i JUDUL:
THERMAL GCC (GREEN CORE COMPOSITE), PANEL DINDING
KOMPOSIT PENGHAMBAT PANAS BERBAHAN DASAR LIMBAH
SEKAM PADI DAN KERTAS HVS SEBAGAI SOLUSI PENINGKATAN
KUALITAS LINGKUNGAN DALAM RUANGAN DAN PENANGANAN
LIMBAH GABAH KERING DAN KERTAS
Diusulkan oleh:
Silvester Adi Surya Herjuna (I0311031 / 2011)
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
KOTA SURAKARTA
ii
1.Judul Karya Tulis : Thermal GCC (Green Core Composite), Panel Dinding Komposit Penghambat Panas Berbahan Dasar Limbah Sekam Padi Dan Kertas Hvs Sebagai Solusi Peningkatan Kualitas Lingkungan Dalam Ruangan Dan Penanganan Limbah Gabah Kering Dan Kertas 4. Anggota Pelaksana Kegiatan/Penulis: 1 orang
5. Dosen/Guru Pembimbing
a. Nama Lengkap dan Gelar : Dr. Wahyudi, S.T.,M.Si
b. NIP : 19770625 200312 1 001
c. Alamat Rumah dan No Tel./HP : JL Ki Mangunsarkoro No.45, Tegal Mulyo, Nusukan, Surakarta / +6281548747464
Mengetahui,
Dosen/Guru Pembimbing Ketua Pelaksana
(Dr. Wahyudi Sutopo, S.T., M.Si) (Silvester A.S. Herjuna)
iii
Segala Puji syukur ke hadirat Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat
terselesaikan. Dalam pembuatan karya ilmiah ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. Wahyudi Sutopo, S.T., M.Si selaku dosen pembimbing dalam
penulisan proposal.
2. Orang tua yang selalu mendukung, mendoakan, dan memberikan
bantuan moral dan materiil
3. Rekan-rekan dari Studi Ilmiah Mahasiswa (SIM) yang senantiasa
membantu penulis
Karya ilmiah ini disusun dengan harapan dapat memberikan salah satu
alternatif solusi kepada mahasiswa, masyarakat, dan Negara Indonesia.
Surakarta, 01 Mei 2015
iv
v
Halaman Pengesahan ... ii
Lembar Originalitas ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi... v
Abstract ... vi
BAB I Pendahuluan ... 1
BAB II Tinjauan Pustaka ... 5
BAB III Metode Penelitian ... 12
BAB IV Hasil dan Pembahasan ... 19
BAB V Simpulan dan Saran ... 28
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi beras
terbesar di dunia. Sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi beras
sebagai makanan pokok. Konsumsi beras Indonesia yang tinggi menuntut tingkat
produksi beras yang besar pula. Produksi padi di Indonesia bertambah setiap
tahunnya, pada tahun 2007-2011 secara berturut-turut produksi padi di Indonesia
dari tahun 2012 sebesar 68,96 juta ton meningkat menjadi 70,86 juta ton gabah
kering giling (GKG) (Puslitbang, 2013).
Produksi padi menghasilkan limbah yang disebut dengan sekam. Pada
umumnya penggilingan padi menghasilkan 72 % beras, 5-8 % dedak, dan 22 %
sekam (Prasad, dkk., 2001). Selama ini, pemanfaatan limbah sekam padi di
Indonesia sangat terbatas pada produk-produk yang tidak bernilai ekonomi tinggi,
antara lain sebagai media tanaman hias, pembakaran unit memasak, pembakaran
bata merah, alas pada ayam/ternak petelur, dan keperluan lokal yang masih
sangat sedikit karena keras dan sifat kandungan seratnya yang tidak dapat diolah
menjadi produk pakan maupun kertas. Sekam padi yang selebihnya akan
dimusnahkan dan biasanya dibakar secara terbuka di kawasan lapang.
Pembakaran tersebut banyak dilakukan tetapi sekiranya tidak dilakukan dengan
benar, maka berakibat pada masalah pencemaran (Houston, 1972).
Sama halnya dengan limbah sekam padi, limbah kertas HVS di Indonesia
juga cukup banyak. Hal ini disebabkan besarny tingkat konsumsi kertas di
Indonesia. Kebutuhan pulp dan kertas di Indonesia mencapai 4,14 juta ton pada
tahun 2008. Sebenarnya masyarakat indonesia sudah sadar akan pemanfaatan
limbah kertas menjadi bahan yang dapat didaur ulang. Pemanfaatan limbah kertas
saat ini terbatas untuk menghasilkan produk-produk kertas daur ulang, pengganti
media tanam dan barang-barang kerajinan.
Terdapat beberapa alternatif cara untuk mengolah limbah-limbah tersebut
lingkungan, yaitu dengan mengolahnya menjadi panel dinding komposit. Panel
dinding komposit dipilih karena jumlah produksi kayu di Indonesia tidak dapat
memenuhi permintaan yang mencapai sekitar 60.084.400 m3 per tahunnya,
dimana jumlah kayu tersebut selain digunakan sebagai bahan dasar panel dinding
juga digunkan untuk industri meubel, industri kertas, penggunaan kayu untuk
pembuatan rumah, penggunaan kayu bakar untuk industri (misalnya pembuatan
bata), pemakaian rumah tangga, dan masih banyak lagi (FAO, 2005). Padahal
total produksi kayu pada tahun 2012 menurut Kementrian Lingkungan Hidup
sebesar 12.100.000 m3. Dapat disimpulkan bahwa jumlah produksi kayu tidak
bisa mencukupi estimasi pemakaian kayu di Indonesia atau Indonesia kekurangan
sekitar 40.000.000 m3.
Oleh karena itu, banyak terjadi penebangan hutan dimana-mana baik
dilakukan secara legal maupun secara ilegal. Hutan-hutan di Indonesia, terutama
di Kalimantan dan Papua, kini banyak yang gundul. Angka deforestasi
(kerusakan hutan) Indonesia pada periode 2000–2005 sebanyak 1,8 juta
hektar/tahun (FAO, 2007). Berdasarkan data yang diungkapkan pula oleh wakil
sekretaris Asosiasi Pengusaha Kayu Indonesia bahwa jumlah penebangan ilegal
di Indonesia berkisar 56.000.000 m3 per tahunnya dan jumlah ini melebih
produksi kayu yang resmi (Agung Nugroho, 2012).
Penebangan hutan ilegal yang berlebihan akan memberikan dampak negatif
terhadap kondisi lingkungan di Indonesia, terlebih lagi bahwa Indonesia menjadi
salah satu negara yang memiliki luas hutan terbesar di dunia dan memiliki andil
yang cukup besar dalam menjaga keseimbangan alam. Dampak negatif tersebut
antara lain, mengancam kerusakan habitat flora dan fauna yang dapat pula
mengancam kehidupan manusia. Selain itu, penebangan hutan yang berlebihan
dapat menambah efek dari pemansan global yang sedang melanda seluruh dunia.
Pemanasan global akan berdampak pada semakin panasnya udara yang di
atmosfer dan menipiskan lapisan ozon. Dampak negatif yang paling
mengkhawatirkan adalah saat musim hujan. Pada saat musim hujan turun dengan
lebat, hutan yang berfungsi sebagai penahan volume air dan akar-akarnya yang
pohon yang ada di hutan, dampak yang akan ditimbulkan jauh lebih besar dan
mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup.
Komposit dapat dijadikan alternatif pengganti kayu sebagai bahan dasar
panel dinding. Selain dapat menjadi solusi menjadi alternatif pengganti kayu,
bahan dasar komposit dapat direkayasa sedemikian rupa dengan menggunakan
limbah-limbah yang ada. Limbah yang digunakan adalah limbah sekam padi dan
limbah kertas HVS karena jumlahnya cukup melimpah di Indonesia dan juga
sebagai solusi dalam mengatasi pengoolahan limbah-limbah tersebut.
Limbah kertas HVS memiliki karakteristik mudah untuk menyerap cairan,
gas, udara, karena bersifat hidrolik selulosa (Nurminah, 2002). Papan partikel
sekam padi memiliki konduktivitas termal 0,133 W/moC pada sumber kalor 70o.
Hal ini menunjukkan bahwa sekam padi memiliki kelebihan dalam menghambat
panas, dimana papan partikel yang memiliki sifat hambat panas dapat menjaga
temperatur ruangan tersebut tetap nyaman (Wibowo, 2008). Pembuatan komposit
harus memertimbangkan kekuatan yang dimiliki core dari komposit. Dari
beberapa jenis komposit, komposit jenis sandwich dapat menahan beban yang
lebih berat. Komposit sandwich terdir dari tiga lapisan yaitu dua flat composite
sebagai skin dan core diantara skin tersebut (Diharjo, 2005). Komposit jenis
sandwich bertujuan agar efisiensi berat yang lebih optimal, namun memiliki
kekuatan dan kekakuan yang lebih tinggi (Schwartz, 1984). Dari data tersebut
maka diperlukan skin yang sesuai untuk core komposit. Skin yang baik untuk
digunakan adalah serat fiber karena memiliki kekuatan yang cocok dijadikan
sebagai skrin komposit.
Komposit pada memiliki memiliki karakteristik bahan yang lebih ringan
dibandingkan dengan kayu. Namun untuk dijadikan sebagai panel dinding,
menurut SNI 01-4449-2006, spesifikasi panel dinding yang perlu diperhitungkan
yaitu kuat lentur dan kekuatan impak. Untuk memeriksa apakah suatau bahan
memiliki kekuatan lentur dapat dilakukan pengujian bening. Kemudian, uji
impact juga perlu dilakukan untuk mengukur ketangguhan suatu bahan jika
diberikan suatu beban kejut menurut ASTM D 5942-96. Hal ini dikarenakan
bahan yang akan dijadikan sebagai panel atau sekat dinding harus memiliki
selain dapat merekayasa besar kekuatnnya, komposit dapat memiliki kelebihan
tertentu. Salah satunya sebagai penghambat panas. Kelebihan ini sangat
diperlukan, karena panel dinding digunakan sebagai dinding ruangan harus dapat
menjaga suhu ruangan tersebut agar suasana ruangan lebih nyaman untuk
digunakan dalam beraktivitas. Selain itu saat ini hampir setiap bangunan
memiliki Air Conditioner (AC), dimana ruangan yang memiliki AC harus dapat
menjaga suhu didalamnya. Mengingat jika suhu ruangan sulit untuk dijaga, AC
akan bekerja lebih dan memerlukan energi listrik yang besar. Sehingga suhu
ruangan yang terjaga dapat mengurangi besar energi yang diperlukan AC.
Karya tulis ini akan membahas mengenai perancangan komposit jenis
sandwich berbahan sekam padi dan kertas HVS yang akan dinamakan Thermal
GCC (Green Core Composite). Pada penelitian ini akan ditentukan komposisi
yang pas antara sekam padi dan kertas HVS yang cocok sebagai core komposit
yang akan dijadikan sebagai bahan dasar panel dinding yang memiliki
keunggulan penghambat panas. Selain itu akan dilakukan tiga pengujian untuk
menguji kekuatan dari komposit, yaitu uji bending, uji impact, dan uji
konduktivitas termal.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimana merancang
komposit jenis sandwich berbahan sekam padi dan kertas HVS yang dapat
digunakan sebagai panel dinding yang memiliki fungsi hambat panas pengganti
kayu berdasarkan pada uji bending, uji impact, dan uji konduktivitas thermal?
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Adapun tujuan dan manfaat dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk:
1. Memanfaatkan limbah sekam padi dan kertas HVS menjadi bahan dasar
komposit jenis sandwich untuk panel dinding sebagai panel dinding,
sebagai solusi dalam penanganan limbah-limbah tersebut.
2. Mengukur kekuatan, ketangguhan, melalui uji bending, uji impact, dan uji
konduktivitas termal sebagai rekomendasi alternatif pengganti kayu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini berisi dasar-dasar teori yang melandasi topik penelitian.
Pada bab ini akan dijelaskan pula mengenai pengertian komposit dan
landasan teori tentang uji bending dan impak.
2.1 K OMPOSIT
Komposit ialah dua bahan atau lebih yang berbeda yang digabung atau
dicampur secara makroskopis menjadi suatu bahan yang berguna. Karena
bahan komposit merupakan bahan gabungan secara makro, maka bahan
komposit dapat didefinisikan sebagai suatu sistem material yang tersusun
dari campuran atau kombinasi dari dua atau lebih unsur-unsur utama yang
secara makro berbeda di dalam bentuk dan atau komposisi material yang
pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. (Schwartz, 1984).
Pada umumnya bahan komposit terdiri dari dua unsur, yaitu serat (fiber)
dan bahan pengikat serat-serat tersebut yang disebut matriks. Komposit juga
dapat dibentuk dari kombinasi dua atau lebih material, baik logam, organik
ataupun anorganik. Kombinasi material yang mungkin di dalam komposit
tidak terbatas, namun unsur pokok dari bentuknya terbatas. Unsur pokok
dalam komposit adalah serat, partikel, lamina atau lapisan, flake, filler, dan
matriks. Matriks adalah unsur pokok tubuh komposit yang menjadi bagian
penutup dan pengikat struktur komposit. Serat, partikel, lamina (lapisan),
flake, filler dan matriks merupakan unsur pokok struktur karena unsur
tersebut menentukan struktur internal komposit (Schwartz, 1984).
Unsur utama komposit adalah serat. Serat inilah yang terutama
menentukan karakteristik bahan komposit, seperti: kekakuan, kekuatan, serta
sifat-sifat mekanik yang lainnya. Seratlah yang menahan sebagian besar
melindungi dan mengikat serat agar dapat bekerja dengan baik.
Salah satu keuntungan material komposit adalah kemampuan material
tersebut untuk diarahkan sehingga kekuatannya dapat diatur hanya pada arah
tertentu yang kita kehendaki. Hal ini dinamakan "tailoring properties" dan
ini adalah salah sifat istimewa komposit dibandingkan dengan material
konvensional lainnya. Selain kuat, kaku dan ringan komposit juga memiliki
ketahanan terhadap korosi yang tinggi serta memiliki ketahanan yang tinggi
pula terhadap beban dinamis, oleh karena itu, untuk bahan serat digunakan
bahan yang kuat, kaku dan getas, sedangkan bahan matriks dipilih bahan-
bahan yang liat dan lunak. Selain itu, keuntungan lain penggunaan komposit
antara lain ringan, tahan korosi, tahan air, performance-nya menarik, dan
tanpa proses pemesinan. Beban konstruksi juga menjadi lebih ringan (Hadi,
2001).
2.2 JENIS-JENIS KOMPOSIT
Bahan komposit dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis,
tergantung pada geometri dan jenis seratnya. Hal ini dapat dimengerti karena
serat merupakan unsur utama dalam bahan komposit tersebut. Sifat-sifat dari
bahan komposit, seperti kekakuan, kekuatan, keliatan dan ketahanan
tergantung dari geometri dan sifat-sifat seratnya (Hadi, 2001).
Berdasarkan penempatannya terdapat beberapa tipe serat pada komposit
seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini, yaitu:
1. Continuous Fiber Composite, Continuous atau uni-directional,
mempunyai susunan serat panjang dan lurus, membentuk lamina
diantara matriksnya. Jenis komposit ini paling banyak digunakan.
Kekurangan tipe ini adalah lemahnya kekuatan antar antar lapisan.
Hal ini dikarenakan kekuatan antar lapisan dipengaruhi oleh
Gambar 2.1 Continuous Fiber Composite Sumber : Gibson, 1994
2. Woven Fiber Composite (bi-dirtectional), Komposit ini tidak mudah
terpengaruh pemisahan antar lapisan karena susunan seratnya juga
mengikat antar lapisan. Akan tetapi susunan serat memanjangnya yang
tidak begitu lurus mengakibatkan kekuatan dan kekakuan tidak sebaik
tipe continuous fiber (Gibson, 1994).
Gambar 2.2 Woven Fiber Composite Sumber : Gibson, 1994
3. Hybrid fiber composite, Hybrid fiber composite merupakan komposit
gabungan antara tipe serat lurus dengan serat acak. Pertimbangannya
supaya dapat mengeliminir kekurangan sifat dari kedua tipe dan dapat
menggabungkan kelebihannya (Gibson, 1994).
Gambar 2.4 Hybrid fiber composite Sumber : Gibson, 1994
Komposit adalah sistem material yang terdiri dari gabungan dua atau lebih
unsur pokok makro yang berbeda bentuk atau komposisi yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain (Schwantz, 1984). Secara umum komposit tersusun
atas
1. Komponen penguat, yaitu serat dan partikel yang merupakan struktur
internal.
2. Komponen pengikat, yaitu perekat yang berguna mengikat serat,
melindungi serat dari kerusakan luar dan meneruskan beban yang
diterapkan ke serat.
3. Komponen tambahan, yaitu bahan tambahan/additive yang dicampur
dengan perekat saat pembuatan komposit.
2.3 UJI IMPACT
Kekuatan impak digunakan untuk mengetahui ketangguhan suatu bahan.
Ketangguhan adalah suatu ukuran energi yang diperlukan untuk mematahkan
suatu bahan. Energi ini merupakan hasil kali gaya dan jarak, dinyatakan dalam
satuan joule (Van Vlack, 1985). Kekuatan tersebut dapat diukur dengan
melakukan uji impact. Salah satu metode uji impact dengan menggunakan
metode charpy. Untuk uji impak charpy posisi spesimen horizontal sedangkan
untuk uji impak izod posisi spesimen vertikal (Callister, 2007).
Uji impak dilakukan dengan memberikan pembebanan secara tiba-tiba yang
terbatas pada area tertentu pada suatu material. Energi impak yang diserap oleh
spesimen hingga terjadi patahan yang dinyatakan dalam satuan joule digunakan
untuk mengetahui tingkat ketangguhan material itu (Kilduff dalam Ipudatu,
mematahkan spesimen material komposit adalah (Shackelford dalam Maryani,
2010):
Keterangan:
W : Berat beban/pembentur (N)
R : Jarak antara pusat gravitasi dan sumbu pendulum (m)
Eserap : Energi yang terserap (Joule)
: Sudut pendulum sebelum diayunkan
: Sudut ayunan pendulum setelah mematahkan spesimen β’ : Sudut ayunan pendulum tanpa spesimen
Setelah diketahui besar energinya maka besarnya kekuatan/energi impak
dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Shackelford dalam Maryani,
2010):
Keterangan:
E : energi yang diserap (Joule)
A : luas penampang di bawah takik (mm2)
2.4 UJI BENDING
Kekuatan bending atau kekuatan lengkung adalah kekuatan beban terbesar
yang dapat diterima akibat pembebanan luar tanpa mengalami deformasi yang
besar atau kegagalan. Akibat pengujian bending, pada bagian atas spesimen akan
mengalami tekanan, dan bagian bawah akan mengalami tegangan tarik.
Kegagalan yang terjadi akibat pengujian bending adalah komposit akan
mengalami patah pada bagian bawah yang disebabkan karena tidak mampu
menahan tegangan tarik yang diterima. Kekuatan bending suatu material dapat
ditentukan sesuai persamaan berikut (SNI 01-4449, 2006).
Keterangan:
B : besarnya beban maksimum (kgf)
S : jarak sangga (cm)
L : lebar contoh uji papan serat (cm)
T : tebal contoh uji papan serat (cm)
Berikut adalah gambaran uji bening material komposit.
Keterangan:
B : beban (kgf)
S : jarak sangga (mm)
a : diameter
T : tebal papan serat
2.5 UJI KONDUKTIVITAS TERMAL
Hambat panas biasanya menggunakan konsep tahanan termal (R=
resistansi termal) untuk menyatakan kemampuan suatu bahan dalam menghambat
aliran kalor. Tahanan termal merupakan perbandingan antara ketebalan suatu
bahan dengan konduktivitas termal bahan tersebut. Untuk mengukur hambat
panas dari material komposit, akan dilakukan uji konduktivitas termal. Secara
matematis dapat dirumuskan sebagai berikut (Holman, 1994) :
Keterangan :
A : luas penampang bahan (m²)
K : konduktivitas panas bahan (W/m°C)
L : tebal spesimen (m)
R : tahanan / hambatan termal (°C/W)
Kertas (paper) berasal dari bahasa Yunani yang ditujukan untuk penyebutan
material media menulis yang disebut papyrus. Kertas terbuat dari serat tumbuhan
yang digabungkan menjadi lembaran-lembaran. Pada awal pembuatannya, kertas
dibuat dari kapas. Saat ini kertas dapat dibuat dari kulit kayu. Kertas adalah
bahan tipis dan rata yang dihasilkan dengan kompresi serat yang berasal dari
pulp. Pulp terdiri dari serat-serat (selulosa dan hemiselulosa) sebagai bahan baku
kertas. Pulp adalah hasil pemisahan serat dari bahan baku berserat (kayu maupun
non kayu) melalui berbagai proses pembuatannya(Sidharta dan Indrawati, 2009).
Selulosa merupakan senyawa organik yang terdapat pada dinding sel
bersama lignin berperan dalam mengokohkan struktur tumbuhan. Selulosa pada
kayu umumnya berkisar 40-50%. Selulosa tersusun atas glukosa dan lazim
disebut serat dan merupakan polikasarida terbanyak. Selulosa banyak terdapat
pada dinding sel tanaman, alga, dan jamur. Penggunaan dalam industri, selulosa
dapat digunakan sebagai bahan pembuatan pulp dan kapas yang akan
memproduksi kertas dan karton. Selulosa tidak mempunyai rasa dan bau, bersifat
hidrofilik, tidak larut dalam kebanyakan pelarut organik, serta dapat
terbiodegradasi (Anonim dalam Asma, 2010).
2.7 SEKAM PADI
Sekam padi merupakan lapisan keras yang meliputi kariopsis yang terdiri
dari dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Pada
proses penggilingan beras sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi
bahan sisa atau limbah penggilingan. Sekam dikategorikan sebagai biomassa
yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri,
pakan ternak dan energi atau bahan bakar. Sekam memiliki kerapatan jenis (bulk
density) 125 kg/m3, dengan nilai kalori 3.300 kkal/ kg sekam. Proses
penggilingan gabah akan menghasilkan 16%-28% sekam (Nugraha dan Setiawati,
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kerangka pemikiran secara
sistematis dan metodologi penelitian yang digunakan.
3.1 Kerangka Metode Penelitian
Tahapan-tahapan yang digunakan dalm penelitian akan ditampilkan
pada gambar 3.1 dibawah ini.
Gambar 3.1 Kerangka Penelitian
3.2 Penjelasan Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian yang ditampilkan diatas, setiap tahapannya akan
dijelaskan secara lebih lengkap dalam bagian berikut ini.
1. Perancangan Desain Eksperimen. Pada tahap ini, dilakukan beberapa
langkah awal sebagai persiapan dalam pelaksanaan eksperimen. Pada
penelitian ini desain eksperimen yang digunakan adalah desain
eksperimen faktorial dengan faktor kerapatan komposit dan variasi
komposisi sekam padi, kertas HVS dengan resin.
2. Pengumpulan bahan/ Bahan yang digunakan adalah sekam padi dan
kertas HVS.
3. Pengeringan dan Penghalusan Bahan. Setelah sekam padi didapat, maka
ampas singkong di keringkan. Pengerikan dilakukan selama 4 hari
sampai kadar air maksimal 10%. Hal ini dilakukan agar pada saat
ditimbang sudah tidak ada lagi kandungan air yang terdapat pada
ampas singkong. Setelah kering, ampas singkong dihaluskan dengan
menggunakan mesin crusher (Gambar 3.2) dengan ukuran mesh 40.
Gambar 3.2 Mesin Crusher
Sumber: Lab Material, UNS
4. Pencampuran Core Komposit. Setelah bahan siap, maka
bahan-bahan tersebut ditimbang dengan menggunakan timbangan digital
seperti terlihat pada Gambar 3.4. Selanjutnya dilakukan variasi
pencampuran antara sekam padi dan kertas HVS dengan perekat UPRs.
Variasi komposisi antara kertas HVS, ampas singkong dan perekat UPRs
Gambar 3.3 Timbangan Digital
Sumber: Lab Material, UNS
5. Mencampur spesimen dengan larutan NaOH 5%. Bahan-bahan yang
telah dicampurkan tadi direndam ke dalam larutan NaOH 5%. Ini
dilakukan supaya serat-serat pada sekam padi dan kertas HVS menjadi
tidak terlalu lembut. Setelah direndam, ampas singkong tersebut dicuci
supaya menjadi netral.
6. Pembuatan Spesimen. Proses pembuatan spesimen dalam penelitian ini
semuanya menggunakan metode press molding, yaitu dengan campuran
yang telah dibuat ditempatkan dalam satu cetakan, kemudian ditekan
menggunakan dongkrak hidrolik sampai tinggi spesimen yang dicetak
menjadi 10 mm dan 15 mm. Cetakan yang digunakan mempunyai
dimensi panjang 175 mm, dan lebar 50 mm. Tiap variasi massa ditekan
menjadi 10mm. Penekan ditahan selama 20 menit agar komposit tidak
mengembang.
Gambar 3.4 Cetakan Spesimen
Gambar 3.5 Pengepresan Campuran
Sumber: LabMaterial, UNS
7. Pengeringan. Setelah 20 menit, spesimen dikeluarkan dari cetakan
lalu dikeringkan dengan menggunakan oven (Gambar 3.9) selama 30
menit dengan suhu 80oC–90oC.
Gambar 3.6 Pengeluaran Spesimen Dari Cetakan
Gambar 3.7 Oven
Sumber: Lab. T Kimia, UNS
8. Uji Impact. Spesimen uji impact dibuat dengan cara pemotongan
uji impak diberi takik. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan
gergaji besi. Pengujian impak merupakan suatu pengujian yang
mengukur ketahanan bahan terhadap beban kejut. Inilah yang
membedakan pengujian impak dengan pengujian tarik dan bending
dimana pada pengujian tarik dan bending pembebanan dilakukan secara
perlahan-lahan. Uji impak dilakukan dengan metode charpy.
Langkah-langkah pengujian impak adalah sebagai berikut:
1) Mengukur dimensi spesimen meliputi panjang, lebar dan tebal.
2) Pastikan jarum skala berwarna merah sebagai penunjuk harga
impak material berada pada posisi nol.
3) Putarlah handel untuk menaikkan pendulum hingga jarum
penunjuk beban berwarna hitam mencapai batas merah.
4) Letakkan benda uji pada tempatnya dengan takik
membelakangi arah datangnya pendulum. Pastikan benda uji
tepat berada di tengah.
5) Bila benda uji telah siap, Lepaskan tombol pada tangkai
pendulum sehingga pendulum berayun dan menumbuk benda
uji.
6) Bacalah nilai yang ditunjukkan oleh jarum merah pada skala
yang sesuai.
Gambar mesin uji impak dan skema pada saat pengujian impak
ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
Gambar 3.9 Skema Pengujian Impak
9. Uji Bending. Uji bending merupakan salah satu bentuk pengujian untuk
mengukur kekuatan material akibat pembebanan yang diterima secara
kontinyu. Pengujian dilakukan dengan metode three point bending.
Tahapan pengujian adalah sebagai berikut :
1) Mengukur dimensi spesimen meliputi panjang, lebar dan tebal.
2) Mengeset lebar tumpuan sesuai dengan dimensi benda spesimen.
3) Mengeset tumpuan tepat pada tengah-tengah indentor.
4) Pemasangan spesimen uji bending pada tumpuan.
5) Mengeset indentor hingga menempel pada spesimen uji dan
mengeset skala beban dan dial indikator pada posisi nol.
6) Pembebanan bending dengan kecepatan konstan.
7) Mencatat besarnya beban maksimum yang terjadi pada
Gambar 3.10 Mesin Uji Bending
Sumber: Lab. Material, UNS
10.Analisis dan Intepretasi Hasil. Dari uji bending yang dilakukan, diperoleh
data berupa tekanan maksimum yang dapat ditahan oleh spesimen.
Berdasarkan nilai tersebut, maka dilakukan perhitungan untuk
menghitung nilai kekuatan bending untuk tiap spesimen berdasarkan
rumus-rumus yang telah disebutkan pada bab sebelumnya.
Dari uji impak yang dilakukan, diperoleh data berupa hantaman atau
beban kejut maksimum yang dapat ditahan oleh spesimen. Berdasarkan nilai
tersebut, maka dilakukan perhitungan untuk menghitung nilai kekuatan
impak untuk tiap spesimen berdasarkan rumus-rumus yang telah disebutkan
pada bab sebelumnya.
Uji hambat panas pada penelitian ini digunakan sebagai validasi komposit
panel hambat panas yang memiliki kekuatan bending dan impak tertinggi yang
masih mempunyai kemampuan hambat panas. Pemilihan spesimen dengan nilai
tertinggi mewakili semua spesimen untuk nilai minimal hambat panasnya.
Pengujian hambat panas menggunakan alat uji berupa tabung tembaga dengan
konduktivitas panas 379 W/moC dan laju perpindahan kalor konduksi sebesar 0,5
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan analisis hasil berdasarkan hasil pengolahan data.
Hal-hal yang dilakukan analisis dalam penelitian ini adalah proses, hasil
pengujian bending dan impak serta analisis hasil uji hambat panas. Analisis hasil
tersebut diuraikan dalam sub bab dibawah ini.
4.1 ANALISIS HASIL UJI BENDING
Analisis hasil uji bending meliputi analisis mengenai kekuatan bending
komposit sandwich hambat panas, analisis pengaruh faktor ketebalan core,
komposisi core, perlakukan alkali serta interaksi dua faktor dan ketiga faktor
terhadap kekuatan bending.
4.1.1 Analisis Kekuatan bending Berdasarkan Faktor Ketebalan Core
Berdasarkan data nilai kekuatan bending dilakukan, menunjukkan hasil
bahwa faktor ketebalan core dari komposit sandwich berpengaruh terhadap
kekuatan bending. Semakin tebal core komposit sandwich, maka kekuatan
bending semakin menurun. Penurunan kekuatan bending berdasarkan tingkat
ketebalan core ditunjukkan pada gambar 4.1 berikut ini.
Gambar 4.1 menunjukkan rata-rata kekuatan bending komposit sandwich
ketebalan core 10 mm sebesar 111,17 kgf/cm2, sedangkan untuk ketebalan
15 mm sebesar 88,41 kgf/cm2 sehingga terjadi penurunan nilai kekuatan
bending sebesar 22,76 kgf/cm2. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan
bahwa nilai kekuatan bending turun sejalan dengan bertambahnya ketebalan
core sehingga semakin tebal core komposit sandwich maka nilai kekuatan
bending semakin kecil.
Pada penelitian sebelumnya, ada beberapa variasi hasil pengaruh
ketebalan core komposit sandwich terhadap kekuatan bending. Misalnya
penelitian yang telah dilakukan oleh Harbrian (2006) bahwa kekuatan
bending komposit sandwich semakin menurun seiring dengan penambahan
tebal core. Variasi ketebalan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain kapadatan spesimen, pencampuran bahan. Apabila kepadatan
spesimen untuk kedua level ketebalan dapat homogen, maka kemungkinan
nilai kekuatan bending akan sama. Selain itu, pencampuran bahan yang tidak
homogen akan mempengaruhi kekuatan bending, jika perekat dan material
dapat terdistribusi secara merata maka ikatan antar material semakin kuat.
Apabila volume material semakin besar maka semakin kecil campuran dapat
terdistribusi secara merata. Jumlah volume yang besar, maka dibutuhkan
tenaga yang besar juga untuk mengepresnya. Keterbatasan alat dan tenaga
untuk mengepressnya menjadi hambatan sehingga hal tersebut
mempengaruhi kapadatan spesimen. Selain hal itu, skin komposit sandwich
juga sangat berpengaruh terhadap kekuatan bending spesimen.
4.1.2 Analisis Kekuatan Bending Berdasarkan Faktor Komposisi Core
Berdasarkan data nilai kekuatan bending dilakukan, menunjukkan hasil
bahwa faktor komposisi core dari komposit sandwich tidak berpengaruh
terhadap kekuatan bending. Komposisi core terdiri dari dua level yaitu b1 (
20% sekam, 50% kertas HVS, 30% lem PVAc) dan b2 (10% sekam, 60%
kertas HVS, 30% lem PVAc). Kedua komposisi tersebut memiliki kekuatan
signifikan. Besarnya kekuatan bending komposit sandwich dari kedua
komposisi core disajikan pada gambar 4.2.
Gambar 4.2 Grafik kekuatan bending berdasarkan komposisi core
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa rata-rata kekuatan bending komposit
sandwich komposisi b1 sebesar 101,66 kgf/cm2, sedangkan untuk komposisi
b2 sebesar 97,93 kgf/cm2 sehingga terjadi penurunan nilai kekuatan bending
sebesar 3,73 kgf/cm2. Selisih kekuatan bending tersebut secara statistik tidak
berpengaruh antara faktor komposisi dengan kekuatan bending.
Hasil ini menegaskan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Yang,
dkk. (2002), Kim, dkk. (2009), Lee, dkk. (2003), dan Yang, dkk. (2004).
Yang, dkk. (2002) menyimpulkan bahwa penambahan presentase limbah
kertas tidak menaikkan kekuatan bending. Selain hal itu, pencampuran bahan
yang tidak homogen akan mempengaruhi kekuatan bending, jika perekat dan
material dapat terdistribusi secara merata maka ikatan antar material semakin
kuat.
4.1.4 Analisis Interaksi Faktor Ketebalan dan Komposisi Core Berdasarkan
Kekuatan bending
Selain faktor ketebalan dan komposisi tersebut yang diuji, maka diuji
pula interaksi yang terjadi antar faktor-faktor tersebut. Berdasarkan hasil uji
core dengan komposisi core komposit sandwich. Interaksi antara faktor
ketebalan core dengan komposisi core disajikan pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rata-rata kekuatan bending berdasarkan ketebalan dengan komposisi
core (kgf/cm2)
Komposisi Core Ketebalan Core
10 mm 15 mm
b1 (20% sekam) 109,80 93,51
b2 (10% sekam) 112,53 83,51
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa bahwa nilai kekuatan bending komposit
sandwich pada ketebalan core 10 mm sebesar 109,80 kgf/cm2 sedangkan
pada ketebalan 15 mm sebesar 93,51 kgf/cm2 pada komposisi yang sama
yaitu sekam 20% sehingga terjadi penurunan sebesar 16,29 kgf/cm2. Hal
tersebut juga terjadi pada komposisi sekam 10% yang mengalami penurunan
kekuatan bending. Pada faktor komposisi tidak terjadi penurunan atau
kenaikan kekuatan bending yang signifikan.
Pada komposisi sekam 20% menuju komposisi sekam 10% pada
ketebalan 10 mm terjadi kenaikan kekuatan bending sebesar 2,73 kgf/cm2
sedangkan ketebalan 15 mm terjadi penurunan kekuatan bending sebesar
10,2 kgf/cm2. Berdasarkan nilai kekuatan bending tersebut ada
kecenderungan turun, tapi belum terlihat signifikan sehingga perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut. Jika perubahan dalam satu faktor menghasilkan
perubahan variabel respon yang sama pada satu level dengan level lainnya
pada faktor lain, maka dapat disimpulkan tidak ada interaksi antara kedua
faktor tersebut (Hicks, 1993). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa tidak terjadi interaksi antara faktor ketebalan core dan
komposisi terhadap kekuatan bending.
4.2 ANALISIS HASIL UJI IMPAK
Analisis hasil uji impak meliputi analisis pengaruh faktor ketebalan core,
komposisi core, serta interaksi dua faktor terhadap kekuatan impak komposit
4.2.1 Analisis Kekuatan Impak Berdasarkan Faktor Ketebalan Core
Berdasarkan data nilai kekuatan impak dilakukan, menunjukkan hasil
bahwa faktor ketebalan core dari komposit sandwich berpengaruh terhadap
kekuatan impak. Semakin tebal core komposit sandwich, maka kekuatan
impak semakin naik. Kenaikan kekuatan impak berdasarkan tingkat
ketebalan core ditunjukkan pada gambar 4.3 berikut ini.
Gambar 4.3 Grafik kekuatan impak berdasarkan ketebalan core
Gambar 4.3 menunjukkan bahwa rata-rata kekuatan impak komposit
sandwich ketebalan 10 mm sebesar 18,25 J/mm2 , sedangkan untuk ketebalan
15 mm sebesar 23,02 J/mm2 sehingga terjadi kenaikan kekuatan impak
sebesar 4,77 J/mm2. Variasi ketebalan tersebut dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain pencampuran bahan, kepadatan spesimen dan
volume material.
Apabila pencampuran bahan yang tidak homogen akan mempengaruhi
kekuatan impak, hal ini karena jika perekat dan material tidak dapat
terdistribusi secara merata maka ikatan antar material tidak kuat sehingga
kekuatan impak menurun. Kepadatan spesimen berpengaruh terhadap
kekuatan impak, semakin padat spesimen maka akan semakin kuat sehingga
kekuatan impak menjadi semakin baik. Selain hal itu, volume material juga
berpengaruh terhadap kekuatan impak semakin besar volumenya maka
semakin kecil campuran dapat terdistribusi secara merata sehingga ikatan
antar material menjadi lemah.
Berdasarkan data nilai kekuatan impak dilakukan, menunjukkan hasil
bahwa faktor komposisi core dari komposit sandwich tidak berpengaruh
terhadap kekuatan impak. Komposisi core terdiri dari dua level yaitu b1 (
20% sekam, 50% kertas HVS, 30% lem PVAc) dan b2 (10% sekam, 60%
kertas HVS, 30% lem PVAc). Kedua komposisi tersebut memiliki kekuatan
impak yang hampir sama sehingga secara statistik tidak ada pengaruh yang
signifikan. Besarnya kekuatan impak komposit sandwich dari kedua
komposisi core disajikan pada gambar 4.4 berikut ini.
Gambar 4.4 Grafik kekuatan impak berdasarkan komposisi core
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa rata-rata kekuatan impak komposit
sandwich komposisi b1 (sekam 20%) sebesar 21,51 J/mm2, sedangkan untuk
komposisi b2 (sekam 10 %) sebesar 19,77 J/mm2 sehingga terjadi penurunan
kekuatan impak sebesar 1,74 J/mm2. Besarnya penambahan sekam pada
komposisi 20% sekam dan 10% sekam tidak terlihat signifikan pengaruhnya
terhadap kekuatan impak, hal itu karena tertutupi besarnya pengaruh
kekuatan skin terhadap komposit sandwich.
4.2.4 Analisis Interaksi Faktor Ketebalan dan Komposisi Core Berdasarkan
Kekuatan Impak
Selain faktor ketebalan, komposisi dan perlakuan alkali tersebut yang
diuji, maka diuji pula interaksi yang terjadi antar faktor-faktor tersebut. Hasil
uji di atas menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara faktor ketebalan
Interaksi antara faktor ketebalan core dengan komposisi core disajikan pada
tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rata-rata kekuatan impak berdasarkan ketebalan dan komposisi core
(J/mm2)
Komposisi Core Ketebalan Core
10 mm 15 mm
b1 (20% sekam) 18,3176 24,6923
b2 (10% sekam) 18,1803 21,3545
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa bahwa nilai kekuatan impak komposit
sandwich pada ketebalan core 10 mm sebesar 18,3176 J/mm2 sedangkan
pada ketebalan 15 mm sebesar 24,6923 J/mm2 pada komposisi yang sama
yaitu sekam 20% sehingga terjadi kenaikan kekuatan impak sebesar 6,37
J/mm2. Hal tersebut juga terjadi pada komposisi sekam 10% yang mengalami
kenaikan kekuatan impak. Pada komposisi core b1 sebesar 18,3176 J/mm2
sedangkan pada komposisi core b2 sebesar 18,1803 J/mm2 pada ketebalan
yang sama yaitu sekam 10 mm sehingga terjadi penurunan kekuatan impak
sebesar 0,1373 J/mm2. Hal tersebut juga terjadi pada ketebalan core 15 mm
yang mengalami penurunan kekuatan impak. Meskipun terjadi penurunan
dan kenaikan kekuatan impak yang sama pada setiap perlakuan, namun
karena selisihnya yang terlalu kecil sehingga secara statistik tidak terjadi
interaksi antara faktor ketebalan dan komposisi core terhadap kekuatan
impak.
4.3 ANALISIS HASIL UJI HAMBAT PANAS
Uji hambat panas pada penelitian ini digunakan sebagai validasi komposit
panel hambat panas yang memiliki kekuatan bending dan impak tertinggi yang
masih mempunyai kemampuan hambat panas. Pemilihan spesimen dengan nilai
tertinggi mewakili semua spesimen untuk nilai minimal hambat panasnya.
Pengujian hambat panas dilakukan pada spesimen bending yaitu pada faktor
ketebalan core 10 mm, sedangkan impak pada faktor ketebalan core 15 mm.
konduktivitas panas 379 W/moC dan laju perpindahan kalor konduksi sebesar 0,5
W.
Nilai konduktivitas panas komposit sandwich dengan kekuatan bending
tertinggi sebesar 0,338 W/moC dan kekuatan impak tertinggi 0,482 W/moC.
Menurut Aswati (2001) nilai konduktivitas panas kayu jati 0,468 W/moC, kayu
mahoni 0,413 W/moC, kayu sonokeling 0,389 W/moC, kayu kamper 0,458
W/moC dan kayu mranti 0,486 W/moC. Perbandingan konduktivitas panas
berdasar kekuatan bending dan impak tertinggi dengan berbagai jenis kayu
disajikan pada gambar 4.5.
Gambar 4.5 Grafik perbandingan konduktivitas panas komposit dengan kayu
Gambar 4.5 menunjukkan perbandingan besarnya konduktivitas panas
komposit sandwich berdasarkan spesimen bending dan impak dengan jenis kayu.
Komposit sandwich kekuatan bending memiliki nilai konduktivitas panas yang
lebih kecil dari kayu jati, kayu mahoni, kayu sonokeling dan kamper, sehingga
nilai hambat panas komposit spesimen bending lebih besar dari jenis kayu
tersebut.
Komposit sandwich kekuatan impak memiliki konduktivitas lebih kecil dari
kayu mrati sehingga komposit sandwich mempunyai hambat panas yang lebih
baik dari kayu mranti. Semakin besar nilai konduktivitas panas maka nilai hambat
panas semakin kecil. Besar hambat panas kekuatan bending 23,55oC/W lebih
rendah dibandingkan kekuatan impak yaitu 24,78oC/W. Hal ini disebabkan
karena spesimen impak lebih tebal dari spesimen bending, sehingga
ketebalan sehingga terjadi ruang hampa di dalam spesimen yang menghambat
laju perpindahan panas pada spesimen. Selain itu berdasarkan rumus hambat
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini membahas tentang kesimpulan yang diperoleh berdasar
pengolahan data dan pembahasan mengenai Thermal GCC, Panel dinding
komposit berbahan dasar sekam padi dan kertas HVS dengan skrin dari serat
fiber. Pemberian saran dimaksudkan untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.
5.1 SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Interaksi antar faktor tidak berpengaruh terhadap kekuatan bending dan
impak Komposit Thermal GCC.
2. Nilai konduktivitas panas yang dimiliki Thermal GCC memiliki sifat hambat
panas dibanding dengan kayu mahoni berdasar rata-rata kekuatan bending
tertinggi 0,338 W/m0C mampu menghambat panas sebesar 23,550C/W
sedangkan rata-rata kekuatan impak tertinggi memiliki konduktivitas panas
0,482 W/m0C mampu menghambat panas 24,780C/W.
3. Komposit Thermal GCC sangat mungkin menjadi papan penghambat panas
yang handal dan murah karena diproduksi dari bahan-bahan limbah yang tak
terpakai, dikarenakan memiliki nilai kekuatan impak dan bening yang sesuai
sesuai dengan standar.
5.2 SARAN
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah
diharapkan produk komposit Thermal GCC ini didaftarkan pada balai inkubator
teknologi untuk pengembangan komersialisasi. Sehingga diharapkan komposit
sandwich ini dapat digunakan secara massal, dapat menjaring tenaga kerja, serta
Amarullah, Amir. 2010, “Luas Hutan Indonesia Semakin Berkurang”,
http://www.vivanews.com, 28 Agustus 2014
Anonim, 2004, “Pengolahan Tepung Tapioka”. http://www.bi.go.id/web/id/, 28 Agustus 2014
Anonim, 2004, http://Agribisnis.bi.go.id, 3 0 Agustus 2014 Anonim, 2010, http://cafepojok.com, 29 Agustus 2014`
ASTM D 1037, “Standard Test Methods for Evaluating Properties of Wood-Base Fiber and Particle Panel Materials”, Philadelphia, PA: American Society for Testing and Materials
ASTM D 5942-96, “Standard Test Methods for Determinating Charpy Impact Strength of Plastics”, New York, NY: American Society for Testing and Materials
Balitbang. (2013), “Laporan Akuntabilitas Kinerja Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan”. Jakarta : Kementrian Pertanian.
Gibson, O. F., 1994, ” Principle of Composite Materials Mechanics”, McGraw- Hill Inc., New York, USA.
Nugroho, Ipudatu. Y. A., 2011. “Thermal GCC (Green Core Composite), Panel Dinding Komposit Penghambat Panas Berbahan Dasar Limbah Sekam Padi Dan Kertas Hvs Sebagai Solusi Peningkatan Kualitas Lingkungan Dalam Ruangan Dan Penanganan Limbah Gabah Kering Dan Kertas”. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Kementerian Pertanian, “Pengembangan Usaha Pengolahan Tepung Tapioka”, Jakarta, 2005
Kuru, George. 2005, “Penilaian FAO Mengenai Permintaan Kayu dan Penawaran (Penyediaan) Kayu di Indonesia”, FAO, New York. Schwartz, M.M., 1984, “Composite Materials Handbook”, McGraw-Hill Inc, New York.
Prasad C.S., Maiti K,N,, Venugopal R., (2001),
JUDUL:
THERMAL GCC (GREEN CORE COMPOSITE), PANEL DINDING KOMPOSIT
PENGHAMBAT PANAS BERBAHAN DASAR LIMBAH SEKAM PADI DAN KERTAS HVS
SEBAGAI SOLUSI PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN DALAM RUANGAN DAN
PENANGANAN LIMBAH GABAH KERING DAN KERTAS
OLEH :
Silvester Adi Surya Herjuna (I0311031 / 2011)
Asal Universitas :
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Karya tersebut tidak sedang diikut sertakan dalam kompetisi yang lain maupun pernah memenangkan perlombaan sejenis serta telah memenuhi kaidah tata cara maupun norma penulisan yang berlaku, dan karya ini adalah hasil karya kami sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar
Surakarta, 01 Mei 2015 Yang Membuat Pernyataan
Ketua TIM
Tempat, Tanggal Lahir :
1999 - 2005: SD Kanisius Keprabon 02 Surakarta
2005 - 2008: SMPN 1 Surakarta
2008 - 2011: SMAN 4 Surakarta
2011 – now : S-1 Industrial Engineering in Sebelas Maret University, Surakarta
Pengalaman Organisasi
2009 – 2010: Chairman in Department of Creative at OSIS SMAN 4 Surakarta
2009 – 2011: Editor in chief at SMAN 4’s Magazine
2010 – 2011: Vice President of Schools Magazine Forum in Surakarta
(FORMASTA)
2011 – 2012: Research and Development of Industrial Engineering Student
Associations (HMTI) UNS
2011 – 2013: Department of Communication and Information at BEM FT UNS
2012 – 2014: Department of Communication and Information at SIM UNS
Penghargaan
2011 : Finalist of Nanoversion Competition (ITS)
2012 : Finalist of Goship Competition (UAJY)
2013 : Finalist of ACCOUNTS Competition (Unand)
2013 : Finalist of YORECO Competition (UNP)
- Pengaruh Pancasila di Indonesia saat ini (2012)
- Ketidakadilan di Indonesia (2012)
- Pemanfaatan Sampah Biomassa dalam Penanganan Sampah di Solo (2014)
- Aplikasi Sistem Rantai Pasok untuk Meningkatkan Produktivitas
Budidaya Udang (2014)
Dr. Wahyudi Sutopo, S.T., M.Si.
Office :
Laboratory of Logistics System and Business,
Department of Industrial Engineering, Sebelas Maret University Jalan Ir. Sutami No. 36ª, Kentingan, Surakarta, 57126, INDONESIA Tel/Fax. : (+62)(271) 632110,
Mobile : (+62) 815 487 47464,
E-mail : wahyudisutopo@gmail.com and sutopo@uns.ac.id.
A. Education:
1. Doctor (Dr.) of Supply Chain Management, Bandung Institute of Technology, Sept. 2009.
2. Master in Management Studies (M.Si.), University of Indonesia, Aug. 2004. 3. Bachelor Degree in Industrial Engineering (S.T.), Bandung Institute of
Technology, Sept. 1999.
B. Employment:
1. Assistant Professor, Department of Industrial Engineering, Sebelas Maret University, April 2008 – present.
2. Lecturer, Department of Industrial Engineering, Sebelas Maret University, August 2006 – March 2008.
3. Assistant Lecturer, Department of Industrial Engineering, Sebelas Maret University, December 2003 – July 2006.
4. Visiting Lecturer on Industrial Management Course, Department of Chemical Engineering, Sebelas Maret University, 2005 – 2007.
5. Part-time Lecturer, Pratama Mulia Polytechnic, Surakarta, 2004 – 2007. 6. Part-time Lecturer, Industrial Engineering Department, Krisnadwipayana
University, Jakarta, 2001 – 2002.
7. Product Planner Section Head, Creation Centre Division, PT. Panasonic Manufacturing Indonesia, Jakarta, 2002 – 2003.
8. Product Engineer–Refrigerator Division, PT. Panasonic Gobel, Jakarta, 2000– 2002.
C. Research Interest:
Supply chain design and performance evaluation, Logistics Management, Inventory and Distribution, Engineering Economy and Cost Analysis, and Industrial Engineering Education
1. Cost Analysis and Estimation, 2005-2008,
2. Written and Professional Communication, 2004 -2008, 3. Management, 2005-2007,
5. Financial Management, elective course 2004-2007,
6. Performance Measurement System, elective course 2005-2008.
D. Refereed Journal Articles (International):
Sutopo, W., Nur Bahagia, S., Cakravastia, A. and Arisamadhi, TMA., (2010), Price Stabilization Using Buffer Stocks in Duopoly-Like Market with Consider Expectation of Stakeholders, ASOR Bulletin,
Vol. 29, No.4, pp. 60-72, (ISSN0812-860X | eISSN1446-6678).
Sutopo, W., Nur Bahagia, S., Cakravastia, A. and Arisamadhi, TMA., (2009), A Dynamic Buffer Stocks Model for Stabilizing Price of Staple Food with Volatility Target, The International Journal of Logistics and Transport (IJLT), Vol. 3, No.
2, pp. 149-160 (ISSN 1906-0521).
E. Refereed Proceedings (International Conferences):
1. Sutopo, W., Nur Bahagia, S., Cakravastia, A. and Arisamadhi, TMA. , (2010), A Buffer Stocks Model for Stabilizing Price of Staple Food with Considering Non Speculative Wholesaler, Accepted in Proceedings of the 2010 International Conference of Manufacturing Engineering and Engineering Management (ICMEEM),(ISBN: 978-988-17012-9-9), June 30- July 02, 2010, London, UNITED KINGDOM.
2. Sutopo, W. Putra, B, and Wiyono, DS., (2010), An Interactive Web-based
Application as Educational Tool for SCM Course by Using FOSS, Proceedings of the International Conference on Open Source for Higher Education (ICOSic), p.p.
55 –60, (ISBN 979-498-560-0), March 15, 2010, Surakarta, INDONESIA.
3. Sutopo, W., Nur Bahagia, S., Cakravastia, A. and Arisamadhi, TMA. , (2009), A Buffer Stocks Model for Stabilizing Price in Duopoly-Like Market, Proceedings of the 2nd Asia Pacific
Conference on Manufacturing System (APCOMS) Conference,
p.p. IV.9 –IV.16, (ISBN 0854-431X), November 4th-5th 2009,
Yogyakarta, INDONESIA.
4. Sutopo, W., Nur Bahagia, S., Cakravastia, A. and Arisamadhi, TMA., (2009), A
Gold Coast, AUSTRALIA.
5. Sutopo, W. and Nur Bahagia, S., (2008), An Inventory Model for Deteriorating Commodity under Stock Dependent Selling Rate,
Proceedings of the 9th Asia Pacific Industrial Engineering and
Management Systems (APIEMS) Conference, pp. 1152-1159