komunikasi pertalian

Dua pihak menetapkan bersama waktu dan tempat kesinambungan komunikasi.

7) Komunikasi sebagai pengemudi

Tahap ini ditandai dengan tahap keluwesan kontrol atas kebiasaan-kebiasaan

hubunganantarpribadi.Daya kontrol telah tercipta sedemikian rupa sehingga menghasilkan kaidah peran

bersama.

8) Komunikasi yang membedakan

Ini adalah tahap di mana individu justru kembali berusaha menekan karakteristik individu.Individu kembali

menegaskan perbedaan-perbnedaan pola kebudayaan dan kemudian meneruskan relasi dengan cara lain.

9) Komunikasi yang disintegratif.

Komunikasi mulai menemukan titik-titik perbedaan antar pribadi sehingga berpotensi

munculnya disintegrasi.Dua pihak mulai mengingkari budaya masing-masing, kaidah-kaidah relasi mulai di

rusak sehingga derajad hubungan diperenggang.Komunikasi antarpribadi hanya berlangsung kalau

menyangkut tema-tema tertentu, jarak sosial antarpribadi semakin besar.

10) Komunikasi yang macet.

Komunikasi masuk pada tahap di mana masing-masing pihak mencari peluang dengan menciptakan masalah

dan waktu/kesempatan yang cocok agar hubungan antarpribadi dihentikan.Relasi antarpribadi hanya akan

berlangsung pada konteks-konteks yang benar-benar pribadi.

11) Pengakhiran Komunikasi

Hubungan antar pribadi memasuki tahap perundingan tentang perhentian interaksi antarpribadi.

12) Individualis

Komunikasi memasuki tahap akhir, di mana suasana hubungan antarpribadi tidak pasti, masing-masing pihak

menyendiri dan tidak tahu dari mana komunikasi harus dimulai.

(3)Teori Pengurangan Tingkat Ketidakpuasan

Teori ini dikembangkan oleh Berger(1982).Dia mengemukakan bahwa salah satu fungsi komunikasi adalah

(17)

Berger, setiap individu berkomunikiasi antarpribadi hanya untuk mendapatkan kepastian.Kepastian membuat

seorang individu merasa yakin dan percaya kepada sesama.

Keinginan untuk mencari kepastian ini makin kuat ketika:

1. Perilaku pihak lain menyimpang dari kebiasaan umum;

2. Kita mengantisipasi perulangan interaksi; dan

3. Ada peluang untuk memperoleh ganjaran dan hukuman dari pihak lain.

Berger mengajukan strategi mencari informasi agar individu mengurangi tingkat ketidakpuasan tentang pihak

lain:

1. Mengamati pihak lain secara pasif

2. Menyelidiki atau menelusuri pihak lain.

3. Menanyakan informasi melalui pihak ketiga.

4. Penanganan lingkungan terhadap pihak lain;

5. Interogasi ;

6. Membuka diri .

Teori ini telah begitu sering diterapkan ke dalam strategi komunikasi antarbudaya, misalnya untuk menyusun

strategi mengurangi tingkat ketidakpastian dalam hubungan antara individu-individu yang saling beda

kebudayaan atau bangsanya.

(4)Pendekatan Psikologi Humanistik

Teori atau pendekatan psikologi humanistik senantiasa menekankan bahwa jika setiap pribadi dari berbagai

budaya yang berbeda membuka pribadinya bagi sesama maka dia pun akan dikenal dan mengenal sesama.

Beberapa penelitian tentang “keterbukaan” pernah dilakukan, di antaranya oleh Park (dalam Gudykunst),

Walter Kaufman(1980), McNamee (1980), kemudian Cissna dan Sieberg, Harris dkk.(dalam

Gudykunst).Penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa pada umumnya setiap individu selalu berusaha

membuka diri,derajad keterbukaan pribadi itu dipengaruhi oleh siatuasi dan kondisi, waktu dan kesempatan,

(18)

Sebuah teori lain yang mirip dengan ini dikemukakan oleh Johari yang kemudian dikenal dengan teori self

disclosure atau sering disebut teori “Johari Window”.Asumsi dasar teori ini mengatakan kalau setiap individu

bisa memahami diri sendiri maka dia bisa mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat berhubungan

dengan orang lain.

(5) Pendekatan peran berdasarkan deskripsi etnis

Teori ini dirumuskan di antaranya oleh Wallace (1961) yang mengatakan bahwakomunikasi antarpribadi

ditentukan oleh pendekatan peran berdasarkan deskripsi etnografi.

Teori ini masih dekat dengan teori/pendekatan metateoritikal yang berbicara soal otonomi individu dan

ketergantungan antarpribadi. Bila diterapkan dalam konteks komunikasi antarbudaya maka pertanyaan inti

pendekatan peran berasarkan deskripsi etografi ini adalah, apakah setiap norma kelompok etnik memberikan

peluang terbentuknya otonomi individu dan ketergantungan pribadi.

Dalam suatu masyarakat arkais, tingkat otonomi individunya kecil sehingga deskripsi etnografi masyarakat

arkais senantiasa digambarkan memiliki sikap kolektif. Dan ketika jumlah masyarakat arkais telah berkurang

atau nilai-nilai kolektivitas pada masyarakat tersebut memudar maka terjadi kecenderungan meningkatnya

tingkat otonomi individu.Faktor terakhir inilah yang sangat mempengaruhi hubungan antarbudaya, karena itu

kita memerlukan deskripsi etnografi yang mendalam terhadap individu.

(6)Pendekatan adaptasi

Teori ini diperkenalkan oleh Ellingwoorth (dalam Gudykunst 1983), dia mengatakan bahwa setiap individu

dikaruniai kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi.Adaptasi nilai dan norma antarpribadi termasuk

antarbudaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk mengadaptasi nilai dan norma yang

fungsional atau mendukung hubunganantarpribadi.Atau nilai dan norma yang disfungsional atau tidak

mendukung hubungan antarpribadi.

Beberapa penelitian Ellingworth berkisar pada pertukaran nilai yang diinformasikan melalui perilaku pesan

verbal dan non-verbal.Pendekatan ini banyak diadopsi dalam komunikasi antarbudaya di negara-negara

berkembang.

(7) Pendekatan Manajemen Koordinasi Makna

Teori ini mengkhususkan diri pada “metapora pesan” dan diperkenalkan oleh Pearce dan Cronen ( dalam

(19)

Bahwa hubungan antara pola-pola komunikasi akan dinilai berkualitas tinggi kalau hubungan itu dilakukan pada

konteks hubungan antarpribadi yang dilandasi oleh konsep diri (self concept) atau konsep kebudayaan sendiri

(self culture)

Asumsinya, semua tindakan menghasilkan konteks dan konteks menghasilkan tindakan.

Terdapat lima tingkat konteks dalam pendekatan manajemen koordinasi makna :

1. Konteks perilaku verbal dan Nonverbal,diasumsikan bahwa pesan yang ditukar oleh mereka yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi selalu memilih konteks yang sesuai dengan penerapan pesan

verbal dan nonverbal

2. Konteks Aktivitas Komunikasi Verbal, konteks ini selalu dikaitkan dengan tingkat pemahaman bersama

atas makna.

3. Konteks Episode, konteks ini selalu menggambarkan situasi yang memudahkan penampilan dan

pengembangan pola-pola perilaku timbal balik yang secara teratur di terima.

4. Konteks Relationship, adalah konteks yang menggambarkan situasi bentuk sosial antara dua orang atau lebih.

5. Konteks Life Scripting, adalah konteks yang mementingkan penghayatan atas “konsep diri” dalam pelbagai tindakan relasi antarpribadi

6. Konteks Pola-pola Budaya, konteks yang memberi kemungkinan individu untuk mengetahui dan memilih tindakan dan makna relasi antarpribadi yang diterima oleh masyarakat secara kolektif.

Referensi :

Berger & Chaffee (Eds) Handbook of Communication Science.Beverly Hills,Calivornia:Sage,1987

Gudykunst,William B.(Ed) “Intercultural Communication TheoryBeverly Hills, Calivornia :Sage

Referensi

Dokumen terkait

“Karakteristik Alterasi, Mineralisasi Emas dan Fluida Hidrotermal pada Urat Epitermal Prospek Randu Kuning,..

Penentuan metode maupun model pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran sangat menentukan terjadinya proses interaksi yang baik antara pendidik dan peserta

Tanjungpura Pontianak sebagian besar berada pada tingkat sedang (63,24%), serta terdapat hubungan yang rendah dan signifikan antara kecerdasan visual-spasial

1) Kurikulum, tanpa kurikulum kegiatan belajar mengajar tidak dapat berlangsung, sebab materi apa yang harus guru sampaikan dalam suatu pertemuan

The basic structure of a question in English is very simple: auxiliary verb + subject + main verb?. auxiliary verb subject

Setelah melihat adanya promosi yang menarik, harga yang tepat maka dengan sendirinya konsumen akan mencoba membandingkan kualitas layanan, dan dalam hal ini perusahaan

MARKET VALUE ADDED PADA PERUSAHAAN MAKANAN DAN MINUMAN YANG TERDAFTAR DI BURSA

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satusyarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Biologi. Sekolah