• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERMASALAHAN KEJAHATAN pembunuhan CARDING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PERMASALAHAN KEJAHATAN pembunuhan CARDING"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN

BISNIS

UNIVERSITAS AIRLANGGA

TAHUN 2015/2016

ANALISIS PERMASALAHAN KEJAHATAN

CARDING SERTA SOLUSI PERLINDUNGAN

IDENTITAS NASABAH PENGGUNA KARTU

KREDIT

Disusun oleh :

Dea Maharani Indika 041311331042 Fina Putri Damayanthi 041211331047 Rahmi Izzati Putri 041211333135

(2)

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Saat ini hampir seluruh aktivitas bisnis, baik bagi perusahaan berskala kecil maupun skala besar tidak dapat terlepas dari peran sistem informasi, baik melalui jaringan kabel maupun nirkabel (wireless). Pengguna sistem informasi dan teknologi digital umumnya hanya memiliki pengetahuan dasar mengenai dasar-dasar cara pengoperasian teknologi. Sebaliknya, cara pengamanan sistem infromasi dan teknologi masih sangat sedikit yang mengetahuinya, sehingga terdapat sangat banyak celah bagi peretas (hacker) dalam memanfaatkan celah tersebut demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Tidak sedikit kasus pemindahan dana dalam rekening secara legal (pencurian), penipuan, dan identity theft atau disebut sebagai cybercrime yang terjadi dalam dunia perbankan (e-banking) maupun perdagangan online (e-business dan e-commerce). Dengan perkembangan kebutuhan alat bayar yang lebih efisien, mudah dan nyaman untuk digunakan, masyarakat mulai beralih menggunakan kartu kredit maupun e-money dalam bertransaksi. Nasabah pemakai kartu kredit juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan Laporan Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang Bank Indonesia (LSPPU BI) tahun 2009 jumlah pemegangkartu kredit di Indonesia sudah mencapai lebih dari 12 juta kartu yang beredardari total 20 penerbit (issuer) di Indonesia. Jumlah tersebut semakin bertambah hingga tahun 2014.

(3)

saja tidak disadari bahkan tidak diketahui oleh pemilik asli kartu kredit.

Salah satu contoh kasus terjadi pada Mei 2008, Albert Gonzales (28) segera ditangkap polisi dengan barang bukti dua perangkat komputer, uang sebesar $ 22.000, dan senjata Glock 9. Albert Gonzales adalah seorang hacker kartu kredit buronan polisi yang dikenal dengan nama "soupnazi" di internet. Gonzalez dituduh membobol sistem komputer jaringan bisnis dan mencuri kartu kredit serta kartu debit. Gonzales pernah menjadi informan untuk U.S. Secret Service. Sebanyak 170 juta akun kartu kredit berhasil dia bobol. Atas sepak terjangnya ini Gonzales dijuluki hacker kartu kredit terbesar sepanjang dekade. Jika terbukti bersalah, Gonzales akan dipenjara seumur hidup. Saat ini dia masih menunggu proses pengadilan di New York, Massachusetts, serta New Jersey.

Kasus kedua terjadi pada September 2014, perusahaan retail AS The Home Depot

mengumumkan telah jadi korban aksi peretasan. Peristiwa itu membuat 53 juta alamat email serta 56 juta informasi kartu kredit dan kartu debit pelanggan bocor. Peretas The Home Depot telah masuk ke dalam sistem komputer perusahaan sejak April. Dia masuk ke dalam komputer internal perusahaan dengan memanfaatkan informasi yang dicuri dari vendor pihak ketiga lalu. Baru lima bulan kemudian perusahaan itu mengetahui sistem keamanannya telah disusupi secara ilegal.

Di Indonesia pada tahun 1982 telah terjadi penggelapan uang di bank melalui komputer sebagaimana diberitakan “Suara Pembaharuan” edisi 10 Januari 1991 tentang dua orang mahasiswa yang membobol uang dari sebuah bank swasta di Jakarta sebanyak Rp. 372.100.000,00 dengan menggunakan sarana komputer. Perkembangan lebih lanjut dari teknologi komputer adalah berupa computernetwork yang kemudian melahirkan suatu ruang komunikasi dan informasi global yang dikenal dengan internet. Pada kasus tersebut, modus kasus ini adalah murni kriminal, kejahatan jenis ini biasanya menggunakan internet hanya sebagai sarana kejahatan. Penyelesaiannya, karena kejahatan ini termasuk penggelapan uang pada bank dengan menggunakan komputer sebagai alat melakukan kejahatan. Sesuai dengan undang-undang yang ada di Indonesia maka, orang tersebut diancam dengan pasal 362 KUHP atau Pasal 378 KUHP, tergantung dari modus perbuatan yang dilakukannya.

(4)

memanfaatkan PIN dan nomor kartu kredit nasabah yang masih bisa digunakan untuk otorisasi secara ilegal. Selanjutnya, kartu kredit kosong dicetak melalui perangkat komputer dan mesin cetak canggih. Setelah itu kartu kredit bisa digunakan untuk transaksi seperti belanja di merchant (toko), menginap di hotel serta melakukan transaksi tarik tunai. Dari tangan para carder tersebut, Polisi berhasil mengumpulkan berbagai barang bukti yakni, 27 lembar kartu kredit palsu, delapan buah ponsel, sebuah mesin cetak embosser, sebuah skimmer merek MSR 2006, dua buah laptop, sebuah alat pembaca (umron) dansebuah hard disk.

Dengan mengambil studi kasus mengenai tindakan carding yang sangat merugikan masyarakat, maka perlu adanya tindak lanjut melalui aspek penguatan hukum cybercrime

dan aspek sistem keamanan jaringan yang dapat melindungi privasi, data penting dan rahasia, serta melindungi hak karya cipta yang saat ini sangat marak terjadi pembajakan. Pentingnya pengetahuan dan kesadaran diri bagi tiap individu sangat diperlukan untuk terus menekan angka cybercrime sekaligus memproteksi diri agar terhindar dari kejahatan serupa.

Hukum yang salah satu fungsinya menjamin kelancaran proses pembangunan nasional sekaligus mengamankan hasil-hasil yang telah dicapai harus dapat melindungi hak para pemakai jasa internet sekaligus menindak tegas para pelaku cybercrime. Maka, penting bagi pemerintah untuk memberlakukan kembali UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) No.11 Tahun 2008, melakukan pengawasan, memblokir situs-situs fraud, dan merancang sistem yang baik untuk melindungi nasabah pemilik kartu kredit dari ancaman cybercrime.

1.2Rumusan Masalah

1. Bagaimana permasalahan carding dalam kaitannya dengan cybercrime? 2. Bagaimana pengaturan hukum mengenai carding di Indonesia?

3. Bagaimana cara penanggulangan carding demi melindungi identitas dan pin kartu kredit nasabah?

1.3 Tujuan Penulisan

(5)

3. Untuk mengetahui sejauh mana pengaturan hukum mengenai carding di Indonesia. 4. Untuk memberikan solusi mengenai cara penanggulangan carding demi melindungi

(6)

BAB 2

LANDASAN TEORI 2.1 Cyber Crime

Perkembangan teknologi jaringan komputer global atau Internet telah menciptakan dunia baru yang dinamakan cyberspace, sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang menawarkan realitas yang baru, yaitu realitas virtual. Istilah cyberspace muncul pertama kali oleh William Gibson berjudul Neuromancer pada tahun 1984. Istilah cyberspace pertama kali digunakan untuk menjelaskan dunia yang terhubung langsung (online) ke internet.

Secara etimologis, istilah cyberspace sebagai suatu kata merupakan suatu istilah baru yang hanya dapat ditemukan di dalam kamus mutakhir (http://dictionary.cambridge.org ) yakni Cambridge Advanced Learner's Dictionary

memberikan definisi cyberspace sebagai “the Internet considered as an imaginary area without limits where you can meet people and discover information about any subject”.

Perkembangan teknologi komputer juga menghasilkan berbagai bentuk kejahatan komputer di lingkungan cyberspace yang kemudian melahirkan istilah baru yang dikenal

dengan Cybercrime, Internet Fraud, dan lain-lain. Collin Barry C. (1996) menjelaskan istilah cybercrime sebagai berikut :

Term “cyber-crime” is young and created by combination of two words: cyber and crime. The term “cyber” means the cyber-space (terms “virtual space”, “virtual world” are used more often in literature) and means (according to the definition in “New hacker vocabulary” by Eric S. Raymond) the informational space modeled through computer, in which defined types of objects or symbol images of information exist – the place where computer programs work and data is processed.”

Computer crime dan cybercrime merupakan 2 (dua) istilah yang berbeda sebagaimana dikatakan oleh Nazura Abdul Manap (2001: 3) sebagai berikut:

(7)

Internet line involved, or only limited networking used such as the Local Area Network (LAN). Whereas, cyber-crimes are crimes committed virtually through Internet online. This means that the crimes committed could extend to other countries… Anyway, it causes no harm to refer computer crimes as cyber-crimes or vise versa, since they have same impact in law.”

Sebagian besar dari perbuatan Cybercrime dilakukan oleh seseorang yang sering disebut dengan cracker. Berdasarkan catatan Robert H’obbes’Zakon, seorang internet Evangelist, hacking yang dilakukan oleh cracker pertama kali terjadi pada tanggal 12 Juni 1995 terhadap The Spot dan tanggal 12 Agustus 1995 terhadap Crackers Move Page. Berdasarkan catatan itu pula, situs pemerintah Indonesia pertama kali mengalami serangan cracker pada tahun 1997 sebanyak 5 (lima) kali.

Voos (1994-1999) menguraikan beberapa jenis Cybercrime berdasarkan beberapa isu yang menjadi bahan studi atau penyelidikan pihak FBI dan National White Collar Crime Center sebagai berikut :

Computer network break-ins

Industrial espionag

Software piracy

Child pornography

E-mail bombings

Password sniffers

Spoofing

Credit card fraud

Kegiatan hacking atau cracking yang merupakan salah satu bentuk cybercrime tersebut telah membentuk opini umum para pemakai jasa internet bahwa Cybercrime

(8)

crime, profesional occupational crime, dan individual occupatinal crime, maka Agus Raharjo berpendapat bahwa Cybercrime dapat dikatakan sebagai white collar crime dengan kriteria berdasarkan kemampuan profesionalnya.

David I. Bainbridge (1993:155) mengingatkan bahwa pada saat memperluas hukum pidana, harus ada kejelasan tentang batas-batas pengertian dari suatu perbuatan baru yang dilarang sehingga dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana dan juga dapat dibedakan dengan misalnya sebagai suatu perbuatan perdata.

2.2 Carding

Carding merupakan salah satu bentuk pencurian informasi kartu kredit milik orang lain untuk kemudian dimanfaatkan pelaku dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa maupun pencairan nominal saldo yang terdapat pada kartu kredit ke dalam rekening pelaku melalui online payment gateway (Wahid dan Labib, 2009)

2.3 Internet Banking

Internet banking merupakan salah satu bentuk Electronic Banking yang ditawarkan melalui internet, dimana para nasabah dapat melakukan transaksi jasa keuangan dalam suatu lingkungan semu, oleh karena itu suatu Bank yang memiliki website tapi tidak dapat melakukan transaksi di web tersebut tidak termasuk Internet Banking (Hadri dan Susilowati, 2007:127).

Jenis-jenis Internet Banking dapat dibagi menjadi : 1. Virtual Companies

Bank sebagai institusi yang membangun cabangnya secara virtual dan tidak memerlukan fasilitas atau alamat kantor perusahaan secara fisik dan hanya melayani jasa perbankan melalui internet saja.

2. Hybrid Model

Sebagai bank yang sudah mapan sebelumnya dan kemudian membangun situs web sebagai jasa pemasaran dan saluran distribusi tambahan dari pelayanan jasa tradisionalnya.

3. Strategic Partnership

(9)

konsorsium dengan perusahaan perangkat lunak terkemuka seperti Microsoft, untuk membangun perangkat lunak aplikasi keuangan yang terintegrasi dengan sistem keuangan di perusahaan tersebut untuk melayani kebutuhan pengelolaan keuangan pribadi atau perusahaan. Internet Banking, juga dikenal sebagai

(10)

BAB 3 PEMBAHASAN

3. 1.

Permasalahan

carding

dalam kaitannya dengan

cybercrime

Pada penelitian sebelumnya1 hingga tahun 2011 bahkan sampai sekarang, transaksi

carding atau transaksi yang fraud (kecurangan/pemalsuan) masih tetap terjadi meskipun dengan tren yang mulai menurun .Pertumbuhan transaksi fraud atau carding ini mengalami puncaknya pada tahun 2008 sebesar 13% (Rp.1,197 Miliar), lalu menurun sebesar 8% (Rp. 1,103 Miliar) di tahun 2009 dan menurun kembali di tahun 2010 sebesar 41% (Rp.653 Juta). Dilain pihak, di era ICT (Information and Communication Technology) transaksion-line atau belanja internet tetap menjadi salah satu transaksi yang paling digemari oleh para nasabah, maka pihak-pihak terkait seharusnya tidak boleh lengah dalam menjaga keamanan transaksi dan data pribadi mereka dari peretasan cyber.

Sebelum membahas lebih jauh, istilah carding (credit card fraud) dalam cybercrime menurut Wahid dan Labib (2009), merupakan kejahatan yang dilakukan seseorang untuk mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan di internet. Hal tersebut tentu saja ilegal, tidak sah, dan melanggar Pasal 30 UU ITE tahun 2008 ayat 3 yang berbunyi,

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses computer dan/atau system elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol system pengaman (cracking, hacking, illegal access). Ancaman pidana pasal 46 ayat 3 setiap orang yang memebuhi unsure sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)".

(11)

menjalankan transaksi bisnis tersebut. Banyaknya celah dan kelemahan sistem informasi berupa kurang amannya akses dalam jaringan dunia maya, maka hal tersebut akan semakin memudahkan penjahat dunia maya untuk melakukan kriminalitas yang merugikan banyak pihak, terutama kerugian finansial.

Akibat banyaknya kasus carding, regulasi mengenai kartu kredit semakin ditingkatkan dari tahun ketahun oleh Bank Indonesia. Migrasi kartu magnetic stripe

(kartu digesek) telah dilakukan oleh seluruh issuer ke kartu berbasis chip atau yang dikenal sebagaikartu EMV (European Master Visa Payment System). Per 01 Januari 2009 seluruh issuer kartu kredit di Indonesia telah sukses melakukan compliance (kepatuhan)regulasi BI. Pemakaian kartu EMV ini dapat meminimalisir risiko fraud karenakartu chip ini cukup terlindungi dari tindakan skimming atau counterfeit yang dilakukan oleh penjahat cyber. Umumnya, modus – modus kejahatan dalam carding, antara lain (Muladi, 2002):

1. Mendapatkan nomor kartu kredit (CC) dari tamu hotel, khususnya orang asing 2. Mendapatkan nomor kartu kredit melalui kegiatan chatting di Internet.

3. Melakukan pemesanan barang ke perusahaan di luar negeri dengan menggunakan Jasa Internet.

4. Mengambil dan memanipulasi data di Internet.

5. Memberikan keterangan palsu, baik pada waktu pemesanan maupun pada saat pengambilan barang di Jasa Pengiriman (kantor pos, UPS, Fedex, HL, TNT, dsb).

3. 2.

Pengaturan hukum mengenai

carding

di Indonesia

Di Indonesia sendiri, telah ada ketentuan Undang-Undang yang mengatur masalah

(12)

transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi sepertipencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet (carding).

Dalam Cybercrime pembuktian merupakan faktor yang sangat penting mengingat informasi elektronik belumterakomodasi dalam sistem hukum acara pidana Indonesia.Undang-undang ini, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008,walaupun sampai dengan hari ini belum ada sebuah Peraturan Pemerintah yang mengaturmengenai teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat menjadi sebuah undang-undang cyberatau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime yang tidak bertanggungjawab danmenjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi dalam mencapaikepastian hukum. Sedangkan pada penelitian sebelumnya2, kendala dalam hal penyidikan yang dihadapi Indonesia saat ini dan agar

segera dapat diperbaiki antara lain:

Perangkat hukum yang belum memadai

Penulis telah menyebarkan tiga puluh angket kepada 30 orang responden yang bertugassebagai penyidik di lingkungan unit tugas Serse POLDA Sumatera Utara. Seluruhresponden mengaku telah mengetahui tentang cybercrime dan yakin bahwa

cybercrime telah terjadi di Sumatera Utara, namun para responden masih menganggap lemahnyaperaturan perundang-undangan yang dapat diterapkan terhadap pelaku

cybercrime, sedangkan penggunaan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHP seringkali masihcukup meragukan bagi penyidik.

Kemampuan penyidik

Beberapa faktor yang sangatberpengaruh (determinan) adalah: a. Kurangnya pengetahuan tentang komputer.

b. Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus cybercrime masih terbatas.

(13)

cybercrime. Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya diarahkan untuk menguasaiteknis penyidikan dan menguasai administrasi penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil hacker.

Alat Bukti yang Memadai

Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime

antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu:a. Sasaran atau media cybercrime adalah data dan atau sistem komputer atau sistem internet yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya.Oleh karena itu, data atau sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus direkam sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan.

Permasalahan timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman (recorder)yang belum diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah. Hal yang paling mendesak adalah pengaturan mengenai kedudukan alat bukti yang sah bagi beberapa alat bukti yang sering ditemukan di dalam Cybercrime seperti data atau sistemprogram yang disimpan di dalam disket, hard disk, chip, atau media recorder lainnya.

Fasilitas komputer forensik

Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreacker dalam melakukan kejahatan terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpanbukti-bukti berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam hal ini Polri masih belum mempunyai fasilitas forensic computing yang memadai.

3. 3.

Solusi mengenai cara penanggulangan

carding

demi melindungi

identitas dan pin kartu kredit nasabah

(14)

jaringan transaksi, maka kejahatan cybercrime juga akan semakin bertambah. Karena sedikitnya bukti kejahatan dalam setiap kasus cybercrime, maka hal tersebut membuat aparat juga kesulitan dalam melakukan penegakan hukum dan mengusut tuntas kasus-kasus tersebut. Sekali lagi pihak yang akan dirugikan adalah para nasabah yang tidak pernah tahu transaksi apa saja yang mengatasnamakan identitas mereka akibat terjadinya

creding.

Perlindungan hukum bagi nasabah pengguna kartu kredit mutlak diperlukan seperti halnya perlindungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana lainnya. Dalam upaya ini peran pemerintah dalam menegakkan Undang-undang No.11 Tahun 2008 mengenai ITE sangatlah penting dari sudut pandang nasabah, sebab merekalah yang paling banyak menderita kerugian finansial. Menurut sistem perbankan Indonesia, perlindungan terhadap nasabah dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu:

1. Perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection) yang diperoleh melalui pembentukan lembaga yangmenjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Bank Umum. Sehingga apabila bank mengalami kegagalan, maka lembaga tersebut akan mengganti dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang gagal tersebut (Marulak Pardede, 2001)

2. Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection)Yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan banksecara efektif. Maksudnya agar dapat menghindari terjadinyakebangkrutan bank yang diawasi (Marulak Pardede, 2001:1)

Dalam rangka menanggulangi Cybercrime, Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer Related Crimes mengajukan beberapa kebijakan sebagai berikut : (Nawawi, 2007: 247)

a. Menghimbau negara anggota untuk lebih intensif dalam melakukan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer

b. Menghimbau negara anggota meningkatkan kegiatan internasional dalam upaya penanggulangan Cybercrime.

(15)

Menurut analisis penulis, opsi lainnya dalam mengamankan akun pribadi dari para creder dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Melakukan rancangan kembali hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut. Tujuannya adalah menciptakan hukum pidana yang spesifik untuk kasus

cybercrime. Tujuan lain adalah menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan 2. Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar

internasional. Dalam hal ini, aparat kepolisian khusus yang menangani cybercrime

harus melakukan upgrade keamanan jaringan baik dari segi personil, sistem informasi dan sistem keamanan. Langkah pertama dapat dilakukan dengan membangun firewall yang memproteksi penyadapan, pencurian data, illegal access, dan sejenisnya, serta melakukan blokade situs-situs tidak resmi dari luar negeri yang berpotensi dalam penyebaran malware, khususnya situs pornografi 3. Meningkatkan pemahaman (knowledge) serta keahlian (skill) aparatur penegak

hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.

4. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman warga negara mengenai masalah

carding serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi. Mencegah kejahatan carding dapat dimulai dari masing-masing individu, dengan memperluas pengetahuan mengenai ciri, karakteristik, modus, dan cara mencegah/menanggulangi cybercrime, maka kita dapat terhindar dari akibat jangka panjang yang ditimbulkan oleh para carder. Hal tersebut juga dapat dicapai dengan melakukan upaya sosialisasi pada masyarakat luas

5. Mencipatakan keamanan diri sendiri dan kewaspadaan dengan cara berbelanja online pada online shop yang terpercaya. Hindari menjadi member dalam situs yang kurang terpercaya. Menurut penelitian, pencurian data banyak terjadi pada member situs porno, game online, dan perjudian. Maka kesadaran dan kewaspadaan diri dalam melakukan tindakan yang mungkin berbahaya adalah penting

(16)

antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Hacker dan cyber criminal sudah ada sejak lama. Cybercrime ada karena dampak negative dari perkembangan teknologi. Di jaman sekarang, orang – orang hampir setiap menit terhubung dengan internet. Jika tidak berhati – hati menggunakannya, maka kita bisa menjadi korban cybercrime . Carding adalah jenis cybercrime dengan membobol informasi kartu kredit agar dipakai oleh orang yang bukan pemilik kartu kredit itu. Sifat kejahatan carding adalah non-violence dan kekacauan yang ditimbulkan tidak terlihat secara langsung, tapi dampak yang ditimbulkan bisa sangat besar.

4.2 Saran

Cybercrime dan hacking tidak akan pernah hilang. Dari kasus tentang cybercrime di dunia yang pernah ada, kita bisa mempelajarinya dan menggunakan informasi itu untuk

mencegah cybercrime di masa yang akan datang. Cyberlaw adalah peraturan yang dipakai suatu negara untuk memerangi cybercrime. Cyberlaw harus diubah dan dikembangkan secepat atau lebih cepat dari hacker agar dapat mengontrol cybercrime. Progammer juga harus lebih pintar untuk membuat encrypt demi meningkatkan keamanan.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana

Bainbridge, David I. 1993. Komputer dan Hukum. Jakarta : Sinar Grafika

Collin, Barry C. 1996. The Future of CyberTerrorism, Proceedings of 11th Annual International Symposium on Criminal Justice Issues. The University of Illinois at Chicago, dikutip dari makalah Vladimir Golubev, cyber-crime and legal problems of usage network the INTERNET Gibson, William. 1984. Neuromancer. New York : Ace

(17)

Manap, Nazura Abdul. Cyber-crimes: Problems and Solutions Under Malaysian Law. Makalah pada seminar nasional Money Laundering dan Cybercrime dalam Perspektif Penegakan Hukum di Indonesia. Diselenggarakan oleh Lab. Hukum Pidana FH Univ. Surabaya. 24 Februari 2001 Muladi, 22 Agustus 2002. Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime. Media HukumVol. 1 No. 3, Persatuan Jaksa Republik Indonesia

Natalie D Voss, Copyright © 1994-1999 Jones International and Jones Digital Century,

Crime on The Internet”, Jones Telecommunications & Multimedia Encyclopedia, hal. 1-2,

http://www.digitalcentury.com/encyclo/update/articles.html

Pardede, Marulak. Efektivitas Pengawasan Perbankan dalam Perbankan Nasional. Jakarta: Majalah Jurnal Hukum Bisnis, edisi September 2001. Verisign, Internet Security Intelligence Briefing, Dulles VA USA, 2004.

Raharjo, Agus. 2002. Cybercrime (cetakan pertama). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Team of UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime). 2013. Draft : Comprehensive Studies on Crime. New York : UN

Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) cetakan tahun 2003

Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. 2009. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Bandung: Refika Aditama

WEBSITE

http://dictionary.cambridge.org http://www.bartleby.com.

Bruce Sterling, 1990, The Hacker Crackdown, Law and Disorder on the electronic Frontier, Massmarket Paperback, electronic version available at http://www.lysator.liu.se/etexts/hacker.

PENELITIAN SEBELUMNYA

1. Panjaitan, Leo T. 2011. Analisis Penanganan Carding dan Perlindungan Nasabah dalam Kaitannya dengan UU ITE no.11 Tahun 2008. Jurnal Teknik Elektro Universitas Mercu Buana.

1. Windara, I Made Agus & AA. Ketut S. 2013. Kendala dalam Penanggulangan

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi dan Dalam penelitian ini didapatkan hasil untuk polimorfisme distribusi polimorfisme gen CYP1A1 ( 3801TC dan Ile462Val )

Khulashah Nurul Yaqin karya Umar Abdul Djabbar dapat tercermin dari teladan Rasulullah saw dengan akhlak terpuji beliau.. Adapun nilai pendidikan

Penanganan pertolongan pertama penyakit jantung AMI pada keluarga pasien di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta sebagian besar kategori baik sebanyak 33 orang (50,8%).

This research was aimed at proving that team word-webbing was effective for teaching narrative writing at the eighth grade students of SMP Negeri 2 Jeruklegi in

Perencanaan dan perancangan ini bertujuan untuk membuat suatu bangunan Wood Carving Promotion and Information Center di Desa Industri Kreatif Mulyoharjo Jepara

[r]

Kondisi ini dapat dicapai dengan membuat lapisan boron p+ pada permukaan belakang sel surya yang memiliki konsentrasi lebih tinggi daripada basis dan memiliki tipe doping yang sama,

AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) suatu kajian mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada.. lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses