(Kumpulan Artikel Sumatra Selatan
dan Tema-Tema Lainnya)
Oleh:
Arafah Pramasto, S.Pd.
Dibantu oleh:
Sapta Anugrah, S.Pd.
Rifkhi Firnando, S.Pd.
Noftarecha Putra, S.Pd.
Makna Sejarah “Bumi Emas”
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta Pasal dua:
iii
Untuk siapa pun yang menjadi bagian hidup kami
Bagi pembaca budiman yang baik hati
Maafkan kurangnya karya ini
Demikianlah ikhtiar jadi
Semoga kesejarahan diingat abadi
Sebagai perbendaharaan lama pedoman budi
Karena hidup lanjut bertali
Agar tak tersandung melangkah nanti
Biar tak suntuk di waktu pagi
Kata Pengantar
Belajar dan berusaha, dua kata tersebut yang mengawali
penulisan buku ini. Mungkin di antara para pembaca budiman
akan ada yang bertanya, Siapa saja penulis buku ini? , Apa peran
mereka sehingga berani menulis buku ini? , Apa posisi mereka? ,
dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang akan terbesit
dalam benak pembaca. Belum lagi ketika membuka bagian
identitas buku akan terpampang sekian banyak nama dari tim
penulis, semuanya bergelar strata 1. Kami memang masih belum
menjadi para sejarawan, budayawan, ataupun para pemikir ulung
yang telah menjadi kenamaan dan dikenal seantero negeri,
bahkan pada tingkat provinsi pun belum. Tapi bagi para pembaca
budiman sekalian, kami tidak akan berlama-lama menggantung,
karena kami akan menjawabnya dalam bagian kata pengantar
ringan yang kami buat. Dua kata awal di atas, belajar dan berusaha kembali lagi akan digunakan.
Kami adalah sekelompok orang yang telah menjadi alumni
dari Program Studi Pendidikan Sejarah. Secara kebetulan dapat
saling mengenal dan akhirnya menjalani hidup sebagai
mahasiswa dalam satu rumah kontrakan semasa kuliah. Fase itu
turut pula mengikat kami dalam kegiatan-kegiatan belajar
v
juga semangat hingga ego membawa kami semua untuk
berbincang tentang berbagai tugas perkuliahan, mengulas
kembali diskusi kelompok yang telah dilaksanakan dalam kelas,
maupun membicarakan tentang polemik-polemik hingga saling
berdebat tentang kontroversi kesejarahan yang kerap ataupun
yang jarang diulas.
Mengingat bahwa almamater kami berada di Provinsi
Sumatra Selatan, kerap kali tema-tema kesejarahan lokal menjadi
hidangan utama yang tersaji dalam interaksi-interaksi tersebut.
Historiografi (penulisan sejarah) dalam tingkat lokal merupakan
subbagian dari pada Historiografi Nasional, kami merasa hal ini
penting untuk selalu dikaji. Seolah diskusi-diskusi hingga
perdebatan tentang kesejarahan Sumatra Selatan yang telah
dilalui justru menjadi pemersatu beragamnya pemikiran kami.
Tak kalah penting dari itu, latar belakang etnis kami pun berbeda:
ada yang berasal dari Madura, Batak Karo, suku Ranau, suku
Semendo, suku Komering, dan suku Kuang. Inilah titik awal yang
kami sebut sebagai belajar dan menjadi lintasan motivasi kami
berikutnya.
Setelah lulus menempuh pendidikan tinggi, hingga kini
belum ada dari kami yang memilih untuk mengabdi sebagai guru
sejarah. Bukannya enggan, jalan hidup setiap orang tidak dapat
dikooptasi oleh sekadar latar belakang keilmuan yang ditempuh.
pula padam dalam jiwa, maka kami masih memilih untuk mencari
pengalaman yang lebih luas. Kami menjadi teringat apa yang
ditulis oleh Tan Malaka dalam buku Semangat Muda, kurang lebih
jika disesuaikan dengan bahasa kekinian adalah, Makin gelap jalan di depan, makin terang suluh kita di belakang. Dengan masih
samarnya alur nasib dalam pencarian ini, tak jarang ada saja
ranah-ranah yang ditemukan akibat dari cahaya suluh tersebut.
Kami pun berpencar meniti jalan sesuai dengan arah sinar
dari masing-masing suluh yang dipegang. Ada yang memilih
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang magister, ada yang
senang menekuni profesi sebagai penulis lepas, ada pula yang
menjadi operator Dapodik, dan lain sebagainya. Mungkin itulah
ranah-ranah yang tersingkap sejauh perjalanan yang masih
pendek ini. Akan tetapi, sebagai sekumpulan mahasiswa yang
pernah merasakan berat beban tugas perkuliahan yang sama,
nyatanya ada saja yang masih mengikat kebersamaan kami dalam
meretas jarak hingga keterbatasan waktu yang tengah
memisahkan, yakni kajian sejarah. Dalam bermacam kesempatan
bersua maupun sekadar saling berkabar melalui layar, kami saling
menyempatkan waktu untuk berdiskusi tentang subjek yang
sama-sama kami senangi. Tercetus pula pertanyaan yang
vii
tergagaslah ide untuk mengolah diskusi-diskusi tentang
kesejarahan dalam bentuk artikel-artikel.
Di Sumatra Selatan sendiri terdapat banyak media-media
lokal cetak maupun online yang mempunyai perhatian besar pada
bidang kesejarahan dengan bersedia memuat beberapa hasil
tulisan kami untuk dipublikasi. Hal itu dapat tergolong positif jika
mengingat citra yang beredar di tengah masyarakat awam,
apalagi saat harus menerangkan latar belakang pendidikan
sebagai mahasiswa pendidikan sejarah , sering kali direspon dengan guyonan, Ooh, calon Pak Meganthropus, dong … ataupun
dengan jujur berkata, Kalau belajar sejarah, saya ngantuk Pak. Tentu tidak perlu kiranya menanggapi hal itu dengan emosi,
untuk itu kami pun berusaha agar tulisan-tulisan tersebut tidak
terlalu panjang dan dapat menjadi refleksi pada masalah-masalah
kontemporer.
Kumpulan artikel sejarah yang dimuat dalam buku ini
semuanya telah dimuat di berbagai media seperti yang dijelaskan
di atas. Tak lupa kami sampaikan rasa terima kasih kepada
media-media lokal seperti Tribun Sumsel, Beritapagi, Pos Metro Prabu,
Ampera.co, Sriwijaya Online, Sumatra News dan lain-lain atas
penerimaannya pada tulisan-tulisan kami. Namun, artikel-artikel
tersebut tidak semuanya dapat menguak kesejarahan Sumatra
Selatan secara holistik karena pendekatan yang dipakai
kronologis berdasarkan periode inti dari kajian yang ada, oleh
karenanya akan pembaca temukan rentang waktu yang tumpang
tindih maupun pengulangan fragmen kajian, hal itu terjadi karena
setiap artikel membutuhkan alur dalam elaborasinya. Selain
mengenai kajian sejarah Sumatra Selatan, kami ikut sertakan
beberapa artikel di luar lingkup inti sejarah lokal kawasan ini.
Tulisan-tulisan yang menuturkan masalah timah Bangka, sejarah
Madura (secara khusus penulis sampaikan terima kasih pada
Majalah Mata Madura yang berkenan memuat), ataupun Perang
Sunggal di Sumatra Utara (kami sampaikan pula rasa hormat pada
Media Batakpedia yang telah mempublikasinya) diintegrasikan
pada tema Lain-Lain bersamaan dengan kajian sejarah nasional.
Artikel kesejarahan di luar masalah keindonesiaan diikutkan pula
dalam buku ini dan dapat ditemukan dalam subbagian (kami
sebut bilik )nternasional.
Demikian, dengan terbitnya buku ini maka kami dapat
menyebutnya sebagai bagian dari berusaha . Berusaha untuk
tetap berkontribusi dalam bidang kesejarahan meskipun kami
mungkin hanya pemeran pinggiran dan sekadar menjadi
komponen-komponen picisan dalam bangunan kesejarahan yang
megah. Kami berharap agar para pembaca dapat menjadikan
buku ini sebagai bacaan di waktu luang, di tengah waktu sengang
yang tak ada salahnya mengingat kembali masa silam untuk
ix
jangan dijadikan sebuah acuan otoritatif, karena kami selaku tim
penulis―sebagaimana yang sudah-sudah dipaparkan di
atas―belum tergolong sebagai sejarawan dan memang tidak
dalam maksud kami menuliskannya untuk menggurui sesama,
kami sadar bahwa hasil dari jerih upaya ini masih jauh dari
sempurna. Sebaliknya, tim penulis berharap dengan karya kecil
ini bisa memotivasi siapa pun untuk menulis kesejarahan,
mengkajinya dengan berbagai pendekatan, dan memulainya
dengan mengetahui kesejarahan daerah masing-masing.
Pungkaslah pengantar sederhana ini diiringi harapan agar para
pembaca budiman memperoleh manfaat. Terima kasih.
Palembang, 25 Desember 2017
Tertanda,
Foto Prasasti Telaga Batu.
Sumber: Buku Profil Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya.
Prasasti Telaga Batu merupakan salah satu bukti penanda
otentik bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Palembang.
Berasal dari abad ke-7 Masehi, Telaga Batu secara fisik memiliki
ukutan tinggi 56 cm, lebar 148 cm, dan ditemukan di situs
Sabokingking 3 Ilir Palembang. Berbahasa Melayu Kuno dengan
huruf pallawa, prasasti yang dipahatkan pada sebuah batu dengan
dihiasi tujuh kepala ular kobra ini berisi sumpah setia baik para
pejabat kerajaan, kerabat raja, para pekerja, dan bahkan hamba
raja Sriwijaya. Bagi yang melanggar sumpah ini akan terbunuh
oleh kutukan.
Bentuk prasasti yang dihiasi ornamen ular serta cerat di
8
sebuah prosesi saat air dituangkan ke batu dan lalu diminum
sebagai sumpah setia. Hasil dari monumen kesetiaan itu diperoleh
seabad sesudahnya yakni tatkala pada abad ke-8, kekuasaan
Sriwijaya telah berekspansi sampai ke wilayah Semenanjung
Malaya serta Tanah Genting Kra di Thailand selatan dengan bukti
keberadaan Prasasti Ligor tahun 775 M. Kejayaan berlanjut,
Balaputradewa yang memerintah sekitar tahun 850 M, nama
Sriwijaya juga dikenal sebagai Suvarnabhumi yang artinya bumi emas . Penyebutan itu terlihat sebagai sebuah pencapaian
ekonomi Kerajaan Sriwijaya yang semakin maju.
Oleh: Tedi Suandika, S.Pd. & Arafah Pramasto, S.Pd.
Dalam tulisan Ki Sabdacarakatama yang berjudul
Ensiklopedia Raja-Raja Tanah Jawa dikisahkan bahwa Sultan
Agung yang berkuasa tahun 1613-1645, pernah meminta
ketertundukan Palembang pada kuasa Mataram Islam sembari
menuntut upeti tahunan beserta gajah. Sebelum Mataram
berkuasa, Palembang diperintah oleh keturunan dari Ki Gede Ing
Suro, bangsawan Demak yang mengungsi setelah terjadi perang
melawan Pajang. Bahkan sebelum kedatangan Islam, dalam buku
Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa karangan J.J. Ras dikisahkan
bahwa Majapahit pernah mengirim ekspedisi militer untuk
menghukum Palembang yang ingin lepas dari kekuasaannya pada
tahun 1377. Tulisan ini tidak akan mengkaji secara umum tentang
pengaruh pada budaya Palembang sebagai akibat dari hegemoni
29
pertempuran tahun 1659 antara kerajaan Palembang yang
menjadi bawahan Mataram Islam melawan VOC. Perang 1659 ikut
memberikan sedikit informasi mengenai pengaruh Mataram
Islam dalam aspek kemiliteran Palembang.
Tahun 1659: Palembang Melawan VOC dan Pengaruhnya
Tanggal 4 November 1659 pecah peperangan antara
Palembang melawan VOC yang dipimpin Laksamana Joan van der
Laen. Peperangan ini dipicu oleh sebuah tragedi saat wakil dagang
VOC bernama Ockerz yang dikenal licik dan sombong terbunuh
bersama 42 pasukannya di kapal mereka, Jactra dan Wachter.
Serangan VOC mengakibatkan Keraton Kuto Gawang dibakar
habis, demikian juga Kuto maupun pemukiman penduduk
Portugis, Cina, Arab, dan bangsa lainnya di seberang Kuto.
Pangeran Sido Ing Rajek mengungsi ke pedalaman dan
kekuasaannya berpindah ke adiknya yakni Pangeran Ratu Ki Mas
Hindi. Kota itu akhirnya dapat direbut lagi oleh pasukan
Palembang dan kemudian dilakukan lagi
pembangunan-pembangunan ulang.
Ki Mas Hindi berusaha mengikat lagi hubungan dengan
Mataram, negeri yang seharusnya melindungi Palembang. Namun
justru penghinaan yang didapat oleh Palembang. Bagi Ki Mas
Hindi yang merasa tersinggung, inilah waktunya untuk memutus
Mataram. Lagipula tidak terlihat adanya bantuan nyata dari Jawa
saat Palembang mengalami serangan dari VOC. Kini raja
Palembang sederajat dengan sultan Mataram, sehingga gelar yang
dipakai adalah Sultan . Ki Mas (indi mengangkat dirinya sebagai
Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam di
tahun yang sama (1659), ia memindahkan pusat pemerintahan ke
Beringin Jungut.
Gambar Diorama Penyerangan Kapal-Kapal VOC ke Benteng Kuto Gawang.
Sumber: Buku Museum Sultan Mahmud Badaruddin
Pengaruh Mataram dalam Kemiliteran Palembang
Menurut catatan Nieuhof, seniman yang ikut dalam
ekspedisi militer tersebut, didapati beberapa gelar orang-orang
yang menjadi pimpinan pasukan Palembang seperti Orang Kay
144
Timah merupakan komoditas yang dibutuhkan dalam
banyak keperluan hidup manusia seperti sebagai bahan baku
peralatan rumah tangga, bahan elektronik dan solder, industri
kimia, industri kemasan makanan, bahkan untuk industri perang.
Beberapa sifat timah yang menguntungkan ialah menjadi
penghantar listrik yang baik, tidak beracun, dan tahan karat.
Pulau Bangka saat ini identik dengan timah. Benar saja, pada
Desember ―berdasarkan data Badan Pusat Statistik―nilai ekspor Provinsi Bangka Belitung menembus angka 110,30 juta
dolar AS, yang mana sekitar 81,71% ialah kontribusi dari timah.
Lalu, bagaimana sebenarnya sejarah komoditas timah di pulau
ini?
Keunikan sejarah penemuan timah di Pulau Bangka dapat
dilihat dari banyaknya versi yang berkembang mengenai hal ini.
Versi pertama dihubungkan dengan orang-orang Cina. Dikisahkan
bahwa ada dua kapal bajak laut Cina yang memasuki Laut Cina
Selatan yang singgah di Bangka, masyarakat asli setempat masih
pulau ini memiliki kandungan timah, mereka mengolah tanah
dengan cara mendulang dan berhenti menjadi bajak laut serta
sejak itu mereka mengajak rekan-rekan senegeri untuk menjadi
pendulang timah di Bangka. Versi lain menceritakan peran
orang-orang Melayu dalam penemuan itu. Pertama dikatakan bahwa
pengolahan timah diperkenalkan oleh asal Siantan-Malaka
setelah penemuan di Sungai Alin dan Toboali. Kedua, ada yang
meyakini bahwa penemu bijih timah Bangka pertama adalah
seorang yang bernama Anget dari suku Batin, kepercayaan ini
berkembang di masyarakat Palembang.
Foto salah satu tambang timah di Bangka. Sumber: Majalah Warta Sejarah No. 17 Juni 2011
Kekayaan timah yang sangat besar di dunia tersebar dari
pegunungan di Myanmar timur hingga ke Semenanjung Melayu
dan terus ke Pulau Bangka serta Belitung. Kekayaan di bagian
169
Suatu berita genting namun menggembirakan:
kebangunan orang Jawa! Istilah kebangunan dipilih dalam
pemberitaan Jong Indie edisi 8 Juli 1908 mengenai Boedi Oetomo,
sebuah perkumpulan modern di Hindia Belanda yang berdiri
kurang lebih dua bulan sebelumnya. Pada hari Rabu 20 Mei 1908,
pukul 09.00, Boedi Oetomo didirikan atas prakarsa Soetomo dan
beberapa kawannya. Soetomo sendiri merupakan pelajar School
tot Opleiding van Inlandsche Arsten (STOVIA), sekolah dokter
pribumi di Batavia. Ia dilahirkan dengan nama Soebroto pada 30
Juli 1888 di Ngapeh, Nganjuk.
Nama Boedi Oetomo sendiri lahir saat sebelumnya
Soetomo berbincang dengan seorang dokter pribumi lain
bernama Wahidin Soedirohusodo yang kala itu mengemukakan
perlunya mendirikan organisasi untuk memajukan pendidikan
agar bisa meninggikan martabat bangsa. Soetomo menyetujui itu
dengan berkata, Punika satunggaling pedamelan sae sarta nelakaken budi utami. Soetomo mengenang bahwa percakapan
organisasi. )alah Soeradji yang mengusulkan nama Boedi Oetomo . Menurut Baoesastra (kamus) Melajoe-Djawa (1916),
kata boedi memiliki berarti kabetjikan dan oetomo berarti loewih betjik , dua istilah itu memiliki arti hampir sama:
Kebaikan.
Foto dr. Soetomo Brosur Dokter Soetomo: Pemikiran dan Perjuangannya
oleh Museum Kebangkitan Nasional
Setelah masuk STOVIA pada 10 Januari 1903, Soetomo
lulus pada 12 April 1911. Ia bersungguh-sungguh untuk
mengamalkan kebaikan sebagaimana nama organisasi yang ia
ikut mendirikannya. Langkah pertama ialah dalam bidang profesi.
Soetomo melanjutkan studi ilmu kedokteran di Belanda untuk
188
Meskipun politik merupakan suatu hal yang pasti biasa
dilakukan oleh manusia setiap harinya, kata tersebut lebih banyak
dikaitkan sebuah bidang kehidupan bernegara dalam mengatur
pemerintahan. Bidang perpolitikan sering mendapat predikat
negatif karena dianggap sebagai wadah para pelakunya (politisi)
dalam melancarkan berbagai cara untuk mencapai tujuan. Kata
kotor , munafik , licik , dan istilah lainnya yang berkonotasi
negatif sering dilabelkan pada bidang ini.
Menarik tampaknya apa yang dimuat dalam salah satu
majalah berbahasa Indonesia yang dibagikan oleh denominasi
Saksi-Saksi Yehovah Jehovah s Witnesses silam, mereka
meyakini definisi agak lain tentang akhir Zaman-Pen) yakni
sebagai akhir dari pemerintahan manusia yang gagal : berlainan dengan keyakinan kebanyakan orang yang mengaitkannya
dengan kehancuran bumi. Kita kesampingkan dulu masalah
perbedaan agama. Pendapat Jehovah s Witnesses semakin
menguatkan bahwa bidang politik pemerintahan dewasa ini
Gambar penggambaran artistik Machiavelli oleh seniman modern. Sumber:
https://arceus2012.deviantart.com/art/Niccolo-Machiavelli-135561483
Nichollo Machiavelli pernah menulis dalam karangannya
yakni Hikayat Florentin (Istorie Fiorentine) tahun 1532
menyebutkan setidaknya empat hal penyebab merajalelanya
korupsi, dua di antaranya cenderung lebih dominan menggerus
kepercayaan rakyat. Pertama disebabkan kaum elit negeri yang
hidup dari popularitas dan penghasilan tinggi namun sedikit
bekerja. Bukan hanya menyebabkan iri dengki dengan pola dan
gaya hidupnya, mereka juga mempunyai pengikut yang cuma bisa
membeo serta membuat kerusakan massal. Kedua adalah pemahaman agama berdasar kemalasan bukan kesalehan, yang
213
Diktator Libya yang terbunuh pada 20 Oktober 2011 saat
terjadi perang saudara di negerinya memang terkenal
kontroversial. Muammar Khadafi erat dengan isu pelanggaran
HAM, usaha pengembangan nuklir, maupun sokongannya kepada
kelompok teroris, sampai tudingan sesat yang diarahkan oleh
sesama muslim padanya, tak dapat menutupi isu yang paling
menarik tentang sosok Khadafi: wanita. Hampir tidak bisa
dipungkiri, film The Dictator (2012) yang ditulis dan dibintangi
oleh Sacha Baron Cohen, merupakan komedi satir yang ditujukan
untuk Khadafi. Berdasarkan beberapa pengungkapan pasca
tergulingnya sang diktator, dikatakan bahwa Khadafi terindikasi
melakukan banyak kejahatan berupa eksploitasi seksual kepada
beberapa wanita melalui jalan penculikan ataupun menyimpan
Foto pasukan wanita Libya: antara kegagahan dan pesonanya. Diolah dari Sumber: www.pinterest.com
Rekam jejak Khadafi memang dikelilingi oleh para wanita.
Dalam masalah yang vital, seperti untuk keamanan pribadinya,
siapa yang tidak tahu tentang para bodyguards perawan
Khadafi? Pasukan pelindung pemimpin Libya yang mulai bertugas
sejak tahun 1980-an itu dipekerjakan Khadafi karena, seperti
yang disampaikannya kepada Joseph T. Stanik, menurutnya para
lelaki penembak jitu Arab akan sulit menembak wanita. Berita
yang beredar, para pengawal wanita itu harus menjaga
kesuciannya . Dididik di Akmil Wanita, pasukan pengawal Khadafi dilatih dengan ketat dan hasilnya terlihat ketika salah
satu pengawal bernama Aisha serta dua rekannya mengorbankan
xviii
Penulis Utama
Arafah Pramasto, S.Pd., terlahir
pada tanggal 13 April 1993 di
Jakarta dari seorang ayah asal
Pamekasan-Madura dan ibu asal
Musi Banyuasin-Sumatra Selatan. Ia
menempuh pendidikan tinggi di
Universitas Sriwijaya Palembang
sejak 2011-2016. Di antara
kegiatan-kegiatan yang perlu
dicatatkan selama berkuliah di
Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sriwijaya mendapatkan kesempatan
sebagai kontingen Universitas Sriwijaya dalam kegiatan Arung
Sejarah Bahari (AJARI) regional Sumatra Selatan, Sumatra Barat,
dan Bengkulu 2013 dan menempati posisi sebagai juara I dengan
makalah kualifikasi berjudul Neo-Sufisme Al-Palimbani dan Kondusifitas Masyarakat Bahari Palembang 1825-1856: Sebuah Kajian Sosio-Religius Sejarah serta Pendalaman Filsafat. Sekarang aktif sebagai freelance writer, dan Kontributor Kesejarahan UC
We-Media. Tulisannya telah dimuat di beberapa media lokal
Madura, Ampera.co, Detik Sumsel, Sumsel News, dll. Buku ini
adalah karya kedua setelah menerbitkan Sejarah Tanah-Orang
Madura: Masa Awal, Kedatangan Islam, hingga Invasi Mataram
diterbitkan oleh LeutikaPrio (2018) yang ia tulis bersama Sapta
Anugrah Ginting, S.Pd.
Sapta Anugrah Ginting, S.Pd.,
dilahirkan sebagai keturunan
Banjar-Kalimantan (ayah) dan
Batak Karo (ibu) pada tanggal 26
September 1992, ia tumbuh dalam
keluarga besar yang plural dan
harmonis. Secara kultural ia masih
keturunan kaum Pagustian
bangsawan Banjar dari sisi ayah.
Menyenangi fotografi dan
videografi, ia juga mengembangkan Blog kesejarahan dengan
alamat url: www.prosesss.blogspot.com sejak tahun 2013 berikut
dengan sebuah kanal kesejarahan di Youtube bernama Gerak
Gerik Sejarah. Kegiatan-kegiatan semasa perkuliahannya
ditempuh dengan mengikuti perlombaan dan seminar (sebagai
peserta maupun pemakalah). Tahun 2017, ia berhasil
xx
Sumatra Selatan. Kini ia memilih untuk mengabdi sebagai train attendant/Pramugara Kereta Api yang melayani jurusan Palembang ke Lampung dan Lubuklinggau sembari menulis
artikel opini ke media lokal cetak dan online seperti Tribun Sumsel, Sriwijaya Online, dan Pedoman Bengkulu.
Rifkhi Firnando, S.Pd., dilahirkan
pada tanggal 27 Juni 1993 di Kota
Batu, Sumatra Selatan. Ia
menyelesaikan pendidikan
menengah atas di SMAN 13
Palembang dan diterima sebagai
mahasiswa Program Studi
Pendidikan Sejarah. Dikenal
sebagai seorang yang mudah
berteman, ia memilih untuk
menyelesaikan skripsi mengenai sejarah masyarakat transmigran
di Desa Mulya Sari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten
Banyuasin. Baginya, kesejarahan merupakan sesuatu yang sangat
integral dalam kehidupan manusia bahkan untuk di masa kini dan
salah satu cara menelusurinya ialah dengan terjun langsung guna
menguak kenangan-kenangan silam dalam kognisi masyarakat.
Setelah lulus dari Universitas Sriwijaya (2017), ia mengabdi
Kabupaten Banyuasin sembari aktif mempelajari buku-buku
kesejarahan sosial, sosialisme, dan keislaman. Tulisannya pernah
dimuat di media online lokal seperti Ampera.co dan Sumsel News
Online.
Noftarecha Putra, S.Pd., lahir
pada 8 November 1993, ia
dibesarkan dalam sebuah keluarga
pendidik asal Desa Ulu Danau,
Kabupaten Ogan Komering Ulu
Selatan. Semasa pendidikan
menengah atas, ia aktif dalam
kegiatan ekstrakurikuler yakni
sebagai Pasukan Pengibar Bendera
di SMA Plus N 4 OKU di Kota
Baturaja. Tertarik dengan kultur masyarakat Uluan Sumatra
Selatan, ia juga dikenal fasih melantunkan syair-syair tradisional
suku Semendo. Diterima sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah
Universitas Sriwijaya (2011), masa perkuliahannya diisi dengan
berbagai kegiatan seperti menjadi anggota Dewan Perwakilan
Mahasiswa (DPM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
mengikuti dan memenangi banyak lomba (utamanya kuis cepat
tepat dan debat), menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa
xxii
pemakalah dalam seminar kesejarahan. Jiwa pedagogik
membawanya memilih untuk mengambil program Magister
Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun
2017 (masih menempuh pendidikan).
Tedi Suandika, S.Pd., terlahir dari
keluarga tradisional suku Kuang,
Kabupaten Ogan Ilir pada tanggal 13
Desember 1993. Dibesarkan melalui
bimbingan ayah yang berprofesi
sebagai guru dan tokoh masyarakat, ia
menjadi pribadi yang aktif di tengah
masyarakat dan terlibat banyak
kegiatan di desanya. Semenjak
memasuki usia sekolah menengah atas,
ia merantau ke ibu kota provinsi dan melanjutkan pendidikan di
SMAN 9 Palembang. Semasa kuliah di Program Studi Pendidikan
Sejarah Unsri (sejak 2011), ia beberapa kali terpilih sebagai Ketua
Tingkat dan aktif di perkumpulan mahasiswa daerah asalnya
(HIMAKADA/Himpunan Mahasiswa Kuang Dalam). Setelah lulus
(2017) ia terpilih sebagai Panitia Pemillihan Kecamatan (PPK)
KPUD Kab. Ogan Ilir serta menyumbangkan tulisannya ke media
Maulana Muhammad, S.Pd., ia
adalah pemuda asal suku
Komering Sumatra Selatan yang
lahir pada 30 April 1994. Latar
belakang keluarganya adalah
pendidik. Sejak SMA ia telah
menggemari sejarah dunia Sepak
Bola dan aktif terlibat sebagai
supporter tim Sriwijaya FC. Selain
itu, ia juga menjadi fans tim
Juventus. Semasa kuliah, ia tertarik dalam berbagai bidang kajian
kesejarahan, terutama mengenai sejarah organisasi Islam
Muhammadiyah (serta pemikirannya) dan sejarah kemiliteran.
Kegiatan-kegiatan selama menempuh penddidikan tinggi di
Universitas Sriwijaya itu (sejak 2011) banyak diisi dengan
mengikuti workshop, seminar kesejarahan, dan memenangi
beberapa perlombaan. Ternyata sosok yang senang
menghabiskan banyak waktu dengan buku-buku ini, lebih
menggandrungi sejarah kemiliteran dan kemerdekaan, sehingga
ia mengambil penelitian pengembangan modul pembelajaran
tentang Perang Kota Palembang. Kini ia konsen menulis dan
pernah menyumbangkan tulisannya ke media Sumsel Today