• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGAM KONSELING KOGNITIF PERILAKU UNTUK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROGAM KONSELING KOGNITIF PERILAKU UNTUK"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PROGAM KONSELING KOGNITIF PERILAKU UNTUK MEREDUKSI GEJALA TECHNOSTRESS PADA REMAJA

Proposal Skripsi

Oleh :

Isman R Yusron 0906502

JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

(2)

A. JUDUL

“PROGAM KONSELING KOGNITIF PERILAKU UNTUK MEREDUKSI GEJALA TECHNOSTRESS PADA REMAJA”

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Seiring perkembangan zaman telah menghantarkan masyarakat pada era yang semakin moderen dan global. Berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat semakin terlihat pesat di berbagai sisi baik pola sosial, kebiasaan, hingga karakteristik perilaku. Hal ini dipicu oleh semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah menjadi ciri khas dari peradaban modern.

Teknologi merupakan hasil dari kebudayaan manusia. Menurut Clayde Kluckhohn dalam bukunya Universal Categories of Culture (1953), teknologi di klasifikasikan kedalam salah satu unsur dari kebudayaan. Teknologi adalah sebuah alat yang digunakan masyarakat yang bersangkutan untuk memudahkan kegiatan-kegiatan dalam hidupnya. Dari definisi tentang teknologi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa teknologi muncul dari kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia yang tak pernah habis melahirkan sebuah teknologi yang bertujuan untuk memudahkan dan menunjang segala kebutuhan dan kegiatan hidup manusia.

Dalam era peradaban posmodern dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memicu munculnya sebuah era kesejagatan yang menghilangkan batasan-batasan geografis di seluruh dunia. Era yang populer disebut globalisasi ini muncul dengan karakteristik meningkatnya hubungan dan ketergantungan antar bangsa, sehingga masyarakat dituntut untuk dapat beradaptasi dalam kondisi tersebut.

Kebutuhan manusia dalam era globalisasi ini memicu tumbuhnya suatu alat untuk menunjang dan memudahkan tuntutan tersebut. Teknologi Informasi dan Komunikasi merupakan salah satu jawaban dari tuntutan era globaliasi. Setelah penemuan mikro-prosesor komputer dan kalkulator saku pada 1971, homo sapiens (penghuni bumi era posmodern) menjalani kehidupan dengan kecepatan informasi, komunikasi instan dan perubahan berkelanjutan sebagai kecenderungan utama (Rafsanjani, Pikiran Rakyat 2011)

(3)

khalayak mengumpulkan, memproses, dan saling mempertukarkan informasi dengan individu atau khalayak lain. Teknologi informasi di era sekarang menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting, sehingga masyarakat dituntut untuk cepat menguasainya.

Berbagai inovasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi berkembang dengan sangat cepat, hingga masyarakat dituntut beradaptasi dengan berbagai kemajuan sepesat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kini, perangkat keras teknologi informasi menjamur dan dijadikan alat keseharian oleh masyarakat dunia. Macam-macam perangkat teknologi informasi yang populer digunakan saat ini ialah telepon seluler (Ponsel), Personal Computer (PC), Laptop, Smartphone, Internet dan perangkat lainnya.

Di Indonesia, menurut data yang di rilis Telkom, IDC, dan Nokia Siemens Network Intellegence (sharingvision.biz, 2012) menunjukan angka fantastis pengguna teknologi informasi. Pengguna Internet tahun 2012 diperkirakan mencapai 70 juta pengguna, pengguna layanan HSDPA (High Speed Downlink Packet Access) tercatat 24,7 juta orang, pengguna jaringan tetap 6 juta, pasar komputer 9,5 juta, dan pasar Smartphone 11,9 juta. Dari data tersebut, dibanding dengan jumlah penduduk indonesia yang berkisar pada angka 259 juta jiwa (Kompas, 2011), diperkirakan sekitar 27 %-30% masyarakat indonesia menjadi pengguna teknologi informasi.

Data diatas dapat memetakan bagaimana pesatnya penggunaan teknologi informasi di Indonesia. Jika dibandingkan dengan hasil statistik Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada tahun 2006, pengguna teknologi informasi berada pada kisaran 19,96% dari sekitar 218 juta jiwa, atau sekitar 43,5 juta pengguna. Dalam kurun waktu 6 tahun, di tahun 2012 pengguna teknologi informasi naik sekitar 62,1%. Berdasarkan data tersebut dapat penulis simpulkan bahwa perkembangan teknologi yang pesat mendorong masyarakat indonesia dengan cepat beradaptasi mengikuti percepatan tersebut. Hal ini terbukti dengan naik begitu pesatnya persentase pengguna teknologi informasi seperti Ponsel, Internet, PC dan perangkat lainnya di Indonesia.

(4)

adalah teknologi menuntut masyarakat untuk mengejar pesatnya kemajuan dan perkembangannya.

Rafsanjani (Pikiran Rakyat, 2011) mengatakan bahwa akselarasi luar biasa ini membentuk suatu pengaruh mutual (forceful interplay) antara ilmu pengetahuan (IPTEK) dan masyarakat. Hal itu menjadikan bertambahnya tuntutan bahkan tekanan dari perkembangan zaman –yang melahirkan teknologi, terhadap kompetensi yang dimiliki manusia. Pada akhirnya, manusia tergusur mengikuti percepatan teknologi yang semakin tak terkejar.

Gambaran tersebut merupakan titik negatif dari semakin pesatnya kemajuan teknologi informasi. Teknologi informasi masa kini, yang diidentikkan dengan perangkat komputasi (Komputer, Ponsel, Internet, dll) menorehkan sebuah identitas peradaban di era posmoderen. Sehingga, masyarakat era kekinian indentik dengan masyarakat komputer. Dengan identitas tersebut, menjadikan masyarakat terdorong untuk menguasai teknologi tak hanya sebatas aplikasi, namun juga mendapatkan ruang dalam faktor-faktor psikologis seperti kebiasaan, pola fikir, bahkan sampai pada taraf pemenuhan kebutuhan. Craig Brod dalam Questioning Technology menyatakan :

The computer and the work it generates have created not merely a new era in history but with it a new psychological space as well.(Zerzan&Carnes, 1991)

Betapa tidak, penguasaan teknologi kini telah menjadi tuntutan keseluruhan kehidupan masyarakat. Masyarakat era global memiliki gaya yang serba teknologis dalam berbagai kegiatan hidupnya. Yang paling muncul kepermukaan ialah gaya berkomunikasi antar individu. Penggunaan teknologi informasi dalam berkomunikasi telah menjadi hal lumrah bahkan sedikit banyak mengeliminasi komunikasi tatap muka antar indvidu yang dianggap sudah tidak efektif. Komunikasi yang mensyaratkan adanya interaksi menjadi tak berlaku lagi seiring perkembangan teknologi informasi. Kini, masyarakat lebih memanfaatkan Ponsel,

(5)

Penggunaan teknologi informasi sebagai alat untuk berkomunikasi antar individu terbukti efektif dan efisien dari berbagai sisi. Perkembangan fitur serta fasilitas dari waktu ke waktu semakin memudahkan masyarakat pengguna teknologi informasi, bahkan menjadikan tidak ada bedanya antara menggunakan teknologi informasi dengan berinteraksi secara langsung. Dari berbagai kemudahan yang diberikan oleh perangkat teknologi menjadikan hal tersebut bagian dari keseharian masyarakat. Sehingga, masyarakat kekinian tak dapat lagi terpisahkan dari teknologi informasi.

Dijadikannya teknologi informasi sebagai bagian dari keseharian masyarakat tak hanya melahirkan kemudahan saja, akan tetapi juga melahirkan permasalahan baru khususnya dari aspek dinamika psikologis. Berbagai permasalahan muncul akibat dari penggunaan teknologi yang kecepatannya melebihi batas-batas kemampuan manusiawi. Kecepatan yang tak terkejar tersebut memicu adanya ketidak seimbangan psikologis. Bahkan, hal tersebut berdampak pada pola perilaku serta gangguan mental individu.

Fenomena-fenomena terkait dengan dampak dari penggunaan teknologi bermunculan di berbagai media massa maupun elektronik. Dampak yang muncul paling banyak berada pada aspek dinamika psikologis pengguna teknologi informasi. Salah satu contohnya tercerminkan pada hasil penelitian Dr.Scott Frank di Amerika Serikat yang melakukan survei terhadap 4200 siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Cleveland, AS yang dirilis www.dailymail.co.uk/ (kompas.com, 2010). Dari hasil temuan dengan objek penelitian para remaja tersebut, terungkap bahwa satu dari lima siswa tergolong kepada Hyper-texter. Hyper-texter ialah perilaku pengguna ponsel dengan mengirim Short Message Service (SMS) lebih dari 120 kali dalam sehari. Juga, dalam survei yang sama menemukan satu dari sembilan siswa tergolong pada Hyper-networker. Remaja yang tergolong Hyper-Networker ini ialah mereka yang menghabiskan waktu lebih dari tiga jam di Facebook atau situs jejaring sosial lainnya.

Temuan pada remaja di Cleveland tersebut lebih menarik dengan terungkapnya fakta bahwa remaja yang tergolong hyper-texter ternyata lebih rentan terhadap pergaulan bebas dan kecanduan alkohol serta narkoba dibanding dengan remaja dengan frekuensi mengirim SMS yang biasa saja. Dalam temuan yang sama juga terungkap bahwa remaja yang tergolong pada

(6)

tersebut biasanya memiliki karakter impulsif dan tidak tahan terhadap tekanan teman sebayanya.

Kaum remaja memang yang paling banyak mengalami dampak dari kemajuan teknologi informasi dan berkembangnya alat komunikasi digital. Selain dari temuan di AS, tak terkecuali dampak tersebut menerjang para remaja Indonesia. Di Indonesia, hasil temuan penelitian pada tahun 2006 (kompas.com, 2010) bahkan menyebutkan angka 67% anak usia menjelang remaja yang duduk di kelas 4-6 Sekolah Dasar mengaku pernah mengakses konten pornografi melalui alat komunikasi ponsel Smartphone yang diberikan orang tuanya. Temuan ini sangat mengkhawatirkan, karena ternyata para remaja bahkan di fase yang lebih dini telah menyalahgunakan gadget teknologi informasi. Temuan ini, menurut Psikolog Universitas Paramadina, Elly Risman diakibatkan oleh keteledoran orang tua yang memberikan ponsel berteknologi tinggi kepada anaknya.

Tingginya akses pornografi melalui media teknologi oleh remaja menimbulkan efek negatif bagi remaja khususnya pada perilaku seksual remaja. Hasil survei Komisi Perlindungan Anak (KPA) terhadap 4500 remaja di 12 kota besar Indonesia yang disebutkan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul Sembiring menyebutkan angka 93% remaja pernah berciuman, 67,7 % pernah berhubungan badan, dan 21% pernah melakukan aborsi.

Penyalahgunaan Ponsel masih tergolong dari segelintir permasalahan yang diakibatkan oleh pesatnya kemajuan teknologi. Dalam data lain menyebutkan, di Indonesia penggunaan Internet oleh remaja sering memunculkan dampak negatif. Sejak diluncurkannya jejaring sosial Facebook pada 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg, sekarang ini telah menjadi fenomena yang paling digandrungi oleh remaja Indonesia saat ini. Terbukti dengan data yang menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ketiga penyumbang akun Facebook terbanyak. Laporan Kontan menuliskan, Agustus 2010 lalu akun Facebook di Indonesia berjumlah 26 juta (kompas.com, 2010). Dampak negatif akibat Facebook ini banyak dilaporkan dan menjadi sorotan di Indonesia.

(7)

Facebook. Selain itu, laporan lainnya yang disinyalir akibat munculnya jejaring sosial Facebook ialah dari laporan Pengadilan Agama Wonosari, Gunung Kidul pada 2010 yang mendeteksi lonjakan permohonan pernikahan dini, dan peningkatan pernikahan dini tersebut diakibatkan oleh Facebook. Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Wonosari, Siti Haryanti mengatakan setiap pemohon rata-rata mengenal pasangannya dari Facebook dan rata-rata yang berumur 14-16 tahun telah hamil diluar nikah (kompas.com, 2011).

Himpunan data diatas merupakan beberapa dari sekian banyak fakta dampak negatif penggunaan teknologi informasi Internet. Temuan-temuan tersebut penulis yakini tidak hanya merupakan dampak utama dari penyalahgunaan teknologi informasi. Semuanya harus ditelusuri dari mulai gejala-gejala psikologis yang muncul akibat penggunaan teknologi informasi. Jonathan Kimak (cracked.com, 2009) Menyebutkan ada 6 gangguan psikologis yang sering muncul akibat penggunaan teknologi Internet. Penulis anggap bahwa hal ini penting di identifikasi karena hal ini merupakan akar dari timbulnya fenomena-fenomena negatif yang telah dipaparkan sebelumnya. Keenam gangguan psikologis yang muncul akibat penggunaan Internet tersebut antara lain : (1) Online Intermittent Explosive Disorder (OIED), yaitu gangguan kepribadian berupa emosi yang meledak-ledak yang muncul secara tiba-tiba dan sering juga mudah tersinggung karena menggunakan Internet. Hal ini diakibatkan karena karakteristik Internet yang dapat menyembunyikan identitas asli sehingga hasrat untuk melampiaskan emosi akan lebih leluasa dibandingkan di dunia nyata yang lebih terbatas oleh lingkungan sosial. (2) Low Forum Frustation Tolerance (LFFT), yaitu toleransi rendah terhadap kekalahan dalam forum. Hal ini menyebabkan hilangnya rasa toleransi jika mendapat kritik dari orang lain, sehingga akan segera mencari banyak argumen yang mematahkan kritik tersebut bahkan sering kali menggunakan argumen yang tidak logis. (3)

Munchausen Syndrom, yaitu tukang cerita untuk membangkitkan rasa kasihan. Munchausen Syndrome (MS), suatu istilah yang diambil dari nama seorang tentara Jerman, Baron Munchausen (Karl Friedrich Hieronymus Freiherr von Munchausen, 1720-1797) yang mengaku mempunyai banyak pengalaman fantastik dan petualangan-petualangan yang mustahil, oleh Rudolf Raspe kemudian dituliskan dalam sebuah buku berjudul The Surprising Adventures Baron Munchausen. MS adalah suatu kondisi di mana seseorang dengan sengaja membuat kebohongan, menirukan, menambah buruk suatu keadaan, atau mempengaruhi diri sendiri agar sakit dengan tujuan diperlakukan seperti orang sakit. (4)

(8)

dengan contoh kegilaan akan tata bahasa. Ketika orang menemukan suatu kesalahan tata bahasa atau penulisan kata yang keliru dari orang lain dalam sebuah posting atau komentar, maka dia langsung menyerang dan dengan keras memprotesnya. (5) Low Cyber Self-Esteem

(LCSE), yaitu penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah. Biasanya yang terkena LCSE ini akan merasa dibenci oleh semua orang yang sebenarnya tak ada yang meninggalkannya. Pada kehidupan nyata perilaku ini seperti mencari perhatian dan kasihani orang lain. (6)

Internet Asperger’s Syndrome, yaitu kondisi dimana hilangnya semua aturan sosial dan empati pada diri seseorang. Hal ini disebabkan karena seseorang ketika berinternet hanya menghadapi benda mati seperti monitor, laptop dan keyboard saja, sehingga kehilangan posisinya didalam dunia nyata yang menuntut untuk mengikuti aturan sosial dan empati terhadap manusia lainnya. Biasanyanya yang terkena Internet Asperger’s Syndrom ini akan kehilangan kemampuan melihat respon dan mimik wajah atau ekspresi non-verbal pada diri orang lain.

(9)

Semua hal diatas bisa jadi merupakan penyebab kenapa muncul berbagai fenomena sosial-psikologis yang negatif akibat penggunaan teknologi khususnya Internet. Dan dari kesemua gangguan psikologis diatas mengarah pada suatu gejala psikologis yang diakibatkan oleh teknologi. Gejala psikologis yang diakibatkan oleh penggunaan teknologi ini, seperti yang disebutkan pakar psikologi dari California State University, AS, Larry D. Rosen, PhD dan Michelle M. Weil, PhD sebagai Technostress.

Istilah Technostress awalnya dicetuskan oleh Craig Brod pada tahun 1982 yang dilatarbelakangi oleh semakin digandrunginya teknologi komputer yang sedikit demi sedikit mempengaruhi pola perilaku, sikap dan norma masyarakat moderen. Istilah ini menunjuk pada aspek psikologis dari penggunaan teknologi komputer yang berkembang secara pesat namun tidak diimbangi oleh penggunaan yang sesuai.

Weil dan Rosen (1997) mendefinisikan Technostress sebagai dampak negatif secara langsung maupun tidak langsung penggunaan teknologi terhadap perilaku manusia, pikiran, sikap dan psikologis. Brod (1982) mendefinisikan Technostress sebagai penyakit adaptasi modern yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menguasai teknologi komputer terbaru dengan cara yang sehat. Ia juga mendefinisikan bahwa Technostress merupakan situasi yang memperlihatkan kesulitan dalam beradaptasi, juga ketidak kuasaan dalam membendung penggunaan teknologi baru oleh individu atau organisasi (Coklar, 2011). Namun, Weil dan Rosen (Ahmad, 2010) memberikan kritik bahwa sebenarnya Technostress bukan merupakan sebuah penyakit, akan tetapi hanya sebatas dampak negatif saja. Brillhart (2004) mendefinisikan Technostress sebagai stress seseorang yang dihasilkan dari ketergatungan seseorang pada alat-alat teknologi atau kecemasan secara terus menerus karena merasa terkoneksi kepada teknologi (Hayasi, 2009).

Dari definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa Technostress merupakan sebuah dampak psikologis yang negatif yang disebabkan oleh ketidak mampuan seseorang dalam mengejar, mengikuti, serta menggunakan teknologi yang semakin canggih sehingga memunculkan perilaku salah guna dan salahsuai terhadap teknologi dan kadang juga memunculkan kecemasan psikologis dan stress. Rafsanjani (Pikiran Rakyat, 2011) menyebutkan bahwa setidaknya ada lima aspek yang menjadi derivasi Technostress, yakni (1)

techno-overload situasi ketika kita dipaksa untuk bekerja lebih cepat dan lebih lama. (2)

(10)

merasa tidak mampu menjalankan teknologi yang kompleks, sehingga kita dipaksa meluangkan lebih banyak waktu demi meningkatkan kemampuan. (4) techno-insecurity

ketika merasa terancam kehilangan pekerjaan, akibat teknologi terbaru atau orang-orang baru yang lebih mahir menggunakan teknologi tersebut (5) techno-uncertainty adalah situasi merasa selalu menghadapai ketidakjelasan dan ketidakmapanan, akibat perubahan teknologi yang terus terjadi setiap hari.

Fenomena dan dampak yang muncul sesuai dengan definisi diatas kian merebak pada masyarakat posmodern. Percepatan teknologi pada era posmodern yang semakin hari semakin canggih menyajikan berbagai kemudahan serta tantangan tersendiri terhadap kompetensi masyarakat. Salah satu hasil dari perkembangan teknologi informasi yang paling fenomenal memperkenalkan masyarakat pada era teknologi Web 2.0. Web 2.0 menurut Monica T Whitty (Young, 2011: 202) telah membawakan kepada Internet yang lebih interaktif (menggunakan aplikasi yang memperluas interaksi), dan ini akan berlanjut pada pengembangan yang lebih canggih. Situs jejaring sosial dan aplikasi ponsel adalah salah satu contoh dari bagaimana Web telah mengubah kepada yang lebih interaktif. Andrew Keen (Rosen, 2010) mengungkapkan fenomena ini bahwa web 2.0 dan penggunanya menjadikan media sebagai pendorong kita untuk mempopulerkan diri kita sendiri.

(11)

sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Sehingga, remaja seringkali salah kaprah dalam mengartikan kondisi serta gaya hidup yang didentifikasinya. Hal ini menyebabkan seringnya muncul perilaku salah suai dan penyimpangan-penyimpangan pada remaja.

Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991).

Gaya hidup pada era pos modern sangat kental dengan gaya hidup yang serba teknologi. Hal ini pula mendorong remaja untuk mengikuti segala hal yang berkaitan dengan perkembangan teknologi. Penggunaan ponsel pintar (Smartphone), Internet dan berbagai

gadget teknologi informasi telah menjadi gaya hidup yang khususnya digandrungi oleh para remaja. Sehingga, remaja akan senantiasa mengeksplorasi berbagai kemajuan yang berkembang dalam perkembangan teknologi. Remaja menurut peneliti dari Pusat Kajian Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kahardityo (kompas.com, 2010) merupakan golongan masyarakat yang digital native. Digital Native

adalah penduduk asli di dunia digital. Mereka lahir dan tumbuh di era digital yang menjadikan mereka memiliki cara berpikir, berbicara dan bertindak, berbeda dengan generasi sebelumnya. Dari karakteristik baru ini remaja akan sangat banyak kesehariannya bersentuhan dengan alat-alat teknologi. Dapat dikatakan, remaja yang paling responsif dalam mengikuti segala perkembangan teknologi dan menjadi pengguna teknologi paling massif .

(12)

Remaja merupakan masa penting dalam tahap perkembangan hidup individu. Sering kali dinyatakan bahwa apa yang dialami pada masa ini akan berpengaruh terhadap karakteristik kepribadiannya di masa mendatang. Dimasa ini identitas kehidupan seseorang didapatkan. Namun, di era serba teknologi dan segala resikonya, menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi masa remaja kekinian. Maka dari itu, perlu adanya sebuah solusi yang akan menyelesaikan permasalahan psikologis baru bagi remaja di zaman teknologi ini. Khususnya solusi untuk menyelesaikan persoalan dampak negatif dari penggunaan teknologi yaitu Technostress.

Mencari penanganan yang tepat untuk yang terkena dampak negatif dari teknologi yaitu

Technostress, dapat berangkat dari definisi Technostress itu sendiri. Menurut Rosen dan Weil

Technostress merupakan dampak negatif secara langsung maupun tidak langsung penggunaan teknologi terhadap perilaku manusia, pikiran, sikap dan psikologis. Dari definisi tersebut yang menjadi titik serang dari Technostress ialah perilaku manusia, pikiran, sikap dan psikologis. Dalam ruang lingkup teori konseling, intervensi yang tepat untuk mengatasi gejala yang menyerang perilaku dan fikiran adalah konseling Cognitive-Behavioral Therapy atau Terapi Kognitif-Perilaku. Beck (Taylor, 2006) mengartikan bahwa :

Cognitive behavioral therapy is a structured form of therapy guided by the cognitive model. The cognitive model proposes that dysfunctional thinking and unrealistic cognitive appraisals of certain life events can negatively influence feelings and behavior and that this process is reciprocal, generative of further cognitive impairment, and common to all psychological problems”.

Menurut Dobson dan Dozios (Taylor, 2006) wilayah yang dapat ditangani oleh Terapi Kognitif Perilaku ialah dengan asumsi (1) Kognisi mempengaruhi perilaku, (2) Kognisi dapat dipantau dan dirubah, (3) Perubahan Perilaku dimediasi oleh perubahan kognitif. Terapi kognitif perilaku selalu melibatkan mediasi kognitif sebagai inti yang mendasar dalam penanganan. Pendekatan cognitive-behavioral therapy digunakan untuk mereduksi

Technostess didasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Beck, Freman (1999) yang mengungkapkan konseling cognitive behavioral therapy mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan individu yang berhubungan dengan gangguan kepribadian, gangguan kecemasan dan gangguan obsesi-kompulsi.

(13)

berfikir lebih jelas dan membantu belajar membuat keputusan yang tepat . Karena karakteristik yang ditimbulkan Technostress sesuai dengan tujuan intervensi cognitive-behavioral therapy dan berada pada ranah yang mempengaruhi kognisi dan perilaku seseorang, sehingga intervensi yang berfokus pada aspek kognitif dan perilaku dipandang sebagai pendekatan yang tepat. Akan tetapi, hal ini perlu diuji kembali sejauh mana efektifitas intervensi ini dalam mereduksi Technostress.

Berdasarkan hal diatas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “PROGAM KONSELING KOGNITIF PERILAKU UNTUK MEREDUKSI GEJALA

TECHNOSTRESS PADA REMAJA”

C. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pada kondisi mana para remaja terjangkit dampak negatif penggunaan teknologi

Technostress?

2. Apa sajakah yang menyebabkan remaja terjangkit Technostress?

3. Gejala apa saja yang muncul dalam kehidupan remaja yang terindikasi Technostress?

4. Bagaimana rancangan konseling terapi kognitif-perilaku untuk mereduksi

Technostress?

5. Bagaimana proses intervensi konseling kognitif-perilaku untuk mereduksi

Technostress?

6. Apakah konseling kognitif perilaku efektif dalam mereduksi remaja terkena

Technostress?

7. Kategori Technostress manakah yang lebih efektif diatasi dengan konseling kognitif perilaku?

D. TUJUAN PENELITIAN

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui gambaran sejauh mana remaja terjangkit dampak negatif penggunaan teknologi Technostress.

2. Untuk mengetahui apa saja penyebab remaja terjangkit Technostress.

3. Untuk mengetahui perilaku apa saja yang muncul dari remaja yang terjangkit

(14)

4. Merumuskan rancangan program konseling kognitif-perilaku untuk mereduksi

Technostress.

5. Mendapatkan formulasi yang tepat serta melaksanakan konseling kognitif-perilaku untuk mereduksi Technostress.

6. Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas program konseling kognitif perilaku dalam mereduksi gejala Technostress.

7. Untuk mengetahui kategori Technostress mana yang efektif diatasi oleh konseling kognitif perilaku.

E. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi berbagai pihak diantaranya :

1. Bagi Peneliti, penelitian ini menambah wawasan peneliti mengenai gejala apa saja yang muncul ketika individu remaja terjangkit Technostress. Juga wawasan peneliti tentang efektifitas intervensi konseling kognitif perilaku dalam mereduksi gejala Technostress pada remaja.

2. Bagi Konselor, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam mengidentifikasi perilaku apa saja yang menunjukan gejala Technostress sekaligus menjadi rujukan bagaimana mengatasi gejala Technostress yang dialami oleh remaja.

4. Bagi Konseli, dapat mengatasi masalah gejala Technostress yang tengah dialaminya.

5. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan titik pijak dalam mengatasi persoalan yang tengah melanda bangsa Indonesia yang berkaitan dengan dampak negatif penggunaan teknologi khususnya dikalangan generasi muda Indonesia.

F. DEFINISI OPERASIONAL

Untuk menghindari penafsiran yang berbeda mengenai penelitian ini, diberikan beberapa penjelasan istilah sebagai berikut :

(15)

2. Konseling, adalah suatu proses layanan yang bersifat tatap muka untuk tujuan membantu individu dalam memecahkan suatu permasalahan. Menurut Myrick (1993) istilah konseling digunakan oleh seseorang dalam profesi konseling untuk menjelaskan sebuah jenis khusus dalam proses bantuan terhadap seseorang lainnya. Konseling merupakan sebuah hubungan secara langsung yang memiliki tujuan untuk memberikan bantuan dalam merubah sikap dan tingkah laku terhadap individu yang mengalami suatu permasalahan.

3. 2.Terapi Kognitif –Perilaku, adalah sebuah pendekatan atau intervensi seorang konselor yang mengkombinasikan teknik konseling kognitif dan konseling behavioral, yang menekankan kepada pentingnya penggunaan pikiran dalam perasaan dan tindakan individu. Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Beck (Taylor, 2006) mengatakan bahwa terapi kognitif perilaku adalah sebuah bentuk yang disusun dari terapi yang berpedoman pada model kogintif.

4. Reduksi, diartikan sebagai pengurangan atau suatu proses mengurangi atau juga menurunkan. Dalam definisi ini reduksi merupakan sebuah upaya untuk mengurangi gejala atau efek yang telah muncul sehingga hal tersebut dapat berkurang ataupun hilang.

5. Gejala, adalah perihal (keadaan, peristiwa, dsb) yg tidak biasa dan patut diperhatikan (ada kalanya menandakan akan terjadi sesuatu) atau suatu keadaan yg menjadi tanda-tanda akan timbulnya (terjadinya, berjangkitnya) sesuatu (KBBI, 2008).

6. Technostress, adalah dampak negatif secara langsung maupun tidak langsung penggunaan teknologi terhadap perilaku manusia, pikiran, sikap dan psikologis (Weil&Rosen, 1997). Technostress juga didefinisikan sebagai stress seseorang yang dihasilkan dari ketergantungan seseorang pada alat-alat teknologi atau kecemasan secara terus menerus karena merasa terkoneksi kepada teknologi (Hayasi, 2009). 7. Remaja, menurut Piaget (Hurlock, 1980) adalah usia dimana individu mulai

(16)

berada pada rentang usia 11-24 tahun. Dan remaja merupakan periode yang penting karena ditandai dengan pesatnya pertumbuhan dan kematangan baik fisik maupun psikologis.

G. ASUMSI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan didasarkan pada beberapa asumsi penting yang menjadi pijakan dalam pelaksanaan penelitian, diantaranya :

1. Semakin pesatnya kemajuan teknologi informasi, memunculkan tantangan baru yang berkaitan dengan psikologis manusia. Perangkat komputasi yang digunakan dalam aplikasi teknologi informasi, tidak sebatas melahirkan sebuah era yang baru dalam sejarah akan tetapi dengan ruang psikologis yang baru pula.(Zerzan&Carnes, 1991) 2. Akselarasi teknologi informasi yang luar biasa membentuk suatu pengaruh mutual

(forceful interplay) antara ilmu pengetahuan (iptek) dan masyarakat. Hal itu menjadikan bertambahnya tuntutan bahkan tekanan dari perkembangan zaman –yang melahirkan teknologi, terhadap kompetensi yang dimiliki manusia. (Rafsanjani, 2011) 3. Remaja merupakan masa pencarian identitas. Identitas diri yang dicari remaja berupa

usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat. Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian, dan pemilikan barang-barang lain yang mudah terlihat. (Hurlock, 1980)

4. Kesulitan dalam beradaptasi, juga ketidak kuasaan dalam membendung penggunaan teknologi baru oleh individu atau organisasi akan memunculkan sebuah situasi yang disebut Technostress.(Coklar, 2011)

5. Technostress merupakan dampak negatif secara langsung maupun tidak langsung penggunaan teknologi terhadap perilaku manusia, pikiran, sikap dan psikologis. (Weil&Rosen, 1997)

6. Ketergatungan seseorang pada alat-alat teknologi dan merasa terkoneksi kepada teknologi akan menghasilkan stress atau kecemasan secara terus menerus dan hal tersebut juga didefinisikan sebagai Technostress. (Hayasi, 2009)

(17)

baik, berfikir lebih jelas dan membantu belajar membuat keputusan yang tepat (Bush, 2003: 1)

8. Konseling cognitive-behavioral therapy mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan individu yang berhubungan dengan gangguan kepribadian, gangguan kecemasan dan gangguan obsesi-kompulsi.

H. METODE DAN DESAIN PENELITIAN

Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010). Menurut Nazir (2005) metode penelitian merupakan pemandu peneliti tentang urutan bagaimana penelitian dilakukan.

Penelitian tentang penggunaan program konseling kognitif-perilaku untuk mereduksi gejala Technostress ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitaif untuk mengetahui tingkat gejala Technostress di kalangan remaja. Metode penelitian yang digunakan yaitu pra eksperimen, dengan desain pra tes-pasca test satu kelompok atau One-Group Pretest-Potstest Design.

Desain penelitian pra eksperimen, kelompok tidak diambil secara acak atau pasangan, juga tidak ada kelompok pembanding, tetapi diberi tes awal dan tes akhir di samping perlakuan. Metode pra eksperimen digunakan untuk mengetahui ketepatan konseling kognitif-perilaku dalam mereduksi gejala Technostress pada remaja. Adapun pola desain penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1

One Group Pretest-Posttest Design

O1 X O2

Catatan :

O1 = Nilai pretest (sebelum diberi treatment) O2 = Nilai posttest (setelah diberi treatment) X = Treatment yang diberikan (Variabel dependen)

(18)

I. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Dalam pelaksanaan penelitian ini diperlukan suatu sumber data atau objek yang ditangani dan diteliti. Objek tersebut pada umumnya diseut sebagai populasi dan sampel penelitian. Menurut Arikunto (1998 : 115) populasi adalah seluruh subjek penelitian. Objek pada populasi diteliti, hasilnya dianalisis, disimpulkan dan kesimpulan itu berlaku untuk seluruh populasi. Berdasarkan pengertian tersebut maka populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang memiliki rentang usia 11-24 tahun (Sarwono,1989).

Sedangkan sampel penelitian menurut Arikunto (1998 : 117) adalah sebagian atau bagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Oleh karena itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili). Adapun dalam penelitian ini pengambilan sampel penelitian digunakan metode Nonprobability Sampling dengan teknik Purposive Sampling. Penentuan sampelnya ditentukan dengan kriteria pengguna peralatan teknologi informasi.

J. INSTRUMEN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan data primer yang diambil dari alat ukur berupa kuesioner dan instrumen pengungkap tingkat (Rating Scale). Instrumen tersebut bertujuan mengungkap gejala yang muncul dan tingkat dari gejala yang dialami.

Dalam pre test, sample akan diberikan instrumen untuk mengetahui apakah memasuki kriteria objek penelitian atau tidak. Dan dari sana pula mendapat data sejauh mana tingkat relevansinya dalam objek penelitian. Dan test akan dilakukan lagi setelah adanya tindakan atau treatment bagi sampel yang diberikan tindakan. Sehingga, dari data tersebut dapat diketahui hasilnya dan sejauh mana keefektifan konseling kognitif-perilaku dalam mereduksi gejala Technostress.

K. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Persiapan

Kegiatan yang dilakukan dalam tahap persiapan ini ialah :

(19)

c. Menginventarisir data dan fakta penelitian.

d. Studi pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data mengenai kondisi lapangan yang mencakup: kondisi lokasi penelitian, sampel, sarana dan prasarana, alat-alat bantu, dan alat-alat untuk keperluan pelaksanaan penelitian.

e. Mempersiapkan instrumen penelitian.

f. Menyusun rencana pelaksanaan tahap per tahap mulai dari target sampel, olah data, waktu pelaksanaan sampai pada evaluasi.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Memilih sampel penelitian

b. Menyebar angket penelitian

c. Mengolah data penelitian

d. Menghubungi sampel yang akan diteliti dan membuat perjanjian konseling

e. Mengujicobakan teknik konseling kognitif-perilaku dalam beberapa pertemuan.

f. Melakukan evaluasi konseling

g. Menyebar angket post test

h. Setelah data terkumpul, dilakukan pengolahan data tentang sejauh mana keberhasilan konseling kognitif perilaku dalam mereduksi gejala Technostress. 3. Tahap akhir

a. Pengolahan dan analisis data hasil eksperimen

b. Pembahasan dan menyimpulkan hasil penelitian sehingga akan dapat disimpulkan apakah teknik konseling kognitif-perilaku efektif dalam mereduksi gejala Technostress

Gambar 1 Prosedur Penelitian

L. TEKNIK ANALISIS DATA

Langkah-langkah analisis data pra eksperimen dengan model pretest-posttest design, sebagai berikut :

1) Mencari rerata nilai tes awal (O1). 2) Mencari rerata nilai tes akhir (O2).

(20)

t

=

Keterangan:

t = harga t untuk sampel berkorelasi

Ð = (difference), perbedaan antara skor tes awal dengan skor tes akhir untuk setiap individu

D = rerata dari nilai perbedaan (rerata dari Ð) D2 = kuadrat dari D

N = banyaknya subjek penelitian

Subjek penelitian pada desain pretest-posttest merupakan sampel yang oleh Donald Ary (Suharsimi Arikunto, 2003: 509) disebut sebagai non-independet sample, disebut demikian karena yang diuji perbedaannya adalah rerata dari dua nilai yang dimiliki oleh subjek yang sama.

M. JADWAL KEGIATAN

No Kegiatan Minggu

1 2 3 4 5 6 7

1 Bimbingan dan penyusunan Bab 1-3 2 Penyusunan Instrumen

3 Membuat program treatmentt konseling kognitif-perilaku.

4 Judgment Instrumen dan Program

5 Pelaksanaan penelitian, treatmentt dan pengumpulan data

6 Pengolahan dan analisis data 7 Pembuatan laporan penelitian 8 Masa pembinbingan

9 Penyempurnaan laporan penelitian 10 Penggandaan laporan penelitian

N. DAFTAR PUSTAKA

(21)

Brillhart, P.E. Technostress in the Workplace Managing Stress in the Electronic Workplace. Journal of American Academy of Business, Cambridge, 5, ½, September, pp.302-307, 2004.

Brod, C. Technostress: the Human Cost of the Computer Revolution (Reading, Mass.: Addison-Wesley, 1984).

Catherall, D.R. (2005). Family Stressors Interventions for Stress and Trauma Series in Psychosocial Stress. New York : Taylor & Francis Books, Inc.

Coklar, A.N., Sahin, Y.L. Technostress Levels of Social Network Users Based on ICTs in Turkey. European Journal of Social Sciences, Vol. 23, No.2, 2011.

Everett, R, M. (1986). Communication Technology- The New Media in Society. New York : The Free Press, A. Dursion of Macmillan, Inc.

Everly, G.S.Jr. (1989) A Clinical Guide to the Treatment of the Human Stress Response. New York: Plenum Press.

Gordon, R.S. (2007). Information Tomorrow: Reflections on Technology and the Future of Public and Academic Libraries. New Jersey : Information Today, Inc.

Hayashi, A. Understanding The Impact Of Management Factors On Technostress In Erp Adoption And Use. M.Sc, Thesis. B.S., University Of California, Davis, 1996.

Kompas.com.(2010). 62.7 Persen Remaja Indonesia Pernal ML [Online].09/05/2010. Tersedia :

Kompas.com.(2011). Facebook Picu Pernikahan Dini [Online].31/03/2011. Tersedia : http://health.kompas.com/read/2011/03/31/10382586/Facebook.Picu.Pernikahan. Dini. (18 Oktober 2011)

Kompas.com.(2011). Gara-gara Facebook Warga pun Bentrok [Online].13/03/2011. Tersedia:

http://health.kompas.com/read/2011/03/13/22263877/Gara-gara.Facebook.Warga.Pun.Bentrok (18 Oktober 2011)

Kompas.com.(2011). Tiap Menit Cek Ponsel Kebiasaan Baru Pemakai Ponsel [Online].15/08/2011.

Tersedia:http://health.kompas.com/read/2011/08/15/1149573/Tiap.Menit.Cek.Pon sel.Kebiasaan.Baru.Pemakai.Ponsel (18 Oktober 2011)

(22)

Kompas.com.(2010). FB dan SMS Picu Seks Bebas Remaja[Online].10/11/2010. Tersedia : http://health.kompas.com/read/2010/11/10/13242380/FB.dan.SMS.Picu.Seks.Beb as.Remaja. (18 Oktober 2011)

Sharingvision.biz. (2012). Stagnasi 2012 Survei Prediksi Pasar IT Indonesia.26/12/2011. Tersedia: http://www.sharingvision.biz/2011/12/26/stagnansi-2012-survei-prediksi-pasar-it-indonesia-2012/. (5 Desember 2011)

Kupersmith,J. Technostress in the Bionic Library. Originally published in Cheryl LaGuardia, ed., Recreating the Academic Library: Breaking Virtual Ground, (New York: Neal-Schuman, 1998), pp. 23-47.

Rosen, L.D. (2007). Me, My Space and I. New York : Palgrave Macmillan.

Rosen, L.D., Carrier, L.M., and Cheever, N.A. (2010). Rewired Understanding the iGeneration and the Way They Learn. New York : Palgrave Macmillan.

Salvucci, D.D., Taatgen, N.A. (2011). The Multitasking Mind. New York : Oxford University Press, Inc.

Spielberger, C.D., Sarason, I.G. (2005). Stress and Emotion Vol. 17 Anxiety Anger and Curiosity Stress and Emotion. New York : Taylor & Francis Group

Trauth, E.M.(2006). Encyclopedia of Gender And Information Technology. Hershey :

Idea Group Reference.

Weil, M.M. & Rosen, L.D. (1997). TechnoStress: Coping With Technology @WORK @HOME @PLAY. John Wiley and Sons.

Young, K.S., Abreu, C.N. (2011). Internet Addiction : A Handbook and Guide to Evaluation and Treatment. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.

Gambar

Gambar 1Prosedur Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini tidak sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Klasik. Menurut Klasik tabungan merupakan fungsi dari tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga tinggi pula keinginan

Dari pembahasan hasil aplikasi untuk penjadwalan produksi pada PT Goldfindo Intikayu Pratama, didapatkan hasil bahwa aplikasi penjadwalan produksi dapat membantu

Mengingat pentingnya APBD bagi pemerintah daerah untuk menjalankan aktivitas pemerintahan, maka sudah seharusnya APBD dapat disusun, disetujui bersama dan ditetapkan

Dengan memahami pola koneksi ini kita sudah bisa memakai breadboard untuk keperluan prototipe rangkaian sehingga dapat menempatkan komponen elektronik secara tepat

Oleh karena itu penelitian ini penulis memfokuskan untuk meneliti kembali hubungan antara profitabilitas dan kepemilikan keluarga terhadap penghindaran pajak, dengan mengambil

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di salah satu satuan kerja di Lingkungan

PAKET HEMAT FOTO DIGITAL DENGAN KAMERA PROFESSIONAL Fasilitas : Retaching Computerized Rekayasa dengan berbagai macam background sesuai permintaan dan efek Sephia Hitam

Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan, maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu “Terdapat hubungan antara kecerdasan linguistik dengan kecerdasan