• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah Alkitab dalam Film Populer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kisah Alkitab dalam Film Populer"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Yose Emeraldo T. NIM : 52140002

Kisah-kisah Alkitab dalam Layar Lebar

Menemukan atau kehilangan pesan Alkitab dalam budaya populer?

Tahun 2014 mungkin menjadi tahun yang menarik bagi orang-orang Kristen penggemar film. Bagaimana tidak, di tahun 2014 terdapat setidaknya tiga film mengenai kisah-kisah dalam Alkitab yang laris manis. Yang pertama adalah Son of God (28 Februari) oleh Christopher Spencer yang mengisahkan mengenai pelayanan Yesus. Selanjutnya pada 28 Maret muncul Noah oleh Darren Aronofsky (Black Swan, The Fountain) yang dibintangi artis papan atas Russel Crowe (Gladiator, A Beautifull Mind, Les Miserables), mengisahkan tentang Nuh dan bencana air bah. Yang terakhir adalah Exodus: Gods and Kings yang disutradarai oleh Ridley Scott (Alien, Gladiator, Black Hawk Down) dan dibintangi artis papan atas lainnya, Christian Bale (trilogi Dark Knight, The Prestige) yang mulai diputar 12 Desember, yang mengisahkan mengenai Musa yang memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Selain itu juga terdapat film-film lain yang meski tidak mengangkat kisah dalam Alkitab namun bernafaskan Kristen dan juga laris seperti God’s Not Dead, Heaven is for Real, dan Left Behind. Bahkan ada yang menjuluki tahun 2014 sebagai The Year of the Bible Movie – Tahunnya Film Alkitab!1 Sebutan ini tentu tidak asal-asalan. Film-film di atas cukup sukses dan meraup banyak keuntungan. Noah berhasil mengumpulkan pemasukan sebanyak US$362 juta2, Exodus: Gods and Kings mendapatkan US$268 juta3 dan Son of God berhasil mendapatkan US$67 juta4. Meski pendapatan tersebut tidaklah sebanyak film-film terlaris tahun 2014 seperti Transformers: Age of Extinction (US$ 1.100 juta) atau The Hobbit: The Battle of The Five Armies (US$955 juta)5, namun pendapatan dari film-film berbasis Alkitab tersebut cukup menggiurkan.

Oleh karena itu, tampaknya trend film berbasis Alkitab masih akan terus bergulir di tahun-tahun mendatang. Setelah membuat Exodus: Gods and Kings,Ridley Scott berencana membuat film berbasis Alkitab lagi mengenai Raja Daud6. Will Smith (I Am Legend,

Hancock, Bad Boys) dikabarkan hendak membuat film mengenai Kain. Kemudian ada juga

1 Shone, T., A movie miracle: how Hollywood found religion, 2014, dalam http://www.theguardian.com/film/2014/jul/31/-sp-faith-films-hollywood-religion-christian-noah-heaven-is-real-bible diaskes 1 Juni 2015

2 Noah, dalam http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=noah.htm diakses 3 Juni 2015

3 Exodus: Gods and Kings, dalam http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=exodus.htm diakses 3 Juni 2015 4 Son of God, dalam http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=sonofgod.htm diakses 3 Juni 2015

5 2014 Worldwide Grosses, dalam http://www.boxofficemojo.com/yearly/chart/?view2=worldwide&yr=2014-&p=.htm diakses 3 Juni 2015

(2)

proyek mengenai Pontius Pilatus yang rencananya dibintangi Brad Pitt (World War Z, Troy,

Ocean’s Eleven).7 Bahkan Hugh Jackman (Wolverine, trilogi X-Men, Les Miserables) bersama dengan Matt Damon (trilogi Bourne, Elysium, Good Will Hunting) dan Ben Affleck (Pearl Harbor, Gone Girl, Argo) hendak membuat film mengenai Paulus berjudul Apostle Paulus8. Bukan lagi studio film kristen kecil-kecilan yang mengangkat kisah-kisah Alkitab

tetapi justru studio-studio besar seperti Paramount, Warner Bros dan 20th Century Fox dengan bintang-bintang kelas A. Alkitab mulai menjadi mainstream, populer melalui film-film yang berpotensi besar dan akan ditonton banyak orang. Pesan Alkitab akan diperdengarkan dan disampaikan tidak hanya kepada orang Kristen melainkan juga orang-orang non kristen. Atau benarkah demikian?

Dalam paper ini penulis hendak menggali dan menguak lebih dalam mengenai nilai-nilai teologis yang disajikankan melalui film sebagai budaya populer serta membandingkannya dengan nilai teologis yang disajikan oleh Alkitab. Melalui pembandingan itu penulis berharap untuk menjawab pertanyaan di atas, “Apakah pesan Alkitab diperdengarkan kepada banyak orang?”. Secara khusus penulis akan membahas Noah

dan Exodus: Gods and Kings sebagai perwakilan dari trend film berbasis Alkitab. Pemilihan ini karena film-film tersebut yang sudah beredar dan dapat ditonton, sementara beberapa film lain yang diproduksi studio besar dan dibintangi artis-artis Hollywood papan atas, masih dalam proses produksi. Namun sebelum masuk lebih dalam adalah baik untuk membahas sedikit mengenai budaya populer itu sendiri.

Yang Terkemuka Di Antara Semua

Apakah budaya populer? Sebuah hasil akal budi yang dikenal dan disukai orang banyak. Setidaknya itu arti budaya populer ketika penulis mencari arti kata ‘budaya’ dan ‘populer’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Meski demikian seringkali kata budaya dipakai secara terbatas untuk menyebut hasil karya manusia yang dianggap berkualitas tinggi.9 Sebuah karya teater klasik seperti Hamlet dan Romeo and Juliet oleh Shakespeare dianggap sebagai sebuah budaya sementara serial TV komedi seperti Malam Minggu Miko

7 Kennedy, J.W., Why 2015 May (or May Not) Be the Year of the Bible Movie, Part 2, 2014, dalam http://www.charismanews.com/culture/46529-why-2015-may-or-may-not-be-the-year-of-the-bible-movie-part-2 diakses 28 Mei 2015

8 Busch, A. & Fleming Jr., M, ‘Apostle Paul’ With Hugh Jackman Sainted By Warner Bros., 2015, dalam http://deadline.com/2015/03/apostle-paul-hugh-jackman-ben-affleck-matt-damon-1201401935/ diakses 28 Mei 2015.

(3)

atau Bajaj Bajuri tidak dianggap sebagai sebuah budaya. Pembedaan semacam ini yang juga dikenal dengan pembedaan antara high culture dan low culture oleh mazhab Frankfurt. High culture dipandang sebagai puncak pencapaian seni karya dan cipta manusia, sementara low culture walau disebut culture (budaya) sebenarnya bukanlah sebuah budaya atau seni melainkan hanyalah sebuah komoditas yang diproduksi untuk keuntungan dan manipulasi belaka.10 Pemikiran demikan bersumber dari pandangan Marxisme yang mewarnai mazhab Franfurt, Budaya populer tentu saja dipandang sebagai low culture dan sering juga disebut sebagai mass culture atau budaya massal. Murahan, tak berharga dan semacam pembodohan bagi rakyat. Kritik dari mazhab Frankfurt ini tentu menarik untuk dibahas lebih lanjut namun hal ini jelas diluar cakupan dari paper ini.11 Meski penulis tidak sepenuhnya menolak argumen-argumen yang diajukan oleh mazhab Frankfurt, namun penulis tidak bisa tidak merasa bahwa argumen mazhab ini cenderung elitis dan mengagungkan budaya-budaya tertentu –umumnya yang klasik– serta merendahkan bentuk budaya lain yang tentu saja lebih kontemporer dan modern.12

Budaya populer kontemporer tentu saja berbeda dengan budaya-budaya klasik. Hal ini karena konteks dunianya jelas berbeda. Kalau mazhab Frankfurt berargumen seakan-akan budaya klasik bukanlah budaya populer, hal ini tentu kurang tepat, sebab menurut penulis budaya-budaya klasik pun sesungguhnya adalah budaya populer pada jamannya. Apa yang membedakan? Menurut Romanowski ada empat hal yang membedakan yaitu (1) teknologi massa, (2) skala distribusi, (3) demografi para penikmat (audiens) dan (4) basis komersial dari konsumen.13 Dengan keberadaan teknologi massal seperti percetakan masal, radio, TV, dan internet maka produk-produk budaya populer dapat dinikmati oleh lebih banyak orang, tidak hanya dalam sebuah kota atau sebuah negara bahkan sampai mencakup seluruh dunia. Seandainya teknologi TV sudah ada pada jaman Shakespeare mungkin drama Romeo and Juliet akan ditonton oleh berbagai oleh orang pada masa itu. Sayangnya tidak demikian sehingga drama tersebut hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang pada masa itu, dan

10Cobb, K., The Blackwell Guide to Theology and Popular Culture, (Oxford: Blackwell Publishing, 2005), h.47-48.

11Cobb dalam bab1 (h.45-52) membahas lebih jauh mengenai pandangan mazhab Frankfurt, mengenai kritik

yang diajukan serta dasar-dasar pemikiran dari mazhab Frankfurt. Sementara itu di bab 2 (53-71), Cobb membahas mengenai pengembangan pemikiran oleh para penerus mazhab Frankfurt yang meski mempertahankan beberapa kritik dan pemikiran oleh Mazhab Frankfurt namun juga mengembangkan cara pandang yang berbeda dan lebih terbuka.

12Lihat juga penjelasan Romanowski mengenai pemikiran dan pandangan mengenai budaya tinggi (disini

(4)

kemudian saat ini dipandang sebagai high culture karena fakta tersebut. Sebuah pengertian yang tidak tepat. Oleh karena itu penulis lebih memandang budaya populer (maksudnya adalah budaya populer kontemporer) sebagai sebuah produk karya manusia yang dikenal dan disukai oleh banyak orang. Budaya populer adalah budaya yang memiliki audiens massal, sangat banyak, diciptakan dalam urbanisasi dan demokratisasi seiring dengan berkembangnya teknologi distribusi massal.14

Film: Peta bagi Perjalanan Hidup Anda

Film sebagai sebuah media artistik yang harus menunggu diciptakannya teknik reproduksi sebelum berkembang pesat merupakan sebuah bentuk seni yang paling emansipatoris (melibatkan seluruh pihak). Setidaknya demikian menurut Walter Benjamin15. Namun pendapat ini mungkin ada benarnya. Melalui film kita belajar mengenai banyak hal yang perlu kita ketahui tentang hidup bahkan mungkin hampir seluruhnya.16 Film mungkin merupakan sebuah budaya populer yang menyentuh banyak orang. Pada tahun 2011 saja, UIS (salah satu lembaga milik UNESCO) mencatat bahwa ada 6,984 milyar tiket bioskop yang terjual17. Ini hampir setara dengan jumlah populasi dunia hari ini yang mencapai lebih dari 7 milyar orang18. Data di atas jelas belum menghitung dan mempertimbangkan orang-orang yang menonton film dari DVD/VCD, streaming online, televisi berbayar, televisi umum, smartphone atau dari bajakan. Jumlahnya tentu dapat berlipat ganda. Film memiliki cakupan dan pengaruh yang kuat sebagai sebuah budaya populer.

Film sebagai sebuah produk budaya populer selain menghibur juga memiliki fungsi-fungsi yang lebih mendalam. Film mampu mengafirmasi dan merefleksikan kembali keyakinan-keyakinan hidup dan nilai-nilai yang dipandang berharga oleh penonton. Film sebagai budaya populer dapat dipahami sebagai imaginative ordering of experience atau penyusunan yang rapi dan imajinatif atas pengalaman. Film memampukan kita untuk mendapatkan insipirasi dan pencerahan mengenai kondisi manusia dan tempat kita dalam semesta. Film juga mampu menyajikan nilai-nilai dan asumsi budaya, norma perilaku, peran sosial dan gender setidaknya menurut versi sutradara atau screenwriter dari film tersebut.19 Penulis tertarik dan setuju dengan pendapat Romanowski bahwa budaya populer dapat

14Detweiler, op.cit., h.18. 15Cobb, op.cit., h.31. 16Detweiler, op.cit., h.155.

17Gonzalez. R., Emerging Markets And The Digitalization of The Film Industry, (Montreal: UNESCO Institute for Statistics, 2013), h.18

(5)

menjadi maps of reality, peta mengenai realitas yang dipakai untuk menavigasi, mencari arah dan menemukan jalan dalam kehidupan.20 Film adalah sebuah media dan seni yang tersedia dan dapat diakses orang untuk menemukan makna dalam kehidupan.21

Berbicara mengenai film sebagai media untuk mencari makna, Paul Schrader membagi film ke dalam dua kategori22, yang pertama adalah film yang bersarana melimpah (abundant). Ini adalah film yang lebih praktis, emosional, fisik dan sensual. Contohnya adalah film-film yang mengedepankan unsur laga aksi (action) atau komedi umumnya merupakan film yang abundant. Stimulus dan masukan dari film semacam ini tinggal diterima saja tanpa perlu banyak berpikir. Sementara itu jenis kedua adalah film bersarana jarang (sparse), yaitu film yang lebih abstrak, bergaya unik, dan lebih fokus pada yang esensial saja. Film semacam ini tentu perlu lebih banyak berpikir dan ada kesulitan lebih untuk mencerna dan memahami maksud dalam film tersebut.

Menurut Schrader, film-film religius atau berbasis alkitab sering jatuh kepada kategori film bersarana melimpah yang dirasanya gagal menginspirasi iman para penontonnya.23 Meski demikian film-film sparse yang diidolakan oleh Schrader ternyata tidak mampu menangkap hati penonton. Orang tampaknya cenderung menjauhi dan menolak film-film

sparse tersebut.24Mungkin film-film tersebut terlalu sulit dicerna sehingga orang cenderung enggan untuk menontonnya. Bagaimanapun juga orang menonton film untuk memperoleh hiburan, merasa senang dan bersantai. Film-film sparse mungkin menuntut penonton menginvestasikan daya emosional dan spiritual yang terlalu banyak.25 Banyak orang tampaknya kewalahan menghadapi film-film sparse.

Kalau demikian apakah kita tidak akan dapat menemukan makna diluar film-film

sparse? Penulis rasa tidaklah demikian. Kita juga dapat menemukan makna dalam film-film non sparse juga. Detweiler dalam refleksinya terhadap beberapa karya sutradara film populer dari tahun 1999 menyimpulkan bahwa film-film yang padat, penuh dan abundant pun dapat

20Ibid., h.95

21Marsh, C., Theology Goes to The Movies: An Introduction to Critical Christian Thinking, (New York: Routledge, 2007), h.23.

22Detweiler, op.cit., h.159 23Ibid.

24Derweiler memaparkan mengenai permasalahan yang dihadapi oleh film-film sparse yang dibuat oleh Schrader (The Yakuza, Rolling Thunder, Blue Collar, Hardcore) maupun oleh para sutradara idola Schrader seperti Theodor Dreyer (The Passion of Joan of Arc), Yasujiro Ozu (Floating Weeds), dan Robert Bresson (Diary of a Country Priest, Au Hasard Balthazar) yaitu pujian dari kritikus namun pengabaian dan ketidakacuhan dari para penonton. Film-film tersebut umumnya gagal secara finansial. Untuk pembahasan lebih lengkap lihat ibid., h.160-162.

(6)

mendorong individu untuk mencari makna hidup dan menggugah secara spiritual26. Bahkan mungkin film-film semacam ini –yang abundant namun sedikit-sedikit sparse– justru lebih bermanfaat sebab menjadi map of reality yang akan dipakai penonton sebab tidak terlalu berat. Meski demikian perlu disadari juga bahwa model semacam ini memiliki resiko juga. Penonton dapat gagal melihat lebih dalam melampaui hingar-bingar aksi, gambar yang indah dan special effect dari film abundant, menuju kepada pertanyaan-pertanyaan utama yang diprovokasi dan disodorkan dalam film-film tersebut.27 Namun bagi penulis resiko ini merupakan resiko yang layak diambil. Karena penggalian mendalam mengenai makna dapat dibangun melalui diskusi, refleksi film ataupun review film selama film tersebut ditonton oleh banyak orang.

Noah dan Exodus: Gods and Kings, kedua film yang akan dibahas dalam paper ini merupakan contoh film yang, bagi penulis, merupakan film abundant namun sedikit-sedikit

sparse. Keduanya merupakan film yang padat, penuh aksi, dialog dan adegan-adegan spektakuler (terimakasih kepada CGI dan special effect yang keren!) namun juga dapat mendorong pemikiran dan refleksi atas hidup. Menyadari bahwa film mampu menyajikan nilai-nilai dan asumsi budaya, norma perilaku, peran sosial dan gender, kita kembali bergerak untuk menjawab pertanyaan di awal mengenai film-film berbasis Alkitab ini, “Apakah pesan Alkitab diperdengarkan kepada banyak orang?”

Antara Akurasi & Imajinasi

Salah satu komentar pertama yang umumnya dilontarkan oleh kaum Kristiani mengenai film adaptasi Alkitab seperti Noah dan Exodus: Gods and Kings adalah bahwa film-film tersebut tidak akurat. Dalam artian film-film tersebut tidak mengikuti cara pengkisahan dalam Alkitab termasuk juga menghilangkan sebagian kisah ataupun menambah dan mengubah sebagian dari kisah tersebut. Banyak orang yang bahkan mencela Darren Aronofsky ataupun Ridley Scott. Meskipun demikian perlu disadari bahwa film-film adaptasi dari Alkitab ini tentu bukanlah sekadar pengkisahan ulang Alkitab. Jika itu yang diharapkan maka kemungkinan besar kita akan kecewa. Bagaimana pun juga film merupakan sebuah dunia imajinatif yang artistik. Sebuah dunia yang diciptakan oleh imajinasi sang seniman. Sebuah produk dari orang-orang kreatif yang bekerja bersama, sutradara, penulis naskah,

26Detweiler merefleksikan 6 buah film yaitu The Matrix, American Beauty, Fight Club, Magnolia, Dogma dan

(7)

produser, dan lain sebagainya.28 Jonathan Bock, pendiri Grace Hill Media di California bahkan berpendapat bahwa orang-orang yang bekerja dibalik kamera perlu dan memang akan memiliki kebebasan karena Alkitab bukanlah naskah film.29 Oleh karena itu bagi penulis pengembangan kisah merupakan hal yang menarik dan layak diapresiasi dari para pembuat film ini. Dalam kisah-kisah Alkitab terdapat berbagai plot holes, kekosongan-kekosongan plot dan alur cerita yang dapat diisi oleh imajinasi dan kreatifitas dari penulis. Contohnya mengenai relasi antara Nuh dan Metusalah tidak pernah digambarkan dalam Alkitab. Apakah Metusalah mati wajar ataukah mati karena air bah?30 Apakah keturunan Seth menyimpan kulit ular dari Kejadian 3 sebagai barang peninggalan / keramat dari masa lampau? Seperti apakah dunia pada masa Nuh? Gersang atau indah? Apa yang dialami oleh para penumpang bahtera ketika air bah pertama kali datang? Seperti apakah relasi antara Musa dan para penguasa Mesir? Apakah Musa menyadari keyahudiannya? Apakah Musa seorang jenderal dengan pengetahuan yang luas akan seni perang? Apa yang dirasakan orang Israel kepada orang Mesir yang terkena tulah-tulah? Konflik dan pergumulan semacam ini tidak tertulis dalam Alkitab dan menjadi plot holes bagi penulis untuk berkreasi dan berimajinasi.

Meskipun demikian bagaimana jika kebebasan berimajinasi tersebut justru mengubah makna kisah tersebut? Tokoh-tokoh yang ada tetap sama tetapi relasi antar tokoh berbeda secara signifikan dan merubah kisah tersebut pada titik-titik kunci dan utama dari kisah tersebut. Dapatkah hal yang demikian masih disebut sebagai sebuah film adaptasi? Apakah film-film ini menolong menyampaikan pesan Alkitab mengenai Allah? Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan mengulas bagian-bagian menarik dari Noah dan Exodus: Gods and Kings serta membandingkan pesannya dengan pesan dari Alkitab.

Dunia Baru Tanpa Manusia

Pertama-tama berbicara mengenai Allah, dalam film Noah, Allah memang tidak ditampilkan secara jelas. Allah tidak muncul sebagaimana dalam Exodus: Gods and Kings,

yang akan dibahas nanti. Dalam film Noah, gambaran mengenai Allah hanya ditemukan melalui ucapan dan pandangan dari tokoh-tokoh seperti Nuh, Tubal-Kain, Metusalah, dan

The Watcher. Allah tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun sepanjang film tersebut dan

28Romanowski, op.cit., h.99,101. 29Kennedy, op.cit.,

30Jika menghitung catatan Alkitab mengenai usia Metusalah (Kejadian 5:25-27) dan memperkirakan waktu

(8)

disebut hanya sebagai Sang Pencipta (The Creator).Dalam film Noah, Allah berbicara kepada Nuh melalui penglihatan-penglihatan yang indah, mempesona namun sekaligus mengerikan31 atau kejadian alam yang unik, seperti setetes air yang jatuh ke tanah dari langit dan serta merta menghasilkan bunga32. Percakapan dengan Allah itu sesuatu yang tidak jelas dan ambigu bagi Nuh. Nuh kemudian mencari nasihat kepada kakeknya, Metusalah yang dikisahkan tinggal seorang diri di gunung. Melalui perjumpaan tersebut Metusalah meyakinkan Nuh bahwa Allah berbicara dalam cara yang dipahami oleh Nuh33 dan akhirnya ia memahami tugas yang harus dikerjakannya.

Nuh ditugasi Allah untuk membuat bahtera untuk selamat dari Air Bah. Yang menarik adalah ketika Nuh menjelaskan mengenai tugas membuat bahtera kepada keluarganya. Nuh menjelaskan bahwa manusia akan dihukum karena perbuatannya kepada dunia (bumi) dan bahtera dibuat untuk menyelamatkan hewan-hewan yang tidak bersalah. Karena mereka tidak bersalahlah maka Allah menyelamatkan mereka.34 Tanggapan Ila juga menarik bahwa hewan akan diselamatkan dan hidup karena mereka masih hidup sama seperti saat mereka hidup di Taman (Eden). Hal ini berbeda dengan perkataan Tuhan dalam Kejadian 6:7 “Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka”. Allah menghapuskan segala mahluk dari dunia ini. Dunia telah rusak dan penuh dosa dan bukan hanya manusianya saja tetapi seluruh kosmis! Jadi sudah tidak ada lagi yang tidak tercemari dosa di dunia (lihat Kejadian 6:11-13, Roma 5:12, 8:19-22). Dimulai dari peristiwa kejatuhan di Eden (Kejadian 3) sampai rencana Air Bah (Kejadian 6) kita melihat dunia yang berproses dan bergerak makin jatuh dan dicemari dosa yang akhirnya mencapai skala kosmis.35 Oleh karena itu pesan yang disampaikan oleh

Noah dalam hal ini berbeda dari Alkitab.

Awalnya Nuh menduga bahwa dirinya dan keluarganya akan turut serta dalam dunia baru36. Namun lewat penglihatan lebih lanjut37, menurut Nuh, Allah menginginkan seluruh manusia mati, tidak ada yang diselamatkan sebab manusia adalah jahat dan merusak dunia ini termasuk juga Nuh dan keluarganya. Penglihatan ini mengguncang Nuh dengan keras dan dia

31Aronofsky, D., (Sutradara). (2014). Noah [Film]. Amerika Serikat; Paramount Pictures, 10.30-11.37; 27.52-28.50; 56.32-57.01

32Ibid., 05.47-06.02 33Ibid., 26.18-26.40 34Ibid., 30.25- 31.04

35Fretheim, T. E., God and World in the Old Testament: A Relational Theology of Creation, (Nashville: Abingdon Press, 2005), h.79

36Ibid., 31.06-31.22

(9)

digambarkan berubah menjadi pribadi yang muram. Mungkin karena beban dan konsekuensi yang mengikuti pencerahan tersebut terlalu berat. Nuh membagikan pencerahannya kepada istri dan anak-anaknya yang tentu saja diterima dengan berat hati terutama oleh istrinya, “They are our children, Noah!” kata sang istri dengan geram dan murka. Nuh tetap teguh dengan rencananya. Ia berencana agar keluarganya menjadi yang terakhir dari manusia yang hidup di dunia. Sepanjang terapung-apung tanpa arah didalam bahtera, Nuh pun berjuang untuk menghayati pencerahan tersebut. Ia terus bergumul apakah hal tersebut memang merupakan kehendak Allah. Pergumulan untuk hidup dalam sinkronisasi (selaras) dengan kehendak dan rencana Allah tentu merupakan tema alkitabiah yang terus dihidupi oleh orang Kristen sampai saat ini. Ketika Ila (istri Sem) memberitahukan bahwa ia hamil maka Nuh menjadi semakin gamang dan galau. Ia berseru-seru kepada Allah namun tidak mendapatkan jawaban dari Allah. Ia menginterpretasikan ini bahwa kehendak Allah tidak berubah, kematian seluruh umat manusia termasuk anak Ila. Nuh pun kemudian berusaha membunuh anak-anak Ila sementara Naameh (istri Nuh), Sem dan Ila berusaha menyelamatkan sang anak. Pada akhirnya Nuh memutuskan untuk tidak mengikuti kehendak Allah dan membiarkan si anak tetap hidup, keputusan yang diambil dengan perasaan gagal, sedih dan luar biasa terpukul.38 Konflik batin yang hebat antara mengikuti kehendak Allah dan menyelamatkan darah-dagingnya akhirnya dimenangkan oleh keinginannya menyelamatkan cucu-cucunya (bandingkan kisah Abraham di Kejadian 22:1-19). Konflik batin inilah yang menurut penulis, menjadi kisah dan drama utama dari Noah. Beban mental dan emosional yang sedemikian berat akhirnya membuatnya bermabuk-mabukan ketika sampai lagi di darat. Berbeda tentu dari Alkitab dimana Nuh mabuk bukan karena stres atau tertekan (Kejadian 9:20-21).

Bagian menarik bagi penulis adalah sepanjang proses ini bahkan setelah Nuh mengambil keputusan menyelamatkan anak-anak Ila pun Allah tidak berbicara apapun kepada Nuh. Apakah ini hanya ujian seperti dalam kisah Abraham? Apakah Nuh salah menginterpretasikan penglihatan dari Allah? Apakah akhirnya dunia kembali hancur karena Nuh gagal mengikuti visi Allah mengenai dunia baru yang tidak didiami oleh manusia? Pertanyaan-pertanyaan itu dibiarkan tak terjawab oleh Aronofsky. Allah ala Aronofsky adalah Allah yang diam, Allah yang jauh bahkan dari manusia pilihannya, Allah yang sangat transenden, nun jauh disurga dan berbicara dalam teka-teki dan ketidakjelasan.

(10)

Mengikuti logika cerita –dimana visi Allah kepada Nuh yang masih dan belum direvisi, adalah kematian seluruh umat manusia– maka Nuh memberontak kepada Allah demi keluarganya. Tindakan Nuh tersebut bisa jadi dipandang tidak tepat jika orang-orang –yang memiliki asumsi bahwa kisah Nuh merupakan sebuah sejarah yang terjadi di masa lampau– berefleksi dan melihat kondisi dunia masa kini dimana terjadi kerusakan lingkungan yang hebat karena manusia. Disisi lain pesan yang disampaikan oleh film ini adalah hal demikian itulah yang tepat. Cinta kepada keluarga harus di atas Allah, walau mungkin mengorbankan dunia (?). Menjelang akhir Ila menyatakan bahwa tindakan Nuh tepat (mengasumsikan bahwa Allah menguji Nuh saja) karena ia menunjukkan pengampunan dan kasih kepada keluarga.39 Kesempatan kedua bagi manusia merupakan kehendak Allah bagi Nuh namun hal ini tidak terkonfirmasi oleh Allah sampai dengan adegan akhir, ketika Nuh melakukan ritual tanggungjawab merawat bumi dan beranak-cucu, maka muncul pelangi (yang bisa diinterpretasikan sebagai persetujuan dari Allah). Namun lagi-lagi tidak ada kejelasan dan konfirmasi dari Allah. Hanya interpretasi manusia (Nuh dan keluarganya dan para penonton).

Pesan yang disampaikan film tersebut bagi penulis tentu saja tidak sepenuhnya selaras dengan pesan Alkitab. Dalam Alkitab, Allah memang jelas-jelas memilih Nuh dan keluarganya untuk diselamatkan dari air bah. Sehingga kegelisahan dan konflik batin dalam bahtera tentu tidak dihadapi oleh Nuh. Lebih dalam dari itu, pengampunan, kasih dan kesempatan kedua menjadi inisiatif dan pemberian Allah (Kejadian 6:8) dan tidak didapatkan lewat pemberontakan kepada Allah. Bagian penting lain dari Alkitab yang dikeluarkan dari

Noah adalah perjanjian yang ditetapkan Allah setelah Nuh dan keluarganya keluar dari bahtera (Kejadian 9:1-17). Perjanjian ini menunjukkan Allah yang berelasi dengan manusia (tidak hanya manusia tetapi segala mahluk!) dan Allah yang meletakkan keyakinan dan kepercayaan kepada kebaikan manusia dan segala mahluk (walau juga memiliki kapasitas untuk berbuat jahat dan dosa – lihat Kejadian 9:21-22) untuk meneruskan ciptaan. Allah yang tidak lagi akan mengintervensi dunia dengan Air Bah. Meski Noah juga menyajikan kisah mengenai kehidupan baru (meski tema ini tidak dibangun secara kuat) namun Aronofsky memutar kisah Nuh dan menjadikan keselamatan dan kehidupan baru itu (setidaknya mengenai manusia) bukan sebagai inisiatif dan kehendak dari Allah melainkan dari usaha dan pemberontakan manusia kepada rencana Allah.

Selanjutnya mengenai keluarga di atas Allah, Matius 10:37-38 berkata “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa

(11)

mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.”. Bagi Yesus, kasih kepada keluarga yang melebihi kasih kepada Allah bukanlah hal yang tepat. Kasih kepada Allah dan kepada keluarga perlu diletakkan pada taraf yang sama (lihat Matius 22: 34-40).40

Percakapan antara Nuh dan Tubal-Kain membawa kita melihat sisi lain dari kisah Air Bah ini.41 Meskipun Tubal-Kain digambarkan sebagai seorang yang bengis, penindas dan kejam, dan memang diposisikan sebagai seorang antagonis yang egois, hal ini tentu tidak membuat kita berhenti berpikir mengenai nasib orang-orang banyak, para pengikutnya beserta keluarganya. “The land is dying, the cities are dead. My people follow me and more will follow them. ... If you refuse my dozens now, I shall return with legions!” Demikianlah seru marah Tubal-Kain. Manusia yang sekian banyak akan segera tenggelam dalam Air Bah tanpa ada kesempatan untuk bertobat dan berubah. Perhatian serupa juga muncul ketika Air Bah sudah melanda dan Sem dan Ila (nama istri Sem) ingin menolong orang-orang di luar bahtera yang masih hidup dan terapung-apung namun ditolak oleh Nuh. Kegelisahan-kegelisahan humanis yang ditampilkan dalam film Noah ini menarik (walau tidak terjawab dalam film secara memuaskan juga) untuk kita dapat menggumuli relasi Allah dan manusia.

The Watcher merupakan bagian dari kisah yang merupakan fantasi dan imajinasi Aranofsky (atau mengambil sumber di luar Alkitab) yang menarik. Terlepas dari ketidak-alkitabiahan tokoh-tokoh ini, menarik untuk mencermati kisah mereka. Allah dikisahkan menciptakan The Watcher pada hari yang kedua. The Watcher dikatakan berbelas-kasihan pada manusia dan turun ke bumi untuk menolong manusia. Akibatnya mereka kemudian dihukum Allah karena melawan perintah-Nya. Mereka, mahluk-mahluk cahaya dikurung dalam batu dan tanah dari bumi. Meskipun demikian mereka tetap menjalankan rencana mereka untuk menolong manusia. Mereka mengajari manusia segala hal mengenai ciptaan sampai akhirnya keturunan Kain berhasil membangun peradaban yang luar biasa. Mereka berhasil baik namun kemudian manusia berbalik dan menggunakan pembelajaran tersebut untuk melakukan kekerasan dan kejahatan. The Watcher diburu dan dibunuh oleh manusia. Menyadari kesalahan mereka, The Watcher meminta Allah untuk membawa mereka pulang namun Allah diam saja.42 Yang menarik adalah saat mereka berusaha melindungi Nuh dan

40Dalam Matius 22: 34-40, Yesus menyatakan bahwa mengasihi Allah (hukum pertama) dan mengasihi diri dan

sesama (hukum kedua), tentu saja termasuk keluarga, memiliki bobot keutaman yang sama. 41Aranofsky, op.cit., 47.40-48.40

(12)

bahteranya dari Tubal-Kain, The Watcher yang mati kemudian dapat kembali kepada Allah.43 “The Creator brings him home!” pekik salah satu dengan sukacita. Ini berbeda dengan para

The Watcher yang mati dalam flashback kisah dari Magog. Meski seakan-akan berkata bahwa mereka dapat kembali ke surga karena telah mau menolong Nuh namun menurut penulis titik kuncinya adalah pada kata-kata Samyaza (The Watcher pertama yang mati saat melindungi Nuh), “My Creator, forgive me.”44 Keselamatan dari Allah datang karena Samyaza memohon ampun atas kesalahan The Watcher. Tentu bukan soal ‘gagal’ melindungi Nuh tetapi mengenai pemberontakan mereka. Kalau sebelumnya mereka hanya meminta Allah membawa mereka pulang, kini mereka tidak meminta pulang namun memohon ampun dan justru Allah membawa mereka pulang.

Kisah penciptaan dan kejatuhan manusia yang dituturkan oleh Nuh merupakan sebuah penceritaan yang menarik. Meski secara naratif memakai kisah penciptaan ala Kejadian 1, namun tidak dapat dipungkiri bahwa penceritaan melalui rangkaian gambar yang berganti secara cepat (stop-motion) memberi kesan penciptaan dunia berdasar teori Big Bang dan evolusi dari mahluk laut sampai menjadi mahluk darat.45 Aronofsky berhenti sampai pada mahluk yang menyerupai monyet sebelum narator berpindah kisah tentang manusia. Walau demikian secara implisit kita dapat melihat pesan yang hendak disampaikan dibaliknya adalah manusia merupakan evolusi kera. Sementara itu Tubal-Kain memberikan kisah lain mengenai penciptaan manusia, bahwa Allah menciptakan manusia karena tidak puas dengan keberadaan ciptaan yang lain.46

Penulis mengapresiasi imajinasi dan visualisasi kisah Nuh yang disajikan oleh Aronofsky. Metusalah yang memiliki kekuatan supranatural seperti mengeluarkan api dari pedang dan memulihkan rahim Ila. Ham yang tidak memiliki istri saat Air Bah (berbeda dari kisah Alkitab – Kejadian 6:18) dan dengan begitu menambahkan konflik yang menarik. Tubal-Kain, sang antagonis yang menyusup ke dalam bahtera dan bertarung dengan Nuh. Gambaran dunia yang gersang dan rusak oleh manusia (apakah kita bergerak menuju dunia semacam ini?), pengambaran bencana Air Bah secara dahsyat, dan visualisasi lainnya yang indah. Secara keseluruhan, Noah menyajikan sebuah kisah yang menarik.

(13)

Sang Anak Kecil dan Jenderal Pembebas

Exodus: Gods and Kings merupakan sebuah film yang menarik. Exodus: Gods and Kings dimulai dengan prolog “for 400 years the Hebrews have been slaves to Egypt”47 yang kemungkinan diinspirasi dari Kejadian 15:1348 yang berujung pada “God has not forgotten

them.”49 Sebuah pembukaan yang kuat dan menjadi kesaksian akan Allah yang mengingat dan berelasi dengan umatnya. Meski demikian Exodus: Gods and Kings tampaknya lebih berpusat pada perseteruan antara Musa dan Ramses, Musa dan Allah, dan Musa dengan dirinya.

Musa dalam Exodus: Gods and Kings digambarkan sebagai jenderal Mesir yang tangguh, memiliki pengetahuan dan ketrampilan perang yang baik, seorang administrator yang handal dan berwibawa, serta seseorang dengan edukasi yang baik (hal yang wajar bagi seorang pangeran). Musa adalah tokoh penting di kerajaan Mesir. Ia memiliki relasi erat dan akrab dengan Ramses, Firaun yang akan dikonfrontasinya ketika hendak membebaskan Israel. Bahkan dikisahkan Musa tumbuh besar bersama Ramses, sudah dianggap saudara dekat bahkan sampai mendapat pedang kembar dari Firaun Seti50. Alur plot ini agak berbeda dari versi Alkitab dimana Musa melewatkan masa kecilnya dirawat oleh ibunya, yang berperan sebagai inang penyusu (Keluaran 2:10). Meski demikian Alkitab juga tidak dengan pasti memberikan rentang usia Musa diangkat anak oleh puteri Firaun sehingga penulis rasa Scott berimajinasi bebas di sini. Mungkin saja Musa berumur 2 atau 3 tahun (usia anak disapih) ketika kemudian diangkat anak dan dibawa ke dalam istana Firaun dan hidup disana bergaul dengan sang penerus tahta, menjadi salah satu pangeran Mesir. Menurut penulis plot ini terutama diciptakan Scott untuk membawa kisah Keluaran ini menjadi ketegangan antara dua orang ‘saudara’ dari kecil. Romanowski mencermati bahwa gaya semacam ini merupakan bentuk individualisme yang digaungkan oleh Hollywood. Satu orang dapat merubah semuanya dan menghapuskan segala masalah. Memang benar setiap orang perlu didorong bahwa mereka memiliki dampak dan peran tetapi individualisme Hollywood dipandang berlebihan sampai-sampai mendistorsi realitas bahwa perubahan tidak serta merta dihasilkan oleh satu tokoh saja.51 Meski menjadikan kisah Exodus: Gods and Kings berpusar disekitar

47Scott, R. (Sutradara). (2014). Exodus: Gods and Kings [Film]. Amerika Serikat; Twentieth Century Fox. 01.13-01.17

48Tuhan berfirman kepada Abram bahwa keturunannya akan diperbudak dinegeri asing (asumsinya Mesir)

selama 400 tahun. Menurut Keluaran 12:40, orang Israel tinggal di Mesir selama 430 tahun, sehingga yang 30 tahun bisa diandaikan sebagai masa Yusuf dan saudara-saudaranya masih hidup dan bebas dari perbudakan. (lihat Keluaran 1)

49Scott, op.cit., 01.55-02.00 50Ibid., 04.16-04.50

(14)

Musa membuat kisah ini menjadi lebih dramatis dan (bisa) mendapat penggalian karakter yang mendalam. namun individualisme radikal52 semacam ini menurunkan nilai peran bersama dari komunitas serta keberadaan kuasa atau hal-hal diluar kendali individu yang turut mengubah arah sejarah. Contohnya Harun53, hanya ditampilkan sebagai sosok figuran yang berjarak, tidak erat dengan Musa dan cenderung apatis (bandingkan Keluaran 4:14-16, 27, 29-30 dan 7:1).

Dalam Exodus: Gods and Kings, persoalan besar (sosial, bangsa) direduksi menjadi perselisihan personal, terlihat dalam sibling rivarly antara Musa dan Ramses. Mulai dari ramalan sang pendeta, konflik batin Ramses yang ditolong Musa dalam perang54, Firaun Seti yang lebih mempercayai Musa daripada Ramses55, konflik Ramses dan ibunya untuk membunuh atau mengusir Musa56, konflik bersenjata antara pasukan Ramses dan kelompok pemberontak Yahudi yang dipimpin Musa terkait perihal pembebasan Israel dan terakhir berpuncak pada duel gagal di tengah Laut Merah57.

Dalam Exodus: Gods and Kings, Musa menyadari identitas keyahudiannya dalam kunjungan kerjanya ke Pithom setelah diberitahu oleh Nun, salah satu tua-tua Israel. Musa galau dengan identitasnya sampai-sampai ia membunuh seorang penjaga Mesir dalam kemarahannya yang akhirnya berujung pada pengusirannya dari Mesir. Pergumulannya tidak berhenti walaupun Bithia (sang putri Mesir) dan Miriam memberitahukan bahwa dia adalah seorang Ibrani58. Ketika Allah berbicara dengan Musa mengenai orang Ibrani dan menyindir...or are they not people in your opinion?”59 adegan ini menunjukkan Musa masih sulit menerima dirinya sebagai orang Ibrani. Atau bandingkan juga percakapan Allah dengan Musa yang lain, “you still don’t think them as yours, do you?”60 Dalam kisah Alkitab memang terdapat plot holes mengenai kesadaran Musa dan orang-orang disekitarnya akan keyahudian Musa.61 Namun dalam Alkitab, Musa tidak dikisahkan bergumul mengenai identitas keyahudiannya. Pergumulan ini sendiri menjadi sebuah plot yang menarik (jika digali secara

52Ibid., h.174.

53Scott, op.cit., 66.21-66.48 54Ibid., 10.10-11.15 55Ibid., 12.53-13.30 56Ibid., 36.55-37.32 57Ibid., 121.21-122.48 58Ibid., 38.00-39.14 59Ibid., 57.04-57.08 60Ibid., 98.00-98.20

61Keluaran 2:10 dan 11 mengindikasikan ada jeda waktu antara Musa diangkat anak oleh puteri Firaun dengan

(15)

mendalam), mengenai orang yang mencari identitas dirinya termasuk mengenai spiritualitasnya.

Musa ditampilkan sebagai sosok yang cenderung skeptis dan ateis. Pada adegan awal di istana Firaun ketika seorang pendeta Mesir sedang meramal masa depan dengan membaca isi perut dari angsa (sebuah ketidakakuratan historis62), ia menunjukkan ketidakpercayaannya pada hal religius dengan mengejek ramalan sang pendeta.63 Dalam percakapan dengan anaknya, Gershom mengenai gunung Tuhan, Musa juga menunjukkan keskeptisannya64, sebuah sikap yang mungkin menjadi anakronisme65 dari sikap orang-orang modern. Exodus:

Gods and Kings dapat dikatakan sebagai sebuah kisah pencarian dan penemuan relasi antara Musa dengan Yang Maha Kuasa. Di akhir kisah digambarkan Musa yang bergaul erat dengan Allah66.

Berbicara mengenai relasi Musa dan Allah merupakan hal yang menarik dari Exodus: Gods and Kings. Musa pertama kali bertemu Allah di gunung dimana terdapat semak yang menyala tetapi tidak terbakar. Kisah yang sama dengan di dalam Alkitab. Yang membedakan adalah bagaimana pertemuan itu berlangsung. Di dalam Alkitab67, Musa dalam kondisi sadar, sementara dalam Exodus: Gods and Kings68, Musa digambarkan terkena longsoran batu dan

mungkin berhalusinasi mengenai Allah. Isi percakapan tersebut juga berbeda. Di dalam Alkitab, Allah secara jelas memperkenalkan diri dan menyatakan maksudnya yaitu untuk mengutus Musa membebaskan umat-Nya dari Mesir. Musa bahkan sampai berdebat panjang dengan Allah mengenai kapasitas dirinya sendiri. Sementara itu dalam Exodus: Gods and Kings, percakapan dengan Allah lebih singkat (tentu dalam rangka menjaga agar film dan percakapan itu tetap menarik dalam media film) dan sedikit lebih ambigu. Misal Allah berkata “I need a general to fight” bisa dimaknai berperang (yang lebih masuk akal untuk seorang jenderal) atau berjuang dalam artian lebih umum. Gambaran Scott mengenai Allah cukup menarik. Allah digambarkan sebagai seorang bocah kecil usia belasan, mungkin 12 atau 13 tahun. Gambaran yang tidak biasa, yang juga ditentang oleh Zipora dalam Exodus: Gods and Kings, “God isn’t a boy”69 Penulis sendri tidak masalah dengan sosok Allah yang

62Membaca isi perut hewan untuk meramal masa depan adalah praktek religius Romawi bukan Mesir Kuno.

Lihat subpoin factual errors dari http://www.imdb.com/title/tt1528100/goofs?ref_=tttrv_ql_2 63Scott, op.cit., 03.18-03.40

64Ibid., 52.55-54.10

65Sebuah inkonsistensi waktu (secara kronologis) yang biasanya terkait dengan tradisi, objek, teknologi,

kejadian atau orang yang berada pada periode waktu yang salah. 66Scott, op.cit., 140.11-141.47

67Lihat Keluaran 3:1-4:17

(16)

muncul sebagai seorang anak, sebab tidak ada yang tahu juga seperti apa sosok Allah. Umumnya memang digambarkan sebagai laki-laki kulit putih tua tetapi kemudian Morgan Freeman merevolusinya dengan trend Allah sebagai sesosok pria tua kulit hitam. Mungkin Scott hendak memulai trend gambaran baru mengenai Allah yang bersosok anak-anak.

Pengisahan 10 Tulah yang menjangkiti Mesir perlu mendapat perhatian khusus. Menurut penulis, pengkisahan ala Scott kehilangan makna asli tulah tersebut dari Alkitab. Scott menceritakan tulah yang terjadi terus menerus, dimulai dari sungai menjadi darah – karena buaya yang sangat banyak saling membunuh– sampai kepada tulah keenam yaitu barah (meski melewatkan tulah 3-nyamuk dan tulah 5-sampar, yang dipindah posisi). Penulahan ini kemudian diselingi dengan peringatan dan ajakan bernegosiasi dari Musa yang ditulis di sebuah kuda dengan darah. Hal ini kemudian ditanggapi Ramses dengan memperberat pekerjaan orang Yahudi (dalam Alkitab ini terjadi saat Musa pertama kali memohon kepada Firaun untuk mengijinkan Israel pergi ke padang dan beribadah kepada Tuhan, sebelum 10 tulah itu terjadi). Setelah itu bencana dilanjutkan dengan tulah penyakit sampar pada hewan, hujan es dan api, kegelapan dan diakhiri dengan kematian anak sulung.70 Bencana-bencana tersebut terjadi terus menerus tanpa henti sehingga memberi kesan Allah yang menghukum terus menerus. Hal yang berbeda dengan yang disajikan Alkitab bahwa tulah tersebut terjadi sebagai peringatan kepada Firaun, menunjukkan kebesaran Allah dalam rangka membujuk Firaun untuk membebaskan Israel dari Mesir. Oleh karena itu setiap tulah umumnya memiliki pola yang sama: diawali dengan sebuah permohonan dari Musa kepada Firaun, peringatan akan tulah, dan perbuatan ajaib yang terjadi melalui suatu aksi dari Musa atau Harun (menyentuhkan tongkat, mengambil debu dan tanah, mengulurkan tongkat ke langit)71. Beberapa kemudian diredakan ketika Firaun berjanji melepaskan Israel atau bernegosiasi dengan Musa72, yang kemudian diingkari Firaun. Dalam kisah Alkitab Firaun memiliki kesempatan, waktu dan kebebasan untuk memilih, merespon dan bertindak73. Pesan

70Ibid., 81.18-88.46, 89.06-91-53, 92.42-95.24 71Kisah lengkap 10 Tulah lihat Keluaran 7:14-12:51

72Setelah tulah keempat, Firaun menwarkan kepada Musa untuk beribadah di tengah-tengah Mesir tetapi ditolak

(Keluaran 8:25-27). Sebelum tulah kedelapan turun, Firaun menawarkan hanya kaum laki-laki saja yang pergi, bukan seluruh bangsa (Keluaran 10:8-11). Kemudian setelah tulah kesembilan, Firaun sedikit melunak dan mengijinkan semua pergi kecuali ternak Israel (Keluaran 10:24).

73Meskipun umumnya dipakai istilah “Allah mengeraskan hati Firaun”, namun penulis berpendapat bahwa ini

(17)

yang berbeda yang akan ditangkap ketika melihat Exodus: Gods and Kings dimana Firaun dan seluruh Mesir menjadi korban yang cenderung pasif.

Dalam beberapa percakapan antara Musa dengan Allah tampak beberapa persoalan yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut (tentu tidak di sini!). Musa mempertanyakan tulah-tulah yang terjadi sebagai kekejaman, tidak manusiawi dan dilakukan sebagai sebuah pembalasan dendam dari Allah saja. “I want to see them (Pharaohs) on their knees, begging for it to stop!”74 Allah digambarkan secara implisit mengiyakan hal tersebut, bahkan terlibat berobsesi untuk menunjukkan kehebatannya dan keinginannya mematahkan kesombongan para firaun yang mengtuhankan dirinya. Percakapan lain menunjukkan Allah yang tidak sabar dengan metode Musa yaitu membentuk kelompok gerilyawan (atau teroris?) sehingga Ia memutuskan untuk menurunkan tulah-tulah tersebut.75 Kedua pemahaman ini konsisten dengan dunia Musa yang dibangun oleh Scott tetapi tentu saja berbeda dengan pemahaman dan pengisahan Alkitab karena dalam Alkitab maksud dan tujuan tulah itu seperti diungkapkan dalam paragarf di atas. Sebagai peringatan bagi Firaun. Allah dalam Alkitab justru tampak lebih sabar. Dipermainkan dan diberi harapan palsu oleh Firaun setidaknya 9 kali, namun tetap Allah memberi kesempatan bagi Firaun untuk memilih membebaskan Israel. Terlepas dari itu menarik juga melihat gambaran Musa yang simpatik dan peduli juga kepada bangsa Mesir atau setidaknya orang-orang Mesir yang dikenal Musa, yang menderita akibat tulah-tulah hebat tersebut (meski ironisnya dia tidak terlihat bermasalah dengan melakukan aksi terorisme kepada rakyat Mesir).

Scott juga menggambarkan Allah yang tidak dekat dengan umatnya. Meskipun di awal disebutkan bahwa Allah tidak melupakan umatnya namun Allah tidak menyatakan dirinya kepada umatnya, tidak melalui Musa, tidak melalui Harun, tidak melalui siapapun. Upaya pembebasan Israel dari Mesir ditampilkan pertama-tama sebagai usaha Musa secara pribadi. Pengolesan darah domba dan segala ritual terkait dilepaskan dari peringatan akan pembebasan dari Allah dan sekadar sebuah jaga-jaga dalam ketakutan dan ketidaktahuan akan tindakan Allah.76 Aura yang dibangun adalah ketakutan bukan sukacita (bandingkan Keluaran 12:1-28) sebab Allah tidak menyatakan maksud dan kehendaknya kepada bangsa Israel. Allah menjadi Allah yang absen sepanjang proses pembebasan dan juga perjalanan keluar dari Mesir. Kalau di dalam Alkitab Allah dikisahkan mendampingi bangsa Israel melalui tiang awan dan api (lihat Keluaran 13:17-22), dalam Exodus: Gods and Kings tidak

(18)

ada hal semacam itu. Ketika Musa tersesat dipersimpangan jalan dan kemudian terdampar di tepi laut, Allah juga tidak hadir.77

Kisah Exodus: Gods and Kings dapat dilihat sebagai kisah mengenai Musa yang berusaha mengandalkan dirinya sendiri dan gagal. Musa yang mengalami proses direndahkan hatinya oleh Allah. Dari yang berkeras hati78 akan kemampuannya sendiri kemudian menyadari ketidakmampuannya dan menyerah kepada Allah (yang disimbolkan dengan melemparkan pedang ke laut)79. Bahkan dalam pertemuan dengan Allah di gunung untuk membuat loh batu, Musa sekali lagi belajar kerendahan hati. Merelakan dirinya yang adalah pemimpin digantikan.80 Dalam hal ini tema ini, perendahan hati dihadapan Allah, merupakan sebuah tema yang Alkitabiah (lihat Matius 23:12, 1 Petrus 5:6, Yakobus 4:6, dst).

Film Alkitabiah : Menemukan atau Mempertanyakan Allah?

Berdasar pada pembahasan di atas, kita melihat bahwa baik Aronofsky maupun Scott menyajikan sebuah kisah, penceritaan ulang yang menarik Baik Noah dan Exodus: Gods and Kings menyajikan sebuah penceritaan yang sungguh menggugah hati melalui imajinasi dan rekreasi ulang akan kisah-kisah Alkitab tersebut. Namun demikian disadari juga bahwa ternyata film-film tersebut menyampaikan gambaran Allah dan relasinya dengan ciptaan yang sering tidak konsisten dan sama dengan pesan Alkitab. Terdapat ide, konsep, pandangan dan keyakinan-keyakinan lain yang mewarnai film-film tersebut. Dalam hal ini kita dapat menjawab dengan mudah pertanyaan di awal paper, “Apakah pesan Alkitab diperdengarkan kepada banyak orang?” Tidak.

Jika demikian haruskah kita memboikot film-film tersebut. Menolak keberadaannya dan berupaya menggagalkan film-film serupa yang hendak dibuat dimasa mendatang? Haruskah kisah-kisah Alkitab dijauhkan dari jamahan Hollywood? Untuk ini saya juga menjawab tidak. Meskipun pengisahan yang berbeda ala film-film tersebut dapat memberi gambaran Allah yang salah dan tidak tepat. Namun setidaknya film-film tersebut menolong kita melihat kembali gambaran Allah dan relasinya dengan ciptaan, yang kita miliki. Film-film ini dapat mendorong kegelisahan, kegoncangan iman dan bahkan diskusi. Seperti yang

(19)

diharapkan oleh salah seorang penulis review, “orang-orang terdorong kembali kepada Alkitab dan membaca kisah” tersebut lagi.81

Untuk itulah saya setuju dengan Romanowski bahwa kita membutuhkan sebuah

interpretive community, sebuah komunitas penafsir yang terdiri atas orang-orang yang mampu untuk memilah, merenungkan dan menafsirkan secara aktif film-film populer. Komunitas yang bersama-sama mendiskusikan dan menggali film-film tersebut secara mendalam dan reflektif untuk pertumbuhan iman bersama.

Akhir kata, kehadiran film-film box-office yang mendapatkan idenya dari kisah-kisah Alkitab dapat dipakai untuk mendorong kita menghayati iman kita lebih dalam. Mungkin kita tidak akan menemukan Allah, dalam artian mendapat gambaran langsung yang lebih jelas mengenai Allah atau terinspirasi mengenai Allah, dari dalam film-film populer. Tetapi biarlah pertanyaan-pertanyaan dan kegelisahan kita mengenai Allah yang disajikan oleh budaya populer mendorong kita untuk menemukan dan membangun secara kokoh identitas kekristenan kita.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Cobb, K., The Blackwell Guide to Theology and Popular Culture, Oxford: Blackwell Publishing, 2005.

Detweiler, C. & Taylor, B., A Matrix of Meaning: Finding God in pop culture, Michigan: Baker Academic, 2003.

Fretheim, T. E., God and World in the Old Testament: A Relational Theology of Creation, Nashville: Abingdon Press, 2005.

Gonzalez. R., Emerging Markets And The Digitalization of The Film Industry, (Montreal: UNESCO Institute for Statistics, 2013.

Griffin, D. R., Evil Revisited: Responses and Reconsiderations, New York: State University of New York Press, 1991.

Marsh, C., Theology Goes to The Movies: An Introduction to Critical Christian Thinking, New York: Routledge, 2007.

Romanowski, W.D., Eyes Wide Open, Michigan: Brazor Press, 2007.

Sumber Media Audiovisual

Aronofsky, D., (Sutradara). (2014). Noah [Film]. Amerika Serikat; Paramount Pictures. Scott, R. (Sutradara). (2014). Exodus: Gods and Kings [Film]. Amerika Serikat; Twentieth

Century Fox. Sumber Online

http://deadline.com/2015/03/apostle-paul-hugh-jackman-ben-affleck-matt-damon-1201401935/

http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=exodus.htm http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=noah.htm http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=sonofgod.htm

http://www.boxofficemojo.com/yearly/chart/?view2=worldwide&yr=2014-&p=.htm

http://www.cinemablend.com/new/Ridley-Scott-May-Follow-Exodus-With-Movie-About-King-David-43813.html

http://www.charismanews.com/culture/46529-why-2015-may-or-may-not-be-the-year-of-the-bible-movie-part-2

http://www.christiantoday.com/article/exodus.gods.and.kings.review.biblically.irreverent.but. powerful.cinema/43927.htm

http://www.theguardian.com/film/2014/jul/31/-sp-faith-films-hollywood-religion-christian-noah-heaven-is-real-bible

Referensi

Dokumen terkait

S3 : Buat saya pribadi yang paling menganggu adalah penghakiman yang menurut saya tidak adil kadang-kadang ya dalam keputusan politik, itu tentu adalah resiko sebuah jabatan

Satu-satunya variable yang tidak dikontrol dalam penelitian eksperimen adalah Dependent Variable karena hal ini lah yang ingin dijelaskan secara rinci oleh

karton pembungkus botol vial tersebut diperlakukan sebagai limbah biasa r 2.3.4.6.7]. Penanganan Limbah

NAMA PROJEK PEKERJAAN LOKASI PERIODE JASA TKDN 9 Nearshore Geotechnical Soil Boring ENI Muara Bakau Services Survey Senipah, East Kalimantan 2012 PT. Alamjaya

Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen Pati (3) bagaimanakah evaluasi proses program pembelajaran kitab kuning di M.A.. Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen Pati

Berpikir Kreatif Mahasiswa dalam Mengajukan Masalah Persamaan Diferensial", JIPM (Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika), 2017. Publication zieravitrii.blogspot.com Internet

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan yang dengan menggunakan analisis deskriptif dan inferensial, maka hasil yang diperoleh yaitu analisis deskriptif

Aqila Smart , Anak Cacat ..., hlm.. 26 Sehingga mereka berhak mendapatkan pengajaran al-Qur‟an yang sama dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pembelajaran al-Qur‟an pada