• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP KADASTER KELAUTAN UNTUK NEGARA KE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP KADASTER KELAUTAN UNTUK NEGARA KE"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP KADASTER KELAUTAN UNTUK NEGARA

KEPULAUAN INDONESIA

Oleh:

Yackob Astor

ABSTRAK

Selama 67 tahun bangsa ini merdeka, sektor kelautan ternyata belum dapat menunjukkan sebagai sektor yang dapat diunggulkan oleh bangsa dan diandalkan oleh rakyat Indonesia. Fakta ini tentunya sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan potensi sumber daya laut yang ada di negara Indonesia sebagai negara kepulauan. Berdasarkan studi pustaka, ternyata masalah utama yang terjadi di laut Indonesia adalah tidak terkendalinya intervensi manusia dalam mengelola sumber daya laut yang menyebabkan kacaunya pola pemanfaatan sumber daya laut, yakni pemanfaatan yang tak terkendali bahkan bersifat destruktif.

Tulisan ini membahas mengenai konsep pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia, terutama pasca-dicabutnya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) berdasarkan keputusan MK No.3/PUU-VII/2010. Konsep Kadaster Kelautan yang digunakan oleh beberapa negara non-kepulauan (Australia, Kanada dan Amerika), selanjutnya dijadikan sebagai usulan solusi yang dapat diterapkan untuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut Indonesia.

Kata kunci: Kadaster, Rights, Restrictions dan Responsibilities.

ABSTRACT

During 67 years of the nation's independence, maritime sector has not proved as a sector that can be seeded by the nation and relied by Indonesian people. This fact is contrary when compared with marine resources in Indonesian archipelago. Based on the literature, the main problems in Indonesia ocean are uncontrolled human intervention in marine management that causes the disruption pattern used by marine resources which is uncontrollable utilization even destructive.

This paper discusses the concept of coastal and marine management in Indonesia, especially post-revocation Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) by decision of the Contitutional Court/Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-VII/2010. Marine cadastre concept in non-island countries (Australia, Canada and USA) proposed as solution can be applied to manage coastal and marine areas in Indonesia.

(2)

I. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia secara realitas potensi fisik dan geografis memiliki sumber daya alam yang jauh lebih baik daripada negara-negara lain. Sebagai negara yang beriklim tropis, Indonesia merupakan negara yang sangat subur, dipenuhi oleh berbagai spesies unik dan varietas tumbuhan yang beraneka ragam. Letak Indonesia yang berada di jalur cincin api pasifik menyebabkan Indonesia kaya akan mineral logam, seperti emas, perak, tembaga dan nikel, batubara, minyak serta energi panas bumi yang sangat besar.

Sebagai negara kepulauan (the archipelagic state), Indonesia memiliki wilayah laut yang lebih luas dari wilayah darat (1.910.931,32 km2, Kemendagri, 2010) yakni lebih kurang 6.120.673 km2 (United Nations Environment Programme, 2003), sekitar 13.446 pulau (Badan Informasi Geospasial, 2012) dengan garis pantai sepanjang 95.181 km (Dewan Kelautan Indonesia, 2008) menjadikan Indonesia memiliki sumber daya alam laut yang lebih banyak dibandingkan dengan sumber daya alam di darat. Kondisi potensi sumber daya laut ini dipandang sebagai peluang Indonesia sebagai negara berkembang untuk membangun keunggulan dibidang pesisir dan kelautan.

Wilayah laut Indonesia berbatasan langsung dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Papua Niugini, Australia, Timor Timur, dan Palau. Sementara wilayah darat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga hanya tiga, yakni Malaysia di Kalimantan, Papua Niugini di Papua dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) di Nusa Tenggara Timur. Penetapan dan penegakan batas wilayah merupakan hal yang sangat krusial karena menyangkut kedaulatan wilayah Indonesia, aspek perekonomian, dan aspek hankam.

Pengaturan mengenai penetapan batas wilayah laut suatu negara dan berbagai kegiatan di laut telah termuat dalam suatu perjanjian internasional yang komprehensif yang dikenal dengan UNCLOS 1982 (United

Nations Convention on the Law of the Sea 1982 atau Hukum Laut PBB 1982). Dalam UNCLOS 1982 dikenal delapan zona pengaturan yang berlaku di laut, yaitu (1) perairan pedalaman (internal waters), (2) perairan kepulauan (archipelagic waters), (3) laut teritorial (teritorial waters), (4) zona tambahan (contiguous zone), (5) Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone), (6) landas kontinen (continental shelf), (7) laut lepas (high seas), dan (8) kawasan dasar laut internasional (international seabed area).

Adapun batas-batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangga meliputi: batas laut teritorial, batas perairan ZEE, dan batas landas kontinen. Yang dimaksud laut teritorial adalah wilayah kedaulatan suatu negara pantai yang meliputi ruang udara dan laut serta tanah di bawahnya sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal. ZEE adalah suatu wilayah perairan laut di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang lebarnya tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal; yang mana suatu negara pantai (coastal state) memiliki hak atas kedaulatan untuk eksplorasi, konservasi, dan pemanfaatan sumber daya alam. Landas kontinen suatu negara meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang menyambung dari laut teritorial negara pantai melalui kelanjutan alamiah dari wilayah daratannya sampai ujung terluar tepian kontinen.

(3)

3 yang sering menimbulkan konflik wilayah laut antara Indonesia dan negara-negara tetangga. Konflik yang terjadi akan menimbulkan ketidakstabilan dan mengganggu pembangunan perekonomian pada wilayah tersebut.

Dari dalam negeri sendiri, sumber daya laut nasional dikelola secara parsial (berdasarkan sektoral dan daerah), saling berdiri sendiri (tidak terintegrasi) dan tidak terarah (dikelola tanpa perencanaan bersama yang jelas). Masing-masing sektor (perikanan kelautan, pertambangan, perhubungan, lingkungan, pariwisata, pertahanan keamanan, energi sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian, dan lain-lain) memiliki sistem, kebijakan, cara pandang dan juga tujuan pengelolaan yang berbeda-beda, sehingga berjalan sendiri sesuai dengan kebijakan dan tujuannya.

Sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juncto UUPA, UNCLOS juncto UU No.17 Tahun 1985, laut dapat dipartisi dalam persil-persil untuk pengusahaan dan pemanfaatannya, contoh: untuk ruang usaha ekonomis seperti budidaya ikan, rumput laut, kerang, penambangan dasar laut; sebagai ruang laut konservasi laut lindung dan taman nasional; sebagai ruang laut wisata dan rekreasi; serta sebagai ruang laut publik seperti alur pelayaran, pelabuhan dan sebagainya. (Rais, 2002).

Konflik yang terjadi di laut dikarenakan belum adanya kepastian batas-batas kegiatan (spatial boundary system) di wilayah perairan laut. Dalam beberapa hal batas persil laut dapat ditandai dengan benda fisik di permukaan maupun di dasar laut dangkal, sebagian hanya ditetapkan dalam sistem koordinat geografis (tidak dibangun tanda-tanda fisik batas di laut), namun dalam banyak hal batas persil laut belum ditetapkan sehingga menimbulkan tumpang tindih antar jenis kegiatan pengusahaan dan pemanfaatan ruang laut, contoh: persil laut untuk budidaya ikan tumpang tindih dengan alur pelayaran, menyebabkan terganggunya hasil pendapatan budidaya ikan, atau ruang laut untuk penangkapan ikan tumpang tindih dengan

ruang laut untuk latihan perang TNI Angkatan Laut sehingga terganggunya pendapatan nelayan dalam memperoleh ikan. Dengan belum adanya kepastian batas-batas kegiatan di wilayah perairan laut, maka kegiatan perekonomian kelautan, seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri bioteknologi, pariwisata bahari, transportasi laut, eksplorasi dan eksploitasi, konservasi serta kegiatan lainnya akan terhambat.

Selain itu konflik di laut juga dapat dipicu karena masalah batas kewenangan laut daerah yang kurang jelas atau belum ditetapkan. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 (yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan atau otoritas kepada daerah tidak hanya sebatas urusan pemerintahan semata namun juga dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan sumberdaya yang dimilikinya, termasuk sumberdaya kelautan. Hal ini menegaskan bahwa laut Indonesia bukan hanya dikelola secara sektoral, tetapi juga dikelola oleh beberapa pemerintah daerah yang memiliki batas kewenangan wilayah laut daerah masing-masing.

(4)

4 bahwa model pengelolaan wilayah pesisir dan laut Indonesia berbasis pada sistem otonomi daerah.

Sebagai negara kepulauan, pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia yang berbasis pada sistem otonomi daerah ini akan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi mengingat jumlah kabupaten/ kota yang ada di Indonesia sebanyak 497 kabupaten/ kota, 324 kabupaten/ kota memiliki wilayah pesisir (Kemendagri, 2010). Setiap pesisir Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya sehingga berbeda pula cara untuk mengelola wilayah pesisir tersebut. Jika demikian, kebijakan dan instrumen kelembagaan yang dirumuskan pun juga tidak sama. Hal ini tentunya akan berpengaruh juga dalam penyediaan data dan informasi mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut di masing-masing daerah akan berbeda-beda (beragam).

Terkait dengan data dan informasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut, Pasal 15 UU No. 27 Tahun 2007 menyebutkan bahwa: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengelola data dan informasi mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. (2) Pemutakhiran data dan informasi dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah secara periodik dan didokumentasikan serta dipublikasikan secara resmi, sebagai dokumen publik, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan oleh setiap orang dan/ atau pemangku kepentingan utama dengan tetap memperhatikan kepentingan pemerintah dan pemerintah daerah. (4) Setiap orang yang memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan data dan informasi kepada pemerintah dan/ atau pemerintah daerah selambat-lambatnya 60 hari kerja sejak dimulainya pemanfaatan. (5) Perubahan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan seizin pemerintah dan/ atau pemerintah daerah. (6) Pedoman pengelolaan data dan informasi

tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur dalam peraturan menteri.

Kondisi di atas merupakan salah satu implikasi Indonesia sebagai negara kepulauan, jika dikaitkan dengan konsep pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang tepat di Indonesia, maka konsep pengelolaan harus ditempatkan dalam perspektif tata informasi geospasial sebagai kunci utama untuk menyelesaikan perbedaan sistem terkait data dan informasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut Indonesia secara sektoral mapaun kedaerahan.

Tata Informasi Geospasial (IG) yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2011 merupakan alat bantu dalam upaya mewujudkan keterpaduan (Pasal 2 UU IG) data dan informasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut Indonesia yang digunakan untuk mewujudkan: 1) Keterpaduan pengelolaan (perencanaan, pemanfaatan, pengawasan) sumber daya laut antar sektor dan antar daerah. 2) Keterpaduan pengaturan kegiatan-kegiatan perekayasaan di laut antar sektor dan antar daerah, sehingga dapat meminimalkan terjadinya konflik di wilayah laut Indonesia.

Membahas mengenai pengelolaan sumber daya alam laut di Indonesia, maka langkah awal yang digunakan di dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan pengelolaan sumber daya alam di darat.

2. Persoalan Keagrariaan di Indonesia

(5)

5 dengan persawahan, perladangan dan pertanian (Rais, 2003).

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1960 diterbitkanlah Undang–Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960). Arti agraria di dalam UUPA sangat luas, yakni:“meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.” Walaupun agraria memiliki arti yang luas, UUPA sebagian besar mengatur tentang tanah di permukaan saja. Dengan adanya UUPA, maka negara diberi wewenang untuk mengatur dan menyediakan peruntukan, persediaan, penggunaan, pemeliharaan tanah, serta wewenang untuk mengatur dan menentukan hubungan hukum serta perbuatan hukum antara orang-orang yang berhubungan dengan tanah. Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengakuan konstitusional terhadap negara akan hak menguasai atas bumi (tanah) ini penting, mengingat tanah telah diakui sebagai salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomis, disamping memiliki nilai sosial politik dan hankam yang tinggi.

Masalah pertanahan telah berkembang menjadi masalah yang multi kompleks seiring dengan laju perkembangan pembangunan. Banyak ketentuan tertulis di luar UUPA yang langsung atau tidak langsung sangat erat kaitannya dengan pertanahan, antara lain: Undang-Undang Pokok Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999), Undang-Undang Peternakan (UU No.18 Tahun 2009), Undang-Undang Pokok Pertambangan (UU No. 4 Tahun 2009), Undang-Undang Ketransmigrasian (UU No. 29 Tahun 2009), Undang-Undang tentang Pengairan (UU No.11 Tahun 1974), Undang-Undang tentang Jalan (UU No. 38 Tahun 2004), Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009), Undang-Undang tentang Perindustrian (UU No. 5 Tahun 1984), Undang-Undang Rumah Susun (UU No. 20 Tahun 2011), Undang-Undang Perumahan

dan Kawasan Permukiman (UU No.1 Tahun 2011), Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman (UU No. 12 Tahun 1992) serta Undang-Undang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan tanah merupakan masalah lintas sektoral yang mempunyai banyak segi dan dimensi. Ditambah lagi kondisi pertanahan secara umum akan semakin kritis karena luas tanah tidak bertambah, sedangkan kebutuhan tanah semakin meningkat. Di Indonesia, pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak merata dan urbanisasi menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya kebutuhan tanah untuk permukiman, khususnya di perkotaan, sehingga dapat menggeser lahan-lahan subur terutama yang ada di Pulau Jawa. Demikian pula perkembangan industri yang penataannya hanya didasarkan pada pertimbangan faktor ekonomis atau kurang memperhatikan faktor keseimbangan lingkungan, dapat pula menggeser kepentingan-kepentingan lain yang memicu timbulnya konflik agraria. (BPN, 2003).

Sepanjang tahun 2011, jumlah konflik agraria mencapai 163 kasus. Konflik ini mengakibatkan kurang lebih 69.975 kepala keluarga yang menjadi korban langsung. Luas tanah yang disengketakan mencapai 472.048,22 hektar. Dalam konflik ini terdapat 22 orang tewas, 34 orang yang tertembak, 279 orang yang ditahan dan 147 orang yang mengalami penganiayaan. (Sumber: Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia, 12 Januari 2012).

(6)

6 kurang lebih 33.000 desa masuk kawasan hutan yang sangat potensial menjadi konflik yang terbuka. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sejak tahun 1972-2001, jumlah konflik agraria mencapai 1.753 kasus dengan luas tanah yang disengketakan mencapai 10.892.203 hektar dan mengakibatkan tidak kurang 1.189.482 kepala keluarga yang menjadi korban. (Sumber: Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia, 12 Januari 2012). Konflik agraria yang sedang berlangsung ini bukan hanya berdimensi kekerasan, tetapi lebih jauh konflik-konflik tersebut mengakibatkan: hilangnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria; kerusakan struktur sosial masyarakat; dan kerusakan mutu ekologi yang berkait langsung dengan turunan mutu manusia yang hidup dalam ekosistem itu. Karenanya penyelesaian konflik agraria bukan sekedar untuk mengakhiri kekerasan supaya tidak berulang, tetapi lebih jauh adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bahwa akar konflik agraria sesungguhnya dapat berawal dari proses perolehan suatu bidang tanah untuk berbagai keperluan. Oleh karena itu kegiatan pencatatan data dan informasi pertanahan merupakan hal yang sangat penting. Beberapa permasalahan yang sering dihadapi dalam penyediaan data dan informasi pertanahan: Pertama, data dan informasi pertanahan sangat luas jenis dan cakupannya. Misalnya, untuk satu bidang tanah terdiri banyak atribut yang meliputi luas tanah, letak tanah (secara koordinat dan administrasi), status tanah (tanah negara, tanah hak milik, tanah hak guna bangunan, tanah hak guna usaha, tanah hak pakai), pemilik dan identitasnya, penggunaan tanah, kemampuan tanah, dan lain-lain. Padahal untuk seluruh Indonesia terdapat sekitar 85 juta Bidang Tanah.(BPN, 2006).

Kedua, data dan informasi pertanahan belum tersedia secara lengkap, baik jenis maupun cakupannya. Ketiga, bagi yang telah tersedia belum dikelola secara sistematis dan belum tertata dengan baik. Keempat, masalah

keakuratan data. Kelima, masalah pembaruan data (up date). Keenam, dalam pengumpulan data dihadapkan pada banyaknya jumlah dan jenis data.

Adanya permasalahan tersebut di atas menyebabkan dari sekitar 85 juta bidang tanah yang memenuhi syarat untuk didaftar, hingga kini baru sekitar 27 juta bidang tanah yang sudah didaftar (BPN, 2006). Padahal jumlah bidang tanah hak tersebut diperkirakan akan berkembang karena peralihan, penggabungan dan pemisahan hak. Selama tanah tersebut haknya belum terdaftar (bersertifikat) potensi sengketa hak atas tanah akan semakin membengkak karena jaminan kepastian hukum/ hak atas tanahnya akan semakin sulit dibuktikan. Padahal jaminan kepastian hukum memiliki beberapa manfaat, diantaranya memajukan perekonomian nasional, melestarikan lingkungan, meningkatkan penerimaan negara, melindungi kepentingan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah, mencegah atau mengurangi sengketa pertanahan, dan mendukung perencanaan tata ruang untuk pembangunan.

Permasalahan dalam pelaksanaan pencatatan data dan informasi pertanahan menjadi sangat kompleks mengingat Tanah Air Indonesia terdiri dari sekitar 13.446 pulau (Badan Informasi Geospasial, 2012) dengan luas daratan seluruhnya 1.910.931,32 km2 (Kemendagri, 2010). Dengan keadaan Tanah Air Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau kecil maupun besar akan mempengaruhi percepatan proses pencatatan data dan informasi pertanahan yang disebabkan oleh tingginya biaya transportasi serta lamanya waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan pengukuran dan pembuatan sertifikat.

(7)

7 dan abrasi. Dampak dari bencana-bencana yang terjadi adalah hilangnya kepemilikan seseorang atas tanah dan bangunan. Perlu dilakukan kegiatan rekonstruksi batas-batas bidang tanah dan pencatatan ulang data pertanahan.

Di Indonesia, pencatatan data dan informasi bidang tanah diselenggarakan melalui kegiatan pendaftaran tanah. Pasal 19 (1) UUPA: untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 19 (2) pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:

a. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah.

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Pasal 19 (2) sebelum diundangkan UUPA dikenal dengan istilah Kadaster. Dengan demikian, Pendaftaran Tanah dapat pula dirumuskan sebagai Kadaster Pertanahan. Kegiatan pencatatan data dan informasi pertanahan, dalam dunia internasional (diluar Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960) dikenal dengan istilah Kadaster. Kadaster secara etimologis berasal dari bahasa yunani yaitu katastikhon bermakna daftar publik yang memperlihatkan rincian kepemilikan dan nilai suatu tanah yang dibuat untuk keperluan perpajakan.

International Federation of Surveyors (FIG) pada Tahun 1995 menyatakan:

A Cadastre is normally a parcel based, and up-to-date land information system containing a record of interests in land (e.g. rights, restrictions and responsibilities). It usually includes a geometric description of land parcels linked to other records describing the nature of the interests, the ownership or control of those interests, and often the value of the parcel and its improvements.

Dari definisi kadaster di atas, kata kunci kadaster adalah, perekaman Right (Hak), Restriction (Pembatasan) dan Responsibility (Tanggungjawab). Ketiga unsur utama kadaster ini saling terkait, jika ditempatkan dalam urgensi pertanahan maka dapat dibuat pernyataan bahwa Right akan diberikan berdasarkan penggunaan tanah sesuai dengan batas yang dikur dan ditetapkan. Restriction merupakan batas kewenangan hak atau batas hubungan kepemilikan antara orang dan tanah, dapat diartikan bahwa hak tidak berlaku di luar batas yang dimiliki, sedangkan Responsibility akan selalu mengikuti Right dan Restriction.

Tiga unsur utama kadaster untuk pertanahan dapat didekati dalam wujud (bentuk fisik) berupa Sertifikat Tanah. Sertifikat tanah sangat berbeda dengan kepemilikan benda bergerak. Sertifikat tanah merupakan arsip hidup, arsip yang tidak akan/ pernah dimusnahkan seperti arsip lainnya, artinya selalu dipelihara dengan baik walaupun terjadi perubahan pada subjeknya (pemilik tanah), perubahan jenis haknya, maupun perubahan pengenaan kewajiban penatagunaan tanahnya. Tanah adalah benda tidak bergerak, jumlahnya terbatas, tidak bisa mensubstitusi/ menggantikan bidang tanah yang lain karena baik letak, sifat maupun daya dukungnya bersifat unik. Oleh karena itu, sertifikat tanah tidak cukup hanya dipandang sebagai produk pelayanan masyarakat. Sertifikat tanah sesungguhnya lebih berfungsi sebagai alat kendali bagi manajemen Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) hingga terkondisikan rasa keadilan dalam pemilikan dan penguasaan tanah dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah sedemikian rupa agar terwujud kemakmuran rakyat dan menjaga kelestarian kualitas lingkungan hidup.

(8)

8 akan tercapainya, fungsi bumi, air dan ruang angkasa, dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat. Pasal 1 menyebutkan: (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. (3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. (4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. (5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. (6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini.

Persoalan keagrarian di darat tidaklah sama dengan persoalan di laut. Karakteristik tanah yang relatif tidak bergerak, menyebabkan: (1) sangat memudahkan dalam hal menentukan batas-batas bidang tanah, (2) tanah bisa dimiliki atau ditentukan Right, Restriction dan Responsibility. Meskipun demikian kondisi yang terjadi adalah bahwa sekitar 85 juta bidang tanah yang memenuhi syarat untuk didaftar, hingga kini baru sekitar 27 juta bidang tanah yang sudah didaftar.(BPN, 2006).

Kondisi di atas adalah persoalan keagrariaan yang terjadi di daratan Negara Indonesia dengan luas wilayah 1.910.931,32 km2 (Kemendagri, 2010). Pertanyaannya adalah bagaimana dengan persoalan keagrariaan yang terjadi di laut Indonesia? mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki wilayah laut lebih luas dari wilayah darat, yakni lebih kurang 6.120.673 km2 (United Nations Environment Programme, 2003), sekitar 13.446 pulau (Badan Informasi Geospasial, 2012) dengan garis pantai sepanjang 95.181 km (Dewan

Kelautan Indonesia, 2008). Bagaimana pengelolaan sumber daya laut di Indonesia?

Melihat kembali persoalan keagrariaan di darat (tanah), persoalan pengelolaan laut pun sebenarnya terletak pada pencatatan (recording) kegiatan-kegiatan yang ada di laut dengan melakukan pengukuran batas-batas persil laut tersebut. Batas-batas persil laut dan identitasnya digambarkan dalam peta skala besar disertai dengan catatan menyangkut jenis hak, ukuran, penggunaan, nilai, pertanggungan, dan data lain termasuk pembatasan penggunaan.

Belajar dari pemecahan persoalan di darat, sejauh mana solusi pemecahan persoalan di darat dapat diletakan di laut untuk mengatasi persoalan yang terjadi di wilayah laut. Di darat mengenal Kadaster Pertanahan sebagai metode pencatatan bidang tanah. Selanjutnya adalah bagaimana mentransformasikan kadaster yang ada di darat (kadaster pertanahan) ke wilayah laut. Penempatan prinsip kadaster pertanahan di wilayah laut, dikenal dan seringkali disebut dengan istilah Kadaster Kelautan (Marine Cadastre). Kadaster kelautan dalam pengertian sederhana dapat dikatakan sebagai penerapan prinsip-prinsip kadaster di wilayah laut. Secara umum, kadaster kelautan bertujuan untuk mengadministrasi ruang laut dan sumberdaya laut, termasuk semua kepentingan, hak-hak, batasan dan tanggungjawab yang ada di wilayah laut. Konsep Kadaster Kelautan sudah banyak digunakan oleh beberapa negara benua (non-kepulauan) seperti Kanada, Australia dan Amerika.

3. Definisi-definisi Kadaster Kelautan di Negara Lain

(9)

9 Benwell). Kemudian pada tahun 2004 Andrew Binns merumuskan definisi Marine Cadastre: Marine Cadastre is a spatial boundary management tool which describes, visualises and realises legally defined boundaries and associated rights, restrictions and responsibilities in the marine environment. Kadaster kelautan di Australia digunakan untuk mewujudkan Australia’s Marine Management System, yang mengatur kegiatan: Oil and Gas Sector, Fisheries, Aquaculture, Shipping, Conservation, Marine Heritage, Cables and Pipelines, Coastal Zone. Konsep kadaster kelautan di Australia sudah diterapkan di beberapa negara bagian, seperti di Queensland dan Victoria.

Gambar 1. Konsep Marine cadastre di Australia (Sumber: Binns, 2004)

Di Kanada pada tahun 2000 menyelenggarakan kegiatan Good

Governance of Canada’s Oceans untuk

menyelesaikan masalah batas sebagai langkah awal mewujudkan pengelolaan laut yang efektif dan adil. Marine Cadastre didefinisikan: A marine cadastre is a marine information system, encompassing both the nature and spatial extent of the interests and property rights, with respect to ownership and various rights and responsibilities in the marine jurisdiction. (Nichols, Monahan dan Sutherland).

Gambar 2. Landasan Konsep Kadaster Kelautan di Kanada (Sumber: Nichols dan Monahan, 1999)

Tahun 2002 United States Departement of Communication (U.S DOC )-National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) merumuskan definisi Marine Cadastre sebagai berikut:“The U.S. Marine Cadastre is an information system, encompassing both nature and spatial extent of interests in property, value and use of marine areas. Marine or maritime boundaries share a common element with their land-based counterparts in that, in order to map a boundary, one must adequately interpret the relevant law and its spatial context. Marine boundaries are delimited, not demarcated, and generally there is no physical evidence of

(10)

10 Gambar 3. U.S Marine Cadastre (NOAA, 2010)

4. Konsep Kadaster Kelautan untuk Negara Kepulauan Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, bagaimana konsep kadaster kelautan di Indonesia? Di Indonesia, konsep kadaster kelautan belum lama dikenal karena memang masih merupakan konsep baru. Ditambah lagi bahwa selama ini pembangunan di Indonesia sebagian besar diprioritaskan di wilayah darat, padahal wilayah laut lebih luas dari wilayah darat. Meskipun demikian sudah banyak penelitian yang mendalami bidang pengelolaan dan penataan ruang pesisir dan laut dari berbagai aspek maupun pendekatan, namun masih sulit sekali didapatkan penelitian yang mengkaitkan bidang ini dengan konsep kadaster, yaitu: hak, batasan, dan tanggungjawab dalam pengusahaan dan pemanfaatan ruang laut.

Kondisi inilah yang menyebabkan tata kelola laut di Indonesia seolah-olah berjalan sendiri tanpa ketentuan yang jelas. Laut di Indonesia dipartisi menjadi persil-persil laut yang digunakan untuk kegiatan perekayasaan seperti kegiatan pertambangan (Gambar 4. dan 5).

Gambar 4. Blok-blok penambangan minyak dasar laut (blok Ambalat) di wilayah perbatasan antara Kalimantan Timur dan Sarawak, Malaysia. (Sumber: Rais, 2002; dan KOMPAS, 1 November 2004)

Gambar 5. Persil-persil laut: ijin-ijin penambangan pasir laut di Riau (Sumber: Dinas Pertambangan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005)

(11)

11 wilayah perairan laut Indonesia. Konsep kadaster kelautan untuk negara Indonesia harus mengadopsi pada kebutuhan negara kepulauan, dalam konteks terkait dengan Hukum Laut Internasional UNCLOS’82, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, perundangan lain yang mengatur hak pengelolaan yang terdapat di laut, yakni Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta hukum laut adat merupakan bagian dari sistem kebudayaan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulharis, R., Djunarsjah, E., dan Hernandi, A. (2008): Stakeholder Analysis on Implementation of Marine Cadastre in Indonesia, Proceedings FIG Working Week, Stockholm, Swedia.

Barry, M., Elema, I., dan Molen, P. (2003): Ocean Governance in the Netherlands North Sea the Netherlands, Proceedings FIG Working Week, Paris, Perancis.

Binns, A. (2004): Defining a Marine Cadastre: Legal and Institutional Aspects. Thesis. Departemen of Geomatics, The University of Melbourne, Australia. Binns, A., Rajabifard, A., Collier, P.A dan

Williamson, I. Developing the Concept of a Marine Cadastre: An Australia Case Study, Departemen of Geomatics, The University of Melbourne, Australia. Chomariyah. (2004): Pengelolaan Wilayah Laut

Secara Terpadu dalam Perspektif Hukum, Jurnal, Universitas Hang Tuah.

Dartoyo, A. (2004): Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Berbasis Digital (Studi Kasus: Kabupaten Cilacap Jawa Tengah), Bakosurtanal.

Deriyanto, B. (2010): Visualisasi Objek Kadaster 3D Dengan Menggunakan Model Hibrid Untuk Mendukung Kadaster Kelautan, Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.

Djunarsjah, E. (2008): The Study on the Technical and Legal Aspect of Marine Cadastre in Indonesia Toward Natural Resources Preservation and Sustainable Development, LPPM – ITB, Bandung.

Djunarsjah, E. (2011): Prosedur Teknis Pengukuran dan Perpetaan Ruang Perairan (Pilot Project dalam Rangka Pelayanan Pengukuran dan Perpetaan Ruang Perairan, Kerjasama BPN RI dan LPPM ITB.

Falah. (2010): Kajian Aspek Teknik Kadaster Kelautan Tiga Dimensi (Studi Kasus: Pesisir Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau), Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB. Faridha, D. (2010): Identifikasi Objek-Objek

Kadaster Perairan Laut Kurang dari Dua Belas Mil Laut dari Garis Pangkal Kepulauan, Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.

Fauzi, A. (2005): Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Isu, Sintesis, dan Gagasan. Fraser, R., Todd, P., dan Collier, P. (2003): Issues

In The Development Of a Marine Cadastre, Department of Geomatics, The University of Melbourne, Australia. Haryono., dan Narni, S. (2006.): Kajian

Kemungkinan Penerapan Kadaster Laut untuk Pertanian Laut di Indonesia (Studi Kasus: Pulau Seribu), Jurnal,UGM. Harbimaharani, H. (2010): Kajian Terhadap

Kebijakan Kadaster Perairan Laut, Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.

Hasymi, F. (2008): Penetapan Batas Laut Daerah sebagai Pendukung Penerapan Kadaster Kelautan di Indonesia, Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.

Hendriatiningsih, S., dan Kurniawan, I. (2007): Kajian Aspek Teknis Kadaster Kelautan, Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Teknik Geomatika ITS, Surabaya.

Hernandi, A,, Abdulharis, R., Hendriatiningsih, S., dan Ling, M. (2012): An Institutional Analysis of Customary Marine Tenure in Maluku: Towards Implementation Marine Cadastre in Indonesia, Proceedings FIG Working Week, Roma, Italia.

Imron. (2010): Identifikasi Objek-Objek Kadaster Perairan Laut di Luar 12 Mil Laut, Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.

(12)

12 Ng'ang'a., Nichols., Sutherland., dan Cockburn.

(2001): Towards A Multidimensional Marine Cadastre in Support of Good Ocean Governance, Canada.

Ng'ang'a., dan Nichols. (2002): The Role of Bathymetry Data in a Marine Cadastre: Lessons from The Proposed Musquash Marine Protected Area, University of New Brunswick Canada.

Puspa, A. (2007): Kajian Peletakan Kabel dan Pipa Bawah Laut dalam Kaitannya dengan Penerapan Kadaster Kelautan di Indonesia, Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.

Rais, J. (2009): Pengantar Kadaster Laut di Indonesia, Jurnal ISI-UNDIP, Semarang. Rao, S. (1990): Optimization: Theory and

Applications, Wiley Eastern Limited. Sesli, F., dan Uslu, G. (2010): The importance of

marine cadastre for Turkey, African Journal of Agricultural Research Vol. 5(14), pp. 1749-1758.

Sook, H., Lee., dan Shin, D. (2010): Issues with Building a Marine Cadastre System in South Korea, Proceedings FIG Working Week, Sydney, Australia.

Steudler, D. (2004): A Framework for the Evaluation of Land Administration Systems, Thesis,

Department of Geomatics, The University of Melbourne, Victoria 3010, Australia. Steudler, D., Rajbifard, A., dan Williamson, I.P.

(2004): Evaluation of Land Administration Systems, Journal for Land Use Policy, Department of Geomatics, The University of Melbourne, Victoria 3010, Australia. Integralistik dalam Perekayasaan Wilayah Pesisir dan Lautan di Indonesia, Pidato Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi Bandung.

SULASDI, W.N. (2007): Optimisasi Perekayasaan Hidrografi, Wilayah Pesisir dan Laut, Kelompok Keahlian Sains dan Rekayasa Hidrografi, ITB.

Sulistiyo, B. (2004): Sebuah Pemikiran Kadaster Laut sebagai Langkah Menuju Penataan

Wilayah Laut, Jurnal, Badan Riset Kelautan dan Perikanan.

Sumaryo. (2007): Arti Penting Penetapan dan Pengasan Batas Daerah di laut Dalam Rangka Pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), Jurnal, Teknik Geomatika ITS, Surabaya.

Tamtomo, J.P. (2004): The Needs for Building Concept and Authorizing Implementation of Marine Cadastre in Indonesia, Jurnal, Indonesia.

Tamtomo, J.P. (2006): Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut dalam Kerangka “Marine Cadastre” (Sudi Kasus di Wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau), Disertasi Program Doktor, IPB.

UN-FIG. (1999): The Bathurst Declaration on Land Administration for Sustainabl Development. Report from the UN-FIG Workshop on "Land Tenure and Cadastral

Infrastructures for Sustainable

Development", Bathurst, NSW,Australia. Vaez., S. (2009): Marine Cadastres and Marine

Administration, Short Course on Modern Cadastres and Land Administration, University of Melbourne, Australia. Wisayantono, D. (2009): Optimisasi Spasial Ratio

Lahan dalam Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan, Disertasi Program Doktor, ITB.

Waljiyanto. (1998): Kadaster sebagai Basis Sistem Informasi Pertanahan,Seminar Nasional Dies XXVIII KMTG FT-UGM, 28 September 1998, Yogyakarta.

Widodo, S. (2004): Relationship of Marine Cadastre and Marine Spatial Planning in Indonesia, Jurnal, Indonesia.

Williamson, I., dan Wallace, J. (2007): New Roles of Land Administration Systems, Mongolia.

Williamson, I., Enemark, S., Wallace, J., dan Rajabifard, A. (2010): Land Administration for Sustainable Development, Esri.

Yuwono. (2006): Pemanfaatan Survai dan Pemetaan Laut untuk Menyongsong Kadaster Laut (Marine Cadastre), Jurnal, Teknik Geomatika FTSP-ITS.

Gambar

Gambar 2. Landasan Konsep Kadaster Kelautan di Kanada (Sumber: Nichols dan Monahan, 1999)
Gambar 3. U.S Marine Cadastre (NOAA, 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, paradigm baru pengelolaan wilayah pesisir dan laut mengacu dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menitikberatka pada

UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, dan Pulau- pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, Menteri adalah menteri yang

Jumlah rekomendasi pengelolaan dan model pemanfaatannya, serta Jumlah paket data terkait dengan fenomena alam dan sumber daya non hayati di wilayah pesisir ,laut, serta pulau-pulau

Berperan dan berkontribusi dalam lahirnya undang- undang yang terkait dengan kemaritiman, antara lain UU Perikanan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan

Upaya pengelolaan terumbu karang dalam konteks pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) merupakan bagian dari Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

Waktu penyelesaian : 80 jam. Rincian kegiatan : membuat analisis bahan materi bimbingan teknis peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah laut, pesisir

Pelaksanaan pemberian Coastal Award bertujuan untuk mengapresiasi, mendorong dan meningkatkan upaya pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau- pulau kecil secara terpadu

PER.02/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik