• Tidak ada hasil yang ditemukan

NUKLIR SEBAGAI BASIS KEENERGIAN MARKAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NUKLIR SEBAGAI BASIS KEENERGIAN MARKAS"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

NUKLIR SEBAGAI BASIS KEENERGIAN MARKAS KOMANDO UTAMA

ARMADA ANGKATAN LAUT SORONG

I Wayan Ngarayana

Pusat Standardisasi & Mutu Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Serpong, 15314 Email: ngarayana@batan.go.id

ABSTRAK

NUKLIR SEBAGAI BASIS KEENERGIAN MARKAS KOMANDO UTAMA ARMADA ANGKATAN LAUT SORONG. Kajian ini bertujuan melihat efektivitas penggunaan nuklir jika digunakan untuk mendukung pembangunan fasilitas komando armada angkatan laut baru yang direncanakan terletak di Sorong, Papua Barat. Dalam hal ini nuklir dapat digunakan sebagai energi final untuk sistem propulsi kapal perang, dan sebagai energi primer guna membangkitkan listrik dan/atau hidrogen. Analisis dalam penelitian ini dilakukan secara teknoekonomi dengan basis data yang dikumpulkan dengan metode secondary analysis dan official statistics. Perhitungan keekonomian selanjutnya dilakukan dengan mengikuti asumsi -asumsi tertentu guna membandingkan antara keekonomian penggunaan sistem keenergian berbasis nuklir terhadap sistem keenergian berbasis fosil. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa energi nuklir layak diterapkan untuk mendukung operasional komando armada angkatan laut yang akan dibangun di Sorong.

Kata kunci: Angkatan Laut, Pusat Komando, Keekonomian, Energi Nuklir, Hidrogen.

ABSTRACT

NUCLEAR AS ENERGY BASIS OF THE NAVY MAIN HEADQUARTERS COMMAND IN SORONG. This research examines the effectiveness of the use of nuclear energy to support the new Indonesian navy central command facilities that planned to be located in Sorong, West Papua. In this case nuclear can be used as final energy for warship propulsion system, and as a primary energy to generate electricity and/or hydrogen. The analysis in this research is conducted by cost-effectiveness method research design, which based on data obtained from secondary analysis and official statistics. Calculation of cost-effectiveness is done by following certain assumption for comparing between the economical use of nuclear-based energy system to fossil-nuclear-based energy system. The results of this research indicate that nuclear energy is reasonable to support the operation of that new navy central command facilities.

Key words: Navy, Central Command, Cost-effectiveness, Nuclear Energy, Hydrogen.

PENDAHULUAN

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) menjadi salah satu institusi pengaman laut hanya dapat melakukan tugasnya secara optimal jika didukung oleh berbagai fasilitas yang memadai. Saat ini Markas Komando Utama Angkatan Laut (Koarmabal) hanya terpusat di Jakarta (Markas Komando Utama Wilayah Barat) dan Surabaya (Markas Komando Utama Wilayah Timur). Kementrian Pertahanan sedang melakukan kajian dalam upaya desentralisasi kekuatan dengan melakukan restrukturisasi Koarmabal menjadi tiga, yaitu Markas Komando Utama Bagian Barat (Koarmabar), Bagian Tengah (Koarmateng) dan Bagian Timur (Koarmatim)[1]. Khusus untuk Koarmatim direncanakan akan ditempatkan di wilayah Sorong, Papua Barat[1].

Secara demografi, pertumbuhan penduduk Kabupaten Sorong, Kota Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan tercatat cukup tinggi yaitu sebesar 4,75%. Laju pertumbuhan penduduk di Sorong tercatat lebih tinggi dari pada pertumbuhan penduduk secara keseluruhan di Papua Barat yang mencapai 3,69%[2].

(2)

2

dengan Malaysia yang mencapai 4.246 kWh per kapita dan Singapura yang mencapai 8.404 kWh per kapita[5].

Menurut data yang dipublikasikan oleh Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Sorong, untuk tahun 2014 Papua Barat mampu memproduksi minyak bumi sebesar 3,32 Milyar Barel dan gas bumi sekitar 1.249 MMSCFD yang dihasilkan dari 3 perusahaan, yaitu Pertamina, Petrochina dan British Petroleum[6]. Sorong juga menyimpan potensi batubara yang cukup besar dengan total perkiraan potensi mencapai 13 juta ton[7]. Papua Barat sendiri memiliki potensi batubara sebanyak 218 juta ton [7]. Sorong, dan Manokwari terindikasi sumber energi baru dan terbarukan berupa 3 titik panas bumi dengan potensi sebesar 75 MW, potensi biomassa sebesar 150 MW, potensi gelombang laut sebesar 12 MW dan potensi energi air 22.350 MW[8]. Sorong juga tercatat memiliki potensi energi surya, namun relatif kecil akibat lingkungan yang sering kali berawan, sedangkan untuk energi angin kurang menjanjikan[8]. Meski demikian, upaya pemenuhan kebutuhan energi yang sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan ekonominya tidaklah mudah. Topologi wilayah merupakan salah satu penghambat utama dalam usaha eksploitasi sumber energi tersebut. Kontur wilayah Papua yang berbukit mengakibatkan beban biaya pembangunan infrastruktur menjadi sangat besar.

Pembangunan Koarmatim akan memerlukan pasokan energi yang besar. Pasokan energi dibutuhkan untuk operasional administratif, kebutuhan personal para prajurit , staf pendukung, dan operasional alutsista. Pembangunan Koarmatim harus mempertimbangkan logistik penyediaan energi dengan baik sehingga dapat menjamin keberlangsungan pasokan energinya. Kondisi geografis Indonesia bagian timur yang didominasi oleh perairan laut dalam, jumlah infrastruktur penunjang yang terbatas dan berbagai parameter-parameter unik lainnya juga harus dijadikan pertimbangan dalam pembangunan basis keenergian. Oleh karena itu, kajian ini dilakukan untuk menganalisis sistem keenergian yang mungkin diterapkan dalam usaha mewujudkan suplay chain energi optimal bagi usaha pembangunan dan operasi Koarmatim di Sorong dengan memasukkan opsi energi nuklir di dalamnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan secara teknoekonomi dengan menekankan pada aspek ketahanan energi (energy security). Kajian teknoekonomi melibatkan data yang dikumpulkan dari pihak ketiga dengan metode secondary analysis dan official statistics. Perhitungan teknoekonomi hanya dibatasi pada perbandingan dua sistem keenergian yaitu sistem keenergian berbasis nuklir dan sistem keenergian berbasis fosil. Sistem keenergian operasional armada angkatan laut yang paling vital terletak pada supply chain bahan bakar sistem alustsista (alat utama sistem pertahanan) yang meliputi kapal perang, kapal patrol i, sistem persenjataan, sistem komunikasi dan radar. Sistem keenergian untuk seluruh komponen ini tidak boleh terganggu untuk meningkatkan daya tangkal baik dalam bidang pertahanan maupun pengamanan laut.

Pada saat ini, sistem keenergian untuk operasional komponen utama menggunakan energi primer dalam bentuk bahan bakar minyak. Dengan cadangan minyak bumi Indonesia yang menipis maka kebutuhannya harus dipenuhi dengan impor. Di sisi lain juga terjadi pergeseran teknologi alutsista yang mengarah pada kebutuhan energi yang semakin besar yang di beberapa negara maju mengarah pada teknologi hidrogen fuel cell. Oleh karena itu perhitungan perbandingan teknoekonomi dilakukan dengan membandingkan siklus hidup (life cycle) sistem keenergian yang menggunakan nuklir terhadap yang berbasis fosil, yaitu minyak bumi.

ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

Kebutuhan Energi Markas Komando Armada

(3)

3

Estimasi kebutuhan listrik dalam mendukung kegiatan administratif dan operasi pada Koarmatim di Sorong dapat diperkirakan dari tren energi listrik yang dibutuhkan pada Koarmabal yang sudah ada saat ini. Menurut Kuathan Departemen Pertahanan, pembangunan armada baru harus didukung oleh pasokan listrik ≥ 1000 kVA untuk setiap gedungnya[1]. Sehingga jika terdapat 10 gedung dan instalasi, maka diperlukan daya sekitar 10 MW.

Untuk kebutuhan MFO, HSD dan bensin yang harus dialokasikan sangat bergantung dari jumlah kendaraan dan alutsista yang akan dioperasikan. MFO diperlukan untuk bahan bakar kapal perang yang umumnya berukuran besar. HSD atau solar, digunakan untuk kapal patroli berukuran kecil dan juga kendaraan tempur yang berbasis mesin diesel. Sedangkan bensin hanya diperlukan untuk kendaraan transportasi pendukung seperti mobil dinas, dan sepeda motor para personel. TNI AL saat ini mengoperasikan 147 buah KRI, 70 buah KAL, 2 unit kapal selam dan 293 kapal patroli keamanan laut[1]. Sedangkan menurut Buku Putih Pertahanan, Indonesia harus mencapai standar kekuatan pokok minimum dengan dukungan minimal 274 KRI[9]. Hanya saja dengan kondisi perekonomian Negara, Kemhan hanya menargetkan tercapainya Minimum Essentials Force (MEF) yang terdiri dari 190 KRI pada 2024[10]. Dengan asumsi markas komando armada di Sorong akan beroperasi setelah tahun 2024, dan dengan semua kapal perang ini terdistribusi merata pada tiga armada serta logistik bahan bakarnya terpusat pada markas komando armada masing-masing, maka satu armada akan dibebani dengan tanggung jawab penyediaan bahan bakar untuk sekitar 63 KRI, 30 KAL, 1 Kapal Selam dan 125 kapal patroli. Data Kemenhan menyatakan bahwa satu buah KRI berukuran > 100 gross ton menghabiskan 300 kilo liter dan 93 kilo liter (kapal kecil) selama 7 hari operasi[1]. Dengan asumsi semua kapal perang serta kapal patroli mengkonsumsi bahan bakar dengan sejumlah tersebut di atas dan setiap kapal dioperasikan efektif selama 6 bulan dalam 1 tahun, maka 1 armada akan memerlukan pasokan bahan bakar sekitar 676, 8 juta liter bahan bakar untuk KRI, KAL dan kapal selam, serta 280 juta liter bahan bakar untuk kapal patroli. Jika diasumsikan dalam operasionalnya diperlukan 300 buah kendaraan dinas dengan bahan bakar yang dibatasi hanya 10 liter bensin per hari, maka dalam setahun juga akan diperlukan sekitar 1 juta liter.

Keterbatasan Energi Fosil

Permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah tata kelola perminyakan yang tidak efisien sehingga menyebabkan semakin menipisnya produksi migas dalam negeri dan pada akhirnya memicu peningkatan impor. Peningkatan impor minyak bumi secara langsung berpengaruh terhadap kondisi anggaran keuangan Negara. Dengan anggaran dan pasokan bahan bakar terbatas, Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa hanya 40% alutsista TNI yang dapat dioperasikan, padahal pada tahun 2013 TNI juga tercatat menanggung beban hutang bahan bakar pada Pertamina sebesar Rp. 8 T[11].

Usaha jangka pendek memecahkan masalah kekurangan bahan bakar alutsista tentu saja dengan meningkatkan anggaran bahan bakar. Hanya saja anggaran bukan satu-satunya parameter yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. BPPT memperkirakan cadangan produksi minyak Indonesia tinggal 12 tahun lagi sehingga akan meningkatkan impor bahan bakar[12]. Ketergantungan pada impor berbahaya dari segi logistik militer, dan juga membebani devisa negara.

Posisi Sorong cukup jauh dari kilang minyak yang ada. Posisinya tersebut membuat logistik penyediaan bahan bakar menjadi panjang sehingga kurang ekonomis. Kondisi tersebut juga memiliki potensi gangguan yang lebih besar jika terjadi perang. Karena itu perlu digagas terobosan baru dalam menyelesaikan masalah keenergian untuk pembangunan armada baru tersebut.

Nuklir Sebagai Opsi Sumber Energi

(4)

4

Penggunaan nuklir sebagai sumber energi dalam militer pertama kali diterapkan oleh Amerika Serikat dalam bentuk sistem propulsi untuk kapal selam nuklir Nautilus[14]. Dalam perkembangannya, penggunaan nuklir tidak hanya sebatas kapal selam, tetapi juga kapal permukaan seperti untuk kapal induk dan kapal penjelajah. Dari 470 kapal perang nuklir yang pernah diproduksi di dunia, Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki kapal perang nuklir terbanyak, yang kemudian diikuti Rusia, Inggris, Prancis, China dan juga India[14].

Selain untuk sistem propulsi, energi nuklir juga telah dikembangkan untuk aspek lain dalam dunia militer, seperti misalnya untuk menghasilkan listrik, uji material, pengembangan aerospace, dan juga untuk memproduksi hidrogen. Hidrogen merupakan energy carrier masa depan yang sedang marak dikembangkan oleh negara-negara maju untuk kepentingan sipil dan militernya. Hidrogen dan teknologi fuel cell dianggap sebagai pilihan paling menarik pasca era energi fosil[15]. Nuklir dan hidrogen menjadi pilihan yang paling menjanjikan karena alutsista masa depan seperti sistem radar, senjata laser dan electromagnetic rail gun menuntut kebutuhan daya yang diprediksi mencapai 20-30 MW pada tahun 2020 ke atas[16]. Oleh karena itu, secara garis besar sistem keenergian nuklir untuk militer dapat diarahkan untuk sumber daya propulsi atau memproduksi listrik dan/atau hidrogen. Energi sisa dari propulsi nuklir pada saat kapal perang nuklir tidak dioperasikan atau pada saat beban dayanya tidak digunakan secara optimal juga dapat di-bypass untuk menghasilkan listrik dan/atau hidrogen[17].

Perencanaan pembangunan Koarmatim di sorong dapat mengoptimalkan setiap opsi pilihan sistem keenergian nuklir yang ada. Reaktor nuklir dapat dibangun secara khusus untuk menghasilkan listrik dan/atau hidrogen guna mencukupi kebutuhan listrik pusat komando dan juga penyiapan infrastruktur untuk mendukung alutsista masa depan. Selain itu, pengadaan kapal perang nuklir baik berupa kapal selam dan/atau kapal permukaan juga cukup memungkinkan. Kelebihan daya dari kapal perang nuklir tersebut selanjutnya juga dapat di-baypas untuk memasok kebutuhan listrik markas komando dan/atau memproduksi hidrogen.

Keekonomian Kapal Perang Nuklir

Pembangunan kapal perang nuklir memerlukan investasi teknologi dan industri pendukung yang jauh lebih besar dari pada untuk kapal perang konvensional. Biaya kapital suatu kapal perang akan menjadi semakin membengkak jika suatu tipe atau kelas kapal hanya diproduksi dalam unit terbatas, bukan produk massal.

Biaya tetap pengoperasian dan pemeliharaan adalah biaya yang harus dikeluarkan secara berkala dalam kurun waktu operasional kapal. Biaya ini antara lain mencakup biaya pemeliharaan rutin, biaya pegawai atau operatornya dan juga biaya administrasi. Biaya operasi dan pemeliharaan antara kapal perang konvensional dan kapal perang nuklir memiliki sedikit perbedaan. Pengoperasian kapal perang nuklir memerlukan personel yang harus tersertifikasi khusus. Sehingga umumnya biaya operasional dan pemeliharaan kapal perang nuklir juga cenderung lebih tinggi.

Kapal perang nuklir yang didesain dengan bahan bakar Uranium yang diperkaya mencapai 80% dapat beroperasi tanpa proses refueling sampai dengan 30 tahun. Sedangkan jika digunakan bahan bakar berpengayaan sekitar 20%, maka kapal perang tersebut dapat beroperasi tanpa refueling sekitar 5 tahun[17]. Terlepas dari pengayaan tinggi atau rendah yang menyebabkan lamanya waktu refueling kapal perang nuklir, pada kenyataannya biaya bahan bakar nuklir tidak berpengaruh signifikan terhadap total biaya operasional kapal, sehingga dalam banyak asumsi perhitungan biaya bahan bakar biasanya dimasukkan ke dalam biaya kapital.

Hal yang berbeda terjadi pada kapal perang konvensional. Komponen biaya terbesar pengoperasiannya biasanya terletak pada biaya bahan bakar. Konsumsi bahan bakar akan berfluktuasi sesuai dengan lama operasi, pengaturan kecepatan kapal, umur mesin dan juga harga minyak dunia. Semakin lama kapal tersebut dioperasi kan maka bahan bakar yang diperlukan juga semakin banyak. Kondisi pengoperasian seperti proses akselerasi serta tingkat kecepatan operasi kapal juga sangat berpengaruh. Kapal tua dengan kondisi mesin yang sudah tidak optimal juga cenderung lebih boros bahan bakar.

(5)

5

Biaya lain yang perlu diperhitungkan adalah biaya variabel non bahan bakar, seperti misalnya biaya untuk pelumas, bahan kimia, komponen fast move yang diperlukan secara variabel yang biasanya mengikuti beban operasional.

Untuk menjamin sisa bahan bakar dan komponen reaktor kapal perang nuklir tidak mencemari lingkungan, maka diperlukan proses dekomisioning khusus. Proses dekomisioning kapal perang nuklir selalu lebih mahal dari pada proses dekomisioning kapal perang konvensional. Biaya dekomisioning kapal perang nuklir bahkan dapat mencapai puluhan kali lipat biaya kapal perang konvensional.

Dengan menggunakan asumsi seperti di atas serta dengan dukungan data dari Jane’s Fighting Ship, US Congressional Budget Office, dan Kuathan Departemen Pertahanan, selanjutnya dilakukan perhitungan perbandingan keekonomian kapal perang nuklir terhadap kapal perang konvensional sehingga diperoleh hasil sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel - Perbandingan keekonomian kapal perang perang nuklir dan konvensional

Jenis Tipe Capital

- (✪) biaya bahan bakar nuklir sudah tercakup dalam biaya kapital - semua biaya dalam juta US$

- asumsi umur operasi efektif 40 tahun, kecuali kapal induk 50 tahun

- asumsi harga bahan bakar minyak US$ 1 per liter dan mengalami kenaikan 1% per tahun

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa secara keekonomian semua kapal perang nuklir akan memakan biaya total yang jauh lebih besar dari kapal perang diesel konvensional. Kapal selam tipe Los Angeles yang bertenaga nuklir hanya mampu menyaingi keekonomian tipe 209/1300 jika harga minyak mengalami kenaikan sebesar 6,7% per tahun, atau dengan skenario lain jika harga minyak dihitung flat pada harga US$ 4,56 per liter. Sedangkan untuk kapal induk tipe Nimitz hanya akan dapat menyaingi tipe John F. Kennedy yang konvensional jika harga minyak bumi naik mencapai 7,6% per tahun atau pada saat harga minyak menjadi hampir 2 kali lipat setiap 10 tahun sekali. Untuk kapal jenis destroyer bertenaga nuklir akan mencapai keekonomiannya jika terjadi kenaikan bahan bakar minyak sebesar 3,4% per tahun. Sedangkan untuk tipe Amphibi kelas WASP dan Whidbey Island nuklir sudah mampu menyaingi keekonomian tipe konvensionalnya jika terjadi kenaikan harga minyak masing-masing 1,7% dan 4,7% per tahun.

Meski keekonomian kapal perang nuklir lebih mahal dari kapal perang konvensional, namun Angkatan Laut Amerika Serikat lebih menyukai pengoperasian kapal perang nuklir karena secara kualitatif memiliki keunggulan yang tidak dapat di saingi oleh kapal perang berbahan bakar fosil[18].

Kapal selam nuklir sangat disukai untuk operasi laut dalam dan area “blue ocean” karena mampu beroperasi tanpa khawatir proses refueling. Kapal selam nuklir juga dapat beroperasi dengan kecepatan yang mencapai 2 kali lipat kapal selam konvensional. Di samping itu, kapal selam nuklir sama sekali tidak perlu muncul ke permukaan untuk mengambil oksigen guna kebutuhan pembakaran mesin sebagaimana halnya kapal selam konvensional. Kapal selam nuklir hanya perlu ke permukaan untuk tujuan pemenuhan persediaan makanan para krunya.

(6)

6

keunggulannya[18]. Keunggulan-keunggulan yang tidak mampu ditandingi oleh kapal perang permukaan konvensional antara lain kemampuan akselerasi, mempertahankan kecepatan tinggi, menyediakan seluruh pasokan daya tanpa kendala untuk alutsista baru yang memerlukan daya besar, dapat beroperasi secara instan, mampu mempertahankan posisi dengan lebih baik saat lepas landas dan landing pesawat meski dalam cuaca buruk, dapat menampung logistik lebih banyak, dan masih banyak kelebihan lain yang tidak dapat ditandingi kapal perang konvensional.

Reaktor Nuklir Untuk Listrik dan Hidrogen

Salah satu reaktor nuklir yang bisa dikembangkan untuk menghasilkan listrik dan juga hidrogen adalah Very High Thermal Reactor (VHTR). Menurut Financial Times Deutschland, VHTR berdaya 2400 MWth mampu memproduksi listrik sekitar 216 MWe atau memproduksi hidrogen dan oksigen dari proses hibrida sebesar masing-masing 580 ton dan 2320 ton per hari[19]. Pembangunan VHTR berdaya 2400 MWth memerlukan biaya konstruksi dan dekomisioning sebesar US$ 3,34 milyar, biaya run test US$ 400 juta, biaya operasi tetap US$ 32 juta, biaya operasional variabel sebesar US$ 95 juta dan biaya bahan bakar sebesar US$ 129 juta selama 30 tahun masa operasi[19].

Selanjutnya keekonomian produksi hidrogen/listrik dihitung berlandaskan pada parameter di atas dan dengan asumsi dana pembangunan pabrik dianggap 100% bersumber dari pinjaman bank; bank memberikan bunga flat sebesar 7,5% per tahun; pembangunan memerlukan waktu 5 tahun dan pada saat konstruksi perus ahaan hanya membayar bunga; dan pokok hutang dibayar secara bertahap secara flat selama 25 kali . Harga hidrogen dicari dengan menyamakan Internal Rate of Return (IRR) terhadap besarnya bunga bank. Kajian teknoekonomi dengan parameter tersebut memperlihatkan bahwa proyek pembangunan pabrik hidrogen dengan VHTR layak dilakukan dengan harga keekonomian hidrogen US$ 2,55/kg atau harga jual listrik US$ 0,093/kWh. Nilai jual listrik dan hidrogen dari VHTR flat karena tidak mengalami fluktuasi harga bahan bakar dan juga harga air sebagai feed stock -nya. Menurut data Departemen Energi Amerika Serikat, harga hidrogen yang diproduksi dari proses steam reforming gas alam berbanding lurus dengan harga gas[20]. Dengan memadukan data produksi hidrogen dari steam reforming tersebut terhadap hasil perhitungan yang dilakukan, keekonomian hidrogen dari VHTR akan sudah tercapai jika harga gas alam di atas US$ 9/MMBTU. Saat ini gas alam Indonesia yang diekspor ke beberapa negara tujuan seperti China dan Jepang dihargai di atas US$ 10/MMBTU, sehingga hal tersebut berarti produksi hidrogen dengan menggunakan nuklir sebagai energi primernya sudah mencapai nilai keekonomian. Dilihat dari perbandingan harga listriknya dengan harga listrik PLN (Mei 2015) yang berada di kisaran Rp. 1100 – Rp 1500 per kWh, VHTR juga menghasilkan listrik dengan harga yang kompetitif.

Alutsista serta Infrastruktur Pendukung Berbasis Hidrogen dan Listrik

Dengan harga listrik dari nuklir yang sangat kompetitif terhadap harga listrik PLN, maka dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan nuklir sebagai energi primer guna memasok kebutuhan listrik instalasi, alutsista dan juga infrastruktur pendukung Koarmatim sangat memungkinkan dari sisi keekonomian.

Hanya saja, keekonomian untuk sistem keenergian yang melibatkan hidrogen sebagai energy carrier-nya masih memerlukan proses perhitungan lebih lanjut. Keekonomian sistem keenergian alutsista berbasis hidrogen tidak dapat disimpulkan hanya dari harga hidrogen yang diproduksi, tetapi juga harus melihat komponen harga produksi, operasional dan pemeliharaan alutsista berbasis hidrogen, serta keberadaan infrastruktur pendukungnya. Secara umum keekonomian teknologi hydrogen fuel cell (H2FC) masih terkendala pada beberapa hal, seperti permasalahan teknologi penyimpanan hidrogen, umur membran fuel cell yang relatif singkat dan juga biaya produksi yang lebih mahal dari teknologi konvensional[21]. Namun demikian, teknologi dan keekonomian H2FC mengalami perkembangan yang sangat pesat dari tahun ke tahun. Keekonomian H2FC sudah mencapai US$47/kW pada tahun 2012 dan ditargetkan akan melampaui angka US$ 30/kW pada tahun 2017 untuk dapat lebih bersaing dengan teknologi mesin bakar[21].

(7)

7

dalam proses elektrolisis guna menghasilkan hidrogen; yang kedua, memanfaatkan listrik yang dihasilkan dari suatu kapal perang nuklir saat kapal tersebut bersandar di dermaga atau pada saat beroperasi dengan daya minimal; dan ketiga hidrogen dihasilkan dengan proses hibrida dari reaktor VHTR sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya.

Dalam melakukan perhitungan keekonomian ini digunakan rumusan �� . %���� =

. . �, dengan Wt adalah daya total mesin, (%load) adalah persentase beban daya rerata operasional, adalah efisiensi mesin, δ adalah densitas bahan bakar dan f adalah jumlah bahan bakar yang diperlukan. Menurut data dari Adamson, pada tahun 2005 mesin diesel memiliki parameter volume unit 1,1 ft3/kW, massa unit 27,2 lb/kW, efisiensi pada beban daya 50% sebesar 16%, dan harga per satuan daya sebesar US$ 1600/ Kwa[22]. Sedangkan nilai parameter mesin berteknologi fuel cell pada tahun yang sama tercatat memiliki volume unit 2 ft3/kW, massa unit 40 lb/kW, efisiensi pada beban daya 50% sebesar 40%, dan harga keekonomian US$ 1500/Kwa[22]. Perhitungan keekonomian selanjutnya dapat dilakukan dengan menggunakan parameter nilai tersebut dan juga dengan asumsi bahwa mesin dioperasikan 12 jam sehari, 365 hari dalam setahun, densitas energi bahan bakar minyak sebesar 8,60 kWh/kg dengan massa jenis 0,84 kg/liter, harga minyak US$ 1/liter, serta densitas energi hidrogen sebesar 33,9 kWh/kg dan dengan harga hidrogen mengikuti harga hidrogen dari masing-masing hasil skenario. Perhitungan ini mengasumsikan bahwa tidak akan ada kendala pada permasalahan densitas volumemetrik hidrogen.

Pada skenario pertama dan kedua, parameter harga proses elektrolisis mengikuti data-data berikut. Harga peralatan elektrolisis berkapasitas 20 Nm3/jam atau sekitar 1,7 kg/jam dengan efisiensi 25% sebesar US$ 99.000, reciprocating compressor berkapasitas 4,2 kg/jam seharga US$ 52.000, storage vessel berkapasitas 135 kg seharga US$ 200.000 dan tube trailer berkapasitas 300 kg seharga US$ 170.000[15]. Sedangkan pada skenario ketiga mengikuti parameter biaya dan hasil perhitungan produksi hidrogen dari VHTR sebagaimana yang sudah disajikan di atas.

Perhitungan untuk skenario pertama dilakukan dengan asumsi perbandingan alutsista bermesin bakar konvensional terhadap alutsista H2FC berdaya 169,2 kW dan dioperasikan selama 30 tahun. Dengan asumsi tersebut diperoleh hasil bahwa alutsista H2FC sama sekali belum ekonomis. Selisih biaya total antara keduanya bahkan mencapai US$ 983.000.

Perhitungan skenario kedua dilakukan dengan mengkombinasikan parameter biaya sebagaimana perbandingan biaya kapal perang nuklir dan konvensional di atas. Sedangkan kapasitas mesin konvensional yang dibandingkan mengikuti jumlah hidrogen yang dapat dihasilkan oleh masing-masing jenis kapal perang nuklir. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa sistem keenergian kapal perang nuklir yang dikombinasikan dengan alutsista berbasis H2FC secara keseluruhan masih belum bisa bersaing dengan sistem konvensional. Hanya saja penerapan sistem ini berpotensi meningkatkan keekonomian kapal perang nuklir secara keseluruhan. Bahkan untuk kapal perang amphibi kelas WASP , penerapan skenario ini berpotensi membuatnya jauh lebih ekonomis dari versi konvensionalnya, yaitu dengan potensi keuntungan mencapai lebih dari US$ 100 juta selama umur operasinya.

Skenario ketiga memperlihatkan bahwa penggunaan sistem keenergian hidrogen berbasis nuklir sangat menguntungkan. Reaktor VHTR yang mampu memproduksi 580 ton hidrogen per hari dapat memasok alutsista berbasis H2FC dengan daya total mencapai 20 MW untuk 12 jam operasinya setiap hari sepanjang tahun. Dengan tetap mengasumsikan terjadi kenaikan harga minyak yang mencapai 1% per tahun, sistem keenergian alutsista berbasis nuklir dan H2FC berpotensi menekan biaya yang mencapai sepersepuluh dari biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan alutsista konvensional. Perhitungan juga memperlihatkan bahwa sistem H2FC berbasis nuklir hanya akan tidak mampu bersaing dengan sistem konvensional jika harga minyak berada di bawah US$ 0,13/liter.

KESIMPULAN

Berdasarkan pada uraian dan analisis yang telah dilakukan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara keekonomian, nuklir layak digunakan sebagai basis keenergian dalam mendukung operasional Koarmatim yang direncanakan akan dibangun di Sorong. 2. Terdapat dua opsi skenario menguntungkan dalam penggunaan energi nuklir sebagai

(8)

8

3. Penggunaan reaktor nuklir yang khusus digunakan untuk memproduksi hidrogen sebagai basis keenergian lebih ekonomis dari pada pengoperasian kapal perang nuklir.

UCAPAN TERIMAKASIH

Data-data penelitian ini dapat dikumpulkan atas informan dari orang dalam Mabes TNI dan TNI AL yang namanya tidak ingin disebutkan. Dan kepada mereka kami menyampaikan banyak terima kasih. Semoga jasa mereka dapat mendapatkan balasan setimpal dari Tuhan Yang maha Esa. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Naval Post Graduated School yang dipromotori oleh Mr. Alan R. Howard, Mr. Daniel A. Nussbaum dan lain-lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu at as dukungan data-datanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. KUATHAN KEMENTRIAN PERTAHANAN. 11 Desember 2014. Wawancara Pribadi. 2. BAPENAS, “Profil Pembangunan Papua Barat”, Jakarta 2013.

http://simreg.bappenas.go.id/. Diakses tanggal 22 April 2015.

3. LP2M, “Road Map Pengembangan Listrik Desa 2013-2017”, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Cendrawasih, Jayapura (2012).

4. PLN, “Infrastruktur Ketenagalistrikan Sebagai Pendukung Pertumbuhan Ekonomi Nasional”, www.pln.co.id. Diakses pada tanggal 28 April 2015.

5. JPNN, “Konsumsi Listrik Per Kapita Indonesia Kalah dengan Malaysia-Singapura”, Juni 2014. http://www.jpnn.com/. Diakses tanggal 28 Februari 2015.

6. PEMKAB SORONG, “Sektor Pertambangan”. Sorong, n.d., http://www.sorongkab.go.id/. Diakses tanggal 1 Januari 2015.

7. SUSENO, TRIWAN, “Kontribusi Investasi Pertambangan Batubara Terhadap Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Papua Barat”, Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 9, Nomor 3, September 2013 : 118 – 134, Jakarta (2013).

8. ESDM, “Sektor Pasokan Energi Pembangkit dari Energi Baru dan Terbarukan”, www.esdm.go.id, Jakarta, n.d. Diakses tanggal 17 Maret 2015.

9. TIM PENYUSUN, “Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008” Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Jakarta (2008).

10. MABESAL, Peraturan Kepala Staf Angkatan Laut Nomor: Perkasal/39/V/2009 tentang Kebijakan Dasar Pembangunan TNI Angkatan Laut Menuju Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essentials Force)

11. BAIQUNI, AHMAD, “Tiap tahun TNI utang BBM Rp 8 triliun ke Pertamina”, Harian Merdeka Online, http://www.merdeka.com/, Jakarta, 2014. Diakses tanggal 23 Desember 2014.

12. BPPT, “Outlook Energi Indonesia 2014 – Pengembangan Energi Untuk Mendukung Program Substitusi BBM”, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta (2014). 13. ROYAL ACADEMY OF ENGINEERING, “Future Ship Powering Option: Exploring

Alternative Methods of Ship Propultion”, United Kingdom (2013).

14. IHS Janes, “Jane’s Fighting Ships 2009 –2010”, IHS (Global) Limited, London (2010). 15. WEINERT. JONATHAN X., LIU SAHOJUN, OGDEN. JOAN M., MA JIANXIN, “Hydrogen

refueling station costs in Shanghai”, International Journal of Hydrogen Energy 32 (2007) 4089–4100. ScienceDirect, Shanghai (2007).

16. MCCOY, TIMOTHY, “Ships at Sea: The Original Microgrids?”, Eighth Annual Carnegie Mellon Conference on the Electricity Industry, Electric Ship Officer, USA (2013).

17. CARLIN, RICHARD, “Naval Power & Energy S&T: Hydrogen & Fuel Cells”, Office of Naval Research, California (2012).

18. CONGRESSIONAL BUDGET OFFICE OF UNITED STATE. “The Cost-Effectiveness of Nuclear Power for Navy Surface Ships”, Washington (2011).

19. FINANCIAL TIMES DEUTSCHLAND, “Hydrogen Production”, http://www.ft.com/. Diakses tanggal 1 Mei 2014.

20. SALIMY, DJATI H, “Aplikasi Reaktor Nuklir Temperatur Tinggi Pada Produksi Hidrogen Dari Air Proses Hibrida Siklus Belerang”, Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, Jakarta (2010).

21. DEPARTEMENT OF ENERGY OF UNITED STATE, “DOE Fuel Cell Technologies Office Record”, Washington (2013).

Gambar

Tabel - Perbandingan keekonomian kapal perang perang nuklir dan konvensional  Jenis Tipe Capital Bahan Personel Dekom Lainnya Total

Referensi

Dokumen terkait

Bagi Instansi pemerintahan diharapkan agar dapat meningkatkan kualitas kinerjanya dalam hal pengelolaan ke- uangan dengan memperhatikan dan meningkatkan kualitas

His first volume of essays not only evinces a supple, witty mastery of the English language, but provides deeply illuminating insights into the Russian literary tradition and

Perlakuan terbaik dari hasil penelitian ini adalah penambahan natrium benzoat 0,06% dan lama penyimpanan 10 hari (N4P1) dengan pH 3,59, uji organoleptik warna 3,16 (cukup suka),

Sekolah Berbudaya Lingkungan merupakan sekolah yang memelihara dan memanfaatkan kondisi lingkungan untuk pengembangan keilmuan, khususnya program

akademik yang kondusif; Meningkatkan Tatakelola Universitas; Membangun sistem informasi yang komprehensif di PTS. X; Meningkatkan Jejaring kerjasama yang saling

Distribusi hiposenter awal berdasarkan penentuan waktu tiba gelombang P dan S, dan durasi, baik dari sinyal waktu maupun spektrogram masih belum realistis

PADA BENlH IKAN MAS ( Cyprinus carpio I...

2] pada pemilu berikutnya yaitu pemilihan umum anggota legislative tahun 2009 di lima kabupaten/kota (Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor