• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegagalan Pemimpin Islam Masa Kini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kegagalan Pemimpin Islam Masa Kini"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Pemimpin Islam: Kegagalan Mengusung Nilai

Ahmad Muarif (praktisi politik Islam)

Menarik sekali tulisan Buya Syafii, panggilan akrab Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, saat menyoroti kegagalan Parpol Islam dalam melahirkan pemimpin nasional (lihat Resonansi Republika, 2 September 2014). Beliau menganggap kemampuan memprodusir pemimpin dari parpol Islam, baik yang berasal dari kultur Masyumi, meski tak langsung seperti PAN, PKS dan PBB (nampaknya Buya terlupa memasukkan PPP yang salah satu unsurnya Parmusi, penerus Masyumi, pen); maupun berasal dari kultur NU seperti PKB dan PNU, kecuali di era Abdurrahman Wahid, tak satu pun menghasilkan pemimpin nasional yang didukung publik secara luas.

Bahkan secara khusus, Buya menyoroti satu parpol Islam yang pernah jadi perhatian (harapan?, pen) dengan kalimatnya yang tajam: Di antara parpol Islam yang pernah mendapat perhatian karena militan dan berlagak suci, kemungkinan hari depannya akan kelabu, karena dalam kelakuan politiknya tidak terjalin persahabatan antara kata dan laku. Sebagian besar tokohnya sama-sama mandi berkubang dalam luluk pragmatisme, berbanding lurus dengan kebanyakan parpol lain di Indonesia.

Gugatan Buya Syafii patut jadi perhatian mengingat mayoritas bangsa ini adalah umat Islam. Kegagalan parpol Islam dalam melahirkan pemimpin bisa dikatakan kegagalan umat mendapatkan orang-orang yang akan membawa mereka kepada ketinggian nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin(rahmat bagi alam semesta), sehingga tercapai baldatun thoyyibun warabbun ghafur (negeri sejahtera dalam ampunan Alloh swt).

Dalam konteks demikian, membincangkan Parpol Islam, khususnya dalam melahirkan pemimpin nasional yang diharapkan tentu menarik, terlebih usai hajatan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 yang baru berlalu. Setidaknya ada dua hal yang patut dicermati, Pertama, gagalnya prediksi pengamat yang menyebut habisnya era parpol Islam sehingga tingkat keterpilihannya bakal rendah.

Survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada akhir 2013 menyebutkan, perolehan suara parpol Islam semuanya berada di bawah angka 5 persen: PKB (4,5 persen), PPP (4 persen), PAN (4 persen), dan PKS (3,7 persen). Prediksi itu ternyata keliru besar. Kecuali PBB, Seluruh parpol Islam peserta pemilu, memiliki elektabilitas yang memadai dan bahkan bila bersatu atau berkoalisi mampu mengusung Capres sendiri mengingat jumlah suara mencapai 31,53 persen. (lihat tabel 2)

Sayangnya, ide koalisi parpol Islam hanya menjadi wacana saat digulirkan. Adalah PKB yang jauh-jauh hari sudah menyatakan tak berminat membentuk koalisi parpol Islam. Sebagai parpol bersimbol Islam yang memperoleh suara terbesar (9,04 persen), nampaknya PKB dibayangi trauma pemakzulan Abdurrahman Wahid, dari kursi Presiden pada 2001, setelah koalisi parpol Islam yang dikenal dengan sebutan Poros Tengah berhasil mendorong Gus Dur menjadi Presiden RI.

(2)

Sementara, PPP, mengambil ceruk pasar yang juga menjadi basis PKB hanya saja mayoritas ada di wilayah Jawa Barat. Selain itu, PKS lebih dikenal karena militansi kadernya dalam meraup suara.

Mayoritas pemilih masih lebih suka kepada parpol yang mengusung ideologi nasionalis-sekuler. Ini juga menjelaskan mengapa Parpol Nasdem sebagai pendatang baru dan Gerindra sebagai parpol medioker di pemilu sebelumnya mendapatkan suara yang cukup signifikan. Bahkan Nasdem melampaui suara PPP dan sedikit di bawah PKS (lihat Tabel 1). Selain PDI-P dan Golkar, perolehan suara Gerindra pada Pileg kali ini agak fenomenal. Setidaknya, dalam hemat penulis, faktor Prabowo sebagai patron atau tokoh parpol ini menarik minat pemilihnya.

Faktor ketokohan juga yang menyebabkan PDI-P dan Golkar, dengan diselingi Demokrat, menjadi selalu bergantian sebagai pemenang pemilu pasca reformasi. PDI-P dengan icon keluarga Bung Karno yang diwakili Megawati seakan masih menjadi magnet dalam setiap pesta demokrasi di negeri ini Pasca Reformasi. Apalagi, tahun ini faktor Jokowi selaku tokoh dan kader PDI-P menjadi pendorong kemenangan PDI-P.

Faktor tokoh pula yang menyebabkan Golkar lewat jejaring tokoh-tokohnya di birokrasi atau pemimpin di berbagai daerah bisa meraup suara yang besar. Demikian pula Demokrat berhasil memenangkan Pemilu 2009 lewat ketokohan seorang SBY. Karenanya, upaya parpol lain yang minim tokoh seperti PKS dan PAN sulit untuk bisa mengenjot suara. Sementara, PKB cukup jeli dengan menempatkan Raja Dangdut Rhoma Irama maupun Mahfudz MD sebagai Capresnya, sehingga mampu mendongkrak suara. Dalam prediksi penulis, pemilu mendatang ketokohan ini masih menjadi salah satu faktor pemenangan.

Gagal Mengusung Nilai

Persoalan minimnya tokoh yang “layak jual” kepada publik nampaknya menjadi persoalan tersendiri bagi parpol-parpol Islam. Selain PKB dengan Gus Dur-nya, praktis tak ada lagi tokoh parpol Islam yang “layak jual”. Era Reformasi ada nama Amien Rais dari PAN, namun kemudian redup seiring dengan masa. PKS pernah menampilkan Hidayat Nur Wahid saat menjabat Ketua MPR, namun seusai turun dan bertarung di Pilkada DKI, pamornya pun ikut menurun. PPP melalui Surya Dharma Ali, terbelit persoalan hukum. Demikian pula Yusril Ihza Mahendra di PBB yang ketokohannya masih sulit untuk menjadikan PBB lolos dari ujian Parliementary Treshold (PT).

Dalam amatan penulis, para tokoh pemimpin parpol Islam gagal memenuhi keinginan dan harapan publik terhadap kriteria sosok pemimpin mereka. Cendekiawan Muslim, KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) dalam sebuah kesempatan menyebut pemimpin yang diinginkan publik adalah pemimpin yang punya integritas, tegas, berani, dan pemimpin yang efektif. Selain itu, penuh rasa keadilan, cepat mengambil keputusan, dekat dengan rakyat, dan memihak pada rakyat.

Bila demikian, tak heran sosok seperti Joko Widodo (Jokowi) jauh lebih disenangi dan populer bagi rakyat dibandingkan para pemimpin parpol Islam. Hal ini karena Jokowi lebih dipersepsi publik sebagai pemimpin harapan mereka lewat berbagai sikap, laku maupun kebijakannya yang dianggap dekat dan memihak rakyat. Ide blusukan dan kesederhanaannya dengan segala pernak-perniknya ternyata lebih diterima publik daripada sosok para pemimpin parpol Islam.

(3)

persidangan Pengadilan Tipikor sebagai pihak yang dianggap menerima gratifikasi. Nampaknya, tinggal menunggu waktu bagi KPK untuk membuktikannya.

Dengan demikian, lengkaplah sudah kegagalan para elit parpol Islam dalam mengusung nilai-nilai yang sejatinya menjadi nilai dasar Islam dalam hidup dan berkehidupan. Integritas, tegas, berani, penuh rasa keadilan, sederhana, dekat dan memihak rakyat adalah nilai-nilai dasar Islam yang harus dimiliki seorang muslim, khususnya para pemimpin. Bila nilai-nilai itu sudah tak berlaku atau dilanggar, bagaimana mungkin berharap akan adanya kesetiaan atau perhatian dari masyarakat yang dipimpinnya?

Karenanya, dengan tidak menafikan masih banyak tokoh-tokoh di kalangan elit parpol Islam yang memiliki dan menjalankan nilai-nilai dasar tersebut, kita berharap adanya kesadaran dari para pimpinan parpol Islam untuk melakukan muhasabah atau evaluasi total atas semua kiprah dan langkah berpolitiknya selama ini. Bila tak ada evaluasi total dengan lebih mengedepankan upaya penegakan nilai-nilai dasar tersebut dalam laku berpolitiknya, maka jangan berharap rakyat akan berpihak dan mendukung.

Selain itu, sudah sepantasnya selaku elit parpol yang mengusung nilai dan simbol Islam, tak ada kata tawar-menawar dalam menjalankan nilai-nilai asasi ini. Sebab, beban mengusung nilai dan simbol Islam jauh lebih berat dan besar di mata publik, dibanding mereka yang berasal dari partai nasionalis-sekuler. Oleh karenanya, pepatah sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak dipercaya, nampaknya akan berlaku bagi mereka yang mempermainkan nilai-nilai ini dalam laku berpolitiknya. ***

Tabel 1: 10 parpol yang lolos PT

Parpol

Suara

Prosentase

Nasional Demokrat 8.402.812 6,72

PKB 11.298.957 9,04

PKS 8.480.204 6,79

PDI-P 23.681.471 18,95

Golkar 18.432.312 14,75

Gerindra 14.760.371 11,81

Demokrat 12.728.913 10,19

PAN 9.481.621 7,57

PPP 8.157.488 6,53

Hanura 6.579.498 5,26

Sumber KPU

(4)

Suara Parpol Islam Sejak Pemilu 1999-2014

Parpol

Pileg 1999

Pileg 2004

Pileg 2009

Pileg 2014

Jumlah

Suara

%

Jumlah

Suara

%

Jumlah

Suara

%

Jumlah

Suara

%

PKB 13.336.982

12,61 11.989.564

10,57 5.146.122

4,94

11.298.957 9,18

PKS

1.436.565

1,36

8.325.020

7,34

8.206.955

7,88

8.480.204 6,79

PAN 7.528.956

7,12

7.303.324

6,44

6.254.580

6,01

9.481.621 7,57

PPP

11.329.905

10,71 9.248.764

8,15

5.533.214

5,32

8.157.488 6,53

PBB

2.049.708

1,94

2.970.487

2,62

1.864.752

1,79

1.825.750 1,46

Gambar

Tabel 1: 10 parpol yang lolos PT

Referensi

Dokumen terkait

Think Pair Share dalam pembelajaran tematik terintegrasi pada tema benda-benda di lingkungan sekitar dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Poncomulyo (2)

Therefore, it is necessary to identify selection indices able to distinguish high yielding and drought tolerant groundnut cultivars in drought stress and in non

Hasil pengujian pembuatan rangkaian Inverter Setengah Jembatan Ganda ialah berupa nilai arus dan tegangan keluaran yang dapat dilihat pada tabel 4.2. Pada tabel tersebut

Salah seorang warga mendapatkan dana BUMDes, padahal tidak layak mendapatkan bantuan, karna tidak memenuhi syarat dan juga warga ini mempunyai ekonomi lumayan

Dan sebaliknya apabila IRR mengalami penurunan sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan pada variabel terikat ROA (Y) sebesar 0,004 persen dengan

aksentuasi pada gerakan Cianjur Agamis yang terimplementasikan dalam aktiftas perdagangan yaitu direalisasikan pendirian pasar tradisional syariah di Kecamatan Campaka

Sebutkan jenis bahan baku dan bahan penolong yang digunakan selama tahun 2019 dirinci menurut "banyaknya" dan "nilai" serta asal bahan tersebut Tidak

Pertimbangkan apakah kata atau kalimat pada setiap nomor bercetak tebal TIDAK PERLU DIPERBAIKI (A) atau diganti dengan pilihan lain yang tersedia (B,C,D, dan E).. Takabonerate berada