BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ditengah permasalahan sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan
kesejahteraan ekonomi dewasa ini, eksistensi lembaga wakaf menjadi sangat
urgen dan strategis. Disamping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang
berdimensi spiritual. Wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan
pentingnya kesejahteraan ekonomi. Oleh karena itu sangat penting dilakukan
pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan
dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan.1
Perbincangan tentang wakaf sering kali diarahkan kepada wakaf benda
tidak bergerak seperti tanah, bangunan, dan lain-lain. Sampai dewasa ini
kebanyakan masyarakat Indonesia masih pada pemahaman bahwa pengamalan
wakaf harus berwujud benda tidak bergerak khususnya tanah yang di atasnya
didirikan masjid atau madrasah dan penggunaannya didasarkan pada wasiat
dari pemberi wakaf dengan ketentuan bahwa untuk menjaga kekekalannya
tanah wakaf itu tidak boleh diperjual belikan dengan alasan apapun. Bertahan
pada pemahaman seperti itu bukanlah sebuah kesalahan.Namun yang pasti
Indonesia telah memiliki aturan tersendiri mengenai wakaf. Oleh karena
demikian, aturan itulah yang menjadi standar pengamalan wakaf di Indonesia.
Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang erat kaitannya dengan
kesejahteraan umat sudah lama melembaga di Indonesia.Sebagai negara yang
luas. Namun karena sejak semula tidak diiringi dengan peraturan
perundang-undangan yang memadai, tanah wakaf itu tidak berkembang dengan baik,
bahkan sering menimbulkan masalah.2
Di Indonesia, campur tangan pemerintah dalam hal perwakafan
mempunyai dasar hukum yang kuat. Dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) di
bawah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Norma dasar yang
tersebut dalam Pasal 29 ayat (1) itu tafsirannya antara lain bermakna bahwa
"Negara Republik Indonesia" wajib menjalankan syariat Islam bagi orang
Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu-Bali bagi orang
Hindu-Bali, apabila dalam pelaksanaan syariat itu memerlukan perantaraan
kekuasaan negara. Alasannya, syariat yang berasal dari agama yang dianut
warga negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup para pemeluknya.
Ayat (2) pasal itu dengan jelas juga menyebutkan bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadah menurut agamanya itu.3
Perhatian pemerintah terhadap perwakafan ditanah air tampak lebih jelas
lagi dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang Peradilan Agama yang
menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a). perkawinan; (b). kewarisan, wasiat,
dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c). wakaf dan shadaqah.
2 Departeman Agama RI,2005, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag, Jakarta.
Dengan adanya berbagai peraturan itu, diharapkan pelaksanaan perwakafan di
Indonesia dapat berjalan tertib. Namun kenyataannya, peraturan-peraturan
yang berkenaan dengan wakaf tersebut sampai dengan tahun 1990
belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah perwakafan.4
Permasalahan wakaf khususnya di Kota Tangerang juga tampak
meningkat. Telah tampak beberapa tanah wakaf yang sebelumnya diperuntukan
untuk pembangunan sarana umum namun kemudian dialihkan untuk sarana
lain yang bersifat komersil. Hal ini kemudian menimbulkan masalah diantara
ahli waris pemberi wakaf karena peruntukan tanah wakaf bukan lagi yang
seharusnya. Akibatnya, para ahli waris pemberi wakaf menuntut untuk
dikembalikan tanah tersebut pemilik semula.
Berdasarkan hasil pengamatan sementara penulis bahwa sarana umum
yang berada ditanah wakaf seperti bekas lokasi Rumah Sakit Umum Propinsi
Banten. Dari hasil informan bahwa bekas lokasi bangunan Rumah Sakit
Umum Daerah Propinsi Banten diperoleh dari wakaf seseorang untuk
pembangunan sarana umum tersebut. Namun kemudian bangunan rumah sakit
tersebut tidak lagi digunakan karena telah dibangun Rumah Sakit Daerah
Propinsi yang baru. Melihat lokasi tersebut tidak lagi digunakan sebagai lokasi
bangunan tersebut, maka ahli waris pemberi hibah akan menariknya untuk
dikuasai kembali dan dimiliki. Namun hal tersebut, Pemerintah Daerah
Propinsi tetap menganggap lokasi tersebut sebagai tanah milik Pemerintah
Daerah Propinsi Banten. Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul: “TINJAUAN HUKUM
TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WAKAF YANG TIDAK DIPERUNTUKAN BAGI PEMBANGUNAN SARANA UMUM KOTA TANGERANG”
B. Indetifikasi Masalah
Dalam paper ini ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tanah wakaf yang sebelumnya diperuntukan untuk
pembangunan sarana umum namun kemudian dialihkan untuk sarana lain
yang bersifat komersil?
2. Bagaimana kedudukan tanah wakaf yang ditarik kembali oleh pemberi
wakaf? C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tanah wakaf yang sebelumnya diperuntukan untuk
pembangunan sarana umum namun kemudian dialihkan untuk sarana lain
yang bersifat komersil.
2. Untuk mengetahui kedudukan tanah wakaf yang ditarik kembali oleh
pemberi wakaf.
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Perjanjian pada Umumnya
Perjanjian merupakan hubungan hukum yang melibatkan lebih dari satu
pihak guna memenuhi kebutuhan hidup. Melalui perjanjian hubungan hukum
antara pihak dapat lebih kuat berkaitan dengan pemenuhan hak dan kewajiban di
antara ke dua belah pihak. Para Sarjana Hukum di Indonesia memakai istilah
yang berbeda-beda untuk perjanjian. Achmad Ichsan(TriwulanTutik) memakai
Pengantar dalam Hukum Indonesia memakai istilah overeenkomst untuk
perjanjian6. Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut KUH Perdata menyebutkan:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orangatau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang diatur dalam
ketentuan di atas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman
bahwa:
“Definisi perjanjianyang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata
adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu
hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena
dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti
janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan
perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III, perjanjian yang diatur
dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan
kata lain dinilai dengan uang”.7
Abdul Kadir Muhammad menyatakan kelemahan pasal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan
“satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”.
Kata “mengikatkan diri“ sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,tidak dari
6 Utrecht, KUH Perdata Buku III Hukum Perikiitan dengan Penjelasan, PT. Alumi Bandung.2005, Hlm. 89.
kedua belah pihak seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri, jadi ada
consensusantara pihak-pihak.
b. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa consensus. Pengertian perbuatan
termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan
hukum yang tidak mengandung consensus, seharusnya digunakan kata
persetujuan
c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut
terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan,yaitu janji
kawin yang yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang
dimaksudkan adalah hubungan antara kreditur dengan debitur dalam
lapangan harta kekayaan saja.Perjanjian yang dikehendaki oleh buku III
KUH Perdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan
perjanjian yang bersifat personal.
d. Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian.Tanpa menyebut tujuan
mangadakan perjanjiansehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak
jelas untuk apa. Berdasarkan alasan yang dikemukan di atas, maka perlu
dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu.
Dari beberapa pengertian di atas, menunjukkan adanya beberapa unsur
perjanjian, antara lain:
1) Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang.Pihak-pihak
yang dimaksudkan di sini adalah subyek perjanjian yang dapat berupa
badan hukum dan manusia yang cakap untuk melakukan perbuatan
hukum menurut undang-undang. 2) Adanya persetujuan atau kata sepakat.
Persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah konsensus
antara para pihak terhadap syarat-syarat dan obyek yang
dicapai dimaksudkan di sini sebagai kepentingan para pihak yang akan
diwujudkan melalui perjanjian.
3) Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan.
Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara
“sukarela” mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan
keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan
diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang
dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau
yang telah mengikatkan diri tersebut. Dengan sifat sukarela, perjanjian
harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud
dari pihak yang membuat perjanjian. Prestasi yang dimaksud adalah
sebagai kewajiban bagi pihak-pihak untuk melaksanakannya sesuai
dengan apa yang disepakati. Perjanjian mengakibatkan seseorang
mengikatkan dirinya terhadap orang lain, ini berarti dari suatu
perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih
orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak
atas prestasi tersebut. 4) Adanya bentuk tertentu.
Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yangdibuat
oleh parapihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat
pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian.Untuk beberapa perjanjian tertentu, undang-undang
menentukan suatu bentuk tertentu, yaitu bentuk tertulis sehingga
demikian, bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata hanya merupakan
pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk adanya perjanjian itu. 5) Syarat-syarat tertentu
Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian
sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian.
Berdasarkan uraian di atas bahwa perjanjian merupakan dasar hubungan
hukum antara dua pihak yang mana kedua belah pihak saling
mengikatkan diri untuk saling memenuhi kewajiban dan hak
masing-masing.Tanpa adanya dasar perjanjian maka hubungan hukum tidak ada
sehingga dapat beresiko pada hubungan timbal balik.
B. Pengertian Wakaf
Wakaf merupakan salah satu perbuatan hukum di Indonesia, tidak beda
dengan perbuatan hukum lainnya. Meskipun wakaf tidak ada hubungan imbalan
tetapi wakaf harus dilaksanakan sesuai tujuan dan fungsinya.Oleh sebab itu
wakaf diatur juga sebagai perbuatan yang diatur oleh hukum yang berlaku.
Departeman Agama RI bahwa:
“Kata al-waqf adalah bentuk kata kerja dari ungkapan waqfu al-syai yang
berarti menahan sesuatu.Dalam pengertian secara umum wakaf adalah
pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan
(pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku
umum. Sedangkan yang dimaksud dengan tahbisul ashli ialah menahan
digadaikan kepada orang lain. Cara pemanfaatanya, menggunakannya
adalah sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan”. Wakaf menurut istilah berarti menahan harta yang dapat diambil
manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta
dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah S.W.T. Abdul Manan
bahwa pengertian wakaf jika ditinjau dari segi terminologis ada beberapa
konsep, dimana para pakar hukum Islam memiliki pendapat yang berbeda-beda
sesuaidengan faham dari mazhab yang dianutnya.8 Departemen Agama RIbahwa:
Perkembangan pelaksanaan wakaf di Indonesia sebagian besar
mengikuti mazhap Syafi’i yang antara lain pokok-pokok pandangannya
meliputi ;
a. Ikrar wakaf.
b. Harta yang boleh diwakafkan.
c. Kedudukan harta setelah diwakafkan. d. Harta wakaf ditujukan kepada
siapa.
e. Boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.9
C. Unsur dan Syarat Sahnya Wakaf
Kesempurnaan suatu pelaksanaan perbuatan wakaf sangat sangat
dipengaruhi oleh terpenuhinya unsur-unsur perbuatan wakaf. Menurut
sebagian besar pandangan para ulama rukun wakaf itu meliputi:
1. Orang yang berwakaf (wakif). 2. Harta yang diwakafkan (maukuf). 3. Tujuan wakaf (maukuf a’laih)
8 12AbdulManan, 2007, Hukum Wakaf Dalam Paradigma baru di Indonesia, Varia Peradilan, No 255 Februari 2007, Jakarta, h. 32
4. Pernyataan wakaf (shighat)
Unsur-unsur wakaf berdasarkan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah:
Landasan AL-Qur’an dan Hadist. Landasan amalan wakaf dapat dirujuk
beberapa ketentuan dalam kitap suci Al-Qur’an dan Hadist yang antara
lain adalah;
a. Landasan Al Qur’an. b. Landasan hadis
2. Peraturan Perundang-Undangan
Selanjutnya untuk memberikan pengetahuan yang menyeluruh mengenai
dasar hukum wakaf, maka perlu kiranya mengemukakan pula dasar
hukum menurut perundang-undangan Pemerintah Republik Indonesia.
Sebagimana tercantum dalam buku Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf
Produktif Strategis di Indonesia menurut Achmad Djunaidiyaitu:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. b. Peraturan Pemerinta Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Wakaf
( Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4667 )
c. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)20 Masalah wakaf dapat diketahui
pada Pasal 5, Pasal 14 ayat (91), dan Pasal 49 Undang-Undang Pokok
Mengenai wakaf disinggung secara singkat dalam Pasal 15 termuat dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 Tanggal 16
Agustus 2001 Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 112.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
Dalam Peraturan Pemerintah ini terdiri atas tujuh bab dan delapan belas
pasal, mencakup pengertian wakaf, syarat-syarat sah wakaf, fungsi wakaf,
perubahan, penyelesaian perselisihan dan pengawasan wakaf, ketentuan
pidana dan ketentuan peralihan. f. Peraturan Menteri
Peraturan Mendagri Nomor 6 Tahun 1977 mengatur tentang tata
pendaftaran perwakafan tanah milik. Cakupannya meliputi
persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat akta ikrar
wakaf, proses pendaftaran, biaya pendaftaran dan ketentuan peralihan.
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 [merinci lebih lanjut tata
cara perwakafan tanah milik]. Pembahasannya tentang ikrar wakaf
dan aktanya, pejabat akta ikrar wakaf, hak dan kewajiban nadzir,
perubahan perwakafan tanah milik, pengawasan dan bimbingan,
penyelesaian perselisihan wakaf serta biaya perwakafan tanah milik. g. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Inpres ini berisi perintah kepada Menteri Agama RI dalam rangka
penyebarluasan KHI. Hukum perwakafan sebagaimana diatur dalam
KHI, pada dasarnya sama dengan hukum perwakafan yang telah diatur oleh perundangan yang telah ada sebelumnya. Dalam beberapa hal,
KHI merupakan pengembangan dan penyempurnaan pengaturan
perwakafan sesuai dengan hukum Islam. Pembahasan dalam Kompilasi
perubahan benda wakaf, pengawasan nadzir, pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir, dan peranan Majelis Ulama
dan Camat.
E. Tata Cara Pelaksanaan Wakaf
Fiqih Islam tidak banyak membicarakan prosedur dan tata cara
pelaksanaan wakaf secara rinci. Tetapi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 dan PeraturanMenteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 mengatur petunjuk yang
lebih lengkap.Menurut Pasal 9 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977, pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan
Pejabat Pembuat AktaIkrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf.
Dalam ketentuan undang-undang wakaf yang baru yaitu Undang- Undang Nomor
41 Tahun 2004 Pasal 17 juga menyatakan bahwa :
1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW
dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan
dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh
PPAIW.”Yang dimaksud PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf)
dalam hal ini adalah Kepala KUA Kecamatan. Keberadaan PPAIW
tersebut dalampraktek perwakafan di Indonesia telah sesuai dengan
kehendak politik hukum Agraria Nasional, yang ketentuannya diatur dalam
Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik.
diwakili oleh nadzir.Oleh karena wakaf merupakan peralihan hak atas tanah
makadalam pelaksanaannya harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)
yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.Hal ini merupakan suatu
penyimpangan dari ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun
1961 tersebut di atas. Hanya saja,mengingat wakaf termasuk dalam lembaga
keagamaan maka pengangkatan/penunjukan pejabatnya dilakukan oleh
menteri yang berwenang di bidang masalah-masalah keagamaan, yaitu
Menteri Agama.
Oleh karena PPAIW merupakan pejabat resmi yang diangkat
olehpemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
danmerupakan pejabat yang berwenang untuk membuat Akta Ikrar Wakaf,
maka produk yang dikeluarkannya itu merupakan akta otentik. Dalam hal suatu
kecamatan tidak ada kantor KUAnya, maka Kepala Kanwil Depag menunjuk
Kepala KUA terdekat sebagai PPAIW di kecamatan tersebut. Hal ini
ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 dan Ayat 3 Peraturan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Pada pasal sebelumnya yaitu Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 memberi petunjuk
bahwa ikrar wakaf dilakukan secara tertulis. Dalam hal wakif tidakdapat
menghadap PPAIW, maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulisdengan
dilengkapi oleh ketentuan Pasal 18 Undang-undang Nomor 41 Tahun2004
tentang wakaf.
Kemudian Pasal 9 Ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
menentukan bahwa dalam melaksanakan ikrar, pihak yang mewakafkan tanah
(wakif) diharuskan membawa serta dan menyerahkan surat-surat sebagai
berikut :
1. Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya.
2. Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan
setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak
tersangkut sesuatu sengketa.
3. Surat keterangan Pendaftaran tanah.
4. Izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala daerah cq. Kepala Sub Direktorat
Agraria setempat. Setelah wakif menyerahkan berbagai persyaratan
administratif tersebut di atas, Maka PPAIW yang bersangkutan
berkewajiban untuk memeriksa terlebih dahulu hal-hal yang menyangkut : a. Latar belakang, maksud dan kehendak calon wakif apakah kehendak
danmaksud calon wakif tersebut benar-benar ikhlas lilllahi ta’ala
(ataskemauan sendiri) atau tidak (atas paksaan atau tekanan dari orang
lain).
b. Keadaan tanah yang hendak diwakafkan, apakah tanah atau benda yang
akan diwakafkan merupakan milik dari yang bersangkutan dan terlepas
(bebas) dari halangan hukum atau tidak. Halangan hukum di
sini maksudnya bila berwujud tanah, maka tanah tersebut tidak dibebani
surat- surat sebagai persyaratan administratif yang telah diserahkan oleh
calon wakif kepadanya. Kewajiban PPAIW yang lainnya adalah
memeriksa para saksi yang telah diajukan oleh calon wakif, apakah
mereka telah memenuhi persyaratan kesaksian atau belum. Saksi dalam
ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) Dewasa.
b) Beragama Islam. c) Berakal sehat.
d) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Selain itu, PPAIW juga harus memeriksa nadzir (pengelola benda wakaf)
yang ditunjuk atau dibawa oleh calon wakif.Apabila nadzir tersebut belum
disahkan, maka setelah nadzir dianggap telah memenuhi persyaratan
kenadzirannya, PPAIW tersebut harus mengesahkannya setelah
mempertimbangkan saran-saran dari Majelis Ulama Kecamatan atau Camat
setempat. Adapun syarat-syarat menjadi nadzir adalah :
a. Warga Negara Indonesia. b. Beragama Islam.
c. Sudah Dewasa.
d. Sehat jasmani dan rohani.
e. Tidak berada dalam pengampuan, dan.
f. Bertempat tinggal di Kecamatan tempat di mana tanah atau benda
itu diwakafkan.
Hal tersebut di atas merupakan persyaratan bagi nadzir perorangan.
Sedangkan bagi nadzir yang berbentuk badan hukum, memiliki persyaratan
sebagai berikut :
2) Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat dimana tanah atau benda itu
diwakafkan.
3) Badan hukum yang tujuan, amal dan kegiatan atau usahanya untuk
kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya, yang sesuai
dengan ajaran Islam.
4) Para pengurusnya harus memenuhi syarat sebagaimana syarat nadzir
perorangan.
Baik nadzir perorangan maupun nadzir yang berbentuk badan hukum
harus terdaftar dan mendapat pengesahan dari Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan setempat. Kemudian setelah semua persyaratan administrasi calon
wakif terpenuhi, sehingga tidak ada halangan hukum sama sekali untuk
dilakukannya suatu perwakafan, maka PPAIW mempersilahkan calon wakif
untuk mengucapkan ikrar wakafnya di hadapan PPAIW, nadzir dan para saksi.
Akan tetapi jika tidak mampu menyatakan kehendaknya secara lisan (bisu) maka
dapat dinyatakan dengan isyarat. Pengucapan ikrar tersebut harus menyangkut :
a. Identitas Wakif b. Pernyataan kehendak
c. Identitas tanah atau benda yang akan diwakafkan d. Tujuan yang
diinginkan
d. Nadzir beserta identitasnya, dan e. Saksi-saksi.
Kemudian ikrar wakaf yang diucapkan oleh wakif tersebut dituangkan
dalam Akta Ikrar Wakaf. Demi keseragaman, maka bentuk dan model Akta Ikrar
surat permohonan pendaftaran kepada Bupati/Walikota cq. Kepala Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten dan lembar ketiga dikirim ke Pengadilan Agama
yang mewilayahi tanah wakaf tersebut. Selain itu, PPAIW yang bersangkutan
juga harus membuat salinan Akta Ikrar Wakaf dalam rangkap 4 (empat), yang
masing-masing untuk :
1. Wakif
2. Nadzir (pengelola wakaf)
3. Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya yang mewilayahi
tanah wakaf tersebut.
4. Kepala Desa atau Lurah setempat.
Setelah pengikraran wakaf dan penuangannya ke dalam Akta Ikrar Wakaf
selesai dilaksanakan, maka perbuatan mewakafkan tersebut telah dianggap
terwujud dalam keadaan sah dan mempunyai kekuatan bukti yang kuat
(otentik). Sehingga dengan demikian, tanah wakafnya itu sendiri telah terjamin
dan terlindungi eksistensi dan keberadaanya dari satu generasi kegenerasi
berikutnya. Tindakan selanjutnya untuk lebih memperkuat bukti otentik yang
telah ada, maka yang harus dilakukan oleh PPAIW adalah mendaftarkan
perwakafan tersebut kepada Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten setempat.
Pendaftaran tersebut dilakukan oleh PPAIW atas nama nadzir guna mendapatkan
sertifikat tanah wakaf.
Dalam ketentuan Pasal 49 Ayat 3 UUPA ditegaskan bahwa “Perwakafan
tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”Peraturan
Pemerintah (PP) tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
Pemerintah Nomor 28Tahun 1977, yang lebih lanjut diatur dalam peraturan
pelaksana lainnya, diantaranya yaitu dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan
Tanah Milik.
Dalam hal perwakafan tanah yang dilakukan tidak di hadapan PPAIW,
maka perwakafan tanah tersebut dapat dilaporkan dan didaftarkan ke Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan setempat dengan mengajukan permohonan
secara tertulis. Adapun pihak yang berwenang untuk mengajukan pendaftaran
wakaf tersebut ke KUA setempat adalah :
a. Wakif, jika masih hidup atau ahli warisnya dalam hal wakif telah
meninggal dunia
b. Nadzir, jika masih hidup atau anak keturunan Nadzir dalam hal nadzir
telah meninggal dunia
c. Masyarakat yang mengetahui akan adanya perwakafan tanah tersebut.
Hal-hal yang disertakan pada saat mendaftarkan perwakafan tanah
tersebut adalah:
a. Surat keterangan tentang tanah atau surat keterangan dari Kepala Desa
atau Lurah yang mewilayahi tanah wakaf yang bersangkutan tentang
terjadinya perwakafan tanah tersebut.
b. Dua orang saksi yang ada pada saat wakif malakukan ikrar wakaf.
Apabila saksi-saksi tersebut sudah tidak ada atau meninggal dunia,
Agama (KUA) Kecamatan sebagai PPAIW menerima laporan dan
pendaftaran perwakafan tanah tersebut, makahal-hal yang harus dilakukan
oleh PPAIW tersebut adalah sebagai berikut:
a. Meneliti keadaan tanah wakaf dengan cara memeriksa surat-surat
yang dilampirkan/disertakan dalam surat permohonan pendaftaran
perwakafan tanah tersebut.
b. Meneliti dan mengesahkan Nadzir setelah mendengar saran-saran
dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
c. Meneliti saksi-saksi, apakah para saksi tersebut telah memenuhi syarat
untuk menjadi saksi.
d. Menerima kesaksian tanah wakaf tersebut dengan cara
mendengar keterangan saksi-saksi tentang pengetahuannya atas tanah
wakaf yang didaftarkan.Keterangan-keterangan tadi harus diucapkan di
bawah sumpah untuk menjamin kebenaran dari keterangan tersebut. e. Setelah PPAIW selesai melakukan tindakan-tindakan seperti tersebut di
atas, maka untuk membuktikan adanya pendaftaran perwakafan tanah
tersebut, PPAIW harus membuatkan Akta Pengganti Akta Ikrar
Wakafdalam rangkap 3(tiga) dan salinannya dalam rangkap 4
(empat).Untuk Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf, lembar pertama
disimpan oleh PPAIW yang bersangkutan. Sedangkan untuk lembar
kedua dan ketiganya adalah untuk dilampirkan pada surat permohonan
pendaftaran tanah wakaf kepada Kantor Pertanahan Nasional
Kabupaten/Kotamadya dan untuk dikirimkan kepada Pengadilan Agama
Sedangkan untuk salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakafnya itu
sendiri, lembar pertama diberikan kepada Wakif atau ahli warisnya. Untuk
lembar kedua, ketiga dan keempat masing-masing diberikan/dikirimkan
kepada:
1. Nadzir (pengelola wakaf) yang telah disahkan oleh
PPAIW yang bersangkutan.
2. Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kotamadya. 3. Kepala Desa/Lurah yang mewilayahi tanah wakaf tersebut.
Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf bentuk dan susunannya harus memuat
hal-hal sebagai berikut :
a. Hari dan tanggal kejadian pelaporan dan pendaftaran tanah; b. Identitas pelapor/pendaftar.
c. Keadaan tanah yang diwakafkan;
d. Tujuan wakaf sesuai dengan ikrar wakif; e. Identitas saksi-saksi;
f. Identitas Nadzir;
g. Indentitas wakif dari tanah wakaf tersebut; h. Kejadian perwakafan tanah.
Tindakan selanjutnya, yang harus dilakukan oleh PPAIW adalah
mencatatkan Akta pengganti Akta Ikrar Wakaf dalam buku daftar Akta Pengganti
Akta Ikrar Wakaf. Setelah hal-hal tersebut di atas telah selesai dilakukan, maka
PPAIW dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah
dibuatkannya Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf, harus mendaftarkan tanah wakaf
tersebut atas nama nadzir yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan
F. Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama
Pengertian Peradilan Agama Peradilan Agama adalah peradilan bagi
orang-orang yang beragama Islam. Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa Peradilan Agama
merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu.
Adapun mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama dapat kita baca
dalam ketentuan Pasal 49, yang secara lengkap sebagai berikut: ”Peradilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam, di bidang:
Perkawinan,
Kewarisan,
Wasiat,
Hibah,
Wakaf
Shadaqah, dan
Ekonomi syari’ah
Abdul Ghofur Anshari bahwa:
“Secara histories, keberadaan lembaga Peradilan yangmelaksanakan
fungsi Peradilan Agama sudah ada sejakzaman kerajaan-kerajaan Islam
berdiri.Namun pada waktu itu kekuasaan sebagai Hakim (qadhi) umumnya
dilakukan raja atau sultan yang sedang berkuasa, khusus untuk
perkara-perkara yang menyangkut soal Agama, sultan biasanya menunjuk
uraian di atas bahwa pengadilan agama memiliki kewenangan
menyelesaikan sengketa wakaf, selain perkara perceraian, hibah, wasiat,
sedekah, warisan dan ekonomi syariah. Dengan demikian,, masalah wakaf
dapat diputuskan melalui putusan pengadilan”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
tahun 2004 Tentang Wakaf telah memberikan jaminan kepastian hukum
berdasarkan keyakinan atas amal ibadah tetapi secara kongkir telah menjadi
perbuatan hukum yang harus diberikan perlindungan hukum.
2. saran saran saran saran saran saran saran saran saran saran saran saran saran
saran saran saran saran saran saran saran saran saran Kedudukan tanah
wakaf yang ditarik kembali oleh pemberi wakaf adalahpada dasarnya
tidak bisa karena tanah yang telah diwakafkan telah menjadi hak umum
yang penggunaannya tanpa batas waktu yang ditentukan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2004 Tentang
Wakaf. B. Saran
Saran dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Kepada penerima wakaf khususnya pemerintah daerah agar
menggunakan tanah wakaf sesuai dengan peruntukkannya yang
dikehendaki oleh pemberi wakaf berkaitan dengan pembangunan sarana
umum sehingga tidak jadi masaah dikemudian harinya.
b. Kepada pemberi wakaf dalam memberikan tanah wakafnya harus
memperjelas perjanjian sehingga tidak disalah gunakan oleh penerima
wakaf maupun pemerinta karna telah di atur dalam Undang-Undang
DAFTAR PUSTAKA
1. http://sitedi.uho.ac.id/uploads_sitedi/h1a212096_sitedi_skripsi.pdf, diakses
pada tanggal 25 mei 2017 pada pukul 22:31.WIB.
2. Departeman Agama RI,2005, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia,
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag, Jakarta.
3. Prihartin, Farida, dkk, 2005, Hukum Islam, Zakat danwaqaf, Teoridan
Prakteknya di Indonesia, Papas Sinar Sinanti dan Fak. Hukum UI,
Jakarta.
4. Manan, Abdul, 2007, Hukum Wakaf Dalam Paradigma baru di Indonesia,
Varia Peradilan, No 255 Februari 2007, Jakarta.
5. Titik Triwulan Tutik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja
6. Utrecht, KUH Perdata Buku III Hukum Perikiitan dengan Penjelasan, PT.
Alumi Bandung.2005, Hlm. 89.
7. Mariam Darus Badrulzaman, dkk.,Kompilasi Hukum Perikatan, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hlm. 78
8. AbdulManan, 2007, Hukum Wakaf Dalam Paradigma baru di Indonesia,
Varia Peradilan, No 255 Februari 2007, Jakarta, h. 32
9. Departemen Agama RI, 2005, Perkembangan Pengelolaan
Wakaf di Indonesia,Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Jakarta, h. 34
Biodata Mahasiswa
Namam : Benny Iskandar Zatmika
Alamat : Kp. Malimping Indah Permai, Jln Serang Asri Nomor 33
No Hp : 089994573941
Riwayat Pendidikan Mahasiswa
SD N Malimping Utara 1 Lulus 2006
SMP N Malimping 1 Lulus 2009