• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN SIMBOLIK TERHADAP ANAK DALAM P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEKERASAN SIMBOLIK TERHADAP ANAK DALAM P"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

KEKERASAN SIMBOLIK TERHADAP ANAK DALAM memperihatinkan. Kekerasan terhadap anak, apapun bentuk alasannya adalah suatu yang dilarang dan bertentangan dengan hukum dalam perspektif undang-undang perlindungan anak dan ham. Dalam perspektif ini, tidak ada tolerensi ruang dan waktu bagi tindak kekerasan terhadap anak seperti kekerasan simbolik. Adapun kekerasan simbolik yaitu bentuk kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam dari orang yang mengalaminya (korbannya). Kekerasan semacam ini oleh korbannya bahkan tidak dapat dilihat atau tidak dirasakan sebagai suatu kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan memang harus terjadi. Sedangkan dalam hukum islam, kekerasan terhadap anak memiliki kepastian hukum yaitu haram, kecuali dalam hal pendidikan agama terkhusus dalam hal ubudiyah. Diluar itu, seperti dalam hal muamalah adalah tindak kekerasan terhadap anak merupakan sesuatu yang di haramkan.

Pendahuluan

(2)

kehidupan manusia dan banyak dijumpai kapanpun, dimanapun.1 Sebagai contoh kekerasan terhadap anak di lingkungaan sekolah merupakan persoalan bangsa yang perlu segera dihentikan dan diputus mata rantainya karena terkait langsung dengan pemenuhan hak anak untuk dilindungi oleh negara serta menentukan nasib bangsa di masa mendatang. Kekerasan di sekolah menjadi masalah besar yang membutuhkan peran negara untuk menyikapinya secara serius dan sistemik. Kekerasan yang terjadi di sekolah dapat dilakukan oleh siapa saja, seperti kepala sekolah, guru, pembina sekolah dan antar siswa.

Kekerasan di lingkungan sekolah sebenarnya tidak terjadi baru-baru ini saja. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan di tahun 2012 saja kekerasan terhadap anak di sekolah meningkat bahkan lebih dari 10%. Kekerasan ini meliputi kekerasan yang dilakukan guru ke siswa maupun siswa ke siswa lainnya. Data ini berdasarkan survey yang diadakan KPAI di 9 propinsi terhadap lebih dari 1000 siswa dari tingkat SD sampai SMA. Sebanyak 87,6% siswa mengaku mengalami tindak kekerasan dari guru, sedangkan 78,3% siswa melakukan tindak kekerasan tersebut.

(3)

Kekerasan yang terjadi pada siswa belakangan ini dengan dalih untuk mendisiplinkan siswa dan tidak jarang dijadikan budaya sebagai alasan membungkus kekerasan terhadap anak tersebut. Adapun bentuk kekerasan yang dilakukan antara lain dengan cara memukul, melemparkan suatu benda, ataupun kekerasan seksual. Dalam hal ini kekerasan fisik masih menjadi kekerasan utama yang terjadi di sekolah, diikuti dengan kekerasan psikis dan kekerasan simbolik. Munculnya ragam kekerasan di sekolah tampaknya menimbulkan ketakutan bagi orangtua.

(4)

pertimbangan bahwa yang menjadi fokus penelitian ini adalah pemahaman terhadap kekerasan simbolik dalam perspektif hukum Islam dan sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik.2. Seperti yang diketahui bahwa kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam dari orang yang mengalaminya (korbannya)3. Selanjutnya kekerasan simbolik adalah makna logika dan kenyakinan yang mengandung bias tetapi secara halus dan samar dipaksakan oleh pihak lain sebagai sesuatu yang benar.4

Bentuk kekerasan simbolik memang bukan sebuah kekerasan yang mudah dilihat wujudnya, namun sebenarnya bentuk kekerasan simbolik sangat mudah diamati dan sering banyak terjadi di lingkungan sekolah. Selanjutnya keterkaitan yang paling mendasar dalam permasalahan kekerasan terhadap anak yaitu hak asasi manusia untuk hak hidup5. Dari segi berbangsa dan bernegara anak adalah tunas, potensi dan

2 Deskriptif berarti menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, dan untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Analisis adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian terhadap obyek yang diteliti dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya. Lihat Sudarto,

Metode Penelitian Filsafat (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 47-59.

3 Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi, Yogjakarta, Rajagrafindo Persada: 2012. Hlm. 39

4 Ibid

(5)

generasi muda penerus cita-cita. Penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai cita dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Dalam Undang-undang No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan Anak Pasal 2 ayat (3) dan (4) berbunyi sebagai berikut : ‘ Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupun sesudah melahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.6

Anak Dalam Perspektif Islam

Anak adalah anugerah terindah sekaligus amanah (titipan) yang Allah berikan kepada setiap orang tua. Oleh karena itu orang tua hendaknya memperhatikan kebutuhan dan perkembangan anak, agar mereka tumbuh menjadi anak yang sehat, baik jasmani maupun rohani, dan barakhlaqul karimah serta memiliki intelegensi yang tinggi. Selanjutnya dalam hukum islam tindakan kekerasan terhadap anak merupakan pelanggaran atas nilai-nilai ajaran Islam. Hak seorang anak benar-benar dilindungi mulai dari kandungan sampai berusia 18 tahun dan seterusnya. Tetapi disini masih ada toleransi sedikit kekerasan yang sifatnya memberikan bentuk ketegasan dan kedisipinan selama hal itu dilakukan dan tidak mempengaruhi

(6)

terhadap proses perkembangan fisik dan mental anak sebagai sarana pendidikan. Berikut ini bentuk hak anak dalam perspektif Islam yaitu

1. Hak memperoleh kehidupan ketika di dalam rahim dan setelah lahir

Islam benar-benar memberikan hak hidup bagi setiap anak dengan jaminan yang pasti. Sejarah membuktikan, saat Islam datang maka kebiasaan orang Arab yang membunuh anak perempuan telah di hapus dengan turunnya wahyu Allah Swt berfirman:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena

takut kemiskinan, Kamilah yang akan memberi rezki kepada

mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka

adalah suatu dosa yang besar.“(Q.S. Al-Israa: 31).

2. Hak mendapatkan nama yang baik.

Nama anak adalah penting, karena nama dapat menunjukkan identitas keluarga. Islam menganjurkan agar orangtua memberikan nama anak yang menunjukkan identitas Islam, suatu identitas yang melintasi batas-batas rasial, geografis, etnis, dan kekerabatan. Selain itu nama juga akan berpengaruh pada konsep diri seseorang.

(7)

Selama masa penyusuan anak mendapatkan dua hal yang sangat berarti bagi pertumbuhan fisik dan nalurinya. Yang Pertama: anak mendapatkan makanan berkualitas prima yang tiada bandingannya. ASI mengandung semua zat gizi yang diperlukan anak untuk pertumbuhannya, sekaligus mengandung antibodi yang membuat anak tahan terhadap serangan penyakit.7 Yang Kedua : anak mendapatkan dekapan kehangatan, kasih sayang dan ketentraman yang kelak akan mempengaruhi suasana kejiwaannya di masa mendatang. Perasaan mesra, hangat, dan penuh cinta kasih yang dialami anak ketika menyusu pada ibunya akan menumbuhkan rasa kasih sayang yang tinggi kepada ibunya. Islam pun telah menetapkkan bahwa orang yang lebih berhak terhadap pengasuhan ini adalah orang yang paling dekat kekerabatannya dan paling terampil (ahli) dalam pengasuhan.

4. Hak mendapatkan kasih sayang

Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk menyanyangi keluarga, termasuk anak di dalamnya. Ini berarti Beliau saw mengajarkan kepada kita untuk memenuhi hak anak terhadap kasih sayang.8 Sabda Rasulullah saw: "Orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling penyayang

kepada keluarganya."

7 ibid

(8)

5. Hak mendapatkan perlindungan dan nafkah dalam keluarga

Sebagai pemimpin dalam keluarga, seorang ayah tentu bertanggungjawab atas keselamatan anggota keluarganya, termasuk anaknya. Ia akan melindungi anaknya dari hal-hal yang membahayakan anaknya baik fisiknya maupun psikisnya. Demikian juga ia berkewajiban memberi nafkah berupa pangan, sandang, dan tempat tinggal kepada anaknya.

6. Hak pendidikan dalam keluarga

Mendidik anak adalah tanggung jawab bersama antara ibu dan ayah, sehingga diperlukan pasangan yang seaqidah, dan sepemahaman dalam pendidikan anak. Jika tidak demikian tentunya sulit mencapai tujuan pendidikan anak dalam keluarga. 7. Hak mendapatkan kebutuhan pokok sebagai warga

negara.

Sebagai warga negara, anak juga mendapatkan haknya akan kebutuhan pokok yang disediakan secara massal oleh negara kepada semua warga negara. Kebutuhan pokok yang disediakan secara massal oleh negara meliputi: pendidikan di sekolah, pelayanan kesehatan, dan keamanan.

Definisi kekerasan Simbolik

(9)

sekolah. Dalam menyelesaikan suatu konflik atau permasalahan terkandang selalu disertai dengan kekerasan. Secara umum kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain, baik secara fisik maupun secara psikis. Kekerasan merupakan semua bentuk perilaku verbal dan non berposisi lebih lemah (atau dipandang berada di dalam keadaan lebih lemah ), bersaranakan kekuatannya, baik fisik maupun non fisik yang superior dengan kesengajaan untuk dapat di tumbulkan rasa derita pada pihak korban.10

Kekerasan yang ditujukan pada anak berakibat kesengsaraan dan penderitaan baik fisik maupun psikis yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.11

9 Gandik siswono, Kasus-kasus dan Penanganan Anak Korban Kekerasan, Biro Mintal Spiritual PPT, Surabaya. Hlm. 45

10 Haqqul Yakin, Agama dan Kekerasan dalam Tradisi Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta: eLSAQ Press. Hlm. 148

(10)

Selanjutnya adapun kekerasan simbolik menurut Bourdieu merupakan sebuah mekanisme yang digunakan kelompok dominan dalam struktur masyarakat untuk memaksa secara halus habitus (ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidup) terhadap kelompok minoritas12 dalam konteks adanya relasi komunikasi dengan relasi kekuasaan, muncul konsep kekerasan simbolik (symbolic violence) yang dipopulerkan oleh Pierre Bourdieu dalam buku Outline Of Theory Of Practice. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan kekerasan khusus dalam mekanisme bahasa dan kekuasaan, yaitu kekerasan yang halus dan tidak dampak, yang tidak dikenal atau hanya dikenal dengan menyembunyikan mekanisme tempatnya bergantung. Konsep ini menggiring manusia ke arah mekanisme sosial, yang di dalamnya relasi komunikasi saling bertautan dengan relasi kekuasaan. Sistem kekuasaan cenderung untuk melanggengkan posisinya yang dominan dengan mendominasi media komunikasi, bahasa yang digunakan di dalam komunikasi, makna-makna yang dipertukaran di dalam komunikasi serta di interprestasi terhadap makna-makna tersebut. Di dalam

menggunakan kapasitasnya untuk berpikir, bertindak, dan berefleksi untuk mengkonstruk fenomena sosial dan kultural. Individu melakukan tersebut dalam kerangka parameter struktur-struktur yang ada. Namun, struktur ini bukan batasan-batasan yang bersifat rigid, tetapi lebih merupakan material untuk konstruk sosial dan kultural yang beragam. Keterangan lebih lanjut, lihat Jonathan H. Tumer, The Strukture Of Sociology Theory (The United States Of America: Woodworth Publishing Company, 1998) hlm. 509-512

(11)

dominasi tersebut, sebetulnya terjadi kekerasan simbolik yang sangat halus tetapi orang yang didominasi secara simbolik tersebut tidak menyadari adanya pemaksaan dengan menerima pemaksaan tersebut sebagai sesuatu yang memang seharusnya begitu (legitimate).13

Kekerasan simbolik terjadi ketika orang yang didominasi menerima sebuah simbol (konsep, ide, gagasan, kepercayaan, prinsip) dalam bentuknya, yang disortir memberikan pengakuan atas sesuatu yang diterima secara distorsif serta menerapkan kriteria evaluasi kelas dominan untuk menilai diri dan kehidupannya. Di dalam proses dominasi tersebut sebenarnya terjadi pemaksaan simbolik yang sangat halus namun yang didominasi tidak menyadari adanya pemaksaan atau menerima pemaksaan tersebut sebagai common sense.14 Prinsip simbolis

ini diketahui dan diterima baik oleh pihak yang menguasai dan dikuasai. Prinsip ini berupa bahasa, cara berpikir, cara kerja dan cara bertindak sehingga akan menentukan cara melihat, merasakan, berpikir dan dan bertindak individu.15

Manifestasi kekerasan simbolik ini terjadi pada semua relasi sosial dalam realitas kehidupan. Dominasi simbolik ini

13 John B. ThomPON, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi Dunia, Terj Haqqul Yakin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007), Hlm. 94-98

14 ibid

15 Haryatmoko, Etika Komunikasi Media, Kekerasan dan Pornografi,

(12)

memiliki efektivitas yang cukup tinggi dan aman karena yang didominasi tidak menyadari kekerasan dan pemaksaan simboliknya, bahkan menerima dominasi tersebut sebagai kebenaran yang absah sehingga taken for granded. Agar ini berjalan secara efektif, maka diperlukan sosialisasi dan normalisasi secara terus menerus sehingga simbol-simbol dan pemaknaan dari kelompok dominasi dapat memperoleh penerimaan publik.

Dampak Kekerasan Simbolik Anak

Kekerasan pada anak sudah marak terjadi dan semakin memprihatinkan. Melihat banyak sekali informasi dan juga berita-berita melalui media mengenai kekerasan terhadap anak. Mulai dari kekerasan pada anak yang ringan, hingga yang sangat berat, bahkan berujung pada pembunuhan. Hal semacam ini bisa memiliki dampak yang sangat buruk terhadap anak. Kekerasan pada anak mungkin tidak terlihat dalam waktu dekat. Namun, dalam kurun waktu tahunan, dampak dari kekerasan pada anak ini akan terlihat sangat jelas. Adapun bentuk

(13)

buku wajib, dan juga melalui kewajiban menulis artikel ilmiah terutama bagi para pengajar tingkat sekolah menengah.

Kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara eduaktif. Namun tidak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Dalam hal ini kekerasan simbolik terjadi secara tidak kasatmata. Hal ini berbeda dengan kekerasan fisik dan psikologis, seperti tawuran pelajar, hinaan, dan pelecehan melalui kata-kata maupun tulisan. Mata publik dapat melihat, mendengar, dan merasakan adanya kekerasan fisik dan psikologis.

(14)

Kekerasan simbolik menjebak dan menjerat individu dalam sebuah belenggu makna yang tanpa mereka sadari menindas eksistensi dan membelenggu kebebasannya untuk bertumbuh menjadi manusia yang utuh. Pierre Bourdieu yang memahami kekerasan simbolik berkait dengan relasi kekuasaan yang dimiliki oleh individu dan kaitannya dengan struktur dan sistem yang melanggengkan kekuasaan tersebut. Kekerasan simbolik perlu dipahami dalam kaitannya dengan konsep tentang modal simbolik yang dimiliki individu.16

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekerasan Simbolik

Pada Anak

Letak urgensi kajian ini adalah generalisasi kata ‘’ kekerasan simbolik’’ dalam pendidikan, sehingga kekerasan dalam pendidikan tersebut tidak boleh terjadi kekerasan sama sekali. Ibn Khaldun berkata, sebagaimana di kutip oleh Mahmud Al-Khal’awi, orang yang mendidik dan menghukum dengan kekerasan akan membuat anak tertekan dan menghilangkan semangat anak, membuatnya menjadi malas, mendorong untuk berbohong karena takut akan siksaan yang bisa menimpanya. Anak bukanlah subjek hukum karena para ulama fiqih

(15)

menyatakan bahwa status anak belum dapat di jadikan subjek hukum bukan mahkum alaihi.

Dalam Islam, batas usia seseorang anak adalah setelah dia mendapatkan tanda-tanda baligh ( mumayyiz), jika tanda-tanda tersebut sudah terlihat pada anak, maka dia beralih ke masa dewasa, yang mana sudah dibebankan tanggung jawab (dunia dan akhirat). Anak adalah hadiah terindah bagi orang tua sekaligus menjadi amanah bagi mereka yang senantiasa harus dijaga dan dilindungi, diperlukan dan dididik dengan baik sesuai dengan ajaran islam. Seperti yang tercantum dalam Al-Quran surat An-Anfal ayat 28 yang artinya

‘’Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimi) dan disisi Allah-lah pahala yang besar’’

(16)

dimaksud oleh agama islam bukanlah pendidikan yang hanya berdomisili di lingkungan sekolah (formal) saja, melainkan segala bentuk tingkah laku yang dilihat oleh anak dan memiliki potensi untuk ditiru oleh anak.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, kekerasan dalam islam sangat tidak dibenarkan sejauh tidak sesuai dengan ketentuan atau melebihi batas. Kekerasan hanya digunakan sebagai langkah terakhir, dan digunakan hanya dengan tujuan mendidik, bukan dengan tujuan tanpa landasan. Dan jauh lebih baik lagi jika anak diperlakukan dengan kasih sayang tanpa adanya kekerasan.

Tinjauan Ham terhadap kekerasan simbolik pada anak

Hak Asasi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar dari umat manusia. Pengertian yang beragam dan luas tersebut pada dasarnya mengandung prinsip bahwa, hak adalah sesuatu yang oleh sebab itu seseorang (pemegang) memiliki keabsahan untuk menuntut sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka orang tersebut dapat memperlakukan sesuatu sebagaimana dikehendaki, atau sebagaimana keabsahan yang dimilikinya.17

17 Manan, Bagir, 2006. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan

(17)

Dalam pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia disebutkan, “Hak assasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Selanjutnya dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 ‘ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi’.

(18)

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Adapun upaya perlindungan anak dalam bentuk kekerasan mendapatkan perhatian penguasa secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya Undang-Undang Perlindungan Anak, meski perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlindungan tersebut. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, berbagai upaya perlindungan anak tersebut tidak lain diorientasikan sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan anak. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan perlindungan tersebut tidak boleh dipisahkan dari prinsip-prinsip dasar perlindungan anak dalam Konvensi Hak Anak, yaitu: (1) Prinsip-prinsip non-diskriminasi (non-discrimination); (2) Prinsip Kepentingan terbaik untuk anak (the best interest of the child;(3) Prinsip hak-hak anak untuk hidup, bertahan hidup dan pengembangan (the right to life, survival and development);(4) Prinsip menghormati

pandangan anak (respect to the views of the child)18.

Selanjutnya adapun uraian tentang hak asasi anak menurut undang-undang nomor 39 Tahun 1999, meliputi:19

18 (www.sekitarkita.com,2002)

(19)

1. Anak dapat perlindungan orang tua, masyarakat dan negara (pasal 62 ayat 1)

2. Hak melindungi sejak dari kandungan (pasal 52 ayat 1) 3. Hak hidup dan meningkatkan taraf kehidupan (pasal 53

ayat 1)

4. Hak mendapatkan nama dan status kewarganegaraan (pasal 53 ayat 2)

5. Hak mendapatkan perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus anak cacat fisik atau mental (pasal 54)

6. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekpresi (pasal 55)

7. Hak mengetahui, dibesarkan dan diketahui orang tuanya (pasal 56 ayat 1)

8. Hak diasuh dan diangkat anak orang lain (pasal 56 ayat 2)

9. Hak dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing orang tua/ wali (pasal 57 ayat (1)

10. Hak mendapatkan orang tua angkat atau wali (pasal 57 ayat (2)

11. Hak perlindungan hukum (pasal 58 ayat (1)

12. Hak pemberatan hukum bagi orang tua, wali/pengasuh yang menganiaya anak (fisik, mental, penelantaraan, perlakuan buruk dan pelecehan seksual dan pembunuhan(pasal 58 ayat (2)

13. Hak tidak dipisahkan dari orang tua (pasal 59 ayat (1)

14. Hak bertemu dengan orang tua (pasal 59 ayat (2) 15. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (pasal

(20)

16. Hak mencari, menerima dan memberikan informasi (pasal 60 ayat (2)

17. Hak untuk beristirahat, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berkereasi (pasal 62)

18. Hak memperoleh kesehatan dan jaminan sosial (pasal 62)

19. Hak tidak dilibatkan dalam peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial dan peristiwa kekerasan (pasal 63)

20. Hak perlindungan hukum dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang membahayakan dirinya (pasal 64) 21. Hak perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan

pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak dan dari penyalahgunanaan narkoba, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (pasal 65)

22. Hak tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (pasal 66 ayat (1)

23. Hak tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup (pasal 66 ayat (2)

24. Hak tidak dirampas kemerdekaanya secara melawan hukum (pasal 66 ayat (3)

25. Hak penangkapan, penahanan atau pidana penjara hanya sebagai upaya terakhir (pasal 66 ayat (4)

(21)

27. Hak bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif bagi anak yang dirampas kebebasannya (pasal 66 ayat (6)

28. Hak membela diri dan memperoleh keadilan bagi anak yang dirampas kebebasannya di depan pengadilan yang objektif, tidak memihak dan sidang tertutup untuk umum.

A. Kesimpulan

Islam adalah agama ramah kepada semua. Anak

(22)

Daftar Pustaka

Assegaf, Abd. Rahman. Pendidikan Tanpa Kekerasan; Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep, (Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya, 2004

Douglas, Jack D. dan Waksler, Frances Chaput. “Kekerasan” dalam Thomas Santoso (Ed). Teori-teori Kekerasan,

(Jakarta: Ghalia, 2002)

Fauzi Fashri, Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbolik, (Yogyakarta: Jalasutra, 2014), 119-120 sebagai saduran dari Pierre Bourdieu, Language and Power, (Cambridge: Polity Press, 1991).

Haryatmoko, Etika Komunikasi Media, Kekerasan dan Pornografi, ( Yogyakarta, Kanisius, 2007)

Hendarti, Purwoko, Aneka Sifat Kekerasan Fisik, Simbolik, Birokratif dan Struktural, Jakarta 2008.

Indi Aunullah, Bahasa dan Kuasa Simbolik dalam Pandangan Pierre Bourdieu, Skripsi, (Yogyakarta: Universitas Gadjah

(23)

John B. ThomPON, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi Dunia, Terj Haqqul Yakin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007)

Joni, Muhammad. 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak . Bandung: Citra

Aditya Bakti.

Laporan UNICEF 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Bandung, PT Citra

Aditya Bakti.

Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu (Depok: PT

Rajagrafindo Persada, 2012)

Miles Matthew B. Dan Huberman., A. Michael, Analisis Data Kualitatif, (Terjemahan: Tjeptjep Rohendi Rohidi), Jakarta:

UI-Press, 1992

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Rahardjo, M. Dawam. “Pembangunan dan Kekerasan Struktural : Agenda Riset Perdamaian”, dalam Prisma

(Jakarta: LP3ES, 1981)

(24)

Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995)

S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1988.

Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Amissco, 2000)

Shalaluddin, Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam, Jakarta, Aminnco, 2000.

Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, ( Yogyakarta: Liberti, 1988)

Sindunata (ed.), Pendidikan; Kegelisahan Sepanjang Zaman, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001)

Referensi

Dokumen terkait

sebesar 0,39, Artinya adalah bahwa sumbangan pengaruh variabel independen (INVESTASI dan TENAGA KERJA) terhadap variabel dependen (PDRB) adalah sebesar 39%,

Peningkatan Kreativitas melalui Pendekatan Tematik dalam Pembelajaran Seni Grafis Cetak Tinggi Bahan Alam di SD Sistem pendidikan Sekolah Dasar, sebagaimana diungkapkan

Pengguna  gedung  wajib  membayar  biaya  sewa  gedung  pembayaran  pertama  minimal  50%  pada  4  bulan  sebelum  pelaksanaan  acara  dan  melunasi 

Pada umumnya logam tidak berdiri sendiri atau keadaan murni, Pada umumnya logam tidak berdiri sendiri atau keadaan murni, Pada umumnya logam tidak berdiri sendiri

Penelitian ini dilakukan di LAZ PT Semen Padang dnagan tujuan untuk mengetahui : (1) Untuk mengetahui pelaksanaan dari pengelolaan serta pengunaan dana yang

ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

Rata-rata abnor,al return saham selama 5 hari sesudah pengumuman right issue (t+1 hingga t+5) diperoleh hanya 1 hari yang menunjukkan adanya abnormal return

Peranan modal intelektual sangat berpengaruh terhadap kinerja karyawan dan dalam jangka panjang akan mempengaruhi kinerja organisasi, karena modal intelektual