2 Sejarah berdirinya Mataram islam di Pulau Jawa tidak lepas dari eksistensi Kasultanan
Pajang setelah Kasultanan Demak hancur. Yaitu Sultan Hadiwijaya yang menghadiahkan kepada
Ki Ageng Pamanahan di Hutan mentaok dan ki Penjawi di Pati sebagai tanah perdikan, karena atas jasanya menaklukkan Arya Penangsang seorang Adipati Jipang Panolan (Purwadi : 2004). Ki
Ageng Pemanahan mempunyai seorang anak bernama Sutawijaya yang bergelar Ngabehi Loring
Pasar. Sutawijaya diangkat sebagai anak oleh Sultan Hadiwijaya dan diberi gelar Senopati Ing
Alaga Sayidin Panatagama (Adrisijanti : 2000).
Setelah berhasil membangun hutan Mentaok, kawasan itu diberi nama Kotagede. Dengan binaan ki Ageng Pemanahan wilayah tersebut menjadi wilayah yang maju dan hampir menyaingi
Kasultanan Pajang pada waktu itu. Setelah lama tinggal di Kotagede kemudian Ki Ageng
Pemanahan menamakan dirinya ki Ageng Mataram. De Graaf menyatakan bahwa pada tahun
1577 M, Ki Ageng Pemanahan sudah menempati Mataram lalu meninggal pada tahun 1583 M
dan dimakamkan di sebelah barat Masjid. Sebagai gantinya ialah putranya yang bernama Sutawijaya dan bergelar Panembahan Senopati.
Pada waktu itu Kasultanan Pajang yang sudah berganti kekuasaan yaitu oleh Pangeran
Benowo, dia memberikan haknya kepada Panembahan Senopati untuk membina Mataram.
Selama Panembahan Senopati berkuasa sedikit demi sedikit Keraton Kotagede mulai dibangun,
pembangunan benteng kota dari bahan bata serta pembuatan parit yang lebar (Adrisijanti : 2000). Masjid Agung Kotagede diselesaikan pada tahun 1511 Jawa / 1589 M, dan setelah itu
Senopati menyuruh untuk membangun Pemakaman di Kota Gede dalam Babad Momana (
Adrisijanti : 2000). Selain itu Panembahan Senopati juga banyak melakukan ekspansi ke
daerah-daerah di Jawa Timur. Panembahan Senopati wafat pada 1522 çaka / 1601 M dan dimakamkan di
sebelah barat ayahandanya.
Sebelum Panembahan Senopati wafat, orang-orang Belanda pimpinan Cornelis De
Houtman lewat Pelabuhan Banten mereka menginjakkan kakinya di Jawa pada tahun 1596 M.
Lalu setelah Panembahan Senopati wafat, Mataram diberikan kepada putranya Pangeran Jolang.
Walaupun Pangeran Jolang bukan anak tertua dari Panembahan Senopati tetapi dia tetap menjadi
raja, sedangkan anak tertua dari Panembahan Senopati bernama Pangeran Puger, dia diangkat menjadi Adipati Demak. Dalam pemerintahannya Raja membangun Prabayaksa ,Taman
Danalaya dan segaran (Adrisijanti : 2000). Dalam catatan Babad Tanah Jawi, Panembahan
Anyakrawati / Pangeran Jolang meninggal dunia pada tahun 1535 çaka / 1613 M dan dimakamkan
di Astana Pura Kota gede.
Setelah itu kekuasaan Mataram generasi ketiga diwarisi oleh R.M Jatmiko atau Pangeran Rangsang yang ketika menjadi raja Mataram bergelar Sultan Agung Senapati ing Alaga Ngabdur
3 Agung melakukan beberapa pembangunan di kota Mataram, yaitu membangun Keraton di Karta
pada tahun 1617 – 1629 M yang terdiri dari bangunan Prabayaksa dan Siti-Inggil, membuat
Pemakaman di Girilaya pada tahun 1632 M, membuka hutan di bukit Merak pada tahun 1637 M lalu juga membuat bendungan di sungai Opak, tahun 1643 dilakukan pembangunan Segaran /
Segarayasa di Plered, dan yang terakhir adalah membangun Pemakaman di Imagiri di bukit
Merak pada tahun 1645 M. Sultan Agung wafat pada tahun 1646 di istana Kerta, setahun setelah
didirikannya Pemakaman itu ( Graaf : 1986).
Lalu setelah itu pemerintahan Selanjutnya oleh :
-Susuhunan Amangkurat II ( 1677 – 1703 M ) – memindahkan Kraton Plered ke Kraton
Kartosuro (Wanakarta) pada tahun 1680 M.
-Susuhunan Amangkurat III ( 1703 – 1708 M ) – Dalam pemerintahan Amangkurat III
terdapat perebutan tahta kekuasaaan oleh Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang nantinya
bergelar Paku Buwono I.
-Susuhunan Pakubuwono I ( 1704 – 1719 M ) – Diangkat menjadi raja atas bantuan VOC, pada
waktu pemerintahannya banyak pemberontakan yang terjadi sampai akhir hayatnya.
-Susuhunan Amangkurat IV ( 1719 – 1726 M ) – Dari sinilah silsilah raja – raja Mataram
Surakarta, Mataram Yogyakarta dan Mangkunegaran berasal yaitu Pangeran Adipati Anom,
Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunegoro adalah anak dari Amangkurat IV.
-Susuhunan Paku Buwono II ( 1726 – 1749 M ) – Adalah raja termuda yang diangkat dalam
sejarah Mataram, ketika itu Pangeran Adipati Anom masi berusia 16 tahun dan diangkat menjadi
Raja. Sehingga pada waktu itu Patih Danurejo dan ibu Suri menjadi tokoh yang lebih berperan.
Pada tahun 1740 – 1743 terjadi geger Pacinan yang menyebabkan keraton rusak parah dan berhasil
diduduki oleh musuh. Lalu pada tahun 1746 M Keraton dipindahkan ke Desa Sala dan menjadi Keraton Surakarta.
Pada masa Pemerintahan Paku Buwono II, hubungannya dengan VOC yang sangat dekat
membuat putra dari Pangeran Mangkunegoro yang bernama R.M Said / Pangeran Sambernyawa
melakukan pemberontakan sehingga Susuhunan memerintahkan Pangeran Mangkubumi untuk
menghentikan pemberontakan tersebut dan dijanjikan akan diberi tanah di Sukowati. Tetapi Susuhunan Paku Buwono II karena bujukan patih Pringgoloyo sehingga membatalkan hadiah
4 tahta Mataram diperebutkan sampai pada tahun 1749 M Paku Buwono II wafat dan R.M Suryadi
diangkat menjadi raja Surakarta begelar Paku Buwono III oleh Van Hohendorff
(Poerwokoesoemoe : 1985). Sedangkan pada saat yang bersamaan Pangerang Mangkubumi dan R.M Said sudah dinobatkan oleh pengikutnya menjadi Sunan.
Perang terus berlangsung sampai pada akhirnya perjanjian Giyanti 1755 memecah
Mataram menjadi dua yaitu Surakarta yang dirajai oleh Paku Buwono III dan Yogyakarta
dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan
Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah yang medirikan Keraton di Hutan Beringan. Lalu dua tahun setelah itu terjadi perjanjian Salatiga
tahun 1757 M antara R.M Said dan Pakubuwono III yang memecah Mataram Surakarta menjadi
Praja Mangkunegaran dan R.M Said bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku
Nagara Senopati Ing Ayudha. Di susul pada tahun 1813 M setelah VOC bubar dan digantikan
Inggris, Pangeran Nata Kusuma anak dari Hamengku Buwono I melepaskan diri dari Kasultanan Yogyakarta menjadi Kadipaten Pakualaman dan bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Paku Alam.
Selama perpindahan Keraton dari Kotagede sampai Surakarta banyak bangunan –
bangunan yang dibangun pada masa itu, tentunya juga menarik jika melihat bangunan
peninggalan Mataram dari Kerajaan pecahan Mataram.
Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dibangun pada saat pemerintahan Sultan
Hamengkubuwono I tahun 1773 M sedangkan Masjid Agung Pakualaman dibangun oleh Adipati
Paku Alam II tepatnya pada tahun 1839 M.
Melihat dari latar belakang sejarah tersebut maka kita bisa mengetahui latar dari bangunan
Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dan Masjid Agung Pakualaman, serta Pemakaman Kotagede dan Pemakaman Pajimatan di Imagiri. Dari penggalan sejarah diatas sudah diketahui sejarah dari
Pemakaman Kotagede dan Pemakaman Imagiri tetapi untuk Masjid Gede Kauman dan Masjid
6 Masjid Kuno di Jawa menurut Sutjipto berasal dari bangunan tardisional yang bernama
pendopo. Istilah pendopo ini sendiri didapat dari kata "mandapa" yang dalam bahasa sansekerta
mengacu pada suatu bagian di kuil Hindu yang berbentuk persegi dan dibangun langsung diatas tanah. Di Jawa bangunan ini mengalami suatu proses penggabungan budaya sehingga menurut
Sutjipto bangunan "pendopo" ini adalah cikal bakal dasar arsitektur bangunan Masjid di Jawa
(Sugiyanti :1999).
Menurut G.F Fijper ciri khas Masjid Ageng kuno milik Keraton di Jawa antara lain sebagai
berikut (Sugiyanti:1999) (gambar denah 01);
1. Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan masif yang agak tinggi,
2. Berdiri diatas tanah yang padat, atapnya meruncing ke atas dengan jumlah ganjil,
mempunyai ruangan tambahan di barat untul mihrab,
3. Halaman sekeliling Masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk dari depan
yang disebut gapura.
4. Mempunyai serambi di depan atau di samping kedua sisinya(utara &selatan), 5. Denahnya segiempat, dibangun di sisi barat alun-alun,
6. Mihrab tidak menghadap ke kiblat,
7. Dibangun dari bahan yang mudah rusak,
8. Terdapat "parit"/"blumbang" di sekeliling atau didepan Masjid
Dari beberapa deskripsi diatas tentang bagaimana pola/denah Masjid Jawa akan diamati Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dan Masjid Ageng Pakualaman yang merupakan contoh
bangunan Masjid Keraton di Yogyakarta. Apakah konsep bangunan Masjid masih bertahan sesuai
dengan fungsinya atau sudahkah mengalami perubahan karena perkembangan jaman.
Pengamatan ini difokuskan pada bangunan ke-air-an dan bangunan yang menyimbolkan
Den
Keterangan :
MASJID G
Masjid ini dibangun pada
bernama K.Wiryokusumo. seper Keraton. Dengan mempertahank
Masjid-masjid jawa pada umumny
Masjid Gedhe Kauman Y
sebagai tempat untuk beribadah. S
Kompleks Masjid Gedhe Masjid Gedhe saja tetapi juga me
yang mengelilingi Masjid Gedhe
Makam, Kantor Sekretariat, Dew
sendiri luasnya 2578 m² yang terd
: 1999).
Masjid Gedhe Kauman te tahun 1867 M Serambi Masjid
kagungan dalem "Surambi Mu
Keraton pada tahun 1868 M, lu
Gedung Pajagan. Pada tahun 193
GEDHE KAUMAN NGAYOGYAKARTA
Foto Masjid Gedhe Kauman
da masa Pemerintahan Hamengku Buwono I
erti pada umumnya Masjid ini berada di bara nkan arsitektur tradisional jawa. Konsep tata ru
nya memiliki beberapa komponen utama.
n Yogyakarta ini adalah milik Kasultanan Yog
h. Sebagai wujud hubungan antara manusia deng
he Kauman memiliki luas keseluruhan ±16.000 memiliki halaman yang luas dengan pagar kelil
he yaitu Pagongan, 2 buah Pajagan, Pengulon
ewan Takmir dan kantor urusan agama. Sedang
erdiri dari serambi, ruang utama, mimbar dan pa
n telah mengalami renovasi beberapa kali akibat jid runtuh sehingga dibangun lagi dengan m
unara Agung" yang digunakan untuk memb
luasnya pun 2 kali lipatnya. Lalu pada tahun
1933 atap sirap yang terbuat dari kayu diganti d
I dengan arsiteknya eliling dan bangunan
lantai Serambi dari batu kali hitam diganti tegel kembang dan lantai ruang utama diganti marmer
dari Itali.
Pada awal masuk ke dalam halaman dalam dari Masjid akan menemui blumbang / kolam
keliling yang mengintari serambi Masjid. Pada awalnya Blumbang ini berukuran 4 m setelah dilakukan renovasi, blumbang ini berukuran lebar 1,25 m (Hidayah : 1995), nampaknya konsep air
dan tempat suci masih dipertahankan sebagai konsep makrokosmos dalam suatu peribadatan baik
dari agama pendahulunya (Hindu). Tentunya selain untuk mencucikan diri sebelum masuk
Masjid sedangkan yang lainnya adalah untuk bercermin diri untuk menghadap Tuhan (Hidayah :
1995). Tetapi sekarang Blumbang itu tidak ada airnya dan menurut Informasi Blumbang itu dulunya mengalir air yang bersih dari suatu sumber air, yaitu dari Kali Larangan dan disalurkan
dengan pipa-pipa sehingga airnya akan selalu bersih, agar jika para jamaah masuk ke Masjid selalu
dalam keadaan yang bersih. Sumber air dari Kali Larangan itu menurut informasi juga sebagai
sumber air di Taman Sari.
Blumbang th 1900-an (kitlv.nl) Blumbang th. 2012 (dok.pribadi)
Setelah itu jika masuk ke Serambi Utama akan menjumpai hiasan ornament-ornamen yang
indah dan ruangan yang terbuka, sedangkan Serambi Pabongan di sebelah utara Masjid dengan
bangunan yang tertutup biasanya digunakan untuk kegiatan Khitanan.
Ruang utama Masjid ditopang oleh empat buah soko guru utama dan 12 tiang soko rowo.
Yang disangga oleh soko guru ini adalah kronstruksi atap utama berbentuk tumpang atap tiga.
Selain itu di dalam ruang utama Masjid ini terdapat Mihrab dengan bentuk relung setengah
lingkaran berhias bunga dan tulisan arab, Mimbar yang terbuat dari kayu jati, Maksurah (sebagai
tempat salat raja), Pawestren yang terletak disebelah kanan ruang ruang utama dan beratap limasan. Bangunan lainnya yang berada didekat Masjid berupa Makam dan tempat Wudlu.
Tempat Wudlu pria yang berada di sebelah utara dari Masjid, sedangkan untuk wanita di sebelah
Sementara itu Masjid yang mempunyai atap berbentuk tumpang tiga dengan kemuncak
berbentuk Daun Kluwih yang berarti Keistimewaan dan Gadha yang melambangkan "alif" yang
artinya Esa. Atap tumpang pada masa Hindu juga diartikan sebagai konsep Gunungan atau
konsepsi dari Mahameru.
Untuk konsep air pada bangunan Masjid agung ini nampaknya masih dipertahankan
walaupun hanya berwujud bendawi saja tetapi makna dari adanya kolam tersebut sudah hilang.
Sumber air dari kolam tersebut juga sudah mati, yang seharusnya kolam tersebut mengalir air yang
bersih kini hanya bersumber pada air hujan saja. Terlebih lagi ukuran kolam tersebut sudah
mengecil dari ukuran aslinya.
MASJID AGUNG PURO PAKUALAM
Masjid AgungPuro Pakualam
Masjid Agung Puro Pakualaman dibangun setelah berakhirnya perang Diponegoro ,
Pembangunan Masjid ini dimulai oleh Pangeran Natadiningrat (Adipati Pakualam II) pada tahun
1839 M. Mengenai bentuk arsitektur dari Masjid ini seperti pada umunya memiliki komponen seperti yang sudah dijelaskan diatas, hanya letak dari Masjid ini berada di barat daya dari Istana
Masjid Agung ini mempunyai ukuran yang relatif kecil dibandingkan Masjid Agung yang
lain, luas Masjid utamanya 144 m² dan mempunyai empat serambi yang luasnya 438 m². Di dalam
serambi tengah terdapat lemari perpustakaan dan beduk sedangkan di sebelah timurnya disangga
oleh 12 tiang tanpa tembok (Zein : 1999).
Dari data diatas dan hasil pengamatan di lapangan diperoleh data jika serambi disisi
selatan, utara serambi ditutup oleh tembok. Dikatakan bahwa Masjid ini berbentuk segiempat dan
serambinya dahulunya berukuran kecil lalu ditambah serambi samping dan kini telah diperluas
dengan halaman masjid yang dijadikan serambi. Dikatakan juga bahwa dahulu di depan, di
samping Masjid tersebut terdapat Blumbangan yang airnya Melimpah, namun kini Blumbangan air tersebut telah diratakan utuk bangunan dan lantai halaman (Zein : 1999).
Dari Pengamatan setelah berkunjung di Masjid Puro Pakualam, saat masuk dari arah
timur melewati Gapura Padureksan yang arsitekturnya sudah islam, setelah itu langsung
berhadapan dengan Kelir. Jarak antara Masjid dan Kelir sekarang tampaknya sangat berdekatan,
dimungkinkan Bangunan disebelah barat Kelir merupakan bangunan tambahan baru mengingat sempitnya ruang antara tersebut. Kemungkinan dahulu benar apa yang dikatakan oleh Zein
dimana "di depan dan di samping Masjid Masjid tersebut digenangi blumbangan yang airnya
melimpah".
Seperti Masjid-masjid Jawa Kuno yang lainnya Masjid ini memiliki Maksurah,Mimbar
dan mihrab. Dari keseluruhan bangunan warna yang paling dominan di Masjid ini adalah warna
kuning. Sedangkan atap dari Masjid ini mempunyai atap tumpang berbahan dari genteng dan mempunyai Mustaka.
Menurut pengamatan Ma
asli dari semula untuk keperluan
blumbang telah hilang dimana seh
denah M
Keterangan :
asjid ini telah mengalami renovasi yang telah
an perluasan Masjid yang jamaahnya sudah mu
seharusnya ini adalah sebuah kesatuan dari konse
h Masjid Agung Pakualam
ah mengubah bentuk
ulai banyak. Bagian
13 !
14 Makam secara umum adalah tempat peristirahat terakhir bagi seseorang yang sudah
meninggal. Tetapi di Jawa suatu kompleks makam lebih dikenal dengan nama Hastana atau
Pasarean seperti di Kota Gede dikenal oleh masyarakat jawa dengan nama "Hastana Kitha Ageng" dan diImogiri dengan nama "Pasarean Ing Nata Padjimatan Imogiri".
Dari segi lokasi, Pemakaman - pemakaman kuno biasanya bisa ditempatkan di suatu
tempat dan dengan pola tertentu,yaitu ; 1) di belakang Masjid Agung : Makam raja Demak,
Makam raja Banten, Makam Laweyan 2) di atas bukit : makam Sunan Gunung Jati, makam Sunan
Giri, makam Sultan Cirebon 3) Makam yang tidak memiliki konteks tertentu : Makam
Amangkurat I, dan makam-makam yang tua lainnya. Dari penjelasan diatas nomor 1 dan nomor 2 adalah makam yang memiliki suatu konsep sedangkan nomor 3 bisa dikatakan makam yang belum
memiliki suatu konsep atau makam tersebut karena suatu hal maka maka ditempatkan di tempat
tersebut.
Pada konsep 1 dan 2 untuk kasus makam Kota Gede dan makam Imogiri walaupun
komplek
meninggal pada tahun 1601 M dan
Dari hasil pengamatan di
ada gapura dan didalamnya 1 bu
terdapat Gapura Padureksan da
halaman Masjid nampak Tugu J
motif Mahkota. Sedangkan Mas islam di Jawa. Masjid ini juga me
dibatasi oleh pagar.
MAKAM KOTA GEDE
leks makam kota gede ( sumber : kitlv.nl )
letak di sebelah barat Masjid. Sejarahnya pada
di Hotan Mentaok sebagai tanah perdikan dari
bagai Masjid Mataram, lalu setelah Ki Ageng
Masjid pada tahun 1583 M. Setelah itu Pane daerah tersebut menjadi Kerajaan Mataram, dala
an Masjid yang selesai pada tahun 1589 M dan s
ibangun (Adrisijanti : 2000). Sementara itu Pan
dan dimakamkan di sebelah Barat ayahnya.
di lapangan bahwa sebelum memasuki kawasan
buah pohon ringin yang besar. Dan sebelum
dan kelir yang hanya mempunyai satu jalan
u Jam yang bertuliskan Pakubuwono X dan di
asjid Kotagede seperti layaknya arsitektur Ma memiliki Blumbang / kolam, tetapi di Masjid K
ada waktu Ki Ageng
di ujungnya terdapat
Gapura Padureksan Masj
Lalu di sebelah Selatan te
luas dengan kelir yang mempun
mempunyai dua arah jalan ke ara pendopo-pendopo kecil yang ber
halaman tersebut terdapat senda
dari kedua sendang ini, tetapi kem
pensucian diri sebelum masuk ke d
Gapura pertama Makam
Lalu sebelum masuk ke K
untuk mengenakan pakaian ada
asjid Kolam keliling Masjid Kota ge
terdapat Gapura Padureksan yang terdapat ha
unyai jalan ke timur. Lalu Gapura Padureksan
rah selatan dan utara. Di Halaman selanjutnya erfungsi sabagai rumah kuncen untuk berjaga.
dang kakung dan pawestren. Belum diketahui
kemungkinan besar kedua sendang ini berhubun
e dalam Makam para pendiri Mataram.
Gapura Kedua Makam
e Kompleks Pemakaman itu orang yang akan
adat Jawa. Di gerbang pintu masuk Makam a gede
halaman yang cukup
an selanjutnya Kelir
nya tersebut terdapat a. Di sebelah selatan
ui secara pasti fungsi
ungan dengan ritual
n masuk diwajibkan
Padureksan yang pintunya tertutup berbeda dengan yang sebelumnya. Dari bahan juga bisa dilihat
bahwa di Gapura makam halaman kedua menggunakan bahan dari batu bata sedangkan di Gapura
pertama dan Gapura makam Agung lebih banyak menggunakan batu putih sebagai bahan dasar.
Di Padureksan makam Agung ini tidak mempunyai Kelir sehingga makam bisa terlihat dari luar.
Terlihat bahwa disetiap masing-masing padureksan memiliki hiasan ornament "kala" yang
ukurannya kecil dan hiasan sayap. Hiasan kala pada masa Hindu pada candi juga digunakan
sebagai pintu masuk di sebuah candi. Nampaknya ornament ini masih diteruskan sampai jaman
kerajaan islam walaupun mengalami pengecilan ukuran. Sedangkan sayap pada samping gapura
merupakan simbol dari dari sesuatu yang berada diatas.
Dari pengamatan tersebut bisa dikatakan bahwa makam ini mempunyai dua halaman dan
di halaman kedua terdapat sendang di sebelah selatan. Adanya sendang ini adalah terkait dengan
bangunan tata air sebagai konsep dari tata bangunan air di sebuah makam, mungkin dahulu orang
yang akan masuk ke dalam makam harus membersihkan badan dahulu untuk berziarah. Jika
ditilik, ternyata konsep air sebagai penyucian tidak hanya terdapat pada Masjid tetapi juga terdapat pada makam, tetapi sepertinya konsep itu sekarang disalah artikan bahwa sendang itu
mempunyai makna yang berbeda yaitu untuk mencari berkah, menurut informasi sumber air di
salah satu sendang itu bersumber dari makam Panembahan Senopati.
Di dalam makam belum sempat dilakukan pengamatan, tetapi beberapa informasi yang
diperoleh bahwa di jumlah makam di kompleks makam tersebut adalah 627 makam, makam yang
tertua dilindungi oleh satu cungkup besar yang terdiri dari tiga bagian dan didalam tersebut terdapat 81 makam. adapun tokoh-tokoh pendiri Mataram yang dimakamkan antara lain : Ki
Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati.
Sketsa kompleks makam Kota gede dari timur ( kitlv.nl)
Sedangkan di cungkup yang paling belakang adalah adalah Nyai Ageng Henis,
dari Mataram.Tokoh Nyai Agen
Ageng Henis kiranya dimakamka
jauh dari bekas Keraton Pajang.
Gapu
Di dalam kompleks maka Adipati Pakualam I sampai IV. D
makamnya berada di dalam cungk
keluarga sekaligus musuh dari Pan
Dari data diatas diperoleh
tidak selalu berada di paling belak putri sebagai wujud dari tempat p
letaknya lebih rendah dibandingk
tangga. Kemungkinan sendang i
sumber air.
eng Henis adalah ibu dari Ki Ageng Pemana
kan di Belakang Masjid Laweyan di Surakarta y
apura Padureksan Makam
kam tesebut juga terdapat makam Sultan Ham Dan yang menarik adalah makam Ki Ageng M
gkup dan di luar cungkup, konon itu pertanda b
anembahan Senopati.
leh kesimpulan bahwa makam utama dari pendi
lakang. Konsep air masih ada pada sendang Ka t penyucian sebelum masuk ke dalam makam. K
gkan masjid dan makam, jalur masuknya pun ha
MAK
Replika Komplek
Makam ini terletak di Bu
pada awalnya membangun makam
seorang yang memimpin pemban pemakaman yang sudah dibang
kematiam Sultan Agung di dalam
Merak sebelah selatan dari Girilay
Hastana Imogiri dibangun
Agung yang berada di bukit palin
sebagai peneduh makam Sultan A bahan bangunan dari kayu Wun
Sedangkan makam Sultan Agun
dengan makam para raja peneru
yang paling tinggi dan berada di
Agung berada di dalam cungku informasi juru makam diceritaka
dan pengap sehingga sulit untuk m
Di dalam laporan De Graa
mengambil kayu dari Palembang.
Sultan Agung. Dia juga menga Palembang untuk dijadikan cungk
KAM PADJIMATAN IMOGIRI
leks Makam Imogiri (museum Radya Pustaka)
Bukit Merak Imogiri. Menurut informasi bahw
am di Girilaya dan sudah hampir selesai, tetapi k
bangunan di Girilaya tersebut meninggal dan d ngun oleh Sultan Agung. Dan untuk itu se
lam istana, beliau menyuruh membangun pema
ilaya.
gun pada tahun 1645 M, dengan makam utama
ling atas.. Menurut informasi bangunan Proboye
Agung) berbentuk Tajuk dan bermahkota dari unglen, ukuran bangunan 14,20 X 12,50, lan
ung mempunyai hiasan yang lebih sederhana
rus Mataram lainnya. Makam Sultan Agung b
di paling belakang dari makam yang lainnya.
kup dengan bahan kayu Wunglen (Adrisijant kan bahwa makam sultan Agung di dalam ruan
k melihat makam tersebut.
raaf pernah disinggung bahwa ada tiga kapal dar
ng. Menurutnya kayu tersebut untuk bahan ban
gatakan bahwa orang-orang Jawa sering mem ngkup makam (Adrisijanti : 2000).
M
Sebelum sampai ke kompl
(Atmosudiro : 2007). Pada anak
hitam pekat di antara Gapura Sup Endranata yang dianggap telah
melawan Belanda.
Sebelum masuk ke Komp
sejaman dengan pembangunan K
tetapi sekarang bagian atapnya s halaman di depan (Atmosudiro
mensucikan diri sebelum masu
masjidnya, Masjid ini disangga ol
tersebut berbahan kayu jati. Mih
hiasan ukiran yang diantaranya m
Makam Sultan Agung ( kitlv.nl)
pleks makam Imogiri terdapat setidaknya ada 3
ak tangga Sultan Agungan di bagian tengah a
upit Urang, menurut cerita disitu adalah makam lah mengkhianati Mataram ketika Sultan Ag
mpleks makam ini terdapat Masjid Masyhad
Kompleks makam ini. Secara umum Masjid in
a sudah diganti oleh seng. Terdapat pawastren iro : 2007) , kolam yang dimaksud adalah
asuk Masjid. Terdapat bedug yang dibuat s
oleh saka guru yang berumpak persegi dari batu
Menarik bila dilihat bahw dan sebagai Masjid masyhad, dul
(Zein : 1999). Sedangkan untuk k
dari atapnya mempunyai mustak
bertumpang dua. Di depan Ma
peneduh bagi abdi dalam dan seba
Setelah menaiki tangga
dulunya tangga hanya tersusun d
Sebelum masuk ke Komplek mak
kolam air. Unsur air juga ditemuk
unsur air masih dipertahankan s kakung dan putri di Makam Ko
mendapatkan sumber air.
Bent
Sebelum menuju ke kolam
memerintah dari Plered, Kartos
makam dari raja dari trah Surakar
Di Depan gerbang Makam
besar. Tempayan di sisi paling (Palembang). Di sebelah kanan
Tempayan berikutnya bernama
hwa Masjid ini terdapat kolam walaupun ukura dulu fungsi dari kolam ini adalah untuk menga
k kondisi Masjid ini sudah mengalami beberapa
taka yang berbentuk bunga kenanga dan atap
Masjid ini terdapat sebuah pendopo yang be
ebagai pemantau pada tamu yang ingin naik men
a yang sekarang tangga di imogiri ini meng
n dari bata merah saja tetapi sekarang sudah d
akam Sultan Agungan tepatnya sebelum supit
ukan di Komplek makam ini, walaupun tempatn
sebagai bagian dari bangunan suci. Berbeda d Kota gede yang kemungkinan besar menguran
entuk atap Masjid Masyhad Imogiri
am tadi di sebelah timur adalah kompleks makam
osuro dan Yogyakarta sedangkan di bagian ba
arta (lihat denah 03).
kam Kasultananagungan terdapat 4 buah temp
Tempayan di sisi paling kanan
dimakamkan di Tegal. Sedangk
dimakamkan di Kota Gede, Sul
satunya keturunan dari Yogyakar para pendiri Mataram.
Sementara seperti Mang
Mataram mempunyai kompeks
Mangkunegoro I dimakamkan d
Gunung Lawu. Lalu dari pakuala
nampaknya tradisi terbut sekaran suro terdapat tradisi nguras gento
yang ada mempunyai berkah. Han
an bernama Nyai Siyem yang berasal dari Si ikuras setahun sekali pada bulan Sura atau Muha
m sebelum masuk makam th.1901 (kitlv.nl)
yang tidak dimakamkan di Imogiri adalah Raja
karenakan bahwa pada saat itu Keraton Plered berontakan Trunojoyo yang menyebabkan Ama
a saat perjalanan tersebut raja meninggal lalu
gkan yang kedua adalah Sultan Hamengku B
ultan yang banyak mendirikin pesanggrahan i
karta yang mandatnya agar dimakamkan di Kot
ngkunegaran dan Pakualam yang merupakan
s pemakaman sendiri. Dari Mangkunegaran
n di Astana Mangadeg yang berada di bukit M
alaman juga membangun Astana Giriganda yang
un tidak pada bangunan makam Imogiri, dari M
pleks makam Sultan Agungan dan beberapa
ak bisa dipungkiri adanya. Air mempunyai ked
i sebelum masuk ke dalam kompleks yang pa
rang sudah mulai luntur. Hanya saja pada seti ntong, dimana air di dalam gentong tersebut men
anya itu saja yang tersisa mengenai bagaimana c
24 diri sebelum masuk ke makam belum ditemukan data, karena kolam tersebut dibangun sebuah
jembatan. Dan untuk aliran air dari kolam tersebut dari informasi dikatakan bahwa air tersebut
bersumber dari air yang mengalir, tetapi belum diketahui dari mana sumber air tersebut.
SKET
Sketsa Makam tahun 1800-an (kitlv.nl)
ETSA KOMPLEK MAKAM PADJIMATAN IMOGIRI
Sketsa Makam Tahun