• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pola Konsumsi Remaja Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Pola Konsumsi Remaja Yogyakarta"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Pola Konsumsi Remaja Yogyakarta serta Dampaknya

terhadap Peningkatan Angka Penyalahgunaan Narkoba di

Yogyakarta dari Tinjauan Teori Masyarakat Konsumsi Jean

Baudrillard

Oleh : Abdul Hakam Najah, Izzaturrohmah Kusuma A., Sahlangtaratri Alifadani S.

Abstrak

Remaja Yogakarta terancam dengan budaya konsumsi yang semakin marak. Hal itu didukung dengan semakin banyaknya mal-mal yang semakin menjamur di sudut Yogyakarta. Di sisi lain, Yogyakarta juga menempati urutan pertama pengguna narkoba di Indonesia, mengalahkan kota-kota besar lainnya. Lebih lanjut, mayoritas dari mereka adalah remaja. Oleh karena itu, kami berniat meneliti keterkaitan antara pola konsumsi remaja Yogyakarta dan pengaruhnya terhadap angka kenaikan pengguna narkoba di Yogyakarta.

Setelah melakukan penelitian dengan metode wawancara terhadap enam pasien pengguna narkoba di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta. Kami mendapat hasil bahwa remaja Yogyakarta cenderung hidup dalam budaya konsumtif. Mereka hanya melihat simbol dari konsumsi saja.

Hal itu juga berlaku terhadap konsumsi narkoba mereka. Narkoba dipandangnya hanya sebagai simbol pengikat pertemanan. Jika tidak memakai mereka akan kehilangan teman mereka. Dan begitulah hal tersebut menjadi menyebar di Yogyakarta.

Jean Baudrillard memandang hal itu sebagai sebuah simulacra dengan menempatkan narkoba sebagai objek konsumsi. Remaja tadi tidak lagi mengenali mana citra dan fakta dari narkoba. Akhirnya mereka mengenali narkoba sebagai citra saja, dan saat itulah ia terjebak dalam hiperrealitas.

Kata kunci : Remaja, narkoba, Yogyakarta, konsumsi, Jean Baudrillard.

Pendahuluan

Yogyakarta yang dikenal dengan biaya hidup yang ramah bagi remaja, khususnya mahasiswa, sekarang sedang terancam dengan menjamurnya mal-mal. Dikutip dari tribunjogja.com, Hastangka, pengamat sosial perkotaan UGM, menuturkan bahwa hal itu membuat budaya konsumsi di Yogyakarta meningkat.

(2)

antri," ujarnya belum lama ini. Hal tersebut menurutnya mengindikasikan adanya dampak sosial yang sangat signifikan, terkait dengan meningkatnya jiwa konsumtif, atau konsumerisme di masyarakat.

Selain itu, menurutnya masalah yang paling besar adalah banyak kaum intelektual di Yogya, baik pelajar dan mahasiswa sudah berubah orientasinya. Mereka, menurut Hastangka orientasinya cenderung datang ke mal, daripada datang ke perpustakaan, datang ke tempat-tempat ruang baca, mereka lebih menghabiskan waktu hanya ke mal. Ini bisa menjadi masalah kedepannya terkait dampak sosial bagi generasi muda. Terutama intelektualitas, karena bisa mempengaruhi dan menurunnya minta baca pelajar dan mahasiswa dan ini menjadi persoalan.1

Di sisi lain, berdasarkan berita dari detik.com, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyatakan pengguna narkoba di Yogyakarta menempati peringkat pertama di Indonesia. Kebanyakan para pengguna narkoba adalah pelajar dan mahasiswa. Sementara pengedar narkoba adalah residivis yang mendekam di LP. Menurut Kepala Bidang Pemberantasan Narkoba BNNP DIY AKBP Mujiyana jumlah penduduk di DIY ada 3,6 juta. Sebanyak 2,6 persen di antaranya pengguna narkoba

Yogyakarta diketahui menempati peringkat pertama pengguna narkoba, setelah Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Universitas Indonesia melakukan penelitian pada akhir 2016 lalu. Dengan jumlah penduduk sedikit dibandingkan provinsi lain, DIY menempati urutan pertama di atas Jakarta atau Surabaya.Pengguna narkoba didominasi pelajar dan mahasiswa, dengan sabu-sabu dan ganja paling banyak dikonsumsi

Menurut Kepala Bidang Pemberantasan Narkoba BNNP DIY AKBP Mujiyana penyebab membeludaknya jumlah pengguna narkoba di Yogyakarta karena banyak mahasiswa/pelajar kurang mendapat perhatian orangtuanya.

1 Dwi Nourma Handito, “Keberadaan Mal Picu Masyarakat Jogja Jadi Konsumtif”,

(3)

Sementara rata-rata mahasiswa yang belajar di Yogyakarta adalah masyarakat kalangan mampu.2

Atas dasar hal tersebut, kami mencoba menindaklanjutinya dalam sebuah penelitian sosial. Namun, bukan melihat korelasi peningkatan penggunaan narkoba karena permasalahan hubungan dengan orang tua. Melainkan, kami melihat hubungannya dengan pola konsumsi pelajar pengguna Narkoba tadi.

Mengenai arti dari konsumsi sendiri, kami merujuk Jean Baudrillad dalam memaknai konsumsi di era kontemporer ini. Konsumsi tidak lagi diatur oleh kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan.3

Jadi apa yang akan kami teliti adalah hubungan kasat mata antara pola konsumsi mahasiswa/pelajar Jogja dengan kenaikan pengguna narkoba di Jogja. Permasalah itu kami pandang dari teori masyarakat konsumsi Jean Baudrillad.

Pola Konsumsi Mahasiswa/Pelajar Pengguna Narkoba Jogja

Kami mengambil sampel penelitian dari Rumah Sakit Grhasia. Di sana, kami mewawancarai enam pasien pengguna narkoba yang sedang di rehabilitasi. Kesemua pasien yang kami wawancara, memenuhi kriteria yang kami cari. Yaitu, dia sedang dalam usia remaja, menempuh pendidikan SMA/perguruan tinggi, serta pengguna narkoba.

Pertanyaan yang kami ajukan berada seputar pemasukan yang dia dapatkan, untuk apa saja ia menghabiskan uang sakunya, kesesuaian antara pemasukan dan pengeluaran, hubungan dengan orang tuanya, serta alasan ia menggunakan narkoba.

Hasil ringkasnya akan kami tampilkan pada tabel berikut ini :

2 Usman Hadi, “Awas! Yogyakarta Urutan Pertama Pengguna Narkoba Terbanyak“,

( https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3550865/awas-yogyakarta-urutan-pertama-pengguna-narkoba-terbanyak , diakses pada 27 Oktober 2017 pukul 20.37 WIB).

3 Baudrillard, Consumer Society, 1970

(4)

Dari tabel di atas, kita dapat melihat bagaimana pola konsumsi dari pelajjar/mahasiswa pengguna narkoba.

Keenam responden yang kami wawancarai mendapatkan pemasukan tiap bulannya dari orang tua mereka. Rata-rata mereka mendapat pemasukan sebesar Rp 500.000,- sampai Rp 1.500.000,- per bulannya. Hanya satu orang yang mendapat pemasukan di atas satu setengah juta.

Dari pemasukan itu, setengah dari responden merasa tidak cukup dengan pemasukan jika dibanding dengan pengeluarannya. Hal itu karena kebutuhan mereka tidak hanya pada hal-hal yang menjadi kebutuhan utama mereka saja sebagai mahasiswa. Mereka banyak menghabiskan pada hal-hal lain di luar kebutuhan utama, seperti rokok, modif motor, futsal, serta narkoba yang mereka konsumsi.

(5)

futsalnya menawari dia. Teman-temannya mengatakan bahwa permainannya lebih bagus setelah memakai narkoba. Akhirnya, sampai sebelum direhabilitasi ia rutin memakai narkoba ketika futsal.

Berbeda dengan RAA, AWW (20) menyatakan sudah memakai narkoba sejak kelas dua SMP. Awalnya, ia hanya minum minuman keras sejak kelas lima SD. Lalu, sejak SMP ia mulai diajak temannya untuk memakai narkoba. Sampai sebelum rehabilitasi, ia rutin mengkonsumsi narkoba ditemani miras.

Selain dua hal itu, ia juga mempunya hobi memodifikasi motor. Dana yang sudah ia habiskan untuk hobinya itu sudah tidak bisa hitung lagi. Setiap mengganti salah bagian motornya ia harus merogoh kocek lebih dari seratus ribu. Dengan demikian, ia selalu merasa kekurangan tiap bulannya walau sudah mendapat uang saku.

Begitu juga dengan yang dialami MRH (25), ia menghabiskan dana banyak untuk motornya. Jika AWW menggemari berbagai jenis motor, MRH lebih spesifik pada vespa klasik. Biaya perawatannya pun tidak murah, malah kadang ia melakukan tukar tambah vespa. Hal itu ditambah dengan pemakaian rutin narkobanya. Ia juga sama seperti RAA, rutin bermain futsal. Ia pun merasa keberatan menanggung biaya untuk berbagai kebutuhannya itu.

Satu hal yang sama-sama mereka nikmati ketika mengalami kekurangan uang itu adalah kesempatan untuk meminta tambahan pada orang tua mereka. Jika uang saku mereka habis, mereka bisa meminta uang tambahan untuk menutupi kebutuhan mereka itu.

(6)

Bahkan, AWW menyatakan bahwa ia pernah menjual motornya ketika dalam kondisi kekurang semacam ini. Walaupun, pada akhirnya ia dibelikan motor lagi oleh orang tuanya setelah meminta.

Dua orang yang merasa sudah cukup dengan uang saku mereka, yakni RE dan FRA, kebanyakan karena kebutuhan mereka yang tidak terlalu banyak. Kebutuhan yang memberatkan hanya futsal serta narkoba. Hal itu berbeda dengan MM yang juga merasa cukup dengan uang sakunya. Namun, itu karena memang uang saku yang diberikan orang tuanya terbilang banyak, yakni berkisar Rp 1.500.000,- sampai Rp 3.000.000,-.

Alasan Mengkonsumsi Narkoba

Dari keenam pengguna narkoba, ketika ditanya alasan untuk menggunakan narkoba, mereka memiliki jawaban yang berbeda-beda. Ada yang karena untuk fokus ketika futsal, seperti RAA. Untuk lebih menghayati ketika bermusik seperti MRH. Untuk menghilangkan stres seperti FRA. Bahkan, ada juga untuk meningkatkan rasa percaya diri terhadap kekasihnya, seperti MM.

Akan tetapi, alasan yang paling umum adalah karena faktor pergaulan mereka. Semua responden mengaku pada awalnya mereka diajak teman untuk memakai narkoba. Namun, pada waktu setelahnya mereka memanfaatkannya untuk hal lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Narkoba disini sebagai semacam tanda kehormatan dalam pertemanan. Walau tidak ada paksaan, tapi narkoba membuat mereka menjadi semakin dekat dengan temannya. Seperti penuturan AWW, “Teman-teman saya bilang kalau ada teman lain yang tidak mau pakai, dia tidak keren.”

Sekilas Pandangan Baudrillad tentang Masyarakat Konsumer

(7)

mengkritik pemikiran marx terkait nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchage-value). Ia mencoba menggabungkan pemikiran Marx dengan strukturalisme Prancis. Ia meminjam dan mempergunakan beberapa istilah stukturalisme dalam pemikiranya. Disamping itu juga Baudrillard mengambil alih pemikiran Barthes mengenai semiologi.

Dalam bukunya yang berjudul The System of Object (1969) yang sangat dipengaruhi oleh Roland Barthes, ia menyatakan bahwa kejayaaan era kapitalisme lanjut, mengubah mode of production menjadi mode of consumtion.4 Konsumsi inilah yang kemudian mejadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek, yakni objek konsumsi yang berupa komoditi. Sistem objek sendiri merupakan sebuah sistem klasifikasi yang membentuk makna dalam kehdupan kapitalisme lanjut. melalui objek-objek atau komditi-komoditi itulah seseorang dalam masyarakat konsumer menemukan makna dan eksistensi dirinya.

Fungsi utama objek konsumsi bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media.5 Apa yang kita beli tidak lebih dari upaya untuk mengkonsumsi nilai simbol dan nilai tanda. Dimana didalamnya terdapat, tema tentang gaya hidup tertentu, kelas dan prestise tertentu. Dengan kata lain objek-objek konsumsi kini telah menjelma menjadi seperangkat sistem klasifikasi status, prestise bahkan tingkah laku masyarakat.

Lebih jauh dalam bukunya yang berjudul Consumer Society (1970), Baudrillad mengembangkan gagasannya lebih jauh tentang masyarakat konsumer. Menurutnya dalam masyarakat konsumer, konsumsi tidak lagi diatur oleh kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan. Dalam masyarakat konsumer, tanda adalah cerminan aktualisasi diri individu paling

(8)

meyakinkan. Melalui kedua buku ini Baudrillard dengan tegas menolak prinsip nilai guna dan nilai tukar.6

Tahun 1983, karya utama dari Baudrillard diterbitkan, sebuah buku berjudul Simulations. Dalam buku tersebut, ia menyatakan kebudayaan barat dewasa ini adalah sebuah representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda (real) sebagai fakta yang tercipata melalui proses produksi, serta tanda (citra) yang tercipata melalui proses reproduksi. Proses reproduksi yang dimaksud adalah dengan teknologi informasi, komunikasi dan industri pengetahuan, yang kesemuanya itu telah memainkan peranan untuk membentuk tanda dan citra hampir diseluruh proses komunikasi manusia.7

Dalam kebudayaan simulasi, baik citra dan fakta saling menumpuk dan berjalin kelindan membentuk kesatuan. Sehingga tidak dapat dikenali lagi mana yang asli, yang real, dan mana yang palsu, yang semu. Semuanya menjadi bagian realitas yang dijalankan dan dihidupi masyarakat barat dewasa ini. kesatuan inilah yang disebut Baurillard sebagai simulacra atau simulacrum. Suatu dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Realitas tidak punya referensi kecuali simulacra itu sendiri.8

Tahun 1989 terbit karyanya yang berjudul Simulacra and Simulacrum. Yang merupakan kelanjutan dari pemikiranya. Dalam bukunya ini ia melahirkan gagasan baru tentang hiperrealitas. Menurutnya, realitas baru yang dihasilkan dari bebagai teknologi baru mampu mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas, suatu realitas yang lebih nyata dari yang nyata, semu dan meledak-ledak. 9

6 Baudrillard, Consumer Society, 1970 7 Baudriilard, Simulation, 1983 8 Ibid

(9)

Misalnya tokoh-tokoh seperti yang terdapat dalam Disneyland. Semuanya merupakan citra-citra buatan. Sehingga dapat kita temui suatu realitas tanpa referensi, namun nampak seolah-oleh lebih dekat dan nyata ketimbang keberadaan dari orang-orang disekitar kita. Kemudian, Baudrillard secara tidak langsung mengucapkan selamat datang pada era dimana model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi. Yang nyata disini tidak hanya akan direproduksi, namun selalu dan selalu akan direproduksi.

Analisis

Pandangan Baudrillard tentang konsumsi tadi menjadi landasan kami mengidentifikasi hubungan kenaikan remaja pengguna narkoba di Yogyakarta dengan pola konsumsi mereka.

Narkoba jika diidentifikasi dari teori Baudrillard, dapat ditarik dengan definisi objek konsumsi yang telah dirumuskannya. Objek konsumsi, menurut Baudrillard, tidak dilihat dari kegunaan dan manfaatnya, melainkan sebagai tanda atau nilai-simbol tentang gaya hidup tertentu, kelas dan prestise tertentu. Dengan kata lain, objek-objek konsumsi kini telah menjelma menjadi seperangkat sistem klasifikasi status, prestise bahkan tingkah laku masyarakat. 10

Hal itu sejalan dengan pandangan keenam responden tentang narkoba. Mereka menganggap narkoba sebagai sebuah penanda sosial yang mengikatnya dengan teman-temannya. Mereka mulai menggunakan narkoba dari tawaran temannya. Walau tawaran itu tidak dengan paksaan, tapi hal itu menjadi penanda kedekatan pertemanan mereka.

Berdasarkan keterengan mereka, jika mereka tidak memakai narkoba, mereka menyadari bahwa tidak mungkin bisa bersama teman-teman dekat mereka sekarang. Sebab, narkobalah yang mengawali kedekatan mereka. Memori tentang saling berbagi narkoba, iuran untuk membeli narkoba, sampai saat-saat bersama kehabisan narkoba menjadi rutinitas mereka selama beberapa tahun.

(10)

Lalu bagaimana bisa hal itu berkembang ?

Lingkaran pengguna narkoba menyebar seperti gaya hidup populer lain. Gambaran singkatnya bisa kami tampilkan seperti berikut ini. Lingkaran pertemanan 1 (LT1) belum terkena narkoba sama sekali, lalu lingkaran pertemanan 2 (LT2) sudah terkena semua. Salah satu orang dari LT1 memiliki teman dari LT2. Orang dari LT2 menawarkan narkoba pada orang dari LT1. Orang dari LT1 tidak dipaksa untuk menggunakan narkoba, tapi untuk menjaga kedekatan pertemanan dengan orang LT2, ia harus menerimanya terlebih dahulu. Lalu, penawaran ini berulang sampai akhirnya zat adiktif dalam narkoba bekerja pada orang LT1. Akhirnya, orang LT1 pun menjadi pengguna aktif narkoba.

Orang LT1 tadi karena telah merasakan kenyamanan dari narkoba, ingin membagi kenyamanan itu pada salah satu temannya di LT1 lainnya. Lalu proses yang terjadi sebelumnya pun terulang pada teman itu. Kemudian, penyebaran itu menjalar ke seluruh LT1. Ketika ada salah satu orang yang menolak menggunakan dari LT1, ia tidak dimusuhi. Namun, akhirnya ia menyingkir secara perlahan dari LT1. Hal itu karena intensitas pertemuan antara yang memakai narkoba dengan yang tidak memakai akan berbeda. Teman-teman yang memakai narkoba akan selalu berkumpul untuk memakai bersama. Teman yang tidak memakai narkoba, tidak mungkin hadir dalam pertemuan itu. Maka dari itu, ia merasa kedekatan dengan lingkarannya semakin berkurang.

Proses seperti itulah yang terjadi pada penyebaran narkoba. Dari lingkaran pertemanan satu menyebar ke lingkaran pertemanan lain. Akhirnya, semakin lama semakin besar. Maka, wajar jika angka pengguna narkoba tiap tahunnya bertambah.

Hal itu selaras dengan gambaran Baudrillard tentang simulacra. Simulacra dideskripsikan Baudrillard sebagai saling tumpuknya antara citra dan fakta sehingga tidak bisa dibedakan lagi mana yang nyata dan palsu di antara keduanya. 11 Narkoba posisinya menjadi simulacra dalam lingkaran pengguna narkoba tadi. Mereka tidak bisa membedakan lagi mana yang menjadi citra dan fakta narkoba. Citra yang

(11)

dimaksud adalah simbol menuju kedekatan pertemanan tadi. Sementara, faktanya adalah barang yang membuat kecanduan dan menghabiskan banyak uang.

Akhirnya, mereka terjebak dalam hiperrealitas seperti gambaran Baudrillard. Hiperrealitas digambarkan olehnya sebagai kondisi dimana citralah yang menjadi acuan seseorang untuk dipercaya. Sebab, citra dianggap lebih nyata dari yang nyata.12 Narkoba menjadi realitas dari orang-orang dalam lingkaran pengguna narkoba. Citra narkoba lebih nyata dibanding fakta narkoba yang saya sebut sebelumnya.

Satu pelajaran yang kami dapat ketika wawancara dengan salah satu petugas yang menangani pasien pengguna narkoba yaitu, “Pengguna narkoba tidak bisa sembuh dari narkoba, mereka hanya bisa dihentikan kecanduannya.” Selama narkoba masih ada di dunia, pengguna akan selalu ada. Lalu, lingkaran penggunanya akan terus melebar.

Kesimpulan

Perilaku konsumsi pelajar Yogyakarta berada dalam posisi yang tumbuh perlahan, namun tidak akan pernah berhenti. Dari data responden yang kami wawancari, lebih banyak memandang berbagai hal secara simbolik atau dilihat dari tren dan gaya hidup yang berkembang sekarang.

Hal itu juga berlaku dalam penggunaan narkoba. Narkoba dilihat sebagai simbol kedekatan pertemanan di antara mereka. Jika tidak memakai mereka akan kehilangan teman mereka. Konsekuensi itu tidak adil secara sosial dan psikologis.

Dari pandangan Jean Baudrillad, narkoba menjadi objek konsumsi yang hanya dilihat citranya saja. Ia menjadi simulacra yang tidak bisa mereka bedakan mana yang nyata dan palsu. Akhirnya, mereka terjebak dalam hiperrealitas yang melihat narkoba sebagai citranya saja. Mereka tidak melihat fakta narkoba yang membuat kecanduan serta menghabiskan banyak ongkos untuk membelinya.

(12)

Dengan demikian, pengguna narkoba menjadi semakin marak di Yogyakarta. Hal itu karena lingkaran pertemanan narkoba akan terus tercipta karena proses penyebaran mengambil posisi psikologis pada kondisi pertemanannya. Mereka ingin diterima oleh temannya, jika tidak mereka akan kehilangan temannya tanpa disadarinya.

Daftar Pustaka

Baudrillard, Jean. 1983. Simulations. New York : Semiotext(e)

---. 1994. Simulacra and Simulacrum. Ann Arbor : The University of Michigan Press

---. 1996. System of Objects. London:Verso.

---. 1998. The Consumer Society. Paris : Gallimard.

Bertens, Hans. 1995. The Idea of the Posmodern : A Histoy. London : Routledge.

Hadi, Usman. 2017. Awas Yogyakarta Urutan Pertama Pengguna Narkoba Terbanyak. Diakses pada 26 Oktober 2017. Tersedia pada

https://m.detik.com/news/berita-jawa-tengah/d-3550865.

Handito, Dwi N. 2017. Keberadaan Mal Picu Masyarakat Jogja Jadi Konsumtif. Diakses pada 15 November 2017 pukul 18.17. Tersedia pada

Referensi

Dokumen terkait

Kimpul (Xanthosoma sagittifolium Schott) adalah salah satu jenis umbi yang banyak mengandung karbohidrat, sebagian besar berupa pati. Edible film yang berasal dari pati

kurangnya  2  (dua) dan sebanyak­banyaknya  4  (empat)  calon praja IPDN

In this paper, a new method is proposed for the decolorization of a yellow-hued suspension of rutile TiO 2 nanoparticles in an organic solvent (diethylene glycol dimethylether).

Hasil belajar diklasifikasikan dalam tiga ranah yaitu: ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor (psychomotor domain

Judul : Pertumbuhan Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii pada Berbagai Media serta Infektivitasnya terhadap Kutudaun Kedelai Aphis glycines Matsumura (Hemiptera:

Penyerahan tidak akan dilakukan, jika putusan terakhir pengadilan sudah dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang dari Pihak yang di- minta terhadap orang yang

Conscientiousness, Vocabulary Mastery and Reading Achievement of on the Tenth Grade Students of SMA Negeri 3 Boyolali in the Academic

dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. yang memberikan wewenang dan kewajiban yang ditentukan