• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFLEKSI PEMBANGUNAN HOTEL DI YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REFLEKSI PEMBANGUNAN HOTEL DI YOGYAKARTA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

REFLEKSI PEMBANGUNAN HOTEL DI YOGYAKARTA: MASALAH KAPITALISME KOTA DAN WACANA HAK ATAS KOTA

Yogyakarta dikenal sebagai daerah yang memiliki banyak potensi ekonomi. Potensi ekonomi terutama pariwisata membawa dampak banyaknya wisatawan baik dalam maupun mancanegara yang singgah ke Yogyakarta. Perkembangan pariwisata di daerah ini juga cukup pesat. Dr Titi Kanti Lestari selaku Direktur Statistik Keuangan, TI & Pariwisata Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan wisatawan khususnya wisatawan mancanegara yang datang ke Daerah Istimewa Yogyakarta selama Januari-Juli 2016 naik 41,89 dibanding periode tahun 2015. Angka tersebut menurutnya merupakan yang tertinggi di Indonesia. (BPS,2016)

Sejalan dengan sumber daya dan potensi yang tersedia, pembangunan infrastruktur penunjang pun tidak dapat dihindari. Misalnya pembangunan secara massif terhadap hotel yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. BPS mencatat terjadi kenaikan signifikan pada pembangunan hotel di DIY dalam kurun waktu 2006-2015. Pada 2004 di DIY terdapat 37 hotel berbintang dengan 3458 kamar dan 1046 hotel non berbintang dengan 11.307 kamar. Angka tersebut naik pada tahun 2015 dengan data yang tercatat ialah 85 hotel berbintang dengan 8763 kamar dan 1081 hotel non berbintang dengan 13.831 kamar yang tersedia. Data itu menunjukkan betapa pesatnya pembangunan di Yogyakarta, apalagi dalam data tersebut belum mencantumkan angka pertumbuhan infrastruktur lain seperti mall dan apartemen. (BPS,2016)

(2)

Seiring dengan pembangunan yang massif di Yogyakarta, pada perkembangannya pembangunan yang ada mulai menunjukkan dampak negatif. Konsekuensi logis dari hadirnya hotel, mall dan apartemen ialah munculnya permasalahan lingkungan. Seperti diketahui bangunan – bangunan megah tersebut membutuhkan air dengan volume besar guna menunjang fasilitas yang ditawarkan. Pada praktiknya sumberdaya air yang seharusnya dimiliki bersama menjadi langka karena pemanfaatannya dimonopoli oleh pihak pengembang dalam hal ini ialah hotel, mall dan apartemen. Penggunaan air sumur dalam telah mengurangi secara signifikan jatah air bagi warga sehingga praktik privatisasi air tak dapat terhindarkan. Dampaknya dapat dirasakan melalui hadirnya konflik sosial antara warga dengan pihak pengembang. Munculnya gelombang protes hingga sengketa yang dibawa ke pengadilan merupakan gejala dari dampak negatif pembangunan di Yogyakarta.

Munculnya gerakan – gerakan penolakan dari warga mulai menjadi perhatian publik setelah dilakukannya kampanye penolakan melalui berbagai media seperti demo mandi pasir, pemviralan hashtag di media sosial hingga pembuatan film Belakang Hotel garapan Watchdoc. Munculnya gerakan perlawanan dan protes dari masyarakat akhirnya membuahkan hasil pada terbitnya Peraturan Walikota (Perwal) Yogyakarta Nomor 77 tahun 2013 Tentang Pengendalian Pembangunan Hotel yang kemudian direvisi kembali dalam Perwal Nomor 55 Tahun 2016. Perwal tersebut memutuskan moratorium pembangunan hotel berlaku hingga 31 Desember 2017. Akan tetapi peraturan yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2014 itu tetap meninggalkan masalah karena 106 perizinan pembangunan hotel terlanjur masuk dan 11 IMB hotel baru di wilayah Wirobrajan, Pakualaman, Gondokusuman, Jetis, Danurejan dan Gedongtengen telah diterbitkan per tanggal 31 Desember 2013. Bukan tidak mungkin pasca habisnya masa berlaku Perwal tersebut konflik yang terjadi akan muncul kembali.

(3)

relevan dalam upaya ekspansi kapitalisme karena memiliki sumberdaya yang mampu menyediakan kebutuhan akan akumulasi kapital terutama dalam bidang ekonomi berbasis pariwisata. Dampaknya pembangunan infrastruktur sebagai alat produksi semakin massif dan tak terkendali. Lebih jauh efek kapitalisme kota yang menimpa Yogyakarta mampu mendikte arah gerak pembangunan di kota ini.

Data sebelumnya yang menunjukkan angka pertumbuhan kedatangan wisatawan di Yogyakarta merupakan tertinggi di Indonesia menjadi instrumen legitimasi dalam melihat ekspansi kapitalisme kota yang terjadi. Dengan didukung data kebijakan pemerintah daerah dalam menerbitkan izin pembangunan hotel menjadi semakin tak terkendali. Hadirnya hotel yang dimiliki pemodal tentu menuntut adanya aspek – aspek yang mendukung operasional hotel tersebut. Terjaminnya pasokan air, pengelolaan sampah dan tersediannya lahan parkir menjadi beberapa contoh akan hal itu. Usaha – usaha pemberian akses operasional hotel – hotel tersebut (yang tentu saja guna menghadirkan akumulasi kapital) pada nyatanya menimbulkan konflik sosial dan lingkungan dengan warga sekitar. Terjadinya privatisasi air menjadi salah satu contohnya. Pihak hotel yang notabene bersaing dengan pemodal hotel lain tentu berupaya mengahadirkan pelayanan (dalam konteks ini penyediaan air) bagi konsumennya. Sumber daya air yang terbatas memicu pihak hotel memonopoli sumber daya air dengan cara pengambilan air dari sumur dalam. Hal itu mengakibatkan menurunnya pasokan air bagi warga sekitar yang dalam hal ini tidak memiliki teknologi pengambilan air secanggih pihak hotel.

(4)

Lembaga Ombudsmen Swasta (LOS) Yogyakarta pada tahun 2014 dari 23 hotel yang mereka survei secara acak, ada 10 hotel yang melanggar Perda No 2/2012 karena tidak memiliki ruang hijau dan daerah resapan air yang memadai (Tirto.id, 2016). Akumulasi dari hadirnya wacana tersebut ialah hadirnya konflik sosial warga. Banyak warga yang terpecah menjadi dua kubu yang pro dan kontra pembangunan hotel. Di satu sisi terdapat kelompok warga yang mengharapkan kehadiran hotel dapat meningkatkan taraf perekonomian, sedangkan di sisi lain ada kelompok yang menolak dengan berbagai pertimbangan terutama aspek keberlanjutan lingkungan.

Konflik sosial dan lingkungan yang terjadi kembali memunculkan tentang wacana hak atas kota. David Harvey dalam penjelasannya atas konsep hak atas kota mengemukakan bahwa hak atas kota tidak hanya merupakan hak – hak dasar dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari –hari. Sebenarnya hak atas kota pun meliputi hak – hak dasar seperti sandang, pangan, papan atau jika digeneralisasikan merupakan hak asasi manusia yang hakiki. Tetapi dalam hak atas kota terdapat poin penting bagaimana hak mengubah diri dengan cara mengubah kota. Konsekuensinya warga kota dapat lebih aktif dalam membangun kota sehingga dapat tercipta pembangunan yang adil. Dibanding melihatnya sebagai hak individu hak atas kota sejatinya ialah hak umum. Sayangnya kebebasan untuk mencipta dan membuat ulang kota dan diri kita yang merupakan HAM yang paling berharga justru merupakan yang paling terabaikan. (Harvey ,2008:3)

Perebutan hak atas kota menjadi wacana krusial dalam pembangunan di Yogyakarta. Tuntutan dipenuhinya hak – hak kehidupan yang terenggut pembangunan hotel semakin menguat pada periode 2010 hingga 2015 ketika dampak pembangunan hotel mulai dirasakan. Dampaknya muncul gerakan perlawanan seperti Jogja Ora Didol dan Warga Berdaya. Gerakan – gerakan tersebut kiranya berusaha menyuarakan kegelisahan warga Yogyakarta akibat pembangunan hotel yang kian massif. Terambilnya hak – hak dasar seperti air dan minimnya ruang terbuka hijau menunjukkan betapa hak atas kota bagi warga masih belum menjadi pertimbangan utama dalam pembangunan di Yogyakarta.

(5)

proses pembangunan. Lebih jauh pemerintah gagal memanfaatkan pembangunan sebagai sarana berkomunikasi dengan rakyat. Pemerintah dalam hal pembangunan sebelum maraknya gerakan perlawanan justru lebih berpihak kepada kepentingan pemodal dengan alasan penyerapan anggaran daerah.Akibatnya kerentanan warga semakinn parah dengan hadirnya krisis lingkungan dan konflik sosial yang terjadi.

(6)

Daftar Pustaka: Buku:

Harvey, David.2012.Rebel Cities: From the Right to the City to Urban Revolution. Verso Books

Harvey, David.2012. Imperialisme Baru. Yogyakarta:Resist Book

Jurnal/Majalah/Buletin:

Harvey, David. 2008. Right to the City. New Left Review

Pontoh, Coen Husain.2013. Hak Atas Kota. Majalah IndoProgress

Ananta, Dwi Dicky.2016.Partisipasi Masyarakat dan Hak Atas Kota. Buletin Bergerak

Internet:

http://jogja.tribunnews.com/2016/09/10/perkembangan-jumlah-wisatawan-mancanegara-ke-diy-tertinggi-se-indonesia diakses pada 19-04-2017 pukul 15:27

https://yogyakarta.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/41 diakses pada 19-04-2017 pukul 15:51 https://m.tempo.co/read/news/2017/01/13/090835888/pajak-hotel-yogyakarta-lampaui-target diakses pada 19-04-2017 pukul 16:08

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Karena biaya overhead yang tidak berdasarkan unit merupakan proporsi yang signifikan dari total biaya overhead dan ratio konsumsi berbeda antara kategori masukan

Calon peneliti menilai bahwa masih ada kendala yang dialami oleh pihak Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Gorontalo dalam melakukan penyelesaian sengketa tanah.

Selanjutnya Winkel (1997) mengatakan bahwa “prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajar sesuai dengan

Studi kasus mencoba untuk menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata (K. Studi kasus digunakan dalam penelitian karena peneliti mencoba menjawab pertanyaan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kepala Biro selaku. Ketua

Cipta, 2014), h.. membuat siswa bisa lebih terfokus pada kegiatan belajar mengajar di kelasnya, sehingga curah perhatiannya akan lebih tinggi. Tingginya tingkat curah

Prinsip kerja dari percobaan ini adalah sejumlah tertentu sampel teh dilarutkan dalam air mendidih dan Natrium karbonat, kemudian diekstraksi dengan menggunakan diklorometan

Maka, penyuaraan tentang kesenjangan dan permasalahan yang dihadapi perempuan dalam mengenyam pendidikan, melalui puisi di surat kabar, seperti yang dilakukan perempuan di