• Tidak ada hasil yang ditemukan

OTORITAS DAN EKSISTENSI KEAGAMAAM WANITA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "OTORITAS DAN EKSISTENSI KEAGAMAAM WANITA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

OTORITAS DAN EKSISTENSI KEAGAMAAM WANITA DALAM ISLAM DAN BUDDISME

(Studi Analisis Perbandingan & Sosiologis) oleh

Roro Sri Rejeki Waluyojati,MA Dosen Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushulludin UIN SGD Bandung

Abstraksi

On the historical stage, discourses struggle about the gender movement, feminism, and equality between men and women are part of emancipation, democratization and cultural humanism. Day after day, indictment and claims are discriminated, suppression of, and violence to, women are more and more increasing. Speaking about gender, we usually find more discrimination in social context.

The social context is actually influenced by religious view point dominating in the area. Therefore, gender problems cannot be separated from both factors–religion and social context. The Problem of equality between men and women has been much discussed in this field, but study about women's authority and existence in religious ritual practice as a leader, is still rare.

For that reason, this paper will discuss women’s access to religious authority, by comparing two religious traditions in Islam and Buddhism. In order to be systematic of discussion, at first, we would like to describe of how religious tradition gives an access to women in ritual practices such to be Imam of Shalat in Islam (Prayer) or Nuns in Buddhism.

(2)

MEMBICARAKAN PERSOALAN GENDER, biasanya akan banyak melibatkan berbagai aspek kehidupan, tuntutan antara kesetaraan laki-laki dan perempuan secara umum hanya menyentuh pada tataran social budaya, tetapi belakangan ini diskursus kesetaraan pada wilayah keagamaanpun mulai digugat. 1 Tetapi sebelum melangkah lebih jauh pada

pembahasan ini, terlebih dahulu dapat penulis kemukaan bahwa paling tidak ada dua alur pemikiran masyarakat yang berkaitan dengan masalah gender itu sendiri, pertama, adanya golongan yang berkeyakinan bahwa masalah relasi antara laki-laki dan perempuan selama ini diyakini telah seimbang, jadi tidak perlu lagi adanya penggugatan baik secara akademis maupun konstruk social, kelompok pertama ini cenderung memihak pada status Quo.

Kedua, golongan yang meyakini bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan masih dianggap timpang dan belum seimbang, masih ditemukan pola-pola hubungan gender yang diskriminatif. Golongan ini berupaya mengatasi fenomena keseimbangan yang dimaksud dengan mengadakan reinterpensi terhadap teks-teks keagamaan dan struktur budaya masyarakat.

Pada peper kali inipun penulis ingin mencoba membahas tentang interpretasi-interpretasi kitab suci yang ada dalam memandang persoalan gender dan diskriminasinya. Karena bagaimanapun tidak bisa dipungkiri wacana yang berkembang dimasyarakat masih sangat di dominasi oleh interpretasi-interperetasi kitab suci yang masih baku dan konvensional. Hal ini cukup jelas terlihat dari interpretasi doktrin-doktrin kitab suci baik dalam agama Islam maupun Buddha, yang masih cenderung dipengaruhi kuat oleh sistim sosial partiarki. Hingga pada akhirnya berimbas kuat pada penafsiran dalam doktrin-doktrin keagamaan, walaupun itu menyangkut pada wilayah ritual praktis dan social sekalipun.

1 Muhammad Azhar, Analisis Gender dalam Islam,Makalah dalam seminar Gender KMFH UGM,

(3)

Otoritas dan eksistesi wanita dalam bidang ritual praktis

1. Menjadi Imam dalam Sholat

Dalam agama Islam, pembicaraan tentang kepemimpinan wanita dalam ibadah keagamaan bukan saja merupakan hal yang baru tetapi juga merupakan langkah awal yang berani dalam wacana agama Islam klasik ataupun modern, seperti yang katakan oleh oleh Andrew Feereland, ketika memberikan prakata dalam buku Fiqih Perempuan yang ditulis oleh K.H. Husein Muhammad. Ia menyatakan bahwa sejak jaman dahulu dalam tradisi Islam, akses wanita dalam kepemimpinan ibadah seperti menjadi Imam dalam sholat khususnya untuk sholat berjamaan sulit ditemukan. Karena wanita hanya dibolehkan menjadi imam sholat bila jamaahnya wanita, orang tua dan budak belia.2

Beberapa buku klasik yang sering dijadikan acuan dasar hukum bagi masyarakat Islam, memberikan syarat-syarat yang membatasi akses wanita dalam ketentuan praktek ibadah wajib seperti: Menjadi pemimpin sholat, Wali dalam pernikahan dsb, hal itu terjadi karena untuk menjalankan semuan itu, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: beragama Islam, berakal, dewasa dan laki-laki. Ironisnya, syarat-syarat tersebut diperkuat oleh hadits Rasul yang mempengaruhi pandangan para ulama klasik hingga menjadi aturan baku dan tradisi dalam Islam.

Semua mazhab dan semua pemuka agama (ahli fiqh) berpendapat bahwa

kepemimpinan wanita dalam sholat untuk jamaah pria dilarang.3 Ada dua pendapat fiqh

yang menjadi dasar pandangan tentang kepemimpinan wanita dalam sholat.

Pertama: ”Wanita dilarang menjadi imam dalam sholat untuk jamaah pria”.

Ini dijelaskan dalam sebuah hadits dari Jabbir r.a, salah seorang sahabat Rasul bahwa menurutnya Nabi s.a.w telah bersabda:

2 K.H.Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,

(LKIS:2000),hlm.xvii

3 Syarafu Syarifuddin An-Nawawi, Al-Majmu’syarh al-Muhadzab, ( Maktabah Al-Irsyad:Juz IV,

(4)

"Bagaimanapun juga wanita dilarang menjadi imam dalam sholat, termasuk orang Arab Badui bagi laki-laki Muhajirin dan orang zalim bagi orang-orang yang beriman.4

Kedua: “Wanita diijinkan menjadi pemimpin dalam sholat bagi laki-laki yang sudah tua, orang-orang muda yang menjadi budak dan untuk kaum wanita lainnya, tetapi tidak diijinkan menjadi pemimpin bagi jamaah laki-laki merdeka.” Seperti dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Abdurachman bin Khallad:

"Rasulullah s.a.w pernah mendatangi rumahnya dan menyuruh adzan dan meminta-nya (ummu Waraqqah) untuk menjadi pemimpin (imam) bagi anggota keluarganya. Abdurachman berkata: "Saya melihat saat itu bahwa muadzinnya adalah seorang laki-laki tua".5

Kedua hadits itu menjadi dasar bagi orang Islam dalam melihat keberadaan dan kedudukan wanita sebagai pemimpin dalam sholat berjamaah. Pendapat kedua

menjelaskan bahwa keabsahan wanita sebagai imam dalam sholat bagi kaum pria terbatas untuk laki usia lanjut atau pemuda yang memiliki status sebagai budak, bukan laki-laki merdeka. Lalu, apa substansi dari pernyataan di atas?

Dalam peribadatan serta bidang-bidang sosial, masalah-masalah yang menyangkut hubungan antara pria dan wanita, baik secara kelompok atau individu bisa terjadi saling tarik menarik perhatian diantara keduanya, dan hal itulah yang menjadi alasan yang digunakan oleh para ulama yang biasa disebut alasan Kaufah al fitnah, yaitu pengendalian agar tidak menyebabkan fitnah (suatu keadaan yang mengganggu atau menggoda pikiran laki-laki). Misalnya urutan barisan dalam sholat berjamaah mengharuskan posisi wanita dan pria untuk dipisah, wanita selalu dibelakang pria. Wanita dilarang memberikan khotbah kecuali jika jamaahnya semuanya wanita. Ia juga dilarang

mengumandangkanadzan dengan keras yang bisa didengar oleh pria. Wanita tidak wajib

4 Muhammad bin Yazid Ibn Majah, Sunah Ibnu Majah, (Dar al Fikr:Juz I),hlm. 342

(5)

mengikuti sholat Jum'at dan mengikuti ibadah wajib di masjid adalah sesuatu yang kurang baik.

Jadi, jelaslah bahwa alasan paling substansial dari pelarangan ini adalah karena kekuatiran akan mengundang fitnah. 6 Tetapi Di sisi lain, jelas pula bahwa argumen diatas

menunjukkan adanya bias gender. Fitnah yang dimaksudkan sebagai godaan atau gangguan yang dipahami dalam Islam seolah-olah hanya berasal dari pihak wanita kepada pria, seolah-olah dalam diri wanita ada unsur-unsur melekat yang bisa menggoda pria, sehingga untuk menghindari hal itu wanita dilarang melaksanakan aktivitas sholat bersama pria karena dikhawatirkan mereka akan mengganggu konsentrasi pria dalam sholatnya.

2. Menjadi Seorang Bikhuni

Agama Buddha mengajarkan bahwa puncak kesempurnaan yang bisa dicapai oleh manusia adalah jika ia bisa mencapai nibanna. Dalam awal kemunculannya, orang-orang menentang hal itu karena dianggap menghancurkan konsep-konsep budaya yang ada dan menyebabkan keluarga tercerai berai, dimana wanita menjadi janda dan anak-anak terpisah dari ibu mereka.7 Ajaran-ajaran agama Buddha telah menyebabkan orang menjadi bikhu

dan bikhuni. Karena puncak dari tingkat kesempurnaan hidup dan proses dalam mencapai

nibbana akan menjadi lebih mudah jika manusia dapat lepas dari kesenangan duniawi, yakni menjadi bikhu atau bikhuni.

Sang Buddha akhirnya menghargai kemampuan yang dimiliki wanita, dengan memberi mereka kesempatan untuk mencapai kesucian dan kemajuan spiritual seperti kaum laki-laki dengan memasuki kehidupan sebagai seorang bikhuni.

Memang pada awalnya untuk membuat ketentuan tentang wanita yang akan menjadi bikhuni tidaklah mudah. Karena pada awalnya Buddha (sidharta gautama) menentang eksistensi dan otoritas bikhuni. namun hal ini berubah ketika Buddha menyadari kesalahannya, setelah berkonsultasi dengan sepupunya, Ananda, mengenai

6 K.H.Husein Muhammad, Op.Cit. hlm. 36.

7 I.B Horner., Seri Wanita Dan Ajaran Budha:Wanita dalam Literatur Budha awal, Terj Sui-Ling,

(6)

masalah Ratu Mahajapati Gautami (ibu tiri dan bibi Sidharta Gautama yang ingin menjadi bikhuni bersama dengan 500 Utri Sakya yang suaminya telah menjadi bikhu8

Dengan demikian, Buddha mulai mengakui eksistensi bikhuni dengan membuat persyaratan, ada 8 persyaratan yang harus diterima dan dipatuhi oleh kaum perempuan bila mereka ingin menjadi Seorang Bikhuni. Delapan aturan tersebut dikenal dengan istilah

garudhamma.9 (R.M. Rasyid: 32).

1. Seorang bikhuni, meskipun ia telah dilantik selama 100 tahun, harus menyambut dengan sopan seorang bikhu yang baru dilantik

2. Seorang bikhuni tidak boleh menjalankan vissa di tempat yang tidak diketahui oleh bikhu

3. Setiap dua minggu sekali, seorang bikhuni harus memohon sangga dari bikhu untuk mengadakan pertemuan sebagai media latihan untuk mendapatkan saran dan peringatan

4. Setelah menjalani masa vissa, seorang bikhuni harus meminta bikhu untuk memberikan teguran, saran dan peringatan tentang apa yang telah ia lihat, dengar dan kecurigaan mengenai kesalahan-kesalahan bikhuni

5. Seorang bikhuni yang telah melakukan pelanggaran yang serius harus menjalani hukuman selama setengah bulan di depan sangha bikhu dan bikhuni

6. Seorang pelamar wanita yang telah dilatih selama 2 tahun harus mendapatkan pelantikan yang lebih tinggi dari sangha bikhu dan bikhuni

7. Seorang bikhuni tidak boleh menegur atau menghina bikhu dalam hal apapun 8. Seorang bikhuni dilarang memberikan peringatan kepada bikhu, tapi seorang bikhu

tidak dilarang memberikan peringatan kepada seorang bikhuni.

Tetapi selain delapan garudhamma yang harusditerima oleh seorang calon bikuni ternyata masih banyak permasalahan wanita yang menjadi seorang bikhuni dan

eksistensinya masih menghadapi cobaan-cobaan berat lainnya bahkan ketika persyaratan

garudhamma sudah terpenuhi, seperti dijelaskan diatas.

8 Adi Suhardi, Status Wanita Dalam Agama Buadha: Suatu Uraian Singkat, (Yayasan Dharmmaduta

Carika:1986), hlm.8

(7)

Timbul Satu masalah lain yang tak terpecahkan hingga sekarang, yaitu masalah eksistensi bikhuni, contoh kasus di Thailand yang nota bene menganut agama budha sebagai agama resmi Negara dan memiliki banyak bikku dan bikkuni, ternyata untuk eksistensi seorang bikkuninyapun masih belum bisa diakui keberadaannya karena seorang wanita hanya disetujui sebagai seorang bikhuni setelah ia dilantik oleh sangha bikhu dan sangha bikhuni.

Masalahnya sekarang adalah bahwa selama lebih dari 1000 tahun tidak ada sangha bikhuni yang diakui secara syah keberadaannya, sebaba sejak sangha bikhuni yang terakhir keberadaannya hilang di Srilangka pada abad 10. Sejak saat itu tidak ada lagi sangha bikhuni yang diakui eksistensi dan orisinalitasnya.

Karena umat budha di Thailand belum mengakui eksistensi dan orisinalitas sangha bikhuni yang lain sejak putusnya silsilah sangha bikhuni di Srilangka, yang diyakini sebagai sangha bikhuni asli dengan aturan-aturan utama berdasarkan ajaran Buddha (garudjama). Karena itu mereka tidak mengakui eksistensi sangha bikhuni lain, hal ini terjadi khususnya untuk golongan Buddha Theravada yang sangat orthodoks dan keras dalam menjaga ajaran & silsilah Buddha. Kebetulan di Thailan kebanyakan golongan Theravada yang eksis.

Jadi untuk memecahkan masalah di atas, wanita dalam golongan Theravada yang ingin menjadi bikhuni dapat dilantik terlebih dahulu sebagai Anagarini; viharavati dengan melakukan latihan sumaneri, yaitu melaksanakan dasa sikhapada atau dasa sila (10 asas)

sebagai berikut: 1. Menjauhi mencuri, 2. Dilarang membunuh.

3. Dilarang melakukan hubungan seks. 4. Dilarang berkata bohong.

5. Dilarang Minum minuman beralkohol. 6. Dilarang makan pada waktu yang salah. 7. Dilarang menggunakan bunga-bunga. 8. Dilarang menggunakan wangi-wangian

(8)

Dengan melihat sayarat-syarat dan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh seorang wanita yang ingin menjadi bikhuni, jelas ada bias gender di dalamnya, dimana superioritas pria masih dapat diidentifikasi meskipun dalam upacara keagamaan. Dan untuk mencapai eksistensi mereka sebagai bikhuni, wanita masih menghadapi banyak kesulitan.

Berdasarkan dua penjelasan di atas, kita bisa menganalisa sebagai berikut: Memang sulit untuk menarik garis kesamaan jika kita melihat dan mencoba membandingkan

otoritas keagamaan dan eksistensi wanita dalam konteks agama Islam dan Buddha. Di satu sisi, Islam tidak mendorong atau mengijinkan wanita menjadi bikhuni dan meninggalkan kehidupan alamiahnya seperti menikah, menjadi ibu dan istri, karena dalam ajaran islam justru dengan cara demikianlah wanita sebenarnya dapat mencapai kesempurnaan dan kesalehan dalam ibadah. Hal itupun berlaku bagi kaum pria, seperti dijelaskan dalam hadith yang mengatakan bahwa :

“Nabi tidak menyukai orang yang menghabiskan masa hidupnya di masjid dan hanya melaksanakan ibadah secara terus-menerus hingga mereka meninggalkan kehidupan dunia ini “.

Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pria dan wanita dalam agama Islam dianjurkan untuk menjalani kehidupan normal sebagai manusia, baik secara pribadi atau sosial. Sementara itu, dalam konteks agama Buddha, dimana tingkat kesalehan spiritual dari seseorang dianggap berhasil jika ia dapat menghindari dan meninggalkan kehidupan duniawi. Karena kehidupan duniawi adalah sumber penderitaan dan tidak kekal, sehingga untuk mempermudah mencapai proses Nibbana, mereka dianjurkan untuk menjadi bikhu atau bikhuni.

Kedua prinsip tersebut memang berlawanan, tetapi bila kita lihat dari perspektif yang berbeda, seperti dalam kasus bias gender dalam konteks otoritas dan eksistensi wanita dalam hal praktek beribadah. Hal ini tidaklah sulit untuk menemukan kesamaan dari pendiskreditan, diskriminasi antara wanita dan pria, bahkan dalam praktek keagamaan sekalipun. Kita bisa melihat bagaimana wanita masih dianggap sebagai makhluk yang lemah, yang harus dilindungi dan dikendalikan, bahkan diawasi eksistensinya karena wanita dianggap sebagai makhluk sekunder dan dapat mengganggu atau mengancam kaum pria.

(9)

konsentrasi dan kekhusyukan pria dalam proses ibadahnya, urutan posisi pria dan wanita dalam sholat membuktikan hal itu, dimana wanita tidak bisa menjadi imam bagi laki-laki merdeka, meskipun diijinkan untuk laki-laki tua dan budak. (Namun, perlu diingat bahwa saat ini tidak ada lagi perbudakan dan orang-orang yang pergi kemasjidpun beragam umur dan usianya).

pelarangan bagi wanita untuk memberikan khotbah dan mengumandangkan adzan karena pendapat yang mengatakan bahwa suara mereka bisa mengganggu pria. Selain itu larangan bagi wanita untuk menjadi imam dalam solat berlandaskan logika bahwa: ”jika wanita menjadi imam dan melakukan gerakan-gerakan sholat di depan pria, maka hanya akan mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan pria saja” (karena imam harus berdiri di depan jemaah dan membaca Al-qur'an dengan suara keras dalam tiap rakaat sholat).

Alasan tersebut sulit diterima secara logika, tetapi menurut ahli fikih untuk masalah-masalah yang menyangkut ibadah wajib (ubudiyah) termasuk sholat harus diterima seperti apa adanya menurut pedoman agama (Al-quran dan al-hadith) dan tidak perlu menggunakan logika atau memikirkannya, berbeda dengan persoalan yang

menyangkut konteks sosial seperti bidang fiqh muamalah.10

Dalam konteks agama Buddha, otoritas dan eksistensi wanita tidak berbeda dengan Islam. Wanita dengan kecantikannya mampu menjadi sumber dosa. Bahwa seorang wanita yang ingin menjadi bikhuni harus mencukur rambutnya dan tidak memakai kosmetik atau wangi-wangian, dan banyak aturan lain yang mendiskreditkan posisi dan tidak mengakui hak-hak dasar wanita yang diciptakan Tuhan dengan kelebihan dan kekurangan mereka sendiri seperti halnya kaum lelaki. Oleh karena itu, tempat tinggal bikhuni tidak boleh jauh dari sangha bikhu. Dengan asumsi bahwa agar mereka terlindungi serta gerak-geriknya sekaligus dapat diawasi.

Ini membuktikan bahwa, meskipun wanita dianggap sebagai sumber dosa dan bencana tetapi laki-laki masih menginginkan eksistensinya berdekatan dengan wanita, meskipun posisi mereka harus selalu lebih tinggi daripada wanita, seperti halnya barisan dalam sholat dimana wanita harus dibelakang barisan pria. Ini merupakan simbol yang kuat dari konsep pria tentang wanita sebagai makhluk yang harus menurut dan dapat dikendalikan oleh pria.

(10)

Delapan aturan yang ditetapkan oleh Buddha bagi wanita yang ingin menjadi bikhuni mengindikasikan pria mengendalikan wanita, dan wanita harus mengakuinya dan membiarkan dirinya dikendalikan, dinasehati dan diberi peringatan oleh pria ketika mereka membuat kesalahan. Sementara bikhuni tidak boleh memberikan peringatan atau menegur seorang bikhu.

Ini sungguh merupakan kedudukan yang tak adil. Dalam agama Islam, di satu sisi, wanita selalu dikebawahkan karena alasan biologis. Di sisi lain, dalam agama Buddha wanita selalu diposisikan sebagai makhluk lemah yang menerima dikendalikan oleh pria bahkan dalam dunia ritual sekalipun. padahal Sebenarnya wilayah ritual seharusnya menjadi wilayah yang sangat privasi bagi seorang manusia karena ini lebih menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan. “Jika dalam wilayah ibadah ritual saja wanita masih disiskriminasikan dan diskreditkan, lalu jenis wilayah apakah yang benar-benar bisa bebas dari bias gender? Ini merupakan pertanyaan yang benar-benar sulit untuk dijawab.

(11)

1. Auerfalk Nancy, Unspoken Worlds Women’s Religious Lives,Third Edition,Wadsworth Thomson Learning, 2001

2. Charles Amjad A-Ali: 1330, Women Leadership in Islam, Al Mushir Vol 31(1989)/4 3. C. Raines Jhon, The Justice Manusia Own Women:Positive Resourcse from World

Religions, Fortress Press, Minneapolis,2001

4. De Beauvoir Simone, The Second Sex: Book One Facts And Myths,Vintage, New York,1989.

5. E. Gudolf Christine, Body, Sex and Pleasure: Reconstructing Christian Sexcial Ethics, The Pilgrim Press,Cleveland, Ohio,1994.

6. Horner.I.B, Seri Wanita Dan Ajaran Budha:Wanita dalam Literatur Budha awal, Terj Sui-Ling, Forum partisipasio Masyarakat Sekolah Tri ratna, Jakarta, 1995. 7. Lucinda Joy Peach, Women and World Religion, American University, Prentice

Hall, New Jersey 2002

8. Nasif Umar Fatimah, Women Indonesia Islam:A discourse In Right and Obligation,

Sterling Publishers Private Limited, First Edition, 1999.

9. Muhammad Husein, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, LKIS, Yogjakarta, 2000.

10. Muhammad bin Yazid Ibn Majah, Sunah Ibnu Majah, Beirut, Dar al Fikr

11. Peter Harvey, an Introduction to Buddhism, Teaching History and Practice,

Cambridge University Press, 1990

12. Rasyid. R.M, Sila dan Vinaya, Budhis Bodhi, Jakarta, 1997.

13. Syarifuddin An-Nawawi, Al-Majmu’syarh al-Muhadzab, Jedah, Maktabah Al-Irsyad.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan tidak bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap fenomena kelenturan fenotipik dalam sifat-sifat reproduksi (umur dewasa kelamin,

Febrian, dkk (2013), tentang perhitungan harga pokok produksi menggunakan metode Job Order Costing, ditemukan adanya perbedaan dalam menentukan sebuah biaya produksi sehingga

Barangsiapa berpuasa dan shalat malam dengan mengharap pahala (keridhaan) Allah, maka dia keluar dari dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya.. Keutamaan puasa enam

Tujuan penelitian ini dirancang untuk: (1) mengembangkan Game edukasi Katelu pada perangkat berbasis android yang memuat materi klasifikasi komputer, (2) mengetahui

Telah dikemukakan bahwa teori atribusi untuk mengembangkan penjelasan dari cara-cara kita menilai orang secara berlainan, bergantung pada makna apa yang kita hubungkan kesuatu

Mereka yang kebutuhannya terpenuhi oleh toko kain setempat dan yang mungkin tidak bersedia atau tidak bisa melakukan perjalanan melintasi negara bagian

Rata-rata nilai hasil belajar matematika siswa pada materi aturan sinus dan aturan cosinus siswa kelas X R 5 SMA Negeri 1 Palu meningkat dari siklus I ke siklus II, dengan

Subbagian Akademik Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Kendari, 2015.. dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik