• Tidak ada hasil yang ditemukan

Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Ene

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Ene"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Energi di Sektor Industri

Ari Kabul Paminto

Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi dan Industri Kimia, BPPT Gedung 625, Klaster Energi, Kawasan Puspiptek, Kota Tangerang Selatan

Email: ari.kabul@bppt.go.id

Abstract

Industry is the sector of fossil and renewable energy users. Burning fossil fuels and the use of natural gas and coal as feedstock will produce greenhouse gas emissions. The total energy consumption of the industrial sector in 2014 reached 463 million BOE which generate GHG emissions as much as 167.13 million tonnes of

CO2eq. With economic growth averaging 6% per year during 2014 to 2050 requires

energy 2,749 million BOE in 2050, with a share of 45.3% coal, fuel oil (5.4%), natural gas (27.8%), electricity (14.63%), biodiesel (2,28% ), LPG (0.18%), and the remainder in the form of biomass. Burning fossil fuels produces emissions of CO2,

CH4, and N2O. With the need for fossil fuels will result in GHG emissions of 167.13

million tonnes of CO2e in 2014, became 303.57 million tonnes of CO2e in 2025, and

949.89 million tonnes of CO2e in 2050. Thus, the industrial sector is the largest

contributor to emissions defeated power generation sector.

The high GHG emissions need to be reduced because Indonesia has ratified the Paris Agreement that set out in the Conference of Party (COP) -21 in 2015 which Indonesia is committed to reduce GHG emissions by 26% in 2025 to 29% in 2030 to baseline or to 41% with the help of other countries. Efforts should be made to reduce industrial sector GHG emissions is through energy conservation, use of renewable energy and the reduction of raw material consumption. Preparation of regulation and supervision of its implementation, as well as the provision of various incentives in the implementation of energy conservation, use of renewable energy and the reduction of raw material consumption will reduce the consumption of fossil fuels and raw materials, thereby reducing GHG emissions industrial sector.

Keywords: industry, energy, emissions

1. Pendahuluan

Kegiatan industri menghasilkan suatu produk berbentuk fisik, seperti mobil, peralatan pertanian, pupuk, tekstil, dan lainnya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Proses untuk menghasilkan produk tersebut memerlukan bahan bakar (fosil dan non-fosil). Pembakaran bahan bakar fosil menyebabkan pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK). Penggunaan gas bumi sebagai feedstock

pada industri pupuk dan batubara sebagai

feedstock pada industri baja dan mineral juga menghasilkan emisi GRK. Emisi GRK dari penggunaan bahan bakar fosil sebagai energi

dikategorikan dalam kelompok emisi GRK Sektor Energi, sedangkan penggunaan bahan bakar fosil sebagai feedstock termasuk dalam kelompok emisi GRK Sektor Proses Industri dan Penggunaan Produk (IPPU).

(2)

(khususnya aluminium), pengolahan makanan, dan tekstil. Aktivitas sektor industri selain menghasilkan emisi GRK yang berdampak global dan menyebabkan terjadinya perubahan iklim, juga menghasilkan emisi pollutan yang berdampak lokal dan tidak dibahas dalam tulisan ini.

Total konsumsi energi sektor industri Indonesia pada tahun 2014 mencapai 463 juta datang akan mendorong meningkatnya kebutuhan energi sekaligus meningkatnya emisi GRK apabila upaya mitigasi GRK di sektor industri tidak berjalan secara maksimal.

2. Metodologi

Kajian emisi GRK sektor industri dilakukan melalui metodologi kuantitatif dan kualitatif. Metodologi kuantitatif berdasarkan data sekunder dalam memperkirakan proyeksi kebutuhan energi masa depan, sekaligus emisi GRK yang ditimbulkan akibat pemanfaatan bahan bakar fosil. Metodologi kualitatif dilakukan melalui studi literatur untuk melihat permasalahan sektor industri saat ini sekaligus merupakan bahan analisis potensi mitigasi GRK di sektor industri.

Gambar 1. Analisis Kuantitatif dan Kualitatif Emisi GRK Sektor Industri

3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Kebutuhan Energi

Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tahun 2014 s.d. 2050 diprediksi meningkat rata-rata 6% per tahun akan mendorong kebutuhan energi sektor industri nasional meningkat 5 kali

Terjadi pergeseran bauran kebutuhan energi pada tahun 2050 akibat keekonomian bahan bakar, ketersediaan infrastruktur bahan bakar, dan perbedaan pertumbuhan sub-kelompok industri.

Pangsa kebutuhan batubara masih tertinggi meskipun terjadi penurunan dari 47,7% pada tahun 2014 menjadi 45,3% pada tahun 2050 atau mengalami pertumbuhan rata-rata 4,9% per tahun[3]. Tingginya bauran batubara karena batubara merupakan jenis bahan bakar termurah dan pertumbuhan industri semen, baja, tekstil, dan kertas lebih dominan dibanding industri lainnya. Penurunan pangsa bahan bakar juga terjadi untuk kebutuhan BBM dari 6,7% menjadi 5,4% akibat BBM merupakan bahan bakar termahal yang sebagian besar diperoleh dari impor. Kebutuhan BBM tahun 2014 mencakup 5,6% minyak solar, 1,0% minyak bakar, dan 0,1% minyak tanah. Pangsa kebutuhan BBM tahun 2050 berubah menjadi 5,3% minyak solar dan 0,1% minyak tanah.

Sebaliknya, terjadi peningkatan kebutuhan gas bumi yang meningkat rata-rata 5,2% per tahun dari 26,5% pada tahun 2014 menjadi 27,8% pada tahun 2050[3]. Peningkatan bauran gas bumi karena adanya kebijakan pemerintah untuk tidak memperpanjang kontrak ekspor gas bumi dan gas bumi merupakan jenis bahan bakar yang ramah lingkungan dibanding dengan bahan bakar batubara dan BBM.

Selain ketiga jenis bahan bakar fosil tersebut, juga terdapat kebutuhan listrik dengan bauran yang meningkat dari 8,73% menjadi 14,63%, kebutuhan biomasa yang menurun dari 9,77% menjadi 4,41%, kebutuhan biodiesel yang meningkat dari 0,6% menjadi 2,28%, serta kebutuhan LPG yang meningkat dari 0,16% menjadi 0,18%[4]. Peningkatan pangsa kebutuhan listrik seiring dengan pesatnya pertumbuhan industri dengan cara mekanis, sedangkan peningkatan kebutuhan biodiesel akibat meningkatnya pangsa biodiesel dalam minyak solar sebagaimana diamanatkan dalam mandatori Bahan Bakar Nabati yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12

Data Kuantatif Data Kualitatif

(3)

Gambar 2. Proyeksi Kebutuhan Energi Sektor Industri 2014-2050[3]

3.2. Emisi Gas Rumah Kaca

Emisi GRK sektor industri terjadi akibat pembakaran bahan bakar fosil. Seperti diketahui bahwa bahan bakar fosil (BBM, batubara, gas bumi, dan LPG) mengandung karbon dan nitrogen dan sewaktu pembakaran akan menghasilkan emisi CO2, CH4, dan N2O. Emisi GRK sektor industri juga terjadi akibat penggunaan gas bumi sebagai bahan baku industri pupuk (urea).

Menurut IPCC-2006, jumlah emisi GRK akibat pembakaran bahan bakar fosil merupakan perkalian antara jumlah kebutuhan bahan bakar fosil dengan Faktor Emisi bahan bakar. Faktor Emisi bahan bakar dapat menggunakan Faktor Emisi Tier-1 default IPCC-2006 atau menggunakan Tier-2 sesuai dengan kondisi Indonesia[5]. Faktor Emisi CO2 Nasional

(Tier-2) untuk BBM dan batubara sudah dihitung

oleh Lemigas-KESDM berdasarkan pengujian sampel BBM dan batubara[6][7]. Selanjutnya, menurut IPCC-2006, emisi GRK akibat penggunaan gas bumi sebagai bahan baku dapat

dihitung dengan mengalikan antara produksi amonia dengan kandungan karbon dari gas bumi dan Faktor Emisi dikali 3,667[8], dimana 1 ton produksi amonia ekuivalen dengan 0,23 kali konsumsi gas bumi sebagai feedstock.

Berdasarkan kebutuhan bahan bakar fosil per jenis dan Faktor Emisi GRK per jenis bahan bakar dan Faktor Emisi gas bumi sebagai

feedstock, maka dapat dihitung besarnya

proyeksi emisi GRK sektor industri. Total emisi GRK sektor industri diproyeksikan meningkat dari 167,13 juta ton CO2e pada tahun 2014, menjadi 303,57 juta ton CO2e pada tahun 2025, dan 949,89 juta ton CO2e di tahun 2050. Dengan demikian, sektor industri merupakan kontributor emisi terbesar mengalahkan sektor pembangkit listrik disebabkan karena laju penggunaan bahan bakar fosil di sektor industri mencapai 5,1% rata-rata per tahun. Emisi GRK tersebut dalam CO2 ekuivalen, yang berarti emisi CH4 dan N2O sudah diekuivalenkan menjadi CO2 dengan mengalikan dengan Global Warming Potensial (GWP). Faktor GWP masing-masing sebesar 23 untuk CH4 dan 296 untuk N2O. Dari Gambar 3 nampak bahwa pada tahun 2050 sekitar tiga per empat emisi GRK yang terjadi di sektor industri disebabkan oleh penggunaan bahan bakar batubara, disusul gas bumi (18%), dan sisanya terjadi akibat konsumsi BBM dan LPG. Sumbangsih pangsa emisi GRK dari batubara yang lebih tinggi daripada pangsa bauran batubara di sektor industri disebabkan karena Faktor Emisi batubara merupakan terbesar disusul Faktor Emisi BBM, dan terendah adalah Faktor Emisi gas bumi.

(4)

3.3. Pembahasan

Potensi peningkatan emisi GRK sektor industri tersebut perlu diantisipasi dan dikurangi mengingat Indonesia sudah meratifikasi Perjanjian Paris yang ditetapkan dalam

Conference of Party (COP)-21 tahun 2015

dengan disetujuinya Rancangan Undang-Undang Perjanjian Paris pada tanggal 19 Oktober 2016 menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Perjanjian Paris ke UNFCCC. Pada pertemuan COP-21 Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2025 menjadi 29% pada tahun 2030 terhadap baseline atau menjadi 41% dengan bantuan negara lain. Komitmen ini telah dituangkan dalam Intended

Nationally Determined Constribution (INDC) dan

telah disampaikan ke United Nation Framework

Convention on Climate Change (UNFCCC).

Negosisasi iklim ke 21 (COP-21) dari Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan iklim (UNFCCC) telah berlangsung di Paris pada 30 November hingga 13 Desember 2015. Pertemuan ini adalah pertemuan bersejarah yang menyepakati kesepakatan yang mengikat (legally binding) dan merupakan kesepakatan yang mengikat pertama sejak Protokol Kyoto yang lahir pada pertemuan COP ke-3. Butir-butir kesepakatan Paris disebut Kesepakatan Paris untuk Perubahan Iklim. Kesepakatan Paris bertujuan untuk menghentikan kenaikan suhu pemanasan bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius. Untuk itu, setiap negara perlu memasukkan komitmen mengenai berapa banyak emisi karbon dioksida yang akan dikurangi. Kesepakatan Paris didukung sedikitnya 195 negara termasuk dua negara produsen emisi karbon terbesar dunia, yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok. Kesepakatan Paris dapat diratifikasi negara-negara anggota Konvensi di Markas PBB di New York mulai 22 April 2016 hingga 21 April 2017 dan selanjutnya dapat diaksesi oleh negara yang belum melakukannya. Kesepakatan akan mulai berlaku (entry into force) sebulan setelah setidaknya 55 negara yang meliputi 55% emisi global bergabung[9].

Mengingat sektor industri merupakan sektor penghasil emisi GRK terbesar kedua setelah sektor pembangkit listrik pada tahun 2014 dan akan menjadi penghasil emisi GRK terbesar pertama pada tahun 2050[3], maka mitigasi GRK perlu dilakukan secara optimal agar sasaran INDC dapat tercapai. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi GRK sektor industri adalah melalui kegiatan konservasi energi, penggunaan energi terbarukan, dan pengurangan konsumsi bahan baku.

Upaya konservasi energi di sektor industri sudah diwajibkan terutama untuk industri yang mengkonsumsi energi minimal 6.000 TOE per tahun sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Konservasi Energi. Regulasi PP 70/2009 telah dijabarkan secara lebih ditail dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Energi. Sayangnya kedua regulasi ini tidak berjalan secara maksimal karena banyak industri yang memenuhi persyaratan tersebut belum melakukan konservasi energi. Beberapa faktor penyebab belum maksimalnya implementasi dari PP 70/79 dan Permen ESDM 14/2012 karena mahalnya biaya investasi untuk pelaksanaan konservasi energi, belum adanya mekanisme baku tentang insentif konservasi energi di sisi industri, perlunya manajer energi yang akan meningkatkan biaya operasi industri, dan koordinasi yang lemah antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Perindustrian dalam pelaksanaan regulasi tersebut.

(5)

Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian diatur tentang perlunya pemanfaatan energi terbarukan dalam aktivitas sektor industri agar dapat terwujud Industri Hijau. Industri Hijau adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkesinambungan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

Industri yang menggunakan bahan baku biomassa menghasilkan limbah biomassa yang secara tradisional telah digunakan sebagai bahan bakar, seperti industri pulp dan kertas, industri gula, dan industri minyak kelapa sawit. Industri pulp sudah 100% menggunakan biomassa dalam proses produksinya, industri pulp dan kertas menggunakan biomasa sekitar 82%, industri gula sekitar 72%, dan industri CPO sekitar 92%[10]. Konsumsi biomassa masih dapat ditingkatkan apabila aktivitas industri dapat efisien, dan adanya revisi regulasi pemanfaatan

black liquor di industri pulp dan kertas

sebagaimana Regulasi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pemanfaatan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Peningkatan konsumsi biomassa pada ketiga industri tersebut akan mengurangi konsumsi energi fosil sehingga menurunkan emisi GRK. Bagi industri CPO, pengolahan limbah cair kelapa sawit atau Palm Oil Mill Effluent (POME) akan mengeluarkan gas metana sehingga pemanfaatan gas metana sebagai bahan bakar gas turbin akan mengurangi pembelian listrik atau produksi listrik berbahan bakar fosil yang menurunkan emisi GRK.

Sebagaimana definisi Industri Hijau dalam UU 3/2014 tentang Perindustrian, maka penghematan penggunaan bahan baku juga menjadi opsi yang penting pada sektor industri. Pengurangan penggunaan batukapur sebagai bahan baku industri semen akan mengurangi emisi GRK karena penggunaan batukapur (CaCO3) akan terurai menjadi CaO dan CO2. Pengurangan bahan baku batukapur juga akan menurunkan konsumsi bahan bakar karena

batukapur perlu dipanaskan sebelum diproses di

kiln (dapur tanur). Upaya pengurangan konsumsi batukapur pada industri semen telah dilakukan oleh industri semen meskipun hasilnya akan terus ditingkatkan hingga roadmap klinker rasio dapat terwujud sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 12/M-IND/PER/1/2012[11]. Pengurangan konsumsi pupuk urea melalui pemanfaatan pupuk buatan juga akan mendorong penurunan emisi GRK.

Penggunaan energi terbarukan pada industri semen juga sudah berjalan meskipun secara nasional baru mencapai 3% terhadap total konsumsi energi industri semen[10]. Di Jerman, konsumsi energi terbarukan pada industri semen sudah mencapai 61%[12], sedangkan Holcim Cement Indonesia sudah mencapai 8%[13]. Diperlukan dukungan regulasi agar pemanfaatan energi terbarukan atau energi alternatif pada industri semen sebagai pengganti batubara dapat meningkat agar mitigasi GRK pada industri semen berjalan maksimal sehingga menurunkan sumbangsih batubara sebagai penghasil emisi GRK terbesar di sektor industri.

4. Kesimpulan dan Saran

Pembakaran bahan bakar fosil (BBM, batubara, gas bumi, dan LPG) dan penggunaan gas bumi pada industri menghasilkan emisi GRK. Total konsumsi energi sektor industri Indonesia pada tahun 2014 mencapai 463 juta SBM yang menghasilkan emisi GRK sebanyak 167,13 juta ton CO2eq. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diproyeksikan meningkat rata-rata 6% per tahun selama tahun 2014 s.d. 2050 membuat kebutuhan energi sektor industri meningkat 5 kali lipat menjadi 2.749 juta SBM pada tahun (2,28%), LPG (2,28%), dan biomasa (4,41%).

(6)

dari 167,13 juta ton CO2e pada tahun 2014, menjadi 949,89 juta ton CO2e di tahun 2050 dan merupakan konstributor emisi GRK terbesar mengalahkan sektor pembangkit listrik

Potensi peningkatan emisi GRK sektor industri tersebut di atas perlu dikurangi karena Indonesia sudah meratifikasi Perjanjian Paris yang ditetapkan dalam Conference of Party

(COP)-21 tahun 2015 sebagaimana UU 16/2016. Indonesia sudah menyerahkan INDC ke UNFCCC dengan sasaran menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2025 menjadi 29% pada tahun 2030 terhadap baseline atau menjadi 41% dengan bantuan negara lain.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan emisi GRK tersebut adalah melalui konservasi energi, penggunaan energi terbarukan, dan pengurangan konsumsi bahan baku. Industri dengan konsumsi energi minimal 6.000 TOE per tahun wajib melakukan konservasi energi sesuai PP 70/2009 dan Permen ESDM 14/2012. Pelaksanaan regulasi ini tidak berjalan maksimal karena hambatan biaya investasi yang tinggi, insentif yang belum baku, penetapan manajer energi merupakan costly, dan koordinasi yang lemah antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Perindustrian. Untuk itu, Kementerian Perindustrian perlu menyiapkan regulasi tentang sistem pelaporan data aktivitas yang terkait dengan GRK secara

on-line dan Kementerian Keuangan perlu

menyiapkan regulasi tentang insentif atas industri yang melaksanakan konservasi energi.

UU 3/2014 merupakan payung hukum untuk melaksanakan konservasi energi, peningkatan penggunaan energi terbarukan, dan pengurangan konsumsi bahan baku. Penggunaan energi terbarukan (biomasa) pada industri pulp dan kertas, industri gula, dan industri minyak kelapa sawit dapat dimaksimalkan hingga mencapai 100% dengan cara merevisi regulasi yang menghambat dan menggunakan limbah biomassa dan biogas secara maksimal. Industri semen telah melaksanakan regulasi roadmap penurunan penggunaan batukapur dan pengawasannya perlu ditingkatkan agar target dapat tercapai.

menggunakan energi terbarukan sebanyak 3% padahal di Jerman sudah mencapai 61% terhadap total konsumsi bahan bakar. Untuk itu diperlukan dukungan regulasi agar peningkatan penggunaan energi terbarukan pada industri semen dapat tercapai.

Daftar Pustaka

[1] IPCC, 2014, Climate Change 2014: Mitigation of Climate Change. Contribution

of Working Group, Cambridge University

Press, New York.

[2] KESDM, 2015 Mineral, Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2015, Pusat Data dan Informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya, Jakarta.

[3] BPPT, 2016, Outlook Energi Indonesia 2016, Badan Jakarta Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.

[4] BPPT, 2016, Hasil Run Model for Energy Demand of Indonesia, Tidak dipublikasi, Jakarta.

[5] IPCC, 2006, IPCC Guidelines for National

Greenhouse Gas Inventories: Energy Sector,

Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneve.

[6] Lemigas, 2016, Perhitungan Emisi CO2

dengan Menggunakan Faktor Emisi

Nasional, Jakarta.

[7] Lemigas, 2016, Faktor Emisi Batubara Nasional, Jakarta.

[8] IPCC, 2006, IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Industrial

Product and Product Use Sector,

Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneve.

[9] KLHK, 2015, Pokok-Pokok Hasil COP-21 Paris 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.

[10] Kementerian Perindustrian, 2015, Kajian Potensi Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan di Sektor Industri dan Analisa Kebutuhan Teknologinya, Pusat Pengkajian Industri Hijau, Jakarta.

[11] Perindustrian, 2012, Peta Panduan (Roadmap) Pengurangan Emisi CO2 Industri

(7)

[12] Volker Hoenig, 2012, Energy and Resources Efficiency in the Cement Industry, ECRA, Germany.

[13] Oepoyo P., 2015, Konsumsi Energi Industri

Semen Indonesia, FGD Potensi

Gambar

Gambar 1. Analisis Kuantitatif dan Kualitatif Emisi GRK Sektor Industri
Gambar 3. Pangsa Emisi GRK Sektor Industri Tahun 2014, 2025, dan 2050

Referensi

Dokumen terkait

selain itu mereka tak lupa untuk menggosok gigi menggunakan sikat gigi yang diberi pasta gigi sehingga gigi mereka menjadi putih dan kuat bobi dan nita juga terhindar dari

perubahan energi listrik dan energi potensial berdasarkan contoh ilustrasi berdasarkan penggunaan keran air. 4) Menanyai perubahan yang terjadi pada energi ginetik.

Gejala yang terkait dengan keluhan artritis adalah gejala umum berupa keluhan tidak nafsu makan, lemah/letih, sulit tidur dan penurunan berat badan. Dari seluruh responden, sebesar

Menurut Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tantang Standar Proses, Rencana pelaksanaan pembelajaran adalah rencana yang kegiatan pembelajaran tatap muka untuk

Sementara itu, hasil penelitian mengatakan adanya perubahan pada 12 asam amino di area (pocket) protein mengakibatkan area tersebut menjadi tidak kontak langsung

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan

Salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh produsen/eksportir produk soya sauce Indonesia untuk meningkatkan nilai ekspor ke Singapura adalah dengan melakukan kerja sama dengan

(2015) menyebutkan bahwa formulasi ekstrak daun lokal dengan gelatin dari kulit shank broiler dihasilkan formula 15% ekstrak daun dapat ditambahkan pada gelatin