• Tidak ada hasil yang ditemukan

POS POLISI DISERANG BERUJUNG VONIS MATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POS POLISI DISERANG BERUJUNG VONIS MATI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

POS POLISI DISERANG BERUJUNG VONIS MATI DAN

PENINDASAN ETNIS ROHINGYA

Zaeda Zulfa

zaedazulfa@students.unnes.ac.id

Abstrak

Yangon – Otoritas Myanmar menjatuhkan vonis mati terhadap seorang pria Rohingya. Putusan vonis mati ini berkaitan dengan penyerangan pos polisi di perbatasan yang menewaskan 9 personel kepolisian Myanmar sehingga memicu aparat negara untuk melakukan operasi besar-besaran terhadap kelompok minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Dari operasi pembersihan yang dilakukan pada Oktober 2016 mengakibatkan ratusan warga Rohingya tewas dan puluhan ribu lainnya melarikan diri ke Bangladesh. Laporan terbaru PBB menyebutkan bahwa pembunuhan massal terhadap warga Rohingya di Rakhine juga dibarengi dengan pemerkosaan bergiliran oleh tentara dan polisi Myanmar. Operasi pembersihan oleh aparat negara Myanmar bertujuan untuk menemukan para pelaku penyerangan pos polisi di perbatasan tersebut. Pemerintah Myanmar menduga bahwa dibalik serangan itu adalah teroris Rohingya. Ada 14 terdakwa pelaku penyerangan pos polisi di perbatasan dan salah satu terdakwa bernama Mamahdnu Aka Aulia di vonis hukuman mati. Kepala Kepolisian Sittwe, Yan Naing Lett, menyebutkan pengadilan setempat menjatuhkan vonis mati terhdapa pemimpin penyerangan pos kepolisian di perbatasan Kotankauk. Sittwe merupakan ibu kota Negara Rakhine. Vonis mati dijatuhkan pada Jumat (10/2) lalu. Yan Naing Lett kepada AFP, Senin (13/2) menuturkan bahwa Mamahdnu Aka Aulia dijatuhi vonis mati pada 10 Februari di pengadilan Sittwe atas dakwaan pembunuhan disengaja. Pria tersebut ikut serta dalam penyerangan dan memimpin penyerangan dan merencanakan penyerangan bersama terdakwa lainnya. Kendati demikian, militer Myanmar melakukan pengawasan ketat dengan melakukan operasi di wilayah Rakhine, temapt kekerasan terhadap kaum muslim khususnya Rohingya.

Kata Kunci : Vonis, serangan, Rohingya, polisi, PBB PENDAHULUAN

Latar belakang

(2)

yang paling teraniaya di dunia. Mengutip keterangan dari media Republika, hal tersebut diinyatakan sebagai berikut1 : “Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

mengatakan bahwa etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar merupakan kelompok etnis minoritas yang saat ini paling merana di dunia. Ini dikarenakan konflik kemanusiaan dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pengikut Budha radikal di Myanmar”.

Dapat dilihat dengan jelas tidak ada kesetaraan dalam hidup berdampingan dengan perbedaan keyakinan. Hilangnya prinsip kesetaraan bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum, tidak ada produk hukum yang berlaku untuk beberapa orang. Telah terjadi diskriminasi kaum minoritas Rohingya, kekerasan dan penindasan dirasakan oleh kaum minoritas tersebut. Pemerintah yang tidak mengakui adanya Rohingya semakin sulit memperoleh hak asasinya untuk mendapat perlindungan. Penindasan terhadap etnis Rohingya ini sudah termasuk ke dalam kejahatan genosida. Kejahatan genosida merupakan sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut.2 Menurut Larry May, bahwa kejahatan etnic cleansing

melibatkan adanya suatu kebijakan yang disengaja oleh suatu grup/suku tertentu untuk memindahkan secara paksa dan kekerasan atau diteror agar penduduk sipil lainnya atau grup agama lainnya pindah ke wilayah geografis tertentu.

Dengan tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar, etnis Rohingya telah dirugikan, hak asasi untuk memperoleh pengakuan, hak untuk melangsungkan kehidupannya dan lain sebagainya tidak bisa di dapatkan dengan mudah, tidak ada jaminan hukum untuk melindungi warga Rohingya dari ancaman luar. Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan pemberian dari sang pencipta secara kodrati pada setiap individu makhluk sampai melepasnya roh dari jiwa makhluk itu sendiri. Hak memberikan jaminan moral dan dapat menikmati kebebasan manusia itu sendiri dari segala bentuk perlakuan. Manusia mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi sehingga perlu untuk diberikan penghargaan, pengakuan, perlindungan dan pemenuhan HAM sebagai makhluk yang memiliki akal dan hati nurani.

Penggunaan kekerasan yang dilakukan karena konflik bersenjata internasional atau bersenjata nasional membuat masyarakat internasional melakukan pencegahan dan tindakan dengan cara penyelesaian damai terlebih dahulu. Jika penyelesaian dengan kekeluargaan tidak kunjung usai konfliknya maka digunakan intervensi kemanusiaan yang bersifat menghukum. Untuk memberikan bantuan kemanusiaan dapat dilakukan tanpa harus memperoleh keputusan dari organisasi dunia. Pemberian bantuan guna untuk mengurangi penderitaan yang dirasakan, pemberian dapat berupa penyelamatan korban, memberikan bantuan kebutuhan kehidupan sehari-hari. 3Sedangkan intervensi

kemanusiaan penggunaan kekerasan dengan cara pengiriman militer yang dimaksudkan untuk menekan dan menghentikan tindakan kekerasan dan dalam penyelenggaraannya harus dipertimbangkan melalui putusan atau resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).

11Dipresentasikan pada “Seminar Nasional Rohingya dalam Perspektif Fotografi Kemanusiaan dan HAM yang

diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, tanggal 11 Februari 2014.

2Jawahir Thontowi, “Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional”, Pandecta, Volume 8. Nomor 1. (Januari 2013), hlm. 42.

(3)

Kronologi Kasus

Pada Oktober 2016, Myanmar kembali tegang sebab telah terjadi penyerangan pos polisi yang menewaskan 9 personel kepolisian Myamnar. Pemerintah Myanmar menuturkan jika serangan pos polisi yang berada di perbatasan sudah disusun dan dirancang oleh kelompok etnis Rohingya. Ada ratusan militan etnis Rohingya yang melakukan penyerbuan pos polisi pengamanan dekat perbatasan Bangladesh. Penyerangan dilakukan karena dirasa telah terjadi diskriminasi minoritas Rohingya oleh pemerintahan Myanmar. Perbedaan agama menyebabkan pula semakin tegangnya konflik yang sedang terjadi. Kaum muslim minoritas berdampingan dengan penduduk mayoritas Budha radikal di Myanmar yang kurang akur semakin memperparah keadaan kaum Rohingya yang dikucilkan di daerah tempat tinggalnya.

Ratusan militan Rohingya diketahui telah menyerang tiga pos polisian yang berada di perbatasan Bangladesh pada 9 Oktober. Untuk mencari para pelaku dalam penyerangan dilakukan operasi pembersihan terhadap warga Rohingya. Tanpa ada pilah-pilah aparat kepolisian dan militer membunuh ratusan warga Rohingya dan sebagian lainnya melarikan diri ke Bangladesh guna menyelamatkan nyawanya dari ancaman bahaya yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar. Laporan PBB terbaru menyatakan jika dalam operasi pembersihan aparat kepolisian dan militer melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan secara bergilir terhadap warga Rohingya.Setelah tertangkapnya 14 terdakwa penyerangan pos polisi, Kepala Kepolisian Sittwe Yan Naing Lett, menyebutkan jika terdapat satu terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan setempat. Diduga pelaku tersebut bernama Mamahdnu Aka Aula pemimpin serangan dan merencanakan penyerangan bersama terdakwa lainnya. Mamahdnu dijatuhi hukuman mati pada 10 Februari di pengadilan Sittwe atas dakwaan pembunuhan disengaja. Sedangkan 13 terdakwa lainnya telah disidang namun belum dijatuhi vonis.

Adanya dugaan pelannggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer, Kementrian Dalam Negeri Myanmar akan melakukan penyelidikan depatemen guna mencari tahu dugaan kekejaman yang dilakukan aparat keamanan negaranya. Sejak insiden penyerangan pos pengamanan di wilayah tiga perbatasan Myanmar oleh sejumlah kelompok bersenjata militer Myanmar melakukan pengawasan ketat dengan melakukan operasi di Rakhine, tempat kekerasan terhadap kaum Muslim khususnya Rohingya yang juga ditempat itu pula militer Myanmar melakukan pelanggaran HAM berat dengan cara membabi buta secara sadis.4 Tindakan diskriminatif pemerintah Myanmar yang

tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara dilegalkan melalui perangkat hukum, kemudian pembunuhan oleh aparat secara masif, perampasan kebebasan, serta pemindahan secara paksa dapat dikategorikan sebagai persekusi. Tindakan yang dilakukan pemerintah Myanmar dengan kebijakan negara tidak adanya pengakuan warga negara semata-mata ditujukan kepada etnis minoritas Myanmar saja.

Rumusan Masalah

1. Apa yang menjadikan pemerintah Myanmar melakukan operasi pembersihan terhadap etnis Rohingya?

2. Jenis pelanggaran atau kejahatan manakah yang dilakukan aparat polisi dan militer Myanmar terhadap minoritas Rohingya?

3. Bagaimanakah pandangan dunia terkait penindasan yang dialami etnis Rohingya?

(4)

PEMBAHASAN

Alasan Pemerintah Myanmar Melakukan Operasi Pembersihan Terhadap Etnis Rohingya

5Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada tiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Masih ada banyak negara yang menganggap persoalan HAM adalah persoalan masing-masing negara, penyelesaian persoalan pelanggaran HAM hanya cukup diselesaikan oleh negara yang bersangkutan. Apabila negara lain ikut campur dalam urusan pelanggaran di negara yang bersangkutan dianggap telah melanggar kedaulatan negara. HAM menjadi bagian penting pada individu makhluk hidup. Hak dasar yang harus diperoleh adalah hak untuk menjalankan kehidupannya. Namun, menjalani HAM tidak selamanya bebas melakukan sesuatu yang dirasa akan membahagian diri ada batasan yang harus ditaati yaitu norma yang ada dalam masyarakat terkait, aturan hukum tertulis yang ada pada daerah tersebut. Di dalam dimensi internasional, pelanggaran HAM telah menjadi bagian dari persoalan internasional, suatu negara tidak boleh mengatakan dirinya bahwa HAM hanya urusan nasional saja. Adanya PBB menandakan jika HAM diatur secara internasional yang dinamakan the International Bill of Human Rights yang meliputi: Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) tahun 1966 dan International Covenant on Civil and Political Rights pada 1966.

Operasi pembersihan terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya secara besar-besaran hingga terjadi kekerasan di dalamnya, bertujuan untuk mencari para pelaku penyerangan pos polisi yang menewaskan 9 aparat polisi harus menimbulkan penderitaan oleh banyak orang menjadikan konflik ini sebagai pelanggaran HAM berat yang tergolong kejahatan genosida.6Dalam pasal 2

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada terkecuali apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, pandangan lain, asal usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

Pelanggaran HAM yang terjadi secara meluas dan sistematis serta berlanjut juga pemerintah tidak ada tanggungjawab atas pelanggaran terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya. Pemerintah Myanmar membuat tudingan bahwa di dalam serangan tersebut ada hubungannya dengan teroris Rohingya. Tidak ada bukti konkret terhadap tudingan yang dilontarkan. Ujaran kebencian juga disuarakan terhadap etnis Rohingya dan menganggap etnis Rohingya bukan bagian dari saudara atau kelompoknya. Tidak diakuinya sebagai warga negara Myanmar oleh pemerintah Myanmar, justru menganggap jika warga

5A.Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2003), hlm 148.

(5)

Rohingya adalah warga pendatang dari Bangladesh. Pelecehan kerap kali ditujukan ke Rohingya dengan sebutan orang “Bengali atau Kalar”.

Pelanggaran Yang Dilakukan Terhadap Rohingya

Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat militer Myanmar telah menjadi pelanggaran HAM berat, adanya diskriminasi dengan membiarkan aparat penegak hukum melakukan tindak kekerasan, pemerkosaan, penganiayaan hingga menewaskan ratusan Muslim Rohingya. 7Dalam

Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar (Citicenship Act) tahun 1982, secara eksplisit tidak mengakui orang-orang Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Tidak diakuinya Rohingya sebagai warga negara melah menjadikan orang-orang Rohingya hidup tanpa memperoleh perlindungan hukum sama sekali dan mudah untuk melakukan sasaran tindak kekerasan. Bukti bahwa etnis Rohingya tidak diikutsertakan sebagai warga negara Myanmar terdapat pada Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1982. Mengenai kewarganegaraan di dalam Pasal 15 ayat 1 Universal Declaration of Human Right menjelaskan bahwa setiap orang berhak mendapat atas suatu kewarganegaraan. Hukum internasional melindungi hak asasi tiap individu dan berlaku bagi setiap negara.

8Komisi Hukum Internasional (International Law Commission/ILC)

menyatakan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban negara yang digolongkan sebagai “international wrongful act” mencakup pelanggaran HAM berat yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional. Berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh Komite HAM (Human Rights Commite) PBB, yang merupakan badan yang dibentuk (treaty body) dalam rangka pelaksanaan Perjanjian Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik (International Convenant onCivil and Politiical Rights/ICCPR), secara umum bentuk atau ruang lingkup dari “remedy” adalah tindakan-tindakan yang berupa:

1. Penyeledikan yang terbuka untuk mendapatkan fakta-fakta (public investigation to estabilish the fact)

2. Mengadili para pelaku (bringing to justice the preparators) 3. Membayar kompensasi (paying compensation)

4. Menjamin tidak terulangnya pelanggaran (ensuring non-repitition of the violation)

5. Mengubah hukum (amending the law)

6. Menyediakan restitusi (providing restitution)

7. Menyediakan pengobatan dan layanan kesehatan (medical care and treatment)

9Pasal 2 ayat 3 ICCPR menyebutkan bahwa negara-negara peserta perjanjian ini

berjanji untuk menjamin setiap orang yang HAMnya dilanggar harus (shall have) mendapatkan “remidy” yang efektif, sekalipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi (kedinasan). Negara memiliki kewajiban untuk melakukan penghukuman tehadap orang-orang yang melakukan kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi. Negara internasional memiliki prinsip untuk melarang negaranya melakukan pembiaran terhadap para pelaku pelanggaran HAM bebas tanpa hukuman. Menurut pasal 49 Konvensi Jenewa 1949 7 Ibid., hal. 161.

8 Ibid., hal. 211.

(6)

menyangkut pelanggaran berat, setiap negara pihak pada Konvensi Jenewa memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tiga keajiban utama, yaitu:

1. Membuat undang-undang di tingkat nasional yang mengatur pelanggaran berat

2. Mencari pelaku yang diduga melakukan pelanggaran berat

3. Mengadili pelaku pelangaran berat atau menyerahkannya kepada negara lain yang berkepentingan unguk diadili.

10Dalam konvensi-konvensi internasional seperti konvensi internasional

tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial tahun 1965 dan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik tahun 1966 memberikan perlindungan untuk kebebasan tanpa adanya diskriminasi. Pasal 5 dalam konvensi internasional tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial tahun 1965, yang berbunyi sebagai berikut: “Untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dasar yang dicantumkan dalam pasal 2 konvensi ini, negara-negara pihak melarang dan menghapuskan semua bentuk diskriminasi rasial serta menjamin hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal bangsa dan suku bangsa, untuk diperlakukan sama di depan hukum.

Bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya dengan melakukan pembiaran tidak bertindak pada situasi yang terjadi, aparat polisi dan militer melakukan kekerasan dengan cara penembakan, adanya batasan untuk berpindah atau bergerak terhadap orang-orang Rohingya yang melarikan diri maupun mengungsi ke negara tetangga dan pemindahan Muslim Rohingya secara paksa dapat dikategorikan sebagai persekusi. Tindakan yang didasari oleh kebijakan pemerintah dan ditujukan semata-mata hanya untuk etnis Rohingya saja. 11Berdasarkan Statuta Roma

pasal 7 ayat 1 (h) dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againtst humanity) atau persekusi (persecution) sebagai berikut : “Persecution againts any identifiable grup or collectivy on political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3, or other grounds that universally recognized impermissible under international law, in connection with any act referred to in this paragraph or any crime within jusdiction of the Court.”

Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa (Crimes Againts Humanity of Deportation or Forcible Transfer of Population) dalam pasal 7 ayat 2 huruf c Statuta Roma dijelaskan bahwa pengusiran atau pemindahan secara paksa dengan cara pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa berarti pemindahan orang secara sah tanpa diberikan alasan yang diijinkan oleh hukum internasional. Pemerintah Myanmar tidak mengambil tindakan tegas dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di negaranya dan terkesan melakukan pembiaran terus menerus. Dewan Keamanan PBB dapat mengambil alih penyelesaian masalahnya untuk mengakhiri penindasan yang terjadi di Myanmar.

Pandangan Dunia Tehadap Rohingya

Pemrintah Myanmar yang melakukan pembiaran kejahatan HAM berat terhadap minoritas Rohingya telah mengundang organisasi internasional untuk menyalurkan bantuan. Organisasi internasional seperti OKI telah mengirimkan misi pencari fakta ke Myanmar, Ekmeleddin Ihsaroglu dengan merujuk pada

10 Aviantina Susanti, “Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM BeratTerhadap Etnis Rohingya Di Myanmar Berdasarkan Hukum Internasional,” Jurnal Ilmiah, (2014), hlm. 14.

(7)

laporan HAM dunia, menunjukkan bukti terjadinya suatu penyiksaan dan diskriminasi disponsori negara. Peran pemerintah yang terkesan lambat dalam menangani kasus ini sangat disayangkan. Kasus ini menjadi perhatian bagi seluruh negara-negara di dunia. Kewajiban internasional untuk melindungi, menjamin dan memenuhi HAM yang fundamental bersifat erga omnes, menjadi tanggungjawab bagi seluruh negara. Kewajiban internasional dapat bersumber dari perjanjian internasional atau kebiasaan internasional.

12Pemerintah Myanmar juga berkewajiban untuk mencabut atau

mengamandemenkan peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif, khususnya Undang-Undang Kewarganegaraan (Citizenship Act) tahun 1982. Diskriminasi sudah menjadi permasalahan serius bagi tiap individu yang didiskriminasi karena perbedaan warna kulit, asal-usul, dan kepercayaan yang dianutnya merupakan faktor-faktor diluar kekuasaan. Diskriminasi merupakan perlakuan yang diberikan oleh negara atau pemerintah kepada sejumlah orang atau komunitas secara tidak sama atas jaminan hak-hak dasar dan hak-hak kebebasan dasar baik karena alasan perbedaan suku, agama, ras, dan gender. 13Pasal 5 International Convention on the Elimination of All Form of

Racial Discrimination 1969 menyebutkan bahwa negara-negara pihak berkewajiban untuk meghapus segala bentuk tindakan diskriminasi, dan wajib memberikan jaminaj kepada setiap orang tanpa menbedakan ras, warna, kebangsaan, asal usul, suku dan agama.

Pelanggaran HAM berat yang menewaskan banyak manusia dan kehilangan harta bendanya mendorong untuk melakukan tindakan tindakan intervensi kemanusiaan. Banyaknya jumlah korbanyang tewas baik disengaja maupun tidak disengaja dari tindakan rezim pemerintah Myanmar atau negara membiarkan peristiwa terjadi dan atau tiketidakmampuan negara untuk melakukan tindakan sehingga negara gagal untuk menegakkan keadilan. Meski tidak mudah, melakukan intervensi kemanusiaan juga ketika Oganisasi Konferensi Islam menyelenggarakan pertemuan, yang dihadiri oleh lebih dari 40 utusan dari 20 anggota negara muslim mengenai pembahasan minoritas rohingya di Myanmar sebagai anggota masyarakat dunia yang paling tertindas.

Peran Indonesia dalam menyikapi kasus pelanggaran yang terjadi pada etnis Rohingya dengan tegas menolak secar konsisten segala bentuk diskriminasi atas dasr agama, suku, dan ras serta lainnya. Sikap pemerintah Indonesia dengan memberikan rasa kepeduliannya melalui diskusi multirateral dan bilateral dengan pemerintah Myanmar. Indonesia yang penduduknya paling banyak dihuni oleh orang-orang Muslim memberikan kepeduliannya atas dasar kemanusiaan untuk membela orang-orang Muslim Rohingya dari diskriminasi rusial. Hasil sementara dari kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB, Navy Pilay 28 Juli menyerukan penyelidikan independen, disertai oleh kunjungan Jean Quintana, yang tiba di Myanmar tanggal 29 Juli 2012. Temuan dari Human Rights Watch ASEAN telah mengemukakan temuannya bahwa pemerintah Myanmar tidak melakukan upaya pencegahan.

KESIMPULAN

12 Ibid., hal. 165.

(8)

Etnis Rohingya merupakan warga minoritas Muslim yang berada di perbatasan, Rakhine, Myanmar. Peristiwa pembantaian yang berada di Arakan menimbulkan perbedaan keyakinan yang kemudian muncullah diskriminasi terhadap etnis minoritas Rohingya. Mayoritas penduduk Myanmar yang beragama Budha radikal semakin memperparah keadaan, warga Rohingya didiskriminasi oleh negara sendiri, tidak ada hak asasi untuk melindungi diri dari serangan. Penyerangan oleh sejumlah pria tidak diketahui secara jelas apa motifnya. Pemerintah Myanmar hanya memberikan dugaan jika serangan yang berlangsung pada Oktober 2016 merupakan serangan dari para teroris Rohingya tanpa ada bukti konkret. Akibat dari serangan tersebut yang menewaskan 9 polisi, pihak aparat polisi dan militer melakukan pencarian para pelaku dengan melakukan operasi pembersihan hingga menewaskan ratusan Muslim Rohingya dan lainnya melarikan diri ke negara tetangga. Bahkan di dalam laporan PBB terbaru, polisi dan militer melakukan penindasan dan pemerkosaan terhadap Rohingya. Sikap pemerintah yang diam melihat kekerasan yang ditujukan kepada Rohingya menjadi perhatian seluruh Negara Dunia. Di dalam hukum internasional, sikap pemrintah Myanmar seharusnya bertanggung jawab untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus Rohingya, menghukum orang-orang yang terlibat dalam kasus kekerasan yang terjadi dan juga pemerintah Myanmar seharusnya mencabut Undang-Undang kewarganegaraan tahun 1982 lalu memberikan hak asasi untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga negara Myanmar. Turunnya tim pencari fakta Ekmeleddin Ihsaroglu oleh organisasi internasional menjadi bukti jika negara dunia sudah geram melihat kejahatan HAM berat ini berlarut-larut lama. Dari berbagai perwakilan di negara-negara dunia dikumpulkan di sebuah organisasi konferensi muslim untuk melakukan pembahasan terhadap etnis Muslim Rohingya yang dirasa sebagai penduduk paling sengsara di dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Sujatmoko, Andrey. Hukum HAM Dan Hukum Humaniter. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015.

Ubaedillah. A dan Abdul Rozak. Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2003.

Thontowi, Jawahir. “Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional,” Pandecta, Volume 8. Nomor 1 (Januari 2013), hlm. 41-50.

Susanti, Aviantina. “Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM BeratTerhadap Etnis Rohingya Di Myanmar Berdasarkan Hukum Internasional,” Jurnal Ilmiah, (2014), hlm. 1-21.

Sefriani, “Yurisdiksi ICC Terhadap Negara Non Anggota Statuta Roma 1998,” Jurnal Hukum no 2, April Vol 14, Yogyakarta, 2007.

“Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia,” Resolusi 217 A (III), 10 Desember 1948.

Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar (Citicenship Act) tahun 1982. Rome Statute of The International Criminal Court 1998.

(9)
(10)

Referensi

Dokumen terkait

INOVASI PRODUK RAVIOLI MENGGUNAKAN BAHAN DASAR TEPUNG

Hal ini dikarenakan oleh banyaknya anggota kelompok dukungan ter- sebut, dukungan emosi yang diberikan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan baik dari segi waktu

73 ditemukan 1 (satu) sachet Kristal bening shabu yang mana ditemukan pada tangan kanan Anak dan pada saat diintrogasi mengenai kepemilikan barang tersebut Anak

Untuk menghindari agar tidak meluasnya pembahasan, maka penelitian ini di batasi dengan judul “Pengaruh Metode Latihan Interval 1:1 dan Metode Latihan Interval

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa a da hubungan positif antara religiusitas dengan penyesuaian diri di sekolah pada

Setiap mengawali stase di divisi para peserta didik diberikan pre test sebagai evaluasi awal kemudian dalam stase para peserta didik diberikan bimbingan dalam hal Kognitif,

Untuk menghasilkan peningkatan LGS rotasi internal sendi bahu yang lebih besar pada kondisi frozen shoulder maka sebaiknya pemberian traksi manual pembatasan LGS menjadi salah

Saran untuk penelitian selanjutnya dapat mengganti metode SIFT dalam mendapatkan fitur dari sebuah citra, sehingga diha- rapkan dapat melengkapi Singular Value Decomposition