FATAMORGANA DIBALIK LAYAR KACA
Oleh Porkarius Mahi
Negara Indonesia adalah negara demokrasi, dimana kedalautanya berada pada tangan rakyat. dianutnya asas kedalautan rakyat itu mengandung konsekuensi bahwa rakyat itu harus memiliki kebebasan berserikat, berkumpul dan mengluarkan pendapat. Negara Indonesia menjawab konsekuensi itu dalam Pasal 28 UUD 1945 sebagai bukti jaminan atas hak tersebut. Jadi bukan suatu hal yang mengherankan jika perusahan-perusahan pers tumbuh liar disebuah negara demokrasi Indonesia ini. Di Indonesia pers dijadikan sebagai bagian dari pilar ke-4 demokrasi setelah, badan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Dalam posisi ini, pers berfungsi sebagai alat kontrol agar sebuah negara demokrasi tersebut berjalan seimbang. Namun seiring dengan berjalannya waktu perjalan pers sebagai media kontrol ini selalu dihantui oleh berbagai problematika-problematika yang membuat pers ini tidak lagi berjalan sesuai fungsinya.
Keberadaan Pers Indonesia tidak serta-merta tumbuh hanya karena sebuah syarat Indonesia sebagai negara demokrasi. Tetapi keberadaannya di Indonesia adalah karena sebuah perjalanan sejarah yang panjang, dimana pers itu tumbuh karena sebuah kegelisahan dan kesadaran, para tokoh nasional Indonesia pra kemerdekaan. Pers saat itu digunakan sebagai sebuah counter hegemoni dan media propoganda untuk membangkit kesadaran rakyat Indonesia,yang terus-terus merasa adem, anyem, tentrem, seperti kata bung Karno walaupun dirinya dijajah, dihisap oleh para antek-antek kolonialisme. Pers zaman itu telah menyalakan api perlawanan, semangat yang bergelora dalam jiwa rakyat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Namun dalam perjalanannya pers tidak selalu berjalan pada jalan yang mulus, dia juga berjalan pada jalan berbatu, yang penuh tantangan yang kadang membuat mereka berheti sejenak, bahkan ada yang mati kesandung batu. Ketika zaman pra kemerdekaan banyak pers yang bermunculan yang diawali oleh Raden Mas tirto Adisuryo (bapak pers Indonesia) dengan lembaga persnya yang bernama medan priayi (1907). Dia telah membuka jalan bagi pergerakan pers ketika itu, sehingga banyak pers-pers bermunculan. Mereka menyadari bahwa hanya dengan pers mereka mampu menyadarkan masyarakat akan situasi penindasan, dan mampu membangkitkan semangat perlawanan secara luas.
Perjalanan pers tidak hanya berhenti disitu, kemerdekaan sudah dicapai, Indonesia menjadi sebuah negara demokrasi dan pers diletakkan sebagai media pengontrol berjalannya demokrasi tersebut. Keberadaan pers pada awal kemerdekaan sangat membantu menyebarkan berita proklamasi ke seluruh negri Indonesia. Penyebaran berita ini pertama kali dilakukan oleh surat kabar soeara asia. Berkat pers inilah sorak suara kemerdekaan terdengar nyaring diseluruh negri dan ketika itu begitu gencarnya rakyat Indonesia melakukan perlawanan bagi antek-antek sisa kolonial.
Namun, setelah kemerdekaan pers Indonesia belum bisa bernapas lega. Kemerdekaan bisa dikatakan hanyalah sebuah slogan berdirinya sebuah negara, karena kemerdekaan jiwa dan raga Rakyat Indonesia belumlah tercapai sesungguhnya. Kemerdekaan hanya melahirkan wajah penindasan baru, penindasan oleh bangsa kita sendiri. Pers masa awal kemerdekaan terutama pada era demokrasi terpimpin dikekang, terbukti dari 19 pasal pasal SIT (surat izin terbit) yang menyatakan bahwa pers itu wajib membela pemerintah, dan wajib memuat tulisan yang berisi ajaran-ajaran bung Karno. Apabila melanggar pers itu akan dibredel dan dikenai sanksi. Selain itu juga tulisan-tulisan yang dimuat dalam media ketika itu diseleksi apakah boleh diterbitkan atau tidak, hal ini terbukti dari pememberlakuan surat izin cetak yang dikeluarkan oleh laksus (pelaksana khusus). Pers masa ini jika ingin terus bertahan, maka ia tidak boleh memuat tulisan-tulisan yang berisi kritikan terhadap pemerintah. Pers hanya berfungsi untuk mengagung-agungkan pergerakan revolusi yang dicanangkan oleh penguasa tanpa melihat sisi-sisi kelemahannya. Pada akhir-akhir Orla ini pers mahasiswalah yang sangat berperan penting, hanya pers mahasiswalah yang berani menentang pemerintah bahkan yang membawa Soekarno pada keruntuhannya.
Orde lama runtuh, sang Jendral-pun berkuasa tanda Orde Baru dimulai. Pada awal-awal kekuasaan Orde Baru, pers Indonesia sempat berbulan madu dengan pemerintah, bulan madunya manis, dipermanis lagi dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) No.11 tahun 1966 yang menjamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Orba menjanjikan Indonesia yang terbuka dan bebas berpendapat. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan disegala aspek warisan penyakit orde lama, antara lain aspek eknomi, politk, sosbud dan psikologis rakyat. Indonesia bangkit-sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun ketika memasuki tahun 1970-an kayaknya pemerintah mulai terlena dalam pembangunannya sehingga tidak lagi memperhatikan lagi kebebasan Rakyat, sikapnya sudah berubah. dibalik gambaran ekonomi orde baru yang berkembang kian pesat, terdapat berbagai kecurangan-kecuranagan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merajalela, sang bumi Pertiwi di perkosa anak bangsanya, tak ada yang mampu menolongngnya. Pers sebagai media pengontrol telah habis bulan madunya, banyak media massa dibredel, penguasa semakin langgeng kekuasaannya.
menyatakan bahwa “ Organisasi pers adalah organisasi wartawan, organisasi perusahan pers ....yang disetujui oleh pemerintah”. Pasal ini dapat dibandingkan dengan pasal 1 ayat 5 UU No. 4/1967 yang berbunyi “ Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahan pers yang disahkan oleh pemerintah”. Dari kedua passal ini terlihat pemerintah meningkatkan kewenangannya dari hanya tukang “stempel” menjadi pihak yang berwenang penuh terhadap organisasi pers.
Pers zaman ini jika ingin tetap bertahan maka ia harus memberitakan hal-hal yang baik megenai perkembangan pembangunan yang digembor-gembor pemerintah Orde baru, tanpa melihat sisi lemahnya, pers yang terlalu kritis pada masa ini akan dibredel. Seperti terjadi pada peristiwa malari (malapetaka 15 januari 1974) selain terdapat banyak korban jiwa, terdapat pula 12 media yang dibredel atau dicabut SIUPP-nya (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) termasuk ketika itu media yang dibredel adalah majalah tempo, detik dan editor.
Namun jiwa masyarakat Indonesia tidak mau terus dikekang, pembrontakanpun dilancarkan kembali untuk merebut kembali kemerdekaannya, rakyat Indonesia meninginkan demokrasi yang sesungguhnya, bukan demokrasi yang hanya menjadi sebuah selogan palsu dan omong kosong. Akhirnya pada tanggal 12 mei 1998 perjuanngan itu mencapai puncaknya sang jendral mengundurkan diri dari tampuk kekuasaannya, tanda era reformasi dimulai, tonggak awal lahirnya Indonesia yang bebas, terbuka dan kritis.
Demokrasi palsu yang telah membelenggu kebebasan rakyat telah hilang. Era reformasi menjanjikan sebuah kebebasan dan sebuah keterbukaan. lahirnya UU No. 40 tahun 1999 adalah bukti bahwa era reformasi menjanjikan kemerdekaan pers, dimana tidak ada lagi yang namanya pembredelan, penyensoran atau pelarangan siaran, setiap warga Indonesia berhak mendirikan perusahan pers tanpa harus memiliki SIUPP dan SIC seperti yang tercantum pada pasal 4 ayat 2 dan pasal 9 ayat 1. Pers era reformasi tidak perlu lagi takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat baik sipil maupun militer.
Lahirnya UU perlindungan dan kebebasan pers ini, menjadikan pertumbuhan perusahaan pers semakin signifikan dan liar setiap tahunnya. Dari data Dewan Pers dari 33 provinsi per tahun 2011 menunjukkan ada 671 perusahaan media elektronik, lalu ada 1.081 perusahaan media cetak elktronik dengan penanggung jawab (mingguan, harian, bulanan) dan 631 media cetak tanpa penanggung jawab.
dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Fatamorgana adalah bayang-bayang semu. Itulah gambaran fenomena pers Indonesia era reformasi ini. kalau pada orla dan orba media diintervensi oleh para penguasa untuk melanggengkan kekuasaan, namun pada era reformasi ini ada juga bayang-bayang semu yang bergerak dibelakang media khusunya disini adalah media Televisi, independensi media berada pada suatu titik baru, seperti keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa. Pers setelah keluar dari rezim penguasa masuk ke dalam Industri media yang dikuasai pasar.
Menurut survey A.C Nelson populasi konsumsi informasi di Indonesia sebesar 93 % dari Televisi, internet 37% dan koran 27 %. Ini berarti begitu besarnya pengaruh Televisi terhadap perolehan Informasi dikalangan Rakyat Indonesia. namun apa jadinya kalau media ini di Intervensi oleh pemilik media? Masih mungkinkah Informasi-informasi yang kita dapatkan berpihak pada kepentingan publik?
Independensi yang dimaksud pasal 1 kode etik jurnalistik yaitu kegitaan jurnalistik tanpa campur tangan pemilik atau kekuatan lain yang mengatur isi madia. Jadi dalam kegitannya dalam menyebarluaskan informasi pers seharusnya mampu bersikap kuat, dalam menghadapi intervensi tersebut demi penyampian informasi yang baik dan benar serta dipercaya masyarakat, bukannya malah membodohi masyarakat. Selain itu pers juga harus memiliki prinsip netralitas agar menghasilkan liputan yang akurat, proposional, jujur dan berimbang serta memihak pada kepentingan publik. Seperti pada kasus lumpur lapindo, media harus berpihak pada kepentingan rakyat sidoarjo yang dirugikan bukannya pada pihak pemilik media.
media juga akan berakibat monopoli informasi dan pemberitaan, terutama dalam hal penggunaan frekuensi publik.
Konglomerasi media adalah bencana. fungsi dan peran pers untuk memberi Informasi pada masyarakat seperti tertera pada pasal 3 dan pasal 6 UU No.40 tahun 1999 tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Dan Monopoli bukanlah prinsip ekonomi yang dicita-citakan bangsa Indonesia, Indonesia menghendaki sebuah demokrasi Ekonomi seperti yang tertera dalam UU 5 tahun 1999 pasal 2, bukannya monopoli ekonomi.
Namun fakta yang terjadi dilapangan adalah konglomerasi dan monopoli itu semakin marak. Diberlakukannya kebebasan dalam memiliki media tanpa batas mengakibatkan pengusaha yang berkantung tebal untuk memiliki beberapa unit media atau dapat menciptakan “kepemilikan lintas media”. Di Indonesia sendiri sudah terjadi konglomerasi media, diantaranya ketua umum partai Golkar Abu Rizal Bakrie yang memiliki 2 stasiun TV (TV One dan ANTV) ketua umum Nasdem Surya Paloh yang memiliki 2 stasiun Tv dan 1 surat kabar nasional (Metro Tv dan Media Indonesia) dan yang lebih luar biasa adalah politikus Hanura Hary Tanoesoedibjo memiliki berbagai media diantaranya yaitu surat kabar nasional Sindo dan berbagai stasiun Tv (MNC TV, RCTI, dan Global Tv).
Ketika seorang pengusaha yang berkantung tebal dapat memiliki sejumlah madia tanpa batas, maka akan timbul masalah serius yaitu kontrol atas isi berita. Mereka para pelaku konglomerasi media bisa saja mengontrol semua proses naskah awal sampai kepada penggunaannya dalam beragam bentuk. Masyarakat tidak lagi mampu memperoleh informasi yang murni, melainkan ada bias-bias yang sengaja diciptakan untuk kepentingan pemilik perusahaan.
Di Indonesia keadaan seperti ini cukup memperihatinkan, pemilik-pemilik media di Indonesia sangat berambisi menjadi kepala negara,sebagai contoh keiingnan ke dua pemilik tv berita yaitu Abu Rizal Bakrie dan Surya Paloh belum lagi kiinginan politikus Hanura Hary Tanoesoedibjo. 3 nama ini saja sudah mewakili 6 satasiun tv di Indonesia. keadaan seperti ini mengakibatkan kontens media televisi tersebut lebih mengutamakan kepentingan pemilik media, untuk menghegemoni pikiran masyarakat. ketimbang mendidik, memberi informasi, menghibur dan melakukan kontrol sosial.
Para pemilik media seharusnya menyadari bahwa dalam sebuah perusahan pers itu ada dua unit kegiatan yaitu unit bisnis dan redaksi. Intervensi pemilik media seharusnya bergerak hanya berada pada kepentingan bisnis bukannya dalam ruang redaksi.
Sumber
buku
Sudibyo, Agus. 1999. Analisis Berita Pers Orde Baru. Yokyakarta : BIGRAF Publishing Toer, Pramoedya Ananta. 1975. Rumah Kaca. Jakarta : Hasta Mita
internet
http://m.kompasiana.com/post/read/651985/1/perkembangan-kebebasan-pers-independensi-netralitas-dan-keberpihakan-di-masa-pemilu.html
http://firacomplicated.blogspot.com/2013/12/landasan-hukum-dan-fakta-fakta-tentang_4916.html
berthathapasaribu.blogspot.com/2012/02/pers-era-reformasi.html
http://kabarjakarta.com/blog/media-di-indonesia-intervensi-modal-dan-kepemilikan-dalam-regulasi-dan-pemberitaannya/
http://komikendy.wordpress.com/2013/12/03/perlindungan-hukum-pers-di-era-orde-baru-dan-reformasi-terhadap-profesi-kewartawanan/
http://irmadevita.com/2013/praktik-monopoli-dan-persaingan-usaha-menurut-uu-no-5-tahun-1999/
http://daqoiqul.blogspot.com/2012/04/analisis-pers-indonesia-dengan-pers.html
http://www.tribunnews.com/nasional/2012/02/09/hut-pers-waspadai-intervensi-politik-insan-pers