KEJENUHAN BELAJAR PESERTA DIDIK
(Penelitian Eksperimen Kuasi terhadap Peserta Didik Kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Oleh
DIAN RAMADHANI 0901186
JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
DENGAN TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MEREDUKSI KEJENUHAN BELAJAR PESERTA DIDIK
(Penelitian Eksperimen Kuasi terhadap Peserta Didik Kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014)
Oleh Dian Ramadhani
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan
© Dian Ramadhani 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Desember 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Dian Ramadhani. (2013). Efektivitas Konseling Kognitif Perilaku dengan Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk Mereduksi Kejenuhan Belajar Peserta Didik (Penelitian Eksperimen Kuasi terhadap Peserta Didik Kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014).
Penelitian dilatarbelakangi oleh tingkat kejenuhan belajar pada peserta didik Madrasah Aliyah. Penelitian ini bertujuan menguji efektivitas konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didikkelas XII MA Al-Inayah Bandung. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode eksperimen kuasi. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah angket kejenuhan belajar, dan teknik analisis data yang digunakan adalah dengan statistik uji t. Hasil penelitian menunjukkan: (1) secara umum profil tingkat kejenuhan belajar berada pada kategori jenuh; (2) rancangan intervensi berfokus pada penurunan gejala kejenuhan belajar; dan (3) konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif efektif untuk mereduksi kejenuhan belajar. Rekomendasi penelitian ditujukan: (1) bagi konselor, agar secara aplikatif dapat melakukan langkah-langkah intervensi; (2) bagi pihak sekolah, perlu berperan aktif dalam pencegahan terjadinya kejenuhan belajar pada peserta didik; dan (3) bagi peneliti selanjutnya, untuk mengeksplorasi dinamika, faktor-faktor yang memengaruhi kejenuhan belajar, serta mencoba penggunaan teknik konseling lainnya dalam menangani kejenuhan belajar.
Dian Ramadhani. (2013). Effectiveness of Cognitive Behavior Counseling Using Cognitive Restructuring Technique to Reduce Students’ Burnout. (A Quasi Experimental Research on Students in Grade XII MA Al-Inayah Bandung Academic Year of 2013/2014).
The reason underlying this research was the Madrasah Aliyah students’ burnout level. The purpose of this research is to test effectiveness of Cognitive Behavior Counseling using Cognitive Restructuring technique to reduce the burnout level of XII grade students at MA Al-Inayah Bandung. This research employed quantitative approach with quasi experiment method. To collect the data, the students’ burnout questionnaire was distributed to the students. Besides, this research also used t test statistical data analysis. The result shows that: (1) generally, the profile of students’ burnout was on burnout; (2) the intervention program implemented in this research was focused on reducing the tendency of
students’ burnout level; and (3) the Cognitive Behavior Counseling using
Cognitive Restructuring technique was effective in reducing students’ burnout. In regard to the results above research, recommendation is intended to: (1) counselor, for practically, they can take the steps of interventions immediately; (2) for the school, so that they can significantly for contribute to prevent the burnout happen to the students; and (3) for the further researcher, need to explore the dynamics, the factor affects of students' burnout, and try to use another counseling technique to handle the burnout level.
A.Latar Belakang Penelitian
Kemajuan suatu bangsa merupakan cita-cita bagi seluruh negara. Salah satu
faktor pendukung kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan. Pendidikan
mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan dan perwujudan diri
individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara. Pendidikan merupakan
usaha yang terencana untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta
didik demi mencapai masa depan yang sukses dan berprestasi. Di dalam UU
No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian
pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sesuai dengan pengertian pendidikan nasional tersebut, secara umum
pendidikan bertujuan untuk menyediakan lingkungan yang memungkinkan peserta
didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal sehingga
dapat mewujudkan diri sesuai potensi dirinya. Kapasitas intelektual merupakan
bagian dari potensi yang dimiliki oleh peserta didik yang perlu dikembangkan.
Makmun (2009:102) mengungkapkan bahwa pada usia 13 tahun kapasitas
intelektual akan mengalami peningkatkan yang signifikan, dimana persentase taraf
kematangan dan kesempurnaan IQ (Intelegence quotient) seseorang mencapai 92
%. Pendidikan sudah seharusnya mampu mengeksplorasi kapasitas intelektual
yang dimiliki peserta didik yang dimanifestasikan dengan wawasan informasi
yang luas dan berkembangnya kapasitas berpikir.
Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam keseluruhan
proses pendidikan di sekolah. Berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan
banyak bergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami oleh peserta didik
sertaan dan semangat dari peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.
Menurut DePorter (2008:14) faktor pendukung keberhasilan proses pembelajaran
adalah suasana yang tidak membosankan serta aktivitas belajar yang membuat
peserta didik senang dan bahagia. Hal ini menunjukkan bahwa proses
pembelajaran hendaknya memenuhi kebutuhan dan harapan yang diinginkan oleh
peserta didik, dalam bentuk lancarnya proses pembelajaran serta tingginya minat
dan prestasi belajar peserta didik. Dalam rangka mengembangkan potensi peserta
didik secara optimal maka diselenggarakannya serangkaian kegiatan pembelajaran
yang bersifat formal, nonformal maupun informal dengan berbagai jenjang.
Madrasah Aliyah (MA) merupakan salah satu jenjang pendidikan yang
ditempuh oleh peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran secara
formal. Madrasah Aliyah berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan
Nasional dan pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Agama. Usia peserta
didik pada jenjang MA umumnya berusia 16-18 tahun. Peserta didik usia 16-18
tahun tergolong kedalam masa remaja. Istilah adolescence atau remaja berasal
dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”
(Hurlock, 1994:206).
Santrock (2004:26) menjelaskan adolescence sebagai masa perkembangan
transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis,
kognitif, dan sosial-emosional. Pikunas (Yusuf, 2008:184) menyatakan periode
remaja dipandang sebagai masa “strom and stres”, frustrasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan
teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa. Berdasarkan
pendapat tersebut remaja yang sedang dalam masa transisi menuju dewasa akan
banyak mengalami perubahan dalam dirinya, yang memungkinkan remaja terlibat
pada permasalahan-permasalahan dan rentan untuk terjadinya stres sehingga bisa
menjadi hambatan bagi remaja dalam berkembang.
Menurut Steinberg (Nasution, 2007:7) bahwa remaja sekitar usia 15–18
tahun mengalami banyak perubahan dari sisi kognitif, emosional, dan sosial,
berpikir lebih kompleks, secara emosional lebih sensitif, dan lebih sering
yang terjadi pada remaja membuat remaja mengalami konflik diri yang membuat
stres dan dituntut untuk dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan yang
dialaminya. Hambatan dan konflik dalam kehidupan remaja akan sangat
mengganggu kesehatan fisik dan emosi, menghancurkan motivasi dan
kemampuan menuju sukses di sekolah serta akan merusak hubungan pribadi
remaja. Senada dengan pendapat Hurlock (1994:221) sebagai berikut :
Remaja menunjukkan ketidaksenangannya terhadap tuntutan pendidikan dengan menjadi orang yang berprestasi rendah, dan bekerja dibawah kemampuan dalam setiap mata pelajaran atau dalam mata pelajaran yang tidak disukai. Terdapat remaja yang melakukan bolos sekolah dan berusaha memperoleh izin dari orang tua untuk berhenti sekolah sebelum waktunya atau berhenti sekolah ketika duduk di kelas terakhir tanpa merasa perlu untuk memperoleh ijazah.
Konflik diri yang membuat remaja stres pada proses belajar di sekolah
banyak dikarenakan adanya tuntutan dan harapan yang harus dipenuhi. Menurut
Hastuti (Setiawati, 2010:2) menjadi pelajar merupakan hal yang berat karena
banyak tuntutan dan tugas yang dibebankan oleh sekolah kepadanya. Tuntutan
dan harapan yang tinggi terhadap remaja untuk berprestasi di sekolah membuat
remaja tertekan dan mengalami ketegangan. Penelitian Walker (Nasution, 2007:6)
terhadap 60 orang remaja membuktikan bahwa beberapa penyebab utama
ketegangan dan masalah yang ada pada remaja berasal dari hubungan dengan
teman dan keluarga, tekanan dan harapan dari diri mereka sendiri dan orang lain,
serta tekanan di sekolah oleh guru dan pekerjaan rumah. Salah satu beban belajar
yang dapat menimbulkan stres pada remaja adalah jam belajar yang padat. Hal ini
sesuai dengan pendapat Musrofi (2010:13):
Kepadatan jam belajar peserta didik di Indonesia menempati peringkat 1 dengan 242 jumlah hari sekolah/tahun di atas Korea Selatan dengan 220 hari/tahun. Beban belajar ini dinilai sangat padat dan membebani peserta didik. Padahal kemampuan peserta didik dalam menerima dan menyerap pelajaran hanya 1/6 x /24 jam atau lebih kurang 4 jam dalam sehari. Jika peserta didik menerima beban belajar melebihi batas maksimum yang dapat mereka tangkap, maka yang timbul adalah stres.
Tuntutan jam belajar yang padat dapat menambah beban belajar bagi peserta
didik. Dan dapat dikatakan bahwa sekolah ikut berperan terhadap timbulnya stres
2010:2) terhadap peserta didik SMAN 5 Bandung tahun pelajaran 2006/2007 yang
menunjukkan stresor yang dominan pada peserta didik adalah aspek lingkungan
keluarga dan lingkungan sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan atau stres
dapat dialami remaja yang memiliki tugas sebagai seorang pelajar. Tingginya
tingkat stres terutama di sekolah menengah merupakan hal yang tidak
menguntungkan bagi peserta didik karena sebagian waktu mereka dihabiskan di
sekolah.
Bagi sebagian peserta didik, sekolah dengan segala elemennya justru
menjadi sesuatu yang menakutkan sehingga menimbulkan tekanan dan stres pada
peserta didik. Elemen yang dimaksudkan antara lain kurikulum yang dirasa terlalu
berat, cara mengajar atau perlakuan guru yang menekan, dan lingkungan
pergaulan sebaya yang tidak sehat (Munawaroh, 2011:4). Tekanan atau stres yang
berasal dari lingkungan sekolah inilah yang akan menghambat perkembangan
peserta didik, yang seharusnya menjadikan sekolah sebagai tempat yang nyaman
dan sehat bagi perkembangan fisik dan psikis peserta didik itu sendiri.
Stres yang tidak dikelola dengan baik dalam jangka waktu lama akan
menimbulkan kejenuhan. Sesuai dengan pendapat Silvar (2001:26) yang
menyatakan bahwa stres yang berkepanjangan akan menyebabkan seseorang
mengalami kejenuhan. Secara harfiah kejenuhan ialah padat atau penuh sehingga
tidak mampu lagi memuat apapun. Maslach & Leiter (1993:17) mendefinisikan
kejenuhan adalah hasil dari tekanan emosional yang konstan dan berulang, yang
diasosiasikan dengan keterlibatan yang intensif dalam hubungan antar personal
untuk jangka waktu yang lama. Chernis (1980:34) menjelaskan bahwa kejenuhan
(burnout) muncul dari adanya tuntutan kerja yang mengakibatkan ketegangan dan
stres yang lama sehingga menyebabkan kelelahan emosi, depersonalisasi, dan
menurunnya motivasi.
Menurut Schaufeli & Hu (2009:397) kejenuhan pada intinya adalah bekerja.
Peserta didik sebagai pelajar juga memiliki aktivitas bekerja yaitu belajar
sehingga rentan memiliki kecenderungan mengalami kejenuhan. Kejenuhan yang
terjadi dalam setting akademik yang sering dialami oleh peserta didik disebut
sebagai suatu kondisi dimana peserta didik mengalami keletihan fisik, emosional,
dan mental diakibatkan intensitas yang lama terhadap tuntutan akademis.
Penelitian yang dilakukan Skovholt (2003) menunjukkan sebagian besar faktor
pemicu kejenuhan pada kegiatan belajar adalah karena rutinitas yang tidak banyak
berubah dan cenderung monoton. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya
beban akibat tuntutan akademis dan keterlibatan intensif yang berulang pada
kegiatan belajar dalam kurun waktu tertentu merupakan kunci dalam menjelaskan
fenomena kejenuhan belajar yang dapat menimbulkan kelelahan secara emosional,
depersonalilsasi, dan menurunnya keyakinan akademik pada peserta didik.
Penelitian paling mutakhir tentang kejenuhan belajar di sekolah dilakukan oleh
Sugara (2011) dan Firmansyah (2012).
Penelitian mengenai fenomena kejenuhan belajar dilakukan oleh Sugara
(2011:97) pada peserta didik kelas XI SMA di SMA Angkasa Bandung tahun
pelajaran 2010/2011 ditemukan intensitas kejenuhan belajar peserta didik
sebanyak 15,32 % termasuk kategori tinggi, 72,97 % termasuk ke dalam kategori
sedang, dan 11,71 % termasuk ke dalam kategori rendah. Selanjutnya, penelitian
kejenuhan belajar dilakukan oleh Firmansyah (2012) terhadap peserta didik kelas
VIII di SMPN 1 Lembang tahun pelajaran 2011/2012 menggambarkan bahwa
14,6 % peserta didik berada pada tingkat kejenuhan belajar kategori tinggi, 72,9 %
peserta didik berada pada tingkat kejenuhan belajar kategori sedang, dan 12,5 %
peserta didik berada pada tingkat kejenuhan belajar kategori rendah.
Berdasarkan fenomena kejenuhan belajar yang banyak dialami peserta didik
pada jenjang sekolah menengah, tidak menutup kemungkinan kejenuhan belajar
juga dialami oleh peserta didik di Madrasah Aliyah. Pada Madrasah Aliyah (MA)
selain seperti sekolah menengah pada umumnya, muatan pendidikan agama Islam
yaitu Fiqih, Akidah, Akhlak, Al Quran, Hadits, Bahasa Arab dan Sejarah Islam
(Sejarah Kebudayaan Islam) merupakan porsi pelajaran tambahan di MA yang
dapat menambah beban tuntutan belajar dan keterlibatan yang intensif pada
kegiatan pembelajaran MA. Dan jenjang pada tingkat sekolah menengah yang
rentan mengalami kejenuhan belajar adalah kelas XII, sebab merupakan puncak
diri dan lingkungan peserta didik untuk kesuksesan akademik yaitu lulus sekolah
dan kelanjutan pendidikan pada tingkat yang lebih tinggi ataupun bekerja, yang
tak jarang dipersepsi sebagai tuntutan bagi peserta didik itu sendiri Kejenuhan
belajar yang dialami akan menimbulkan permasalahan-permasalahan belajar bagi
peserta didik itu sendiri.
Permasalahan belajar pada peserta didik di MA Al-Inayah Bandung
dirasakan oleh guru Bimbingan dan Konseling sebagai penghambat keberhasilan
akademik peserta didik. Terlebih lagi MA Al-Inayah Bandung merupakan sekolah
dalam naungan yayasan, yang sebagian muridnya juga harus belajar di Pesantren.
Sekolah yang memadukan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum ini
menuntut peserta didik mengikuti berbagai aktivitas sekolah dengan segala
tuntutan akademik dan juga mengikuti kegiatan keagamaan. Salah satu kegiatan
keagamaan dalam pondok pesantren Al-Inayah adalah mengajarkan Al-Qur’an
oleh peserta didik pada jenjang atas kepada peserta didik pada jenjang bawahnya.
Hal tersebut membuat peserta didik mengalami keterlibatan secara intensif
terhadap situasi emosional dan segala tuntutan lingkungan, sehingga rentan
menjadi penyebab peserta didik MA Al-Inayah Bandung mengalami kejenuhan
belajar.
Ketahanan dari setiap individu terhadap tuntutan lingkungan akan
berbeda-beda, namun setiap individu memiliki peluang yang sama besar mengalami
burnout (Sugara, 2013:97). Peserta didik yang tidak tahan dan tidak dapat beradaptasi dengan tuntutan belajar akan berimbas pada timbulnya permasalahan
dan performa akademik. Hal ini terbukti dengan penuturan guru BK MA
Al-Inayah saat diwawancarai, mengatakan pada Tahun Ajaran 2012/2013 terdapat
10% peserta didik yang tertinggal dan memutuskan untuk pindah sekolah karena
berat mengikuti sistem sekolah ini. Penuturan wakasek kurikulum MA Al-Inayah
mengungkapkan bahwa setiap tahun ada saja permasalahan yang dirasakan peserta
didik terhadap kurikulum MA, seperti peserta didik yang bermasalah dalam
bidang akhlak, daya juang yang rendah dalam tugas terutama menghafal
Lebih lanjut, studi pendahuluan terhadap permasalahan peserta didik di
kelas XII MA Al-Inayah Bandung adalah sebagai berikut: (1) malas
belajar/menghafal/membaca: 82,9%; (2) tidak konsentrasi/memperhatikan: 80 %;
(3) mengantuk di kelas: 52,8 %; (4) kurang percaya diri saat ulangan/belajar di
kelas: 30 %; (5) tidak memahami materi yang diajarkan guru: 28,6 %; (5) kurang
senang terhadap penyampaian guru: 28,6%; (6) suasana hati yang buruk saat
belajar: 27,1%; (7) menunda tugas: 25,7%; (8) makan sambil belajar di kelas: 12,9
%; (9) mencontek tugas teman: 11,4 %; (10) merasa lelah dengan waktu sekolah
hingga sore: 10% (11) bosan di kelas/pelajaran yang tidak disukai: 10% (12)
terbebani dengan pilihan setelah lulus: 10% (13) menganggap enteng suatu
pelajaran: 7,1 %; (14) memainkan HP saat belajar: 7,1 %.
Permasalahan tersebut merupakan kondisi serius yang dialami peserta didik,
terutama dalam proses pembelajaran di sekolah. Bimbingan dan konseling sebagai
bagian integral dari pendidikan, memiliki peranan yang sangat penting dalam
membantu peserta didik menemukan berbagai alternatif penyelesaian masalah
yang dirasakan. Dalam permasalahan akademik, upaya bimbingan dan konseling
yang diperlukan harus memiliki tujuan untuk mengatasi hambatan dan kesulitan
yang dihadapi peserta didik dalam proses pelaksanaan kegiatan belajar dan
penyesuaian dengan lingkungan pendidikan dengan segala tuntutannya.
Peserta didik yang mengalami kejenuhan belajar memerlukan penangan
dengan segera karena dapat menimbulkan perilaku-perilaku destruktif dan
menurunnya prestasi belajar. Bentuk rancangan layanan bimbingan dan konseling
yang dilakukan untuk menangani masalah kejenuhan belajar adalah layanan yang
bersifat responsif. Layanan responsif adalah layanan bimbingan yang bertujuan
untuk membantu memenuhi kebutuhan yang dirasakan sangat penting oleh peserta
didik saat ini (Nurihsan, 2005:33). Bantuan terhadap peserta didik yang
mengalami kejenuhan belajar merupakan kebutuhan penting dalam mengatasi
masalah belajar peserta didik. Strategi bimbingan dan konseling dalam menangani
kejenuhan belajar adalah melalui konseling akademik. Menurut Nurihsan
(2003:21) konseling akademik yaitu upaya membantu klien mengatasi kesulitan
sukses dalam belajar dan agar mampu menyesuaikan diri terhadap semua tuntutan
pendidikan.
Konseling diorientasikan kepada peserta didik agar dapat mengelola
stimulus yang datang, direspon dengan pikiran yang positif dan perilaku yang
lebih sesuai. Sesuai dengan pendapat Slameto (2010:4) yang menyatakan
pandangan seseorang tentang belajar akan mempengaruhi tindakan-tindakannya
yang berhubungan dengan belajar. Tuntutan akademik dipersepsi peserta didik
yang mengalami kejenuhan belajar sebagai sesuatu yang mengancam diri.
Sehingga salah satu cara menangani kejenuhan belajar adalah dengan
menggunakan pendekatan yang berfokus pada aspek kognitif, mengubah
pandangan negatif terhadap tuntutan akademik menjadi pikiran yang positif
merupakan intervensi yang dapat dilakukan.
Menurut Schaufeli & Enzman (1998:135) salah satu strategi konseling yang
dapat membantu menangani kejenuhan belajar adalah dengan menggunakan
pendekatan konseling kognitif perilaku. Diperkuat oleh penelitian yang dilakukan
Agustin (2009:251) menunjukkan bahwa model konseling kognitif perilaku
merupakan salah satu strategi intervensi yang efektif dalam menangani kejenuhan
belajar. Secara umum, konseling kognitif perilaku adalah suatu bentuk konseling
yang memadukan prinsip dan prosedur konseling kognitif dan konseling perilaku
dalam upaya membantu konseli mencapai perubahan perilaku yang diharapkan
(Ramli, 2005:43). Perubahan struktur kognitif pada diri peserta didik yang
mengalami kejenuhan belajar merupakan fokus intervensi yang utama dalam
konseling kognitif perilaku.
Salah satu teknik dalam konseling kognitif perilaku yang berfokus pada
aspek kognitif individu adalah restrukturisasi kognitif. Teknik restrukturisasi
kognitif digunakan untuk konseli yang memiliki masalah emotional distress,
disfungsi perilaku, mengalami distorsi kognitif, dan bagi konseli yang
memperlihatkan resistensi terhadap perubahan perilaku (Dobson & Dobson, 2009:
117). Pandangan negatif terhadap tuntutan akademik dari peserta didik yang
mengalami kejenuhan belajar merupakan bukti adanya distorsi kognitif yang
kejenuhan identik dengan distress, discontent, dan perasaan gagal untuk mencapai
tujuan ideal (Agustin, 2009:21). Teknik restrukturisasi kognitif memiliki asumsi
kejenuhan yang terjadi pada individu merupakan konsekuensi dari pikiran yang
salah suai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dobson (2001: 12) bahwa
restrukturisasi kognitif didasarkan pada asumsi emotional distress merupakan
akibat dari pikiran-pikiran yang salah suai. Dapat dikatakan bahwa perasaan dan
perilaku merupakan keterkaitan yang ditentukan oleh bagaimana peserta didik
dalam mengkonstruksi pikiran terhadap lingkungannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurmalasari (2011:172) menunjukkan
bahwa teknik restrukturisasi kognitif efektif menangani stres akademik. Diperkuat
oleh penelitian West et al. (Scaufeli & Enzman, 1998:137) menunjukkan hasil
yang positif terhadap penggunaan restrukturisasi kognitif sebagai salah satu teknik
yang dapat mengurangi gejala kejenuhan. Sehingga intervensi konseling kognitif
perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif dirancang untuk membantu peserta
didik yang mengalami kejenuhan belajar dengan memperbaiki konseptualisasi dan
kepercayaan yang tidak fungsional. Sehingga perlu dikembangkan penelitian
mengenai efektivitas konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi
kognitif dalam mereduksi kejenuhan belajar peserta didik.
B.Identifikasi dan Perumusan Masalah
Proses pembelajaran yang dilakukan secara berulang dan terus-menerus oleh
peserta didik, serta tekanan-tekanan baik dari dalam diri maupun lingkungannya
untuk mencapai prestasi belajar yang maksimal, membawa peserta didik pada
batas kemampuan jasmaniahnya. Peserta didik yang mengalami kejenuhan belajar
merasa terbebani dengan tuntutan akademik, merasa seakan-akan pengetahuan
dan kecakapan yang diperoleh dari belajar tidak ada kemajuan, dan kerapkali
menyebabkan peserta didik tidak bisa berkonsentrasi dalam belajar.
Menurut Pines (Maslach & Leiter, 1993:12) kejenuhan merupakan hasil dari
kegagalan dalam mencari makna terhadap pekerjaan. Kegagalan pencarian makna
terhadap belajar bagi peserta didik erat kaitannya dalam penggunaan pikiran Hal
kejenuhan sebagai pekerjaan terkait pikiran pada individu yang terutama ditandai
oleh kelelahan yang disertai dengan tekanan, rasa menurunnya efektivitas dan
penurunan motivasi, serta pengembangan sikap dan perilaku disfungsional. Oleh
karena itu kesalahan dalam mempersepsi tuntutan akademik dan keterlibatan yang
intensif pada peserta didik dalam kegiatan belajar, yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap kinerja dan prestasi belajar yang menurun. Diperkuat oleh
Makmun (2009:169) yang menjelaskan kejenuhan belajar sebagai
ketidakmampuan daya ingatan mengakomodasikan informasi atau pengalaman
baru, serta adanya perasaan bahwa hasil belajar tidak ada kemajuan untuk
beberapa waktu tertentu. Dalam pandangan pendekatan kognitif-perilaku,
kejenuhan belajar adalah bentuk respon dari hasil olah pemikiran dan perasaan
individu dalam mempertahankan diri dari stres yang berkepanjangan (defensive
coping) (Sugara, 2011:18).
Pines & Aronson (Silvar, 2001:22) menjelaskan kejenuhan sebagai
keletihan fisik, emosi, mental yang terjadi dalam waktu yang panjang atas
keterlibatan dengan orang-orang dalam berbagai situasi emosional yang
menegangkan. Peserta didik yang mengalami kejenuhan merasa kelelahan dalam
menghadapi keterlibatan yang intensif dari proses pembelajaran disertai beban
belajar yang berat dalam jangka waktu yang lama sehingga peserta didik merasa
tidak mengalami perubahan dari apa yang dipelajari. Kelelahan yang terjadi
diakibatkan dari persepsi negatif atau terjadi kekeliruan pemikiran peserta didik
dalam menginterpretasi tuntutan akademik dalam kurun waktu tertentu sehingga
menimbulkan ketegangan.
Peserta didik yang mengalami kejenuhan belajar menampilkan gejala lelah
secara emosi akibat adanya tuntutan belajar seperti perasaan tidak berdaya dalam
belajar, mengalami depersonalisasi atau berperilaku sinis seperti merasa tidak
adanya manfaat dari belajar, dan menurunnya keyakinan akademik seperti
berpikir tidak mampu dan berdaya sebagai pelajar. Kejenuhan yang terjadi pada
individu merupakan konsekuensi dari pikiran yang salah suai. Dapat dikatakan
bahwa perasaan dan perilaku merupakan keterkaitan yang ditentukan oleh
intensif dan juga tuntutan lingkungan. Sehingga gejala kejenuhan belajar termasuk
kedalam permasalahan emosional dan perilaku akibat adanya keyakinan yang
salah suai. Selanjutnya, Bush (2007) mengungkapkan “..cognitive behavior
therapy has become the preferred treatment for most emotional and behavior problems”. Bush (2007) mengemukakan bahwa masalah-masalah emosi dan perilaku yang cocok diintervensi dengan menggunakan konseling
kognitif-perilaku seperti stres, depresi, ‘burnout’, phobia, dan lain-lain.
Persepsi negatif terhadap tuntutan akademik diubah menjadi pikiran yang
lebih adaptif merupakan fokus intervensi dalam menangani permasalahan
kejenuhan belajar. Oleh karena itu layanan responsif yang tepat adalah melalui
konseling yang berfokus pada aspek kognitif. Agustin (2009:251) menjelaskan
konseling kognitif-perilaku merupakan strategi intervensi yang efektif dalam
menangani kejenuhan belajar. Konseling kognitif perilaku didasarkan pada asumsi
bahwa kognisi merupakan penentu utama mengenai bagaimana seseorang
merasakan dan berbuat (Corey, 1995:486).
Restrukturisasi kognitif merupakan teknik dalam konseling kognitif perilaku
yang berfokus pada proses kognitif yang akan menjadi faktor penentu dalam
menjelaskan bagaimana manusia berpikir dan bertindak. Teknik restrukturisasi
kognitif digunakan untuk konseli yang memiliki masalah emotional distress,
disfungsi perilaku, mengalami distorsi kognitif, dan bagi konseli yang
memperlihatkan resistensi terhadap perubahan perilaku (Dobson & Dobson, 2009:
117). Menurut Agustin (2009:21) gejala kejenuhan identik dengan distress,
discontent, dan perasaan gagal untuk mencapai tujuan ideal. Titik inti dari
restrukturisasi kognitif adalah perubahan tingkah laku melalui interaksi dengan
diri sendiri dan perubahan struktur kognitif.
Berdasarkan uraian diatas, teknik restrukturisasi kognitif dapat menjadi
kunci dalam melakukan treatment terhadap peserta didik yang mengalami
kejenuhan belajar. Maka rumusan masalah dalam penelitian adalah “Apakah
konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif efektif
digunakan untuk mereduksi kejenuhan belajar pada peserta didik kelas XII MA
Permasalahan tersebut diuraikan ke dalam bentuk pertanyaan penelitian
yang dirinci sebagai berikut:
1. Bagaimana profil kejenuhan belajar peserta didik kelas XII MA Al-Inayah
Bandung Tahun Ajaran 2013/2014?
2. Bagaimana rancangan intervensi melalui konseling kognitif perilaku dengan
teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didik
kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014?
3. Bagaimana efektivitas intervensi konseling kognitif perilaku dengan teknik
restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didik kelas
XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014?
C.Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah memperoleh gambaran empiris efektivitas
intervensi melalui teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan
belajar peserta didik kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.
Adapun tujuan khusus penelitian yaitu sebagai berikut:
1. Memperoleh data profil kejenuhan belajar yang dialami peserta didik kelas XII
MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.
2. Memperoleh rancangan intervensi konseling kognitif perilaku dengan teknik
restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didik kelas
XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.
3. Memperoleh efektivitas konseling kognitif perilaku dengan teknik
restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didik kelas
XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.
D.Manfaat Penelitian
1. Secara Teoretik
Menguji empirik penggunaan intervensi melalui konseling kognitif perilaku
dengan teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar
2. Secara Praktis
a. Bagi Guru BK/Konselor
Konselor mampu memahami dan menerapkan prosedur-prosedur yang tepat
dalam melaksanakan intervensi melalui konseling kognitif perilaku dengan
teknik restrukturisasi kognitif dalam mereduksi kejenuhan belajar peserta
didik.
b. Bagi Sekolah
Dapat menjadi gambaran bagi pihak sekolah dalam mengantisipasi
kejenuhan belajar pada peserta didik di sekolah.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Prosedur pelaksanaan intervensi melalui teknik restrukturisasi kognitif
dalam mereduksi kejenuhan belajar peserta didik dapat digunakan oleh
peneliti selanjutnya untuk memperdalam kajian kejenuhan belajar dan
intervensi penanganannya.
E.Asumsi dan Hipotesis Penelitian
1. Asumsi Penelitian
a. Jacobs et al. (2003) yang mengatakan bahwa beban akademis yang berlebihan
memiliki hubungan yang positif dengan kejenuhan belajar yang dialami oleh
peserta didik.
b. Kejenuhan digambarkan sebagai sindrom yang terdiri dari tiga dimensi yaitu
kelelahan emosional (emotional exhaustion), Sinisme (cynicism), dan
menurunnya keyakinan (low efficacy) (Maslach, Jackson, & Leiter 1996).
c. Gejala kejenuhan identik dengan distress, discontent, dan perasaan gagal untuk
mencapai tujuan ideal (Agustin, 2009:21).
d. Restrukturisasi kognitif didasarkan pada asumsi emotional distress merupakan
akibat dari pikiran-pikiran yang salah suai. (Dobson, 2001: 12)
e. Restrukturisasi kognitif digunakan untuk konseli yang memiliki masalah
emotional distress, disfungsi perilaku, mengalami distorsi kognitif, dan bagi
konseli yang memperlihatkan resistensi terhadap perubahan perilaku. (Dobson
f. Penggunaan restrukturisasi kognitif menunjukkan hasil yang positif sabagai
salah satu teknik yang dapat mengurangi gejala kejenuhan (West et al.;
Scaufeli & Enzman, 1998:137).
2. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, maka hipotesis penelitian adalah:
“konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif efektif digunakan untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didik”.
F.Struktur Organisasi Skripsi
Rancangan penulisan skripsi terdiri dari 5 bab, sebagai berikut: Bab I
pendahuluan, yang mengungkapkan latar belakang penelitian, identifikasi dan
rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
asumsi dan hipotesis penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II konsep teori,
berisi tinjuan pustaka mengenai teori-teori yang berhubungan dengan variabel
permasalahan yang diteliti. Bab III metode penelitian, yang meliputi lokasi dan
subjek penelitian, desain penelitian, metode penelitian, definisi operasional
variabel, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, serta teknik
analisis data. Bab IV hasil penelitian dan pembahasan, yang terdiri dari hasil
penelitian, pembahasan hasil penelitian, dan juga keterbatasan penelitian. Bab V
kesimpulan dan rekomendasi, yang berisi uraian kesimpulan dari hasil penelitian
A.Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Madrasah Aliyah Al Inayah Kota Bandung yang
berlokasi di Jalan Cijerokaso No. 63 Kel. Sarijadi Kec. Sukasari. Populasi pada
penelitian adalah seluruh peserta didik yang secara administratif terdaftar dan
aktif dalam pembelajaran di kelas XII MA Al Inayah Bandung. Berikut disajikan
mengenai populasi penelitian.
Tabel 3.1 Populasi Penelitian
Tahun
Ajaran Kelas Jumlah
2013/2014
XII IPA 26
XII IPS 1 21 XII IPS 2 23
Total 70
Pertimbangan pemilihan lokasi dan populasi adalah sebagai berikut.
1. Ditemukannya permasalahan belajar yang dialami peserta didik melalui studi
pendahuluan yang menunjukkan perilaku dari gejala kejenuhan belajar seperti
malas belajar/menghafal/membaca, tidak konsentrasi/memperhatikan,
mengantuk di kelas, kurang percaya diri saat ulangan/belajar di kelas, tidak
memahami materi yang diajarkan guru, suasana hati yang buruk saat belajar,
menunda tugas, terbebani dengan pilihan setelah lulus.
2. Adanya fenomena peserta didik yang tertinggal dan memutuskan untuk pindah
sekolah karena tidak dapat mengikuti sistem sekolah MA pada Tahun Ajaran
2012/2013 yang mencapai 10% peserta didik.
3. Intensitas waktu pembelajaran yang padat, mengingat adanya porsi tambahan
muatan pendidikan agama dalam pembelajaran MA. Muatan pendidikan agama
Islam tersebut yaitu Fiqih, akidah, akhlak, Al Quran, Hadits, Bahasa Arab dan
Sejarah Islam (Sejarah Kebudayaan Islam) yang menambah tuntutan belajar
merupakan sekolah dalam naungan yayasan, yang sebagian muridnya juga
harus belajar di Pesantren membuat peserta didik rentan mengalami kejenuhan.
4. Belum adanya program BK secara khusus untuk menangani kejenuhan belajar
di MA Al Inayah Bandung.
5. Belum pernah dilakukan penelitian sejenis di MA Al Inayah Bandung.
6. Peserta didik pada jenjang kelas XII berada pada masa remaja yang rentan
terhadap perilaku salah suai dalam menyikapi segala tuntutan akademik yang
diberikan. Senada dengan pendapat Hurlock (1994:221) bahwa remaja
menunjukkan ketidaksenangannya terhadap tuntutan pendidikan dengan
menjadi orang yang berprestasi rendah, dan bekerja dibawah kemampuan
dalam setiap mata pelajaran atau dalam mata pelajaran yang tidak disukai.
7. Serta pada kelas XII merupakan puncak keterlibatan terhadap proses
pembelajaran dan mulai adanya harapan tinggi dari diri dan lingkungan peserta
didik untuk kesuksesan akademik yaitu lulus sekolah dan kelanjutan
pendidikan pada tingkat yang lebih tinggi ataupun bekerja, yang tak jarang
dipersepsi sebagai tuntutan bagi peserta didik itu sendiri.
Sampel dalam penelitian adalah sebagian atau wakil dari populasi yang
diteliti. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling/
atau sampel bertujuan. Purposive sampling (sampel bertujuan) yaitu teknik
pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012:124).
Pengambilan sampel melalui teknik purposive sampling dilakukan dengan cara
mengambil subjek bukan berdasarkan strata, random atau daerah tetapi
berdasarkan adanya tujuan tertentu (Arikunto, 2010:183). Dengan menggunakan
teknik purposive sampling, peneliti dapat mengambil sampel dengan tujuan
tertentu, tetapi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi (Arikunto, 2010:183).
1. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik
tertentu, yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.
2. Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang
paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi (key
3. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat didalam studi
pendahuluan.
Sampel yang dimaksutkan dalam penelitian ini adalah peserta didik Kelas
XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014 yang secara umum
memiliki skor tingkat kejenuhan belajar termasuk dalam kategori tinggi
berdasarkan hasil analisis pretest instrumen kejenuhan belajar.
Berikut disajikan tabel mengenai subjek penelitian:
Tabel. 3.2 Subjek Penelitian
Keterangan Total
Peserta Didik
Populasi 70
Sampel 38
Kelompok Eksperimen 15
Kelompok Kontrol 15
B.Desain Penelitian
Desain yang digunakan adalah pre- and posttest design by control group.
Terdapat dua kelompok yang dibentuk berdasarkan hasil pre-test peserta didik
yang termasuk pada kategori jenuh, kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Adapun kelompok kontrol
merupakan kelompok pembanding. Kelompok eksperimen diberi perlakuan
intervensi melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi
kognitif. Kedua kelompok dikenakan oleh pengukuran sebanyak dua kali sebelum
dan sesudah diberikan perlakuan (Creswell, 2012:310).
Data pretest dan posttest diambil melalui instumen untuk mengungkap
tingkat gejala kejenuhan belajar peserta didik. Skema model penelitian kuasi
eksperimen dengan pre- and posttest design by control group adalah sebagai
Sumber: Creswell (2012:310)
Keterangan:
O = kondisi Pre-test kelompok eksperimen X = tindakan intervensi (eksperimental treatment) O = kondisi Post-test kelompok eksperimen O = kondisi Pre-test kelompok kontrol
O = kondisi Post-test kelompok kontrol
C.Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif. Penelitian kuantitatif menurut Sugiyono (2013:118) yaitu:
Digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk mebguji hipotesis yang telah ditetapkan.
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh data mengenai tingkat
kejenuhan belajar peserta didik dan efektivitas konseling kognitif perilaku dengan
menggunakan teknik restrukturisasi kognitif sebagai intervensi untuk mereduksi
gejala kejenuhan belajar peserta didik.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi Experimental.
Bentuk eksperimen ini merupakan pengembangan dari True Experimental Design.
Metode Kuasi Eksperimen ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat
berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang
mempengaruhi pelaksanaan eksperimen (Sugiyono, 2013: 114).
D.Definisi Operasional Variabel (DOV) Penelitian
Terdapat dua variabel utama penelitian yaitu kejenuhan belajar dan teknik
restrukturisasi kognitif. Definisi variabel diuraikan sebagai berikut. O X O
...
1. Definisi Konseptual Kejenuhan Belajar
Menurut Maslach, Jackson & Leiter (1996:209) burnout is a state of
exhaustion in which one is cynical about the value of one's occupation and
doubtful of one's capacity to perform. Kejenuhan dijelaskan Maslach, Jackson &
Leiter sebagai keadaan kelelahan yang mana seseorang bersikap sinis terhadap
nilai pekerjaan dan meragukan kapasitas diri untuk mengerjakannya. Maslach
(1993:20) menjelaskan kejenuhan sebagai sindrom yang terdiri dari tiga dimensi
yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi
(depersonalization), dan menurunnya prestasi pribadi (reduced personal
accomplishment). Menurut Cherniss (1980) kejenuhan adalah suatu keadaan
kelelahan fisik, mental, sikap dan emosi individu karena keterlibatan yang intensif
dengan pekerjaan dalam jangka waktu yang panjang. Dalam Maslach Burnout
Inventory Student Survey (MBI-SS) kejenuhan belajar ditandai oleh gejala merasa
kelelahan (exhaustion) akibat tuntutan akademik, bersikap sinis (Cynism) berupa
jarak mental terhadap yang berkaitan dengan belajar serta keyakinan akademik
(Academic Efficacy) yang menurun.
2. Definisi Operasional Kejenuhan Belajar
Kejenuhan belajar dalam penelitian ini, didefinisikan sebagai kondisi
psikologis yang dialami oleh peserta didik Kelas XII MA Al-Inayah Bandung
Tahun Ajaran 2013/2014 akibat adanya keterlibatan yang intensif dalam jangka
panjang terhadap tuntutan akademik yang memunculkan kelelahan emosional,
depersonalisasi atau sikap sinis dan menurunnya keyakinan akademik yang
ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut.
a. Kelelahan emosional: merasa bersalah terhadap hasil belajar; merasa gagal
dalam belajar; mudah tersinggung terhadap yang berkaitan dengan belajar;
mudah cemas dalam belajar; menyalahkan orang lain terhadap hasil belajar;
merasa dikejar-kejar waktu dalam mengerjakan tugas belajar; dan merasa lelah
dengan kegiatan belajar
b. Sinis atau Depersonalisasi: enggan terlibat aktif dalam kegiatan belajar;
tugas belajar; ragu terhadap yang dipelajari; dan mengalihkan diri dari kegiatan
belajar.
c. Menurunnya keyakinan akademik: berkurangnya motivasi dalam belajar;
kehilangan semangat belajar; usaha belajar berkurang; dan merasa tidak
percaya diri dalam belajar.
3. Definisi Konseptual Restrukturisasi Kognitif
Restrukturisasi kognitif merupakan salah satu teknik yang berfokus pada
modifikasi pikiran-pikiran yang maladaptif pada individu (Dobson & Dobson,
2009:115). Penggunaan teknik restruturisasi kognitif menurut Dobson, Keith S.
(2010:381) pertama membantu konseli menyadari pernyataan diri, harapan, atau
keyakinan yang menggambarkan cara berpikir yang tidak membantu tentang diri,
dunia, dan/atau masa depan, kemudian membimbing konseli untuk
mempertimbangkan hubungan antara pikiran negatif dan pengalaman emosional
konseli. Akhirnya, konselor dan konseli bekerja sama dalam berbagai cara untuk
mengidentifikasi, membuat, dan menguji cara berpikir yang lebih adaptif.
4. Definisi Operasional Restrukturisasi Kognitif
Teknik restrukturisasi kognitif pada penelitian ini merupakan upaya yang
dilakukan oleh peneliti terhadap konseli peserta didik Kelas XII MA Al-Inayah
Bandung Tahun Ajaran 2013/2014 yang berfokus pada modifikasi pikiran-pikiran
yang menimbulkan respon-respon perilaku dan emosi yang tidak adaptif akibat
dipengaruhi oleh keyakinan dan persepsi negatif terhadap tuntutan akademis
dengan pemikiran yang lebih adaptif dan positif. Tahapannya adalah sebagai
berikut:
a. identifikasi pikiran-pikiran negatif.
Konselor membantu peserta didik untuk menyadari disfungsi pikiran-pikiran
yang peserta didik miliki dan memberitahukan secara langsung kepada konselor.
Peserta didik didorong untuk kembali pada pengalaman dan melakukan refleksi
b. pengumpulan pikiran negatif
Konselor mendorong peserta didik untuk menemukan hubungan antara
pikiran negatif dan pengalaman emosional dengan cara mengumpulkan dan
merekam pikiran serta respon perasaan dan juga tindakan yang dilakukan peserta
didik dalam suatu situasi yang menimbulkan kejenuhan dalam belajar. Berikut
format rekaman pikiran yang dapat diisi oleh peserta didik dan dapat dimodifikasi
sesuai kebutuhan.
Tabel 3.3
Format Rekaman Pikiran
Situasi Pikiran Otomatis
Emosi (diberi tingkat intensitas 0-100)
Kecenderungan Tindakan
c. intervensi pikiran negatif agar menjadi positif.
Intervensi pikiran-pikiran negatif bertujuan untuk memodifikasi pikiran
peserta didik. Diberikan kepada peserta didik apabila konselor sudah
mendapatkan banyak informasi mengenai pikiran-pikiran negatif peserta didik
yang telah terkumpul dalam thought record yang kemudian diuji dengan
pertanyaan yang sokratik oleh konselor. Dalam hal ini konselor dan peserta didik
bekerja sama dalam menguji cara berpikir yang negatif, yang selanjutnya
dimodifikasi menjadi pikiran yang lebih positif dan konstruktif. Pengujian
tersebut mengacu pada bukti pikiran negatif, penyadaran hubungan pikiran negatif
dengan reaksi emosi, penemuan pikiran-pikiran yang berkaitan dengan pola
respon perilaku/tindakan yang dilakukan konseli. Dan pada akhirnya peserta didik
dapat menemukan alternatif-alternatif pikiran yang lebih adaptif dan menemukan
pengaruh dari cara berpikir positif.
E.Instrumen Penelitian
1. Penyusunan Instrumen
Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian
mengungkap gejala kejenuhan belajar peserta didik kelas XII MA Al-Inayah
Bandung. Setiap pernyataannya dikembangkan dari definisi operasional variabel
dalam bentuk pernyataan yang menggambarkan dinamika gejala kejenuhan
belajar peserta didik.
Angket yang digunakan adalah angket berstruktur dengan bentuk jawaban
tertutup. Angket bentuk ini merupakan angket yang jawabannya telah tersedia dan
responden hanya menjawab setiap pernyataan dengan cara memilih alternatif
jawaban yang telah disediakan (Arikunto, 2010:195). Pengumpulan data
dilakukan menggunakan angket berupa skala guttman dengan alternatif jawaban
“ya-tidak” atas pertimbangan bahwa perlu ketegasan untuk menentukan tingkat kejenuhan belajar yang dialami oleh peserta didik. Menurut Sugiyono (2013:139)
pengukuran dengan skala guttman akan didapati jawaban yang tegas sehingga
diperoleh data interval atau rasio dikhotomi (dua alternatif).
2. Pengembangan Kisi-kisi
Kisi-kisi instrumen untuk mengungkap gejala kejenuhan belajar,
dikembangkan dari definisi operasional variabel penelitian. Kisi-kisi instrumen
Gejala Kejenuhan Belajar disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 3.4
Kisi-kisi Instrumen Gejala Kejenuhan Belajar
Variabel Aspek Indikator No.Item Σ
Kejenuhan
yang berkaitan dengan belajar 8,9,10,11 4 4. Mudah cemas dalam belajar 12,13,14,15 4 5. Menyalahkan orang lain terhadap
hasil belajar 16,17,18 3
6. Merasa dikejar-kejar waktu
dalam mengerjakan tugas belajar 19,20,21,22 4 7. Merasa lelah dengan kegiatan
belajar 23,24,25 3
Sinis atau depersonalisasi
8. Enggan terlibat aktif dalam
kegiatan belajar 26,27,28,29 4
9. Menganggap enteng suatu pelajaran
30,31,32,33,
10.Merasa terbebani dengan
banyaknya tugas belajar 35,36,37 3 11.Ragu terhadap yang dipelajari 38,39,40,41 4 12.Mengalihkan diri dari kegiatan 16.Merasa tidak percaya diri dalam
belajar
58,59,60,61, 62 5
Jumlah seluruh item 62
3. Pedoman Skoring
Instrumen gejala kejenuhan belajar menggunakan skala Ya (YA) dan Tidak
(TDK). Menurut Agustin (2009:86) pertimbangan menggunakan ya dan tidak
adalah karena perlu adanya ketegasan untuk menentukan kadar kejenuhan belajar
seseorang. Selain itu, kritik yang disampaikan oleh Scaufeli et al. (2002) terhadap
instrumen kejenuhan yang dikembangkan oleh Maslach yang cenderung tidak
tegas sehingga menyebabkan hasil yang diperoleh menjadi bias dan tidak sesuai
dengan tujuan yang diharapkan. Keseluruhan instrumen menggunakan pernyataan
positif dengan penyekoran alternatif jawaban yaitu jawaban “YA” diberi skor 1
dan “TDK” diberi skor 0. Kriteria penyekoran instrumen gejala kejenuhan belajar sebagai berikut.
Tabel 3.5
Kriteria Penyekoran Instrumen Gejala Kejenuhan Belajar
Alternatif Jawaban Skor
YA 1
TDK 0
F.Proses Pengembangan Instrumen 1. Uji Validitas
Validitas merupakan tingkat kesesuaian hasil yang dimaksudkan instrumen
dengan tujuan yang diinginkan oleh suatu instrumen (Creswell, 2012). Sebuah
instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan
(Arikunto, 2010:211). Uji validitas dalam penelitian terdiri dari uji kelayakan
a. Uji Kelayakan Instrumen
Instrumen yang telah disusun diuji untuk mengetahui kelayakannya dari segi
bahasa, konstruk dan isi. Penimbangan uji kelayakan Instrumen dilakukan oleh
tiga dosen ahli, yaitu dengan meminta pendapat dosen ahli untuk memberikan
penilaian pada setiap item dengan kualifikasi Memadai (M) dan Tidak Memadai
(TM). Item yang diberi nilai M berarti item tersebut bisa digunakan dan item yang
diberi nilai TM memiliki dua kemungkinan yaitu item tersebut tidak bisa
digunakan atau masih bisa digunakan dengan revisi.
Hampir seluruh item pada angket gejala kejenuhan belajar termasuk
memadai. Terdapat item-item yang perlu diperbaiki dari segi bahasa dan isi.
Secara konstruk, indikator kelelahan fisik dihilangkan atas pertimbangan sulit
diukur karena terlalu klinis. Hasil penimbangan dari tiga dosen ahli dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya item-item pernyataan dapat digunakan dengan
beberapa perbaikan redaksi agar mudah dipahami peserta didik. Selain itu,
penimbangan lain adalah mengenai alternatif jawaban yang diubah menjadi dua
alternatif jawaban yaitu Iya dan Tidak atas pertimbangan bahwa perlu ketegasan
untuk menentukan tingkat kejenuhan belajar yang dialami oleh peserta didik.
b. Uji Keterbacaan
Uji keterbacaan instrumen dilakukan terhadap empat orang peserta didik
Kelas XII MA Negeri 1 Bandung yang tidak diikutsertakan dalam sampel
penelitian dan memiliki karakteristik yang hampir sama dengan sampel penelitian.
Uji keterbacaan dimaksudkan untuk melihat sejauhmana keterbacaan instrumen
oleh responden peserta didik Kelas XII sebelum digunakan untuk kebutuhan
penelitian. Hasil uji keterbacaan oleh empat orang peserta didik menunjukkan
bahwa item pada angket gejala kejenuhan belajar sudah dapat dipahami.
c. Uji Coba Butir Item Instrumen
Pengujian validitas dilakukan terhadap seluruh butir item pada instrumen
yang mengungkap gejala kejenuhan belajar peserta didik. Pengujian vaiditas butir
item dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi skor setiap butir item
bentuk korelasi dari Pearson yang digunakan dalam situasi peubah prediktor yang
bersifat dikhotomus (Furqon, 2008:107).
Rumus:
Sumber: Furqon (2008:107)
Dengan keterangan:
: koefisien korelasi biserial titik : rata-rata kelompok p
: rata-rata seluruh subjek
: simpangan baku untuk seluruh subjek : proporsi subjek kelompok p
: proporsi subjek kelompok q
Semakin tinggi nilai validitas soal menunjukkan semakin valid instrument
tersebut digunakan dilapangan. Signifikansi diperoleh dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
Sumber: Furqon (2008:223)
Dengan keterangan :
t = harga thitung untuk tingkat signifikansi r = koefisien korelasi
n = banyaknya subjek
Setelah diperoleh nilai thitung, langkah selanjutnya adalah membandingkan
dengan ttabel untuk mengetahui tingkat signifikansinya dengan ketentuan thitung >
ttabel.
Pengujian validitas instrumen kejenuhan belajar dilakukan dengan
menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2007. Hasil pengujian validitas
instrumen gejala kejenuhan belajar peserta didik dengan menggunakan rumus
korelasi biserial didapati dari 62 item pernyataan yang disusun, 48 item yang
dinyatakan valid pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil uji validitas instrumen
adalah sebagai berikut.
Secara lebih jelas, hasil perbandingan uji signifikansi antara nilai thitung dengan ttabel (Terlampir).
2. Uji Reliabilitas
Relabilitas merujuk pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen cukup
dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen
tersebut sudah baik (Arikunto, 2010:221). Pengujian reliabilitas bertujuan untuk
mengukur sejauh mana suatu instrumen mampu menghasilkan skor-skor secara
konsisten. Uji reliabilitas instrumen gejala kejenuhan belajar peserta didik
Pengujian reliabilitas instrumen kejenuhan belajar dilakukan dengan
menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2007. Hasil uji reliabilitas
terhadap instrumen gejala kejenuhan belajar peserta didik menunjukkan relibilitas
sebesar 0,855. Sebagai tolok ukur, digunakan klasifikasi rentang koefisien
reliabilitas sebagai berikut (Sugiyono, 2012: 257) :
Tabel 3.7
Interpretasi Reliabilitas
Koefisien Korelasi Kriteria reliabilitas 0,00 – 0,199 Sangat rendah 0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Cukup
0,60 – 0,799 Tinggi 0,80 – 1,00 Sangat tinggi
Sehingga tingkat derajat keterandalan instrumen gejala kejenuhan belajar
peserta didik setelah dilakukan uji reliabilitas adalah sangat tinggi, oleh karena itu
instrumen gejala kejenuhan belajar peserta didik mampu menghasilkan skor
secara konsisten.
G.Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini dirumuskan tiga pertanyaan penelitian. Secara
berurutan, masing-masing pertanyaan penelitian dijawab dengan cara sebagai
berikut.
1. Pertanyaan penelitian pertama mengenai gambaran tingkat kejenuhan belajar
pada peserta didik MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014 dijawab
dengan menggunakan persentase dari jawaban peserta didik terahadap angket
kejenuhan belajar. Dilakukan dengan cara menjumlahkan skor pada setiap
peserta didik kemudian mencari rata-rata (µ) untuk memberikan makna
diagnostik terhadap skor. Langkah ini dilakukan untuk memberikan kategori
kejenuhan belajar peserta didik dengan kategori jenuh dan tidak jenuh seperti
Tabel 3.8
Kriteria Skor Kejenuhan Belajar
No Kriteria Kategori
1 x ≥ 19 Jenuh 2 x < 19 Tidak Jenuh
2. Pertanyaan penelitian dua mengenai rancangan intervensi konseling kognitif
perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif dalam mereduksi kejenuhan
belajar peserta didik disusun berdasarkan hasil pre-test. Rancangan intervensi
melalui teknik restrukturisasi kognitif terdiri atas rasional, tujuan program,
asumsi intervensi, prosedur teknik restrukturisasi kognitif, langkah-langkah
implementasi pelaksanaan program, sasaran intervensi, pelaksanaan sesi
intervensi, evaluasi dan indikator keberhasilan, serta tindak lanjut program.
Uji kelayakan (judgement) dilakukan untuk rancangan intervensi yang telah
dibuat.
3. Pertanyaan penelitian tiga dirumuskan ke dalam hipotesis:
“Konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif efektif dalam mereduksi kejenuhan belajar”
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan statistik uji t, yaitu
melalui analisis statistik uji t independen (independent sample t-test) dengan
menggunakan SPSS 20.0 for windows. Sebelum dilakukan uji t, langkah
pengujian efektifitas dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varians
dengan menggunakan SPSS 20.0 for windows.
Uji normalitas untuk mengetahui apakah hasil penelitian berdistribusi
normal atau tidak, pengujian normalitas data pada penelitian ini adalah
Kolmogrov–Smirnov atau Shapiro-Wilk Test. Uji homogenitas varians
dilakukan dengan tujuan melihat apakah varians kedua kelompok sama yaitu
apakah peserta didik berasal dari populasi dengan karakteristik yang sama,
pengujian homogenitas varians kedua kelas dengan menggunakan uji
Levence’s Test dengan taraf signifikansi 5%. Pengambilan keputusan untuk
mengetahui perbedaan dilakukan dengan cara, membandingkan nilai
data yang digunakan berdistribusi normal atau homogen dan jika probabilitas
< 0,05 maka data yang digunakan tidak berdistribusi normal atau tidak
homogen.
Pengujian efektivitas konseling kognitif perilaku dengan teknik
restrukturisasi kognitif dalam mereduksi kejenuhan belajar peserta didik diuji
dengan metode indenpendent sample t-test menggunakan software SPSS 20.0
for windows. Dasar pengambilan keputusan efektivitas adalah dengan melihat
perbandingan nilai Sig. (2-tailed) α, yaitu jika nilai Sig. (2-tailed) < α (0,05).
Dan diperkuat melalui pengujian dari perubahan tiap kelompoknya dengan
menggunakan metode paired sample t-test menggunakan software SPSS 20.0
for windows. Adapun dasar pengambilan keputusan efektivitas adalah dengan
melihat perbandingan hasil t hitung dengan t tabel, dimana terdapat
penurunan yang signifikan apabila t hitung lebih besar dari t tabel (thitung >
ttabel)
Selain itu, dilakukan juga perbandingan capaian skor kejenuhan belajar
peserta didik kelompok eksperimen sebelum dan sesudah diberi perlakuan
(treatment) melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restruktrisasi
154
A.Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Secara umum profil kejenuhan belajar yang dialami peserta didik kelas XII
MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014 berada pada kategori jenuh.
Artinya kejenuhan belajar sudah menjadi gejala faktual yang ada dalam
kehidupan akademis khusunya di sekolah Madrasah Aliyah.
2. Rancangan intervensi melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik
restrukturisasi kognitif dalam mereduksi kejenuhan belajar terdiri atas rasional,
tujuan program, asumsi intervensi, prosedur teknik restrukturisasi kognitif,
langkah-langkah implementasi pelaksanaan program, sasaran intervensi,
pelaksanaan sesi intervensi, evaluasi dan indikator keberhasilan, serta tindak
lanjut program.
3. Intervensi melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi
kognitif dalam mereduksi kejenuhan belajar menunjukkan hasil yang efektif.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata akhir kelompok
eksperimen dengan rata-rata akhir kelompok kontrol. Terdapat penurunan yang
signifikan pada kelompok eksperimen. Adanya juga perbedaan yang signifikan
hampir di semua indikator gejala kejenuhan belajar, kecuali indikator mudah
tersinggung terhadap yang berkaitan dengan belajar, sikap menyalahkan orang
lain dalam belajar, perasaan terbebani dengan banyaknya tugas belajar, dan
sikap mengalihkan diri dari kegiatan belajar.
B.Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian mengenai penanganan kejenuhan belajar
melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif,
1. Bagi Konselor
Berdasarkan hasil penelitian, intervensi melalui konseling kognitif perilaku
dengan teknik restrukturisasi kognitif efektif dalam mereduksi gejala kejenuhan
belajar. Agar lebih aplikatif, konselor perlu melakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. konselor mengawali langkah dengan melakukan need assesment terhadap
peserta didik melalui angket kejenuhan belajar untuk melihat bagaimana profil
kejenuhan yang dialami peserta didik.
b. program konseling dibuat berdasarkan hasil need asessment sehingga
rancangan program sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
c. konselor perlu melakukan kontrak konseling dengan peserta didik (konseli)
supaya mampu berkomitmen untuk mengikuti proses konseling dari tahap awal
sampai tahap akhir.
d. konselor melatih konseli dalam mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif
konseli yang berkaitan dengan situasi belajar yang menimbulkan kejenuhan,
selanjutnya mampu memonitor pikiran dan perasaan, hingga akhirnya dapat
melakukan intervensi pikiran negatif dengan menguji cara berpikir yang
negatif yang selanjutnya dimodifikasi menjadi pikiran yang lebih positif dan
konstruktif.
e. setelah itu langkah terakhir, konselor mengukur kembali tingkat kejenuhan
belajar setelah dilakukan intervensi dengan penyebaran angket kejenuhan
belajar kepada peserta didik untuk mengetahui perubahan yang terjadi.
2. Bagi Pihak Sekolah
Hasil penelitian menunjukkan peserta didik Kelas XII MA Al-Inayah
Bandung mengalami kejenuhan belajar yang didominasi pada kategori tinggi.
Sekolah perlu berperan aktif dalam pencegahan terjadinya kejenuhan belajar pada
peserta didik. Sentuhan yang diberikan pengajar kepada peserta didik ternyata
tidak cukup hanya yang bersifat pengembangan intelektual saja tetapi pendekatan
inovasi dalam melakukan pengajaran dan bimbingan agar belajar tidak terasa
monoton bagi peserta didik.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil skor gejala kejenuhan belajar peserta didik menunjukkan penurunan
yang signifikan setelah pemberian intervensi konseling kognitif perilaku dengan
teknik restrukturisasi kognitif. Agar semakin lengkap dan terpercaya, peneliti
selanjutnya perlu untuk lebih detail mengeksplorasi dinamika dan faktor-faktor
yang mempengaruhi kejenuhan belajar dengan melakukan wawancara dan
observasi terhadap karakteristik pribadi, faktor dukungan sosial, pola asuh, dan
faktor beban akademis dari masing-masing peserta didik, serta perlu sekiranya
diteliti mengenai perbedaan gender dalam mengalami kejenuhan belajar. Peneliti
selanjutnya juga perlu menindaklanjuti variabel penelitian mengenai faktor
penyebab terjadinya kejenuhan belajar sehingga menjadi tema penelitian yang
utuh. Eksplorasi dan analisis perubahan kondisi peserta didik akan lebih optimal
apabila peneliti selanjutnya dapat melakukan intervensi dalam adegan individual,
sehingga pemilihan metode single subject research dan sampel yang lebih sempit
dalam case study sangat direkomendasikan bagi peneliti selanjutnya. Disamping
itu, peneliti selanjutnya dapat mencoba penggunaan model terapi kognitif perilaku
lainnya dalam menangani kejenuhan belajar seperti stress inoculation training,
Aderanti, R.A. & Hassan, T. (2011). Differential Effectiveness of Cognitive Restructuring and Self-Management in the Treatment of Adolescents’ Rebelliousness. The Romanian Journal of Psychology, Psychotherapy and Neuroscience, 1(1), 193-217
Agustin, M. (2009). Model Konseling Kognitif-Perilaku Untuk Menangani Kejenuhan Belajar pada Mahasiswa. Disertasi Program Pasca Sarjana Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Al-Makahleh & Ziadat. (2012). Social Intelligence and Personal Characteristics of Talented Secondary School Student in King Abdullah II School for Excellence, Jordan. Educational Research (ISSN: 2141-5161) Vol. 3(10) pp. 785-798.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Astuti, et al. (2010). Pengaruh Terapi Kognitif Restrukturisasi Terhadap Penurunan Skor Depresi Pada Pesien Gangguan Jiwa. Jurnal Keperawatan Soedirman, Vol. 5 No. 3.
Bakker, A., Schaufeli, W.B., Sixma, H.J., Bosveld, W. & Van Dierendonck, D. (2000). Patient demands, lack of reciprocity and burnout: A five year longitud'il study among general practitioners. Journal of Organisational Behavior, 56,12-34.
Blanc, P. & Scaufeli, W. (2008). Burnout Interventions: An Overview And Illustration. In: Handbook of Stress and Burnout in Health Care, Nova Science Publisher, Inc.
Borritz, M. (2006). Burnout and Human Service Work: Causes and Consequences. Results of 3 Years of Follow up of the PUMA Study among Human Service. Denmark: National Institute of Occupational Health.
Burke, Koyuncu, & Fiksenbaum. (2010). Burnout, Work Satisfaction And Psychological Well Being Among Nurses In Turkish Hospitals. Europe’s Journal of Psychology: Pp. 63-81.