• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENYOAL BAHASA PIDATO RESMI PEJABAT NEGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENYOAL BAHASA PIDATO RESMI PEJABAT NEGA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MENYOAL BAHASA PIDATO RESMI PEJABAT NEGARA:

Analisis Berspektif Hukum

Oleh: Pan Mohamad Faiz1

“Quot linguas quis callet, tot homines valet”. Demikian pepatah latin mengatakan

untuk menunjukkan bahwa semakin fasih seseorang berbicara dalam berbagai

bahasa maka dengan sendirinya pergaulannya akan lebih luas. Di era

modernisasi dengan tren globalisasi yang kini hampir tak memiliki ruang dan

batas antarnegara (borderless), bahasa dipercaya menjadi elemen perekat dan

medium komunikasi yang paling efektif antara satu bangsa dengan bangsa

lainnya.

Indonesia yang kembali menggeliat maju dari rahim reformasi senantiasa

berupaya untuk bersaing dengan negara-negara lain baik di pentas regional

maupun internasional. Untuk itulah, kemampuan bahasa dari segitiga pemangku

kepentingan yang digambarkan oleh Antonio Gramsci, yaitu negara (state), pasar

(market), dan masyarakat sipil (civil society), menjadi faktor determinan untuk

memperkuat daya saing Indonesia di berbagai bidang.

Selain bahasa Inggris yang telah mendunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah

menetapkan bahasa resmi yang digunakan dalam forum-forum internasional

dengan bahasa Prancis, China, Rusia, Spanyol, dan Arab. Lalu kemana peran

bahasa Indonesia yang penggunanya lebih dari 230 juta umat manusia di muka

bumi?

Kita tak perlu merasa risih karena tak lama lagi bahasa Indonesia setidaknya

akan disahkan menjadi bahasa resmi ASEAN. Alasan utamanya, selain

digunakan oleh ratusan juta bangsa Indonesia sendiri, bahasa Indonesia sedikit

banyak juga digunakan dan dipahami oleh sebagian masyarakat dari

negara-negara di Asia Tenggara. Terlebih lagi, beberapa negara-negara maju di luar kawasan

Asia Tenggara, misalnya Australia, juga sudah memiliki pusat bahasa pengajaran

dan kurikulum tentang bahasa Indonesia.

                                                                                                               

1 Staf dan speechwriter Ketua Mahkamah Konstitusi. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan

(2)

Perkembangan positif dari perspektif fungsionalisasi penggunaan bahasa

tersebut tentu membawa dampak yang baik bagi daya saing Indonesia. Antonio

L. Rappa dan Lionel Wee dalam bukunya Language Policy and Modernity in

Southeast Asia (2006) memaparkan bahwa ideologi tentang bahasa dapat

membawa pengaruh terhadap fomulasi kebijakan yang akan dibuat. Namun

demikian, dalam pergaulan resmi antarnegara, pada umumnya masing-masing

negara mempunyai ketentuan tertentu yang mengatur tentang penggunaan

bahasa nasionalnya di dalam berbagai kegiatan, termasuk Indonesia.

Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

(selanjutnya disebut UU 24/2009) menentukan bahwa bahasa Indonesia adalah

bahasa negara dan bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah

NKRI. Dalam UU 24/2009, penggunaan bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati

diri bangsa, kebanggan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta

sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.

Oleh karena itu, UU 24/2009 memuat berbagai ketentuan yang mewajibkan

penggunaan bahasa Indonesia, salah satunya sebagaimana dimuat dalam Pasal

28 yang menyatakan, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi

Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di

dalam atau di luar negeri”. Sementara itu, Pasal 32 UU 24/2009 menyatakan, “(1)

Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau

forum yang bersifat internasional di Indonesia; (2) Bahasa Indonesia dapat

digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri”.

Ketentuan inilah yang kemudian memicu polemik di tengah masyarakat

akhir-akhir ini, tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seringkali menggunakan

bahasa Inggris dalam pidato resminya pada forum-forum internasional, termasuk

forum yang diselenggarakan di dalam negeri. Syahdan, beberapa pakar hukum

tata negara dan hukum internasional, di antaranya Prof. Mahfud MD. dan Prof.

Hikmahanto Juwana, mengkritik kebiasaan Kepala Negara yang menggunakan

bahasa Inggris ketika menyampaikan pidato resminya. Pasalnya, Presiden SBY

telah menandatangani sendiri Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang

Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil

(3)

Sementara itu, sebagian masyarakat luas tidak terlalu mempermasalahkan

perihal bahasa Inggris yang digunakan oleh Presiden SBY, bahkan Menteri

Hukum dan HAM dan Pimpinan DPR memberikan pembelaannya. Menurut

mereka, penggunaan bahasa Inggris tersebut harus dipermaklumkan agar

komunikasi dengan audiens dapat lebih mudah ditangkap.

Tak dapat dipungkiri, penguasaan terhadap bahasa Inggris memang

memberikan banyak kelebihan dan manfaat, sebab hampir semua aktivitas dan

komunikasi kini bersinggungan dengan bahasa Inggris. Hal ini setidaknya

didasari dari kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Crystal (1997) yang

menyatakan:

1. Sekitar 85% organisasi internasional di dunia menggunakan bahasa Inggris

sebagai bahasa resmi dan sepertiganya telah menetapkan bahasa Inggris

sebagai satu-satunya bahasa resmi yang digunakan oleh organisasi tersebut;

2. Sepertiga koran dicetak di negara yang memberikan status khusus terhadap

bahasa Inggris dan lebih dari setengah penerima radio dunia berada di

negara-negara tersebut;

3. Bahasa Inggris telah digunakan sebagai bahasa internasional dalam air traffic

control;

4. Sedikitnya tiga perempat jurnal akademik internasional dipublikasikan dalam

bahasa Inggris;

Namun demikian, hal yang perlu diperhatikan adalah kewajiban hukum dalam

penggunaan bahasa Indonesia bukan saja untuk Presiden dan Wakil Presiden,

namun juga bagi para pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Untuk itulah, tulisan ini lebih memberikan

analisa dari prespektif hukum, khususnya kajian terhadap peraturan

perundang-undangan terkait dengan:

(1) Siapakah yang dimaksud dengan pejabat negara lainnya dalam UU 24/2009

dan Perpres 16/2010?

(2) Sejauhmana Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya diwajibkan

untuk menggunakan bahasa Indonesia?

(3) Adakah pengecualian untuk menggunakan bahasa asing oleh Presiden, Wakil

(4)

Di akhir tulisan ini akan disampaikan kesimpulan dan saran yang dapat ditempuh

untuk lebih mengefektifkan implementasi dari ketentuan-ketentuan yang terkait

dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana diatur di dalam UU

24/2009 dan Perpres 16/2010.

2. Siapa Termasuk Pejabat Negara?

Kejelasan mengenai siapa yang dimaksud dengan pejabat negara menjadi

sangat penting karena UU 24/2009 dan Perpres 16/2010 secara tegas

menyebutkan bahwa selain Presiden dan Wakil Presiden, pejabat negara juga

wajib menggunakan bahasa Indonesia ketika menyampaikan pidato resminya.

Namun demikian, baik UU 24/2009 maupun Perpres 16/2010, sama sekali tidak

memberikan definisi yang jelas tentang pejabat negara. Di dalam UU tersebut

beberapa kali hanya menuliskan kata ”Pejabat Negara” berdampingan dengan

kata ”pimpinan lembaga negara” seperti MPR, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK,

serta kata ”menteri atau pejabat setingkat menteri”, serta ”kepala daerah dan

pimpinan dewan perwakilan”.

Begitu pula dengan Perpres 16/2010 yang menjadi turunan dari amanat Pasal

40 juncto Pasal 28 UU 24/2009, siapa yang dimaksud dengan pejabat negara

tidak ditentukan secara tegas. Oleh karenanya, untuk menemukan definisi dan

lingkup pejabat negara maka perlu merujuk peraturan perundang-undangan

lainnya. Salah satu undang-undang yang cukup banyak memuat ketentuan

tentang pejabat negara terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010

tentang Keprotokolan (selanjutnya disebut UU 9/2010).

Di dalam Pasal 1 UU 9/2010, Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota

lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan Pejabat Negara

yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Ketentuan ini pun belum

merinci siapa-siapa saja yang dimaksud dengan pejabat negara. Dengan

merujuk pada Pasal 9 UU 9/2010 berkenaan dengan Tata Tempat dalam Acara

Kenegaraan dan Acara Resmi, setidak-tidaknya yang dapat dikatakan sebagai

Pejabat Negara, yaitu:

1. Presiden;

2. Wakil Presiden;

3. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat

(5)

4. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

5. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

6. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);

7. Ketua dan Wakil Ketua serta Hakim Mahkamah Agung (MA);

8. Ketua dan Wakil Ketua serta Hakim Mahkamah Konstitusi (MK);

9. Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Komisi Yudisial (KY);

10. Menteri dan pejabat setingkat menteri beserta wakilnya;

11. Pemimpin lembaga negara yang ditetapkan sebagai pejabat negara dan

wakilnya;

12. Pemimpin lembaga pemerintah non kementerian dan wakilnya;

13. Gubernur, Bupati, dan Walikota; dan

14. Ketua DPRD provinsi/kabupaten/kota.

Undang-undang lain yang secara tidak langsung juga memuat tentang lingkup

pejabat negara yaitu Undang-Undang Nomor 78 Tahun 2000 tentang Penetapan

Pensiun Pokok Mantan Pejabat Negara dan Janda/Dudanya (selanjutnya disebut

UU 78/2000). Dengan penyebutan sebagai mantan pejabat negara, maka

jabatan-jabatan di bahwa ini dapat dikelompokkan sebagai pejabat negara. Di

dalam Pasal 1 UU 78/2000, mereka yang disebut sebagai Mantan Pejabat

Negara adalah:

1. Mantan Menteri Negara;

2. Mantan Ketua, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, termasuk mantan

Ketua dan Wakil Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat

dan Dewan Pengawas Keuangan;

3. Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung,

Badan Pemeriksa Keuangan, termasuk mantan Anggota Badan Pekerja

Komite Nasional Indonesia Pusat dan Dewan Pengawas Keuangan;

4. Mantan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan mantan Hakim Anggota

Mahkamah Agung;

5. Mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

6. Mantan Kepala Daerah Propinsi, mantan Wakil Kepala Daerah Propinsi,

mantan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan mantan Wakil Kepala Daerah

Kabupaten/Kota.

7. Mantan Jaksa Agung, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan

(6)

atau di setarakan dengan Menteri Negara adalah Jaksa Agung, Panglima

Tentara Nasional Indonesia, dan Pejabat lain yang kedudukannya atau

pengangkatannya setingkat atau di setarakan dengan Menteri Negara yang

diberhentikan dengan hormat dari jabatannya yang hak

keuangan/administratifnya disamakan dengan Menteri Negara serta

Janda/Dudanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Kemudian pengaturan mengenai pejabat negara juga terdapat di dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2001 tentang Penghentian Pemberian

Tunjangan Perbaikan Penghasilan bagi Pegawai Negeri, Hakim, dan Pejabat

Negara (selanjutnya disebut PP 37/2001). Di dalam Peraturan tersebut, selain

Pegawai Negeri dan Hakim, yang dimaksud dengan Pejabat Negara, yaitu:

1. Presiden dan Wakil Presiden;

2. Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi

Negara;

3. Menteri Negara, Jaksa Agung, dan Pejabat lain yang kedudukan atau

pengangkatannya setingkat atau disetarakan dengan Menteri Negara;

4. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Selanjutnya, Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 tentang

Kampanye Pemilihan Umum oleh Pejabat Negara (selanjutnya disebut UU

9/2004) merinci siapa saja yang dimaksud dengan Pejabat Negara, yaitu

Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil

Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Namun demikian, baik UU 78/2000 dan PP

27/2001 memiliki kelemahan karena ketentuan tersebut dibuat sebelum MPR

menyelesaikan tahapan ke-4 amandemen UUD 1945 di tahun 2002, sehingga

banyak lembaga negara baru yang tidak disebutkan ataupun telah dibubarkan

dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Sedangkan, UU 9/2004

hanya menyebutkan pejabat negara dalam lingkungan kekuasaan eksekutif yang

terbatas.

Terlepas dari hal tersebut, berdasarkan uraian di atas mengenai siapa yang

dimaksud dengan pejabat negara maka dapat disimpulkan bahwa pejabat

(7)

tetapi juga pada jabatan-jabatan lain yang dari sudut kuantitasnya tidaklah

sedikit.

Dengan demikian, kewajiban untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam

pidato resmi bukan saja berada di tangan Presidan dan Wakil Presiden, tetapi

juga para pejabat negara lainnya. Di sinilah banyak pihak salah mengartikan dan

menafsirkan ketentuan ini. Tidak jarang para pimpinan lembaga negara dan

menteri menghadiri acara-acara forum resmi yang memberikan waktu untuk

penyampaian pidato resminya. Terkadang mereka konsisten dalam

menggunakan bahasa Indonesia, namun konon tak sedikit pula yang

menggunakan bahasa Inggris dengan alasan adanya peserta forum yang berasal

dari berbagai negara asing.

Sejauh mana dan dalam lingkup kegiatan apa saja kewajiban penggunaan

bahasa Indonesia harus dilakukan, penulis akan menguraikannya secara lengkap

di bawah ini, termasuk mengenai kondisi-kondisi di mana penggunaan bahasa

asing menjadi pengecualian.

3. Kewajiban dan Pengecualian

Apeldoorn (1954) menyatakan bahwa susunan kata-kata yang membentuk

kaidah hukum tidak sekedar memberikan pernyataan dan penilaian, tetapi juga

memiliki sifat yang imperatif yang mengandung sifat perintah atau larangan dan

hal-hal yang harus dilakukan atau tidak dilakukan serta kata-kata yang sifatnya

berupa paksaan.

Begitu pula dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu

Kebangsaan yang disahkan pada tanggal 9 Juli 2009 (UU 24/2009) memuat sifat

imperatif yang memerintahkan atau mewajibkan subyek hukum tertentu untuk

menggunakan bahasa Indonesia ketika menyampaikan pidato resminya.

Pasal 28 UU 24/2009 secara tegas mewajibkan Presiden, Wakil Presiden, dan

pejabat negara lainnya untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato

resminya yang disampaikan baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam

ketentuan penjelasannya, “pidato resmi” yang dimaksud adalah pidato yang

(8)

forum resmi internasional di luar negeri yang telah menetapkan penggunaan

bahasa tertentu.

Selanjutnya, pada Pasal 32 UU 24/2009 disebutkan bahwa bahasa Indonesia

wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat

internasional di Indonesia. Sementara itu, bahasa Indonesia dapat digunakan

oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya dalam forum yang

bersifat internasional di luar negeri. Lingkup dari forum yang bersifat nasional

adalah berskala antardaerah dan berdampak nasional, sedangkan forum yang

bersifat internasional memiliki pengertian berskala antarbangsa dan berdampak

internasional.

Kewajiban dari penggunaan bahasa Indonesia dipertegas kembali dalam

Peraturan Presiden sebagai turunan dari Pasal 40 UU 24/2009 yang memberikan

amanat untuk mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai penggunaan bahasa

Indonesia dalam pidato resmi. Adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010

tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau

Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya (Perpres 16/2010) yang memuat

ketentuan lebih lanjut dari penggunaan bahasa Indonesia yang diatur dalam UU

24/2009. Perpres 16/2010 ini ditetapkan dan ditandatangani langsung oleh

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 1 Maret 2010. Perpres a

quo memuat ketentuan dengan membagi menjadi dua besaran, yaitu ketentuan

mengenai pidato resmi yang di sampaikan di luar negeri dan pidato resmi yang

disampaikan di dalam negeri.

a. Pidato Resmi di Luar Negeri

Pasal 1 Perpres 16/2010 menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden serta pejabat negara lainnya menyampaikan pidato resmi dalam

bahasa Indonesia di luar negeri. Dalam pasal-pasal selanjutnya dijelaskan

bahwa pidato resmi yang disampaikan di dalam forum resmi tersebut

diselenggarakan oleh PBB, organisasi internasional, dan negara penerima

sesuai dengan tata cara protokol yang telah ditetapkan. Dalam

penyampaian pidato resminya tersebut, mereka dapat disertai dengan atau

(9)

Sesuai dengan Pasal 4 Perpres 16/2010, Presiden dan/atau Wakil Presiden

serta pejabat negara lainnya dapat menyampaikan pidato secara lisan dalam

bahasa tertentu. Namun demikian, penggunaan bahasa tertentu tersebut

hanya untuk memperjelas dan mempertegas makna yang ingin disampaikan

dan diikuti dengan transkrip pidato dalam bahasa Indonesia. Oleh

karenanya, pidato resmi yang sepenuhnya atau sebagian besar isinya

menggunakan bahasa asing dan bukan bermaksud untuk memperjelas

isinya tetapi justru menjadi substansinya itu sendiri, tidaklah diperbolehkan.

Sementara itu, pidato Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat

negara lainnya yang disampaikan dalam forum ilmiah, sosial, budaya,

ekonomi, dan forum sejenis lainnya yang penyelenggaranya adalah lembaga

akademi, ilmu pengetahuan dan teknologi, lembaga swadaya masyarakat,

dan kelompok atau perorangan yang termasuk dalam kategori masyarakat

sipil (civil society) tidak dapat dikategorikan sebagai pidato resmi, sehingga

penggunaan bahasa Indonesia menjadi tidak wajib.

Pengecualian dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi juga

dapat terjadi manakala forum resmi internasional di luar negeri telah

menetapkan penggunaan bahasa tertentu yang meliputi bahasa resmi PBB

yang terdiri atas bahasa Inggris, Prancis, China, Rusia, Spanyol, dan Arab,

serta bahasa lain sesuai dengan hukum dan kebiasaan internasional. Di luar

pengecualian-pengecualian tersebut maka Presiden dan/atau Wakil

Presiden serta pejabat negara lainnya diwajibkan menggunakan bahasa

Indonesia dalam pidato resminya.

b. Pidato Resmi di Dalam Negeri

Pada forum internasional yang diselenggarakan di dalam negeri, sesuai

dengan Pasal 8 Perpres 16/2010, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta

pejabat negara lainnya harus menyampaikan pidato resmi dalam bahasa

Indonesia. Forum resmi tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia

atau Pemerintah Indonesia yang bekerjasama dengan pemerintah negara

lain/PBB/organisasi internasional lainnya.

Selanjutnya ditentukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden serta

(10)

bahasa Indonesia pada saat menerima pejabat, seperti Kepala

Negara/Kepala Pemerintahan, Wakil Kepala Negara/Wakil Kepala

Pemerintahan, Sekretaris Jenderal PBB/pimpinan tertinggi organisasi

Internasional, yang melakukan kunjungan resmi ke Indonesia. Penyampaian

pidato resmi ini dapat juga disertai dengan atau didampingi oleh

penerjemah.

Pidato yang disampaikan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden serta

pejabat negara lainnya selain dalam kondisi di atas tidak dapat

dikategorikan sebagai pidato resmi, misalnya dalam hal kegiatan

pendampingan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, Wakil Kepala

Negara/Wakil Kepala Pemerintahan, Sekretaris Jenderal PBB/pimpinan

tertinggi organisasi internasional pada forum ilmiah, sosial, budaya,

ekonomi, dan forum lain sejenis yang penyelenggaranya adalah lembaga

akademi, ilmu pengetahuan dan teknologi, lembaga swadaya masyarakat,

dan kelompok atau perorangan yang termasuk dalam kategori masyarakat

sipil. Ketentuan ini hampir sama dengan pengecualian terhadap pidato resmi

Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara ketika berada di luar

negeri.

Untuk forum nasional yang diselenggarakan di dalam negeri, Presiden

dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya juga harus

menyampaikan pidato resmi dalam bahasa Indonesia, misalnya dalam

upacara kenegaraan, upacara perayaan 17 Agustus dan hari-hari besar

nasional, upacara resmi dalam sidang lembaga-lembaga negara, rapat-rapat

pemerintah atau lembaga negara, dan forum nasional lainnya yang

menunjang tujuan penggunaan bahasa Indonesia.

Sama halnya dengan pidato resmi di luar negeri, Presiden dan/atau Wakil

Presiden serta pejabat negara lainnya dapat menggunakan bahasa asing,

baik dalam forum nasional maupun internasional di dalam negeri, sepanjang

untuk memperjelas tentang makna pidato tersebut.

4. Kesimpulan dan Saran

Sutan Takdir Alisjahbana (1974) menyatakan bahwa bahasa dan hukum

(11)

sebagian dari penjelmaan suatu kebudayaan pada suatu tempat dan waktu.

Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum dalam hal penggunaan bahasa

Indonesia bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya

merupakan salah satu wujud dari tingginya nilai kebudaayaan di Indonesia.

Sebaliknya, menyimpangi ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan

akan menjadi bukti dari rendahnya nilai kebudayaan kita.

Dengan semakin jelasnya ketentuan-ketentuan yang mewajibkan penggunaan

bahasa Indonesia dalam pidato resmi dan limitasi pengecualiannya

sebagaimana diuraikan di atas maka sulit bagi penulis untuk menerima

argumentasi dari berbagai pihak yang bergerak di bidang hukum yang

menyatakan bahwa menggunakan bahasa asing dalam pidato resmi adalah hal

yang harus dimaklumi.

Penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya memang tidak dilarang,

tetapi dalam hal-hal tertentu yang lingkupnya sangat khusus, para pejabat

negara telah diwajibkan oleh hukum dan peraturan perundang-undangan untuk

menggunakan bahasa Indonesia.

Tentu penulis memahami apabila yang menjadi alasan penolakan tersebut

berangkat dari perspektif komunikasi, di mana penggunaan bahasa Indonesia

akan menjadi terdengar asing di telinga warga negara lain yang tak

memahaminya. Pun dari sudut kepemimpinan, penguasaan bahasa asing tentu

akan terlihat dan terdengar lebih berbobot ketika disampaikan di hadapan

orang-orang yang memiliki latar belakang multibahasa. Penulis pun menyetujui

apabila ada komentar yang menyatakan bahwa banyak hal yang lebih penting

untuk diurus seperti pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan,

ketimbang urusan penggunaan bahasa semata.

Namun demikian, terlepas dari alasan-alasan di atas, ketika kita telah

bersepakat di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menetapkan negara

Indonesia sebagai negara hukum, kemudian Presiden dan/atau Wakil Presiden

serta pejabat negara lainnya menyatakan sumpah untuk menjunjung tinggi

konstitusi, hukum, dan peraturan perundang-undangan yang ada, maka tidak

ada kata lain bagi mereka selain mematuhi hukum positif yang telah disahkan

(12)

Berbeda dengan pelanggaran hukum terhadap penggunaan bendera, lambang

negara, dan lagu kebangsaan, penyimpangan terhadap penggunaan bahasa

Indonesia tidak memiliki sanksi pidana ataupun denda. Oleh karenanya, tidak

dipatuhinya kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi tidak

memiliki konsekuensi pidana ataupun denda, tetapi hanya sanksi moral dan

sosial. Itupun kalau sebagian masyarakat menilai bahwa penyimpangan

terhadap ketentuan dimaksud adalah suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan

dan tidak pula diberikan alasan pemaaf.

Seandainya pun pelanggaran atas ketentuan mengenai penggunaan bahasa

Indonesia dalam pidato resmi ditarik sebagai alasan untuk memakzulkan

Presiden dan/atau Presiden, sebagaimana disampaikan oleh beberapa pihak,

bagi penulis hal ini terlalu jauh dan akan sangat membuang-buang energi

bangsa. Sesuai Pasal 7A UUD 1945, pemakzulan (impeachment) hanya dapat

dilakukan apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak

pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karenanya,

selain tidak memenuhi syarat konstitusional, juga terlalu besar political cost yang

akan ditanggung rakyat untuk menyatakan penyimpangan praktik penggunaan

bahasa Indonesia sebagai alasan pemakzulan.

Dengan demikian, berangkat dari kelebihan dan kelemahan ketentuan yang

mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi bagi Presiden

dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya, penulis memberikan 2

(dua) saran sebagai bentuk alternatif pilihan untuk merespons ketentuan

tersebut, yakni:

Pertama, ketentuan mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam

pidato resmi harus konsisten untuk dipatuhi dan dijalankan. Adanya kontroversi

publik seperti yang terjadi sekarang ini tentu telah diperkirakan dan

dipertimbangkan sebelumnya pada saat proses pembahasan pembentukan UU

24/2009 dan Perpres 16/2010. Tanpa adanya sanksi yang memaksa maka

pelaksaan atas ketentuan tersebut kembali kepada kesadaran hukum (legal

awareness) dari Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya

(13)

Kedua, apabila beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UU 24/2009 dan

Perpres 16/2010 dirasa menghambat dan justru menjadi kontra produktif maka

sebaiknya dilakukan revisi terbatas sesegera mungkin. Hal ini tentu lebih baik,

daripada secara terus-menerus kita menyaksikan terjadinya pelanggaran

terhadap ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana

terdapat di dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010 yang sebenarnya juga tidak

memiliki sanksi hukum. Akan tetapi yang perlu diingat, sepanjang belum ada

perubahan atau selama proses menuju perubahan, maka ketentuan yang ada

harus tetap dijalankan dengan konsekuen oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden serta pejabat negara lainnya.

5. Penutup

Berdasarkan uraian di atas maka hendaknya kita semua dapat lebih memberikan

perhatian terhadap kepatuhan atas ketentuan hukum dan peraturan

perundang-undangan, terlepas dari adanya kelemahan yang mungkin ditimbulkan apabila

dipandang dari aspek di luar hukum. Para pejabat negara juga harus semakin

menunjukan kesadarannya dalam penggunaan bahasa Indonesia ketika

menyampaikan pidato resminya, karena kewajiban demikian tidak saja menjadi

milik Presiden dan Wakil Presiden.

Namun demikian, adanya kewajiban penggunaan bahasa Indonesia

sebagaimana diatur di dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010, janganlah

diartikan bahwa menguasai bahasa asing menjadi hal yang remeh atau tidak

penting. Banyak forum dan kegiatan, khususnya yang berskala internasional,

yang mengharuskan para pejabat negara untuk menguasai bahasa asing demi

tercapai tujuan dari kehadirannya. Lebih salah lagi apabila UU 24/2009 dan

Perpres 16/2010 dijadikan alasan bagi para pejabat negara untuk mengelak

dalam mempelajari bahasa asing.

Lagipula, penyampaian pidato resmi adalah kegiatan yang tidak setiap hari

harus dilakukan, sementara kegiatan yang melibatkan orang asing atau literatur

dan berita yang dibaca atau didengar sehari-hari tentu memerlukan kemahiran

penguasaan bahasa asing agar para pejabat negara mampu memahaminya.

Oleh karena itu, menggunakan atau tidak menggunakan bahasa Indonesia

haruslah disesuaikan dengan konteks tempat dan waktunya, khususnya dengan

merujuk pada ketentuan peraturan perundangan-undangan yang secara khusus

(14)

Bukankah para founding parents Indonesia, seperti misalnya Soekarno, Hatta,

dan Sjahrir, dapat dikenal oleh dunia internasional karena kepiawaiannya dalam

menguasai berbagai bahasa asing? Maka tak salah kiranya jika penulis menutup

tulisan ini dengan mengutip pernyataan penyair terkenal asal Jerman bernama

Johann Wolfang von Goethe yang mengatakan, “Those who know nothing of

foreign languages know nothing of their own”.

(15)

REFERENSI:

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 78 Tahun 2000 tentang Penetapan Pensiun Pokok

Mantan Pejabat Negara dan Janda/Dudanya.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan

Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 tentang Kampanye Pemilihan

Umum.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2001 tentang Penghentian Pemberian

Tunjangan Perbaikan Penghasilan bagi Pegawai Negeri, Hakim, dan

Pejabat Negara.

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa

Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta

Pejabat Negara lainnya.

Ehrenberg, John, Civil Society, NYU Press Reference, New York, 2009.

Hadikusuma, H. Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2010.

Rappa, Antonio L. Dan Lionel Wee, Language Policy and Modernity in Southeast

Asia: Malaysia, the Philippines, Singapore, and Thailand, Springer,

Singapore, 2006.

Marwoto, B.J. dan H. Witdarmono, Proverbia Latina: Pepatah-Pepatah Bahasa

Latin,Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004.

Talbot, Mary, Karen Atkinson dan David Atkinson, Language and Power in the

Referensi

Dokumen terkait

Pada bagian ini diuraikan teori yang berupa konsep-kon- sep yang digunakan sebagai pijakan pemikiran untuk menyele- saikan persoalan penelitian ten tang pemakaian bahasa Indone- sia

merupakan hal yang umum di Indonesia, karena masyarakat Indonesia minimal memiliki dua bahasa yaitu bahasa Nasional (bahasa Indonesia) dan bahasa daerah (Bahasa Jawa,

Bahasa Indonesia juga dikatakan sebagai identitas bangsa karena dengan beragamnya bahasa daerah yang digunakan, tetapi masyarakat Indonesia tetap menggunakan bahasa Nasional

Bahasa daerah adalah bahasa yang disamping bahasa nasional yang dipakai sebagai bahasa perhubungan intradaerah di dalam Wilayah Republik Indonesia, bahasa-bahasa

Analisis posisi bahasa Indonesia dalam Kebijakan Bahasa di Perguruan Tinggi terkait dengan dua hal, yaitu bahasa Indonesia 1) sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi dan

Jaminan kesehatan nasional (JKN) adalah sistem yang digunakan di Indonesia untuk menyelenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat

Dengan demikian dari 21 siswa di kelas non internasional yang memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sebanyak 20 siswa (95%), sedangkan yang

Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai 1 lambing kebanggaan kebangsaan, 2 lambang identitas nasional, 3 alat perhubungan antarwarga,