• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN NOVICK TERHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN NOVICK TERHA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN NOVICK TERHADAP

AKTIVITAS BELAJAR IPA SISWA KELAS V

DI GUGUS I KECAMATAN BULELENG

Gusti Ayu Kadek Rara Andriani1, Ni Nengah Madri Antari2, Ni Wayan Rati3 1

Jurusan PGSD,2BK, 3PGSD, FIP Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail: rara.andriani@rocketmail.com1, flower_bali@yahoo.com2, niwayanrati@yahoo.com3

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh aktivitas belajar IPA siswa antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran Novick dan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran Konvensional. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu dengan rancangan nonequivalent posttest only control group design. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas V di Gugus 1 Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2013/2014 yang terdiri dari 8 sekolah dengan jumlah populasi 280 siswa. Sebanyak 60 siswa dipilih sebagai sampel yang ditentukan dengan teknik random sampling. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah aktivitas belajar IPA siswa, yang dikumpulkan menggunakan metode observasi dengan instrumen pengumpulan datanya menggunakan lembar observasi aktivitas belajar IPA. Lembar observasi aktivitas belajar IPA yang digunakan terdiri dari 10 butir pernyataan. Data dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan uji-t. Berdasarkan hasil perhitungan uji-t tersebut, diperoleh thitung adalah 7,487. Sedangkan ttabel pada taraf signifikansi 5% dan db = (30 + 30 -2) = 58 adalah 2,000. Hal ini berarti, thitung lebih besar dari ttabel, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi, terdapat perbedaan signifikan pada aktivitas belajar IPA antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran Novick dan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional.

Kata-kata kunci: model pembelajaran Novick, aktivitas belajar IPA

Abstract

This study aims to analyze the difference of science learning activity of students who learn by using Novick Learning Model with the students who learn by using Conventional Learning Model. This study is a semi-experimental research with nonequivalent posttest only control group design. The population of the study is the entire fifth grade students in Gugus 1 Buleleng Regency in the academic year 2013/2014 that consist of 8 schools with the whole number of students are 280 students. 60 students are selected as sample of the study by using group random sampling. The data that are analyzed in this study is the science learning activity which is obtained through observation sheet of science learning activity. The observation sheet of science learning activity that is administered consists of 10 items of statement. The data obtained are analyzed by using Descriptive Statistics and t-test. Based on the t-test calculation, the research result showed that tcount value was 7,487 and ttable was 2,000, on significance standard 5% and db=59. That meant that tcount is bigger than that of ttable. The result of the study shows that there is a significant difference between the group of students who learn by using Novick Learning Model with the group of students who learn by using Conventional Model.

(2)

PENDAHULUAN

Mengajar merupakan kegiatan yang kompleks, yaitu penggunaan secara integratif sejumlah keterampilan untuk menyampaikan pesan kepada anak didik. Keterampilan mengajar bukanlah hereditas melainkan hasil dari pengalaman. Walaupun demikian, mengajar dapat menggunakan informasi-informasi dari orang lain yang telah mengembangkan belajar dari pengalaman mereka sendiri. Hal ini menambah informasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan keefektifan guru dalam menjalankan tugas di sekolah. Guru dapat memperbaiki hasil belajar dengan menggunakan model, pendekatan dan metode mengajar yang tepat. Sesungguhnya tugas utama guru bukan semata-mata mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan kurikulum, tetapi meningkatkan kemampuan belajar siswa. Guru bukannya harus mengajar sebanyak mungkin, tetapi menciptakan kondisi sehingga siswa bisa belajar dan belajar bagaimana belajar. Guru yang baik adalah guru yang mampu meningkatkan pemberdayaan siswa sehingga siswa mampu belajar dengan efektif. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan aktivitas belajar siswa.

Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang terjadi di dalam kelas. Karena itu perlu dicari model mengajar yang dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam mata pelajaran IPA. Upaya ini penting karena dengan melalui cara pembelajaran yang baik siswa dapat meningkatkan pemahamannya terhadap konsep-konsep IPA. Aktivitas ini merupakan hal yang menunjang dalam usaha peningkatan hasil belajar. Siswa yang belajar dengan menulis, mengerjakan soal-soal, dan membuat rangkuman hasilnya akan lebih baik dari pada siswa yang belajarnya hanya membaca saja. Aktivitas belajar IPA siswa dapat dilakukan selama siswa di dalam kelas maupun saat di rumah. Aktivitas belajar IPA siswa di dalam kelas yang menunjang proses belajar mengajar di sekolah misalnya mencatat, mendengarkan

penjelasan guru, bertanya pada guru, pergi ke perpustakaan dan sebagainya.

Sekolah merupakan pusat belajar yang berfungsi sebagai tempat untuk mengembangkan aktivitas. Aktivitas belajar IPA siswa dalam proses pembelajaran sangat menentukan hasil belajar siswa, terutama aktivitas belajar IPA siswa selama mengikuti proses belajar mengajar. Siswa dituntut aktif dalam proses pembelajaran karena pada prinsipnya belajar melakukan sesuatu untuk mengubah tingkah laku sebagai aktivitas dalam proses pembelajaran. Aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental. Dalam kegiatan belajar, kedua aktivitas itu harus selalu terkait. Kaitan antara keduanya akan membuahkan aktivitas belajar yang optimal. Sehubungan dengan hal tersebut, Piaget menjelaskan Siswa berpikir sepanjang ia berbuat, tanpa perbuatan berarti siswa itu tidak berpikir. Oleh karena itu, agar siswa berpikir sendiri maka harus diberikan kesempatan untuk berbuat sendiri. Berpikir pada taraf verbal baru akan timbul setelah siswa itu berpikir pada taraf perbuatan.

Dari berbagai pengalaman dan pengamatan terhadap perilaku siswa dalam pembelajaran, aktivitas belajar IPA dapat dikembangkan dengan memberi kepercayaan, komunikasi yang bebas, pengarahan diri, dan pengawasan yang tidak terlalu ketat. Jika aktivitas belajar IPA sudah berkembang, maka akan berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran. Dalam hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh juga terhadap hasil belajar siswa. Semakin banyak aktivitas belajar, maka akan semakin tinggi pula prestasi belajar siswa.

(3)

sekolah dasar dalam proses pembelajaran. Keprihatinan akan rendahnya mutu pendidikan di tingkat sekolah dasar bukan saja dikeluhkan oleh para orang tua murid, tapi juga oleh guru mata pelajaran IPA sekolah dasar yang setiap hari bergelut dengan siswa. Upaya semaksimal mungkin untuk mengajar dengan baik sudah dilakukan, akan tetapi hasilnya tetap minim.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pembelajaran IPA dapat menjadi wahana bagi siswa mengembangkan dan menumbuhkan motivasi, inovasi, serta kreativitas sehingga siswa mampu menghadapi masa depan yang penuh tantangan melalui penguasaan sains secara umum.

Sebagai sebuah proses, sains merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terstruktur dan sistematis yang dilakukan untuk menemukan konsep, prinsip, dan hukum tentang gejala alam. Hakekat sains itu memberikan pengertian bahwa sains tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan mengenal alam. Tetapi, mencakup pengertian proses penyelidikan dan perolehan ilmu tersebut.

Sains sebagai produk dan sains sebagai proses bukanlah merupakan dua dimensi yang terpisah. Namun, merupakan dua dimensi yang terjalin erat sebagai satu kesatuan. Proses sains akan menghasilkan pengetahuan (produk sains) yang baru dan pengetahuan sebagai produk sains akan memunculkan pertanyaan baru untuk diteliti melalui proses sains, sehingga dihasilkan pengetahuan (produk sains) yang lebih baru lagi. Demikianlah sains itu berkembang dari waktu ke waktu tidak ada hentinya.

Terkait dengan proses dan produk sains, pembelajaran sains harus menghantarkan siswa menguasai konsep-konsep sains dan keterkaitannya untuk dapat memecahkan masalah terkait dalam kehidupan sehari-hari. Siswa tidak hanya sekedar tahu (knowing) dan hafal (memorizing) tentang konsep-konsep sains,

melainkan harus menjadikan siswa mengerti dan paham (to understand) konsep-konsep tersebut dan menghubungkan keterkaitan suatu konsep dengan konsep lain. Namun, kenyataan yang ditemui di lapangan sebagian besar siswa tidak mampu mengaplikasikan konsep-konsep sains dalam kehidupan nyata. Untuk itu, guru harus membangun konsep yang dapat memberitahu siswa untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman mereka dengan pelajaran yang diterima di sekolah. Siswa harus

belajar memperoleh dan

mengorganisasikan informasi, serta dapat menerapkan ide-ide dan menguji ide-ide tersebut. Hal ini dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap alam sekitarnya serta dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengambil keputusan dan memecahkan berbagai persoalan secara efektif sehingga salah satu produk yang diharapkan adalah aktivitas belajar IPA siswa yang tinggi.

Berbagai pola lama yang diterapkan oleh guru terutama dalam melakukan kegiatan pembelajaran yang notabene masih terpusat pada guru (teacher centered) menyebabkan kurangnya kesempatan bagi siswa untuk dapat mengembangkan aktivitas belajar IPA siswa di dalam kelas. Siswa mengikuti pelajaran hanya mengikuti apa yang diinstruksikan oleh gurunya. Ketergantungan akan keberadaan guru sangatlah tinggi. Dalam situasi demikian peranan siswa dalam mengembangkan belajarnya tidak ada.

(4)

pendukung pembelajaran. Guru-guru biasanya hanya memanfaatkan buku penunjang sebagai sumber informasi. Dalam pembelajaran IPA yang bersifat teacher-centered, guru hanya menjelaskan materi dan konsep yang terdapat pada buku maupun referensi lainnya. Pembelajaran yang berpusat pada guru menyebabkan siswa kurang aktif dan terlibat lebih mendalam saat proses pembelajaran. Hal tersebut berdampak pada kecenderungan siswa untuk menghafal daripada memahami materi pelajaran. Akibatnya, aktivitas belajar IPA siswa masih rendah.

Belajar menurut konstruktivist adalah suatu perubahan konseptual, yang dapat berupa pengkonstruksian ide baru atau merekonstruksi ide yang sudah ada sebelumnya. Dalam konteks pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan salah satu pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah buatan kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan individu dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.

Hal ini terjadi karena teori konstruktivisme menyadari bahwa pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing individu. Pengetahuan juga bukan merupakan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu, keaktifan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya. Di sisi lain, kenyataannya masih banyak peserta didik yang salah menangkap apa yang diberikan oleh gurunya. Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan tidak begitu saja dipindahkan, melainkan harus dikonstruksikan sendiri oleh peserta didik. Peran guru dalam pembelajaran bukan pemindahan pengetahuan, tetapi sebagai fasilitator yang menyediakan stimulus baik berupa strategi pembelajaran, bimbingan,

dan bantuan ketika peserta didik mengalami kesulitan belajar. Selain itu, guru juga menyediakan media dan materi pembelajaran agar peserta didik merasa termotivasi dan tertarik untuk belajar sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan peserta didik mampu mengonstruksi sendiri pengetahuannya.

(5)

Salah satu model pembelajaran yang dapat dianggap memenuhi syarat dilihat dari kerangka konseptual, adalah model pembelajaran yang dikemukakan oleh Novick, 1982 (dalam Natsir, 1997). Model pembelajaran ini merupakan implementasi dari sejumlah prinsip-prinsip konstruktivisme tentang bagaimana pengetahuan diperoleh. Model pembelajaran Novick merupakan model pembelajaran yang berawal dari konsep belajar sebagai perubahan konseptual yang dikembangkan dari pendekatan konstruktivisme. Dalam memahami suatu peristiwa, siswa akan melalui proses asimilasi dan akomodasi sehingga dapat menjelaskan peristiwa tersebut secara ilmiah. Asimilasi merupakan proses pengumpulan informasi baru yang sesuai dengan pemahaman (konsepsi) awalnya. Sedangkan akomodasi merupakan proses pembangunan kembali pemahaman yang sudah ada sebagai akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan pemahaman awalnya.

Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses perubahan konseptual, namun tidak berarti bahwa pembelajaran tersebut bersifat mengumpulkan fakta-fakta baru yang lebih ilmiah dalam menjelaskan suatu peristiwa. Pembelajaran dalam perubahan konseptual terutama melibatkan penggalian konsepsi awal siswa pada peristiwa tertentu dan penggunaan cara-cara untuk membantu siswa mengubah konsep mereka yang kurang tepat sehingga mereka mendapat suatu konsep baru yang lebih ilmiah.

Mengingat pentingnya perubahan konseptual dari pengetahuan awal siswa pada proses pembelajaran berdasarkan pandangan para konstruktivist. Novick (1982: 184) mengemukakan "perubahan konseptual terjadi melalui akomodasi kognitif yang berawal dari pengetahuan awal siswa”. Untuk menciptakan proses akomodasi kognitif, Novick mengusulkan suatu model pembelajaran yang dikenal dengan model pembelajaran Novick (Novick, 1982). Model pembelajaran Novick terdiri dari tiga fase yaitu fase pertama, exposing alternative framework (mengungkap konsepsi awal siswa), fase kedua, creating conceptual conflict

(menciptakan konflik konseptual) dan fase ketiga, encouraging cognitive accommodation (mengupayakan terjadinya akomodasi kognitif).

Pada fase pertama, mengungkap konsepsi awal siswa di dalam mengajar ditujukan agar terjadi perubahan konseptual sesuai dengan gagasan konstructivist yang memungkinkan siswa membentuk konsepsi baru yang lebih ilmiah dari konsepsi awalnya. Pengetahuan awal yang dimiliki siswa bisa benar atau salah, untuk itu langkah paling penting yang harus dilakukan terlebih dahulu di dalam mengajar agar terjadi perubahan konseptual. Ini akan membuat para siswa sadar akan gagasan mereka sendiri tentang topik atau peristiwa yang sedang dipelajari. Guru dapat mengungkap konsepsi awal siswa dengan menyajikan suatu fenomena kemudian siswa diminta untuk meramalkan fenomena yang diberikan oleh guru, konsepsi awal siswa bisa sesuai atau tidak sesuai dengan konsepsi ilmiah, untuk itulah pada fase kedua, menciptakan konflik konseptual atau biasa juga disebut konflik kognitif merupakan suatu fase yang penting dalam pembelajaran, sebab dengan adanya konflik tersebut siswa merasa tertantang untuk belajar apalagi jika peristiwa yang dihadirkan tidak sesuai dengan pemahamannya. Setelah para siswa menyampaikan gagasannya pada orang lain dan telah dievaluasi melalui diskusi kelas, para siswa akan menjadi tidak puas dengan gagasan mereka sendiri karena terdapat perbedaan dengan gagasan siswa lainnya. Dengan mengenali kekurang pahaman mereka, para siswa menjadi lebih terbuka untuk mengubah konsepsinya. Guru menciptakan konflik konseptual untuk mengarahkan siswa secara perlahan menuju ke arah ilmiah. Dengan demikian, menciptakan konflik konseptual menjadikan siswa merasa tidak puas terhadap kenyataan yang dihadapinya sehingga pada fase ketiga, guru dapat mengupayakan terjadinya akomodasi kognitif.

(6)

siswa menjadi berpikir ilmiah. Selain itu, penerapan model pembelajaran ini juga menjadikan siswa aktif dalam proses pembelajaran sehingga siswa lebih termotivasi dalam belajar.

Berdasarkan penjabaran tersebut, maka dilakukanlah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan aktivitas belajar IPA siswa antara kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran Novick dan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD Gugus I Kecamatan Buleleng Tahun Ajaran 2013/2014.

METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen semu (quasi experiment). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V di Sekolah Dasar Gugus I Kecamatan Buleleng tahun ajaran 2013/2014. Jumlah keseluruhan populasi adalah 280 siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik random sampling. Secara keseluruhan jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 60 siswa.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah non equivalent post-test only control group design. Variabel penelitian ini meliputi variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas yang dimaksud yaitu model pembelajaran berupa model pembelajaran Novick (MPN) dan model pembelajaran konvensional (MPK). Sedangkan, variabel terikat dalam penelitian ini adalah aktivitas belajar IPA siswa (ABI).

Tahapan-tahapan penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, orientasi dan observasi terhadap rancangan dan pelaksanaan belajar mengajar di kelas. Kedua, Menyusun dan merancang perangkat pembelajaran, yang terdiri atas Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS) tentang pokok bahasan Cahaya serta menyusun lembar observasi aktivitas belajar IPA yang kemudian diuji agar layak dalam penelitian. Ketiga, melaksanakan pembelajaran pada masing-masing kelas. Keempat, mengadakan post-test pada pada masing-masing kelas untuk mengidentifikasi aktivitas belajar IPA yang telah dicapai oleh

siswa. Dan terakhir, menganalisis data aktivitas belajar IPA siswa.

Eksperimen ini menggunakan dua kelompok di mana perlakuan pada tiap kelompok memerlukan waktu, urutan dan porsi materi pelajaran yang sama. Perbedaannya terletak pada perlakuan dan LKS yang digunakan. Kelompok yang mendapat perlakuan MPN difasilitasi dengan LKS MPN. Sedangkan kelas yang mendapat perlakuan MPK difasilitasi dengan LKS Konvensional.

Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data aktivitas belajar IPA siswa. Data aktivitas siswa diperoleh menggunakan metode observasi. Instrumen yang digunakan dalam memperoleh data aktivitas belajar IPA adalah lembar observasi. Pengisian lembar observasi dilaksanakan selama pembelajaran berlangsung. Sebelum digunakan dalam penelitian, instrumen penelitian terlebih dulu diuji coba. Uji coba instrumen bertujuan untuk mendeskripsikan derajat estimasi tes yang ditentukan oleh validitas dan reliabilitas angket.

Dalam penelitian ini, digunakan dua teknik analisis yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis inferensial. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data aktivitas belajar IPA siswa. Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan aktivitas belajar siswa saat post-test serta peningkatan tiap-tiap aspek aktivitas belajar IPA siswa. Kualifikasi data aktivitas belajar IPA dilakukan dengan menggunakan pedoman konversi aktivitas belajar IPA. Kualifikasi dideskripsikan atas dasar skor rerata (mean) ideal Mi dan simpangan baku ideal SDi.

(7)

digunakan independent sample t-test dengan rumus separated varians.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata dan standar deviasi kemandirian belajar siswa untuk setiap unit analisis dengan jumlah unit adalah 30 (n = 30) disajikan pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Skor Rata-rata dan Standar Deviasi Aktivitas Belajar Siswa

Model Pembelajaran M SD

Model Pembelajaran Novick 32,30 2,94

Model Pembelajaran Konvensional 26,57 2,99

Tabel 1 menunjukkan bahwa skor rata-rata aktivitas belajar IPA siswa pada kelompok model pembelajaran Novick sebesar 32,30 dan simpangan bakunya adalah 2,94. Pada kelompok model pembelajaran konvensional skor rata-rata aktivitas belajar IPA siswa adalah sebesar 26,57 dan simpangan bakunya adalah 2,99. Berdasarkan pedoman konversi skor absolut skala lima pada Tabel 3.7, maka aktivitas belajar IPA siswa pada kelompok model pembelajaran Novick berkategori sangat aktif, sedangkan aktivitas belajar IPA siswa pada kelompok model pembelajaran konvensional berkategori aktif. Sehingga secara deskriptif, ditinjau dari rata-rata skor post test aktivitas belajar IPA, kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran Novick lebih baik dari siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional dalam hal aktivitas belajar.

Analisis data yang dimaksud di sini adalah uji inferensial. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis dengan uji inferensial tersebut, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap persyaratan-persyaratan yang diperlukan terhadap sebaran data hasil penelitian. Uji prasyarat analisis meliputi dua hal, yaitu (1) uji normalitas data terhadap keseluruhan unit

analisis, dan (2) uji homogenitas varian antar kelompok yaitu antar kelompok model pembelajaran MPN dan MPK.

Uji normalitas data dilakukan terhadap data aktivitas belajar IPA siswa kelompok eksperimen dan kontrol. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, dapat disajikan hasil uji normalitas sebaran data aktivitas belajar IPA siswa kelompok eksperimen dan kontrol pada tabel 2.

Kriteria pengujian, jika dengan taraf signifikansi 5% (dk = 6 – 2 – 1), maka data berdistribusi normal.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Chi Squre, diperoleh skor aktivitas belajar IPA siswa kelompok eksperimen adalah 5,566, sedangkan dengan taraf signifikansi 5% dan db = 3 adalah 7,815. Hal ini berarti, skor aktivitas belajar IPA siswa kelompok eksperimen lebih kecil dari ( ), sehingga data aktivitas belajar IPA siswa kelompok eksperimen berdistribusi normal. Selanjutnya, skor aktivitas belajar IPA siswa kelompok kontrol adalah 6,591 dan dengan taraf signifikansi 5% dan db = 3 adalah 7,815. Hal ini berarti, data aktivitas belajar kelompok kontrol lebih kecil dari , sehingga data aktivitas belajar IPA siswa kelompok kontrol berdistribusi normal. Tabel 2. Ringkasan Hasil Uji Normalitas Data

No. Data Aktivitas belajar IPA Nilai Kritis pada Taraf Signifikansi 5% Status

1 Kelompok eksperimen 5,566 7,815 Normal

2 Kelompok kontrol 6,591 7,815 Normal

2

(8)

Tabel 3. Ringkasan Hasil Uji homogenitas varian antar kelompok

Berdasarkan tabel 3, diketahui Fhitung skor aktivitas belajar IPA siswa kelompok eksperimen dan kontrol adalah 0,05, sedangkan Ftabel dengan dbpembilang = 30 dan dbpenyebut = 29 pada taraf signifikansi 5% adalah 1,65. Hal ini berarti, varians data aktivitas belajar IPA siswa kelompok eksperimen dan kontrol adalah homogen.

Secara deskriptif, aktivitas belajar IPA siswa kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelompok kontrol. Tinjauan ini didasarkan pada rata-rata skor aktivitas belajar IPA. Rata-rata-rata skor aktivitas belajar IPA siswa kelompok eksperimen adalah 32,37 berada pada katagori tinggi, sedangkan rata-rata skor aktivitas belajar IPA siswa kelompok kontrol adalah 26,27 berada pada katagori sedang. Berdasarkan analisis data menggunakan uji-t, diperoleh nilai thitung sebesar 7,487 dan ttabel sebesar 2,000 (pada db = 59 dan taraf signifikansi 5%). Dengan demikian, thitung lebih besar dari ttabel yang menunjukkan bahwa hasil penelitian adalah signifikan. Artinya, terdapat perbedaan aktivitas belajar IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran Novick dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD di gugus I Kecamatan Buleleng tahun ajaran 2013/2014. Adanya perbedaan yang signifikan menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model pembelajaran Novick berpengaruh terhadap aktivitas belajar IPA siswa.

Pembahasan dari pertanyaan di atas dapat dikaji secara teoritik dan opreasional empiris antara model pembelajaran Novick dengan model pembelajran konvensional. Model Pembelajaran Novick adalah proses belajar yang dilakukan atas inisiatif individu peserta didik sendiri. Dalam hal ini, perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap

pengalaman belajar yang telah dijalani, dilakukan semuanya oleh individu yang bersangkutan. Aktivitas belajar IPA dikembangkan secara optimal dalam Model Pembelajaran Novick. Sementara guru hanya bertindak sebagai konsultan, yang memberi arahan, bimbingan, dan konfirmasi terhadap kemajuan belajar yang telah dilakukan individu peserta didik tersebut dengan tujuan memberdayakan kemampuan peserta didik.

Model pembelajaran Novick ini menggunakan strategi konflik kognitif yang melatih siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki sehingga dapat memahami konsep materi dengan tepat. Selain itu, metode diskusi yang digunakan dalam model pembelajaran ini menjadikan siswa aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi belajar siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan materi pembelajaran, sehingga siswa lebih termotivasi dalam belajar karena mendapat pengetahuan baru dan pengalaman belajar. Beberapa aktivitas yang diobservasi selama proses pembelajaran Novick baik dalam bertanya, menjawab soal yang diberikan maupun dalam kerjasama kelompok, memperlihatkan bahwa rata-rata persentase siswa termasuk dalam kategori sangat aktif, Hal ini menunjukkan bahwa setelah penerapan model pembelajaran Novick pada materi cahaya, siswa menjadi sangat aktif dalam mengikuti pembelajaran IPA.

Walaupun Model Pembelajaran Novick disebut juga sebagai model pembelajaran mandiri namun siswa tidaklah bekerja sendiri. Salah satu bentuk kegiatan MPN adalah dengan kerja kelompok. Walaupun cara berpikir dan bekerja dalam menyelesaikan tugas mengikuti aturan-aturan tertentu, tetapi dapat bervariasi sesuai dengan masalah yang dihadapi pebelajar dan sudut pandang pebelajar

No.

Data Aktivitas

belajar IPA

F-hitung

F-tabel pada Taraf

Signifikansi 5%

Status

1

Kelompok eksperimen

0,05

1,65

Homogen

(9)

dalam menyelesaikan masalah tersebut. Bervariasinya sudut pandang akan menumbuhkan cara berpikir dan bekerja yang bervariasi yang akan menumbuhkan kreativitas pebelajar.

Metode belajar MPN bermanfaat untuk menyadarkan dan memberdayakan peserta didik, bahwa belajar adalah tanggungjawab mereka sendiri. Mereka diberikan kebebasan yang seluas-luasnya dalam mengelola dan menentukan. Dengan kata lain, individu pebelajar didorong untuk bertanggung jawab terhadap semua pikiran dan tindakan yang dilakukannya sehingga meningkatkan aktivitas belajar IPA yang dimilikinya.

Secara operasional empiris, kedua model pembelajaran menggunakan LKS dan penyajian dengan metode eksperimen pada materi yang sama mencakup pokok bahasan cahaya. Perbedaannya terletak pada cara siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Pada model pembelajaran konvensional pembelajaran bertujuan untuk membantu mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Kegiatan pembelajaran dalam model pembelajaran konvensional masih berpusat kepada guru sebagai pusat informasi (teacher centered), dimana semua petunjuk sudah disediakan secara rinci dan terstruktur oleh guru. Pembelajaran berlangsung melalui tahapan-tahapan instruksi tanpa mempertimbangkan kemampuan intelektual siswa (pengetahuan awal). Kegiatan pembelajaran seperti ini tidak banyak membantu dalam mengembangkan aktivitas belajar IPA siswa dan akan menimbulkan karakteristik siswa yang pasif, karena pembelajaran masih didominasi oleh peran guru dan tidak membiarkan siswa mengalami konflik kognitif sehingga pencapaian aktivitas belajar IPA tidak optimal.

Pada model pembelajaran konvensional siswa pada umumnya cepat merasa puas jika suatu prinsip atau konsep sudah dapat dibuktikan dengan munculnya fakta-fakta pada kegiatan laboratorium. Karena tidak bertolak dari pengetahuan

awal siswa, maka fakta-fakta yang teramati di laboratorium tidak secara langsung digunakan untuk pengembangan konsep-konsep penting. Siswa lebih mementingkan mengumpulkan data dan memformulasikan hasil dalam angka-angka tanpa berusaha menghubungkan hasil eksperimen dengan pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya, sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna. Berbeda dengan model pembelajaran Novick dimana pada pembelajaran menggunakan LKS yang menuntut siswa untuk mengembangkan aktivitas belajarnya. Siswa dituntut untuk bertanggungjawab terhadap belajarnya sendiri. Siswa diberikan otonomi belajar yang nantinya dikembangkan sesuai dengan karakteristik individu dengan dukungan dari guru sebagai konsultan dalam belajarnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Novick lebih unggul dibandingkan model pembelajaran konvensional dalam pencapaian aktivitas belajar IPA. Meskipun model pembelajaran Novick dapat meningkatkan aktivitas belajar IPA siswa, namun belum secara optimal dapat mencapai aktivitas belajar pada kategori baik ataupun sangat baik.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut. Terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan aktivitas belajar IPA siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran Novick dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional.

(10)

terbatas hanya pada materi tersebut. Untuk mengetahui kemungkinan hasil yang berbeda pada pokok bahasan lainnya, disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang sejenis pada pokok bahasan yang lain.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, S. 2003. Managemen penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, S. 2005. Dasar-dasar evaluasi pendidikan (Edisi revisi, cetakan ke-5). Jakarta: Bumi Aksara.

Candiasa, I M. 2004. Statistik multivariat disertai aplikasi dengan SPSS. Buku ajar (tidak diterbitkan). IKIP Negeri Singaraja.

Depdiknas. 2006. Panduan pengembangan silabus sekolah menengah pertama (SMP) mata pelajaran ilmu pengetahuan alam. Jakarta: Depdiknas.

Firmansyah, Hilman. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Novick Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematika Pada Siswa Smp.

Tersedia pada

http://digilib.unpas.ac.id/gdl.php. Diakses pada 30 November 2013. Ghazali, A. S. 2002. Menerapkan

paradigma kontruktivisme melalui strategi belajar kooperatif dalam pembelajaran bahasa. Jurnal Pendidikan & Pembelajaran. 9(2). 115-131

Hamalik, O. 2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Jihad, A., & Haris, A. 2008. Evaluasi pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo.

Long, T. J., Convey, J. J., & Chwalek, A. R. 1985. Completing dissertation in the behavioral sciences and education. London: Jossey-Bass Publishers. Mardikanto, T. 2008. Proses belajar dalam

penyuluhan. Tersedia pada

http://masarip.blog.friendster.com/20

08/11/proses-belajar-dalam-penyuluhan-2.htm. Diakses tanggal 28 November 2013.

Mehrens, W. A. & Lehmann, I. J. 1984. Measurement and evaluation in education and psychology. New York: Holt, Rinehart and Winston. Narbuko, C. & Acmadi, H. S. 2005.

Metodologi penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Natsir, Muhammad. (1997). Strategi Penggunaan Model Pembelajaran Novick untuk Meningkatkan Keaktifan dan Pemahaman Siswa Tentang Listrik dalam Pembelajaran IPA di SD. Tesis SPs UPI Bandung.

Tersedia pada

http://perpustakaan.upi.edu/natsir.19 97-tesis.framework. (diakses pada tanggal 28 November 2013)

Nugraheni, E. 2007. Student centered learning dan implikasinya terhadap proses pembelajaran. Jurnal Pendidikan. 8(2). 1-10.

Sadia, W. 1997. Pengembangan model belajar konstruktivis dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SLTP (suatu studi eksperimen dalam pembelajaran konsep energi, usaha, dan suhu). Aneka Widya. 23-25.

Sardiman, A. M. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Suastra, I W. & Kariasa, N. 1999. Pengembangan kreativitas berpikir siswa melalui pengajaran IPA dengan model karya ilmiah di sekolah dasar. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). IKIP N Singaraja. Sukardi. 2004. Metodologi penelitian

(11)

Wahyudi. 2002. Tingkat pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran IPA. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 036. Tahun ke-8, Mei 2002. 389-401.

(12)

Gambar

Tabel 3. Ringkasan Hasil Uji homogenitas varian antar kelompok

Referensi

Dokumen terkait

Teguran tersebut disampaikan oleh pengawas BPJS Ketenagakerjaan kepada perusahaan yang bersangkutan, karena BPJS Ketenagakerjaan mempunyai kewenangan dalam hal ini

Metode penelitian menurut Sugiyono (2014, hlm. 3) yaitu cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan terrtentu. Maka dapat disimpulkan bahwa metode

Pengujian dilakukan pada jaringan syaraf tiruan yang telah dilatih terhadap 20 data baru (data rekam medis 9 faktor risiko penderita penyakit jantung dan orang sehat yang

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan strategi pembelajaran dengan menggunakan kartu indeks merupakan suatu strategi pembelajaran yang efektif

Dari hasil penelitian, perawatan luka menggunakan povidone iodine 10% menunjukkan bahwa pada indikator penyembuhan luka yaitu hilangnya eritema, hilangnya edema dan hilangnya

Mikrokontroler atau disebut juga pengendali mikro adalah suatu IC ( Integrated Circuit ) dengan kepadatan yang sangat tinggi, dimana semua bagian yang diperlukan

Bisnis keluarga terutama pada perusahaan kecil akan memiliki kinerja yang lebih baik karena hubungan kekerabatan yang dimiliki oleh pengambil kebijakan atau para

Penggunaan yang tercantum dalam Lembaran Data Keselamatan Bahan ini tidak mewakili kesepakatan pada kualitas bahan /. campuran atau penggunaan yang tercantum sesuai