Return Dan Risiko Saham, Perataan Laba Pada Era Konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS)
IDA PUSPITARINI. W EKO HARIYANTO MARGANI PINASTI
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Abstract
The purpose of this study is to provide empirical evidence about the difference between stock return and stock risk banks which apply International Financial Reporting Standards (IFRS) and banks which do not apply IFRS, also the difference between stock return and stock risk smoother and non-smoother banks before and after the IFRS convergence.
Population used in this research was all banks listed in Indonesia Stock Exchange (IDX) during 2007-2012 periods. Sample was selected using purposive sampling. The research used independent- sample t- test as analysis tool with the aid of computer software for statistic SPSS version 20.00.
This research proves that stock return between banks which apply IFRS and banks which do not apply IFRS is not different, yet stock risk of banks which have applied IFRS is less than banks which have not applied IFRS. Then, those banks are reclassified into four groups, namely, smoother banks which have applied IFRS, non-smoother banks which have applied IFRS, smoother banks which have not applied IFRS, and non-smoother banks which have not applied IFRS. After grouping, the difference between stock return and stock risk of those groups are re-tested. The result of the test shows that there is not any difference on stock return, but the stock risk of smoother banks which have applied IFRS is less than smoother banks which have not applied IFRS. Therefore, the report of profit with low variability and more quality makes investor more sure of the performance of these companies. Key words: IFRS, smoother, stock return, and stock risk
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan bukti secara empiris tentang perbedaan return dan risiko saham antara perbankan yang telah menerapkan International Financial Reporting Standards (IFRS) dan perbankan yang belum menerapkan IFRS, serta perbedaan return dan risiko saham antara perbankan perata laba dan bukan perata laba sebelum dan sesudah konvergensi IFRS.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2007-2012. Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dan alat pengujian yang digunakan adalah t-tes sampel independen (independent-sample t-test) dengan software statistik SPSS versi 20.00.
Penelitian ini membuktikan bahwa return saham antara perbankan yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan yang belum menerapkan IFRS, namun risiko saham perbankan yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan yang belum menerapkan IFRS. Kedua kelompok perbankan tersebut diklasifikasikan kembali menjadi empat kelompok: perata laba yang telah menerapkan IFRS, bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS, perata laba yang belum menerapkan IFRS, dan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Perbedaan return dan risiko saham dari kelompok-kelompok ini dilakukan pengujian kembali. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan return saham, namun risiko saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Pelaporan laba dengan variabilitas rendah dan memiliki kualitas lebih telah membuat investor semakin yakin akan kualitas kinerja dari perusahaan ini.
1. Pendahuluan
Industri perbankan merupakan industri dengan pengawasan yang lebih ketat
dibandingkan dengan industri lainnya, namun meskipun pengawasan sudah dilakukan
secara demikian tidak menutup kemungkinan perilaku manajemen laba bisa terjadi pada
industri ini. Salah satu bentuk dari manajemen laba adalah perataan laba (income
smoothing) (Scott, 2012).
Teori keagenan (agency theory) dapat menjabarkan konsep perilaku perataan laba.
Jika terdapat pemisahan antara pemilik (principal) dan manajer (agent) yang
menjalankan perusahaan, maka akan timbul permasalahan keagenan karena pihak-pihak
tersebut selalu berusaha memaksimalkan utilitas-nya (Jensen dan Meckling, 1976).
Implikasi dari teori ini dapat membuktikan bahwa industri perbankan juga tidak lepas
dari praktik perataan laba.
Perhatian utama untuk menaksir kinerja atau pertanggungjawaban manajemen
terhadap perusahaan yang dikelolanya pada umumnya terpusat pada laba akuntansi.
Laba akuntansi juga membantu pemilik perusahaan (pemegang saham) ataupun pihak
lain dalam melakukan penaksiran atas earning power perusahaan di masa mendatang.
Laba akuntansi dikatakan relevan jika angka laba tersebut mampu mencerminkan
perubahan return saham yang terdapat pada pasar sehingga hal itu menyatakan bahwa
laba akuntansi tersebut mempunyai informasi yang berguna bagi para pemegang saham.
Informasi tersebut menyebabkan para pemegang saham bereaksi dan menyebabkan
perubahan return saham (Haryanto, 2012). Jika laba yang dihasilkan tidak stabil atau
terus berfluktuasi, maka kinerja manajer akan dipertanyakan dan akan berakibat buruk
bagi nama baik perusahaan. Oleh karena itu manajer perusahaan akan berusaha
meratakan laba yang dilaporkannya untuk menjaga persepsi para pemegang saham
karena perilaku ini dapat memberi pengaruh yang signifikan terhadap rata-rata
kumulatif abnormal return yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan bukan
perata laba (Michelson et al., 2000; Martinez dan Castro, 2011; Chen, 2012).
Pada tahun 2008, Indonesia ikut serta melakukan konvergensi IFRS (International
Financial Reporting Standards), sesuai dengan salah satu kesepakatan pemerintah
Indonesia sebagai anggota G 20 forum. Konvergensi IFRS dilakukan dengan merevisi
PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) agar secara material sesuai dengan
konvergensi ini diharapkan dapat menjawab tantangan bagaimana pelaporan keuangan
harus dilakukan seiring dengan tuntutan globalisasi perekonomian dunia yang
menginginkan adanya peningkatan transparansi informasi dunia usaha kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
Teori regulasi (theories of regulation) erat kaitannya dengan proses konvergensi
IFRS. Dengan adanya keinginan untuk mencapai tujuan sosial dan pengalaman dalam
kegagalan pasar, merupakan alasan yang dapat digunakan untuk mendukung perlunya
regulasi dalam akuntansi keuangan (Scott, 2012). Tujuan sosial yang dimaksud
mencakup kewajaran akan laporan keuangan, keseimbangan informasi yang disajikan,
dan perlindungan terhadap para investor. Dengan adanya IFRS sebagai regulasi,
tuntutan publik mengenai koreksi atas kegagalan pasar diharapkan dapat terpenuhi.
Peraturan Bank Indonesia No.14/15/PBI/2012 tentang penilaian kualitas aset bank
umum menyebutkan bahwa sejalan dengan perkembangan terkini standar akuntansi
keuangan, perbankan dituntut untuk menyajikan laporan keuangan yang akurat,
komprehensif, dan mencerminkan kinerja bank secara utuh serta sesuai dengan standar
akuntansi internasional. Dalam rangka menyelaraskan standar akuntansi keuangan
khususnya untuk perbankan Indonesia, PSAK 50 dan 55 tentang instrumen keuangan
merupakan penerapan IFRS IAS (International Accounting Standard) 32 dan 39 tentang
Financial Instruments. PSAK 50 dan 55 ini memberikan dampak yang signifikan bagi
industri ini, khususnya dalam hal valuasi pencadangan kredit bermasalah dimana saat
ini objektifitas sangat ditekankan dalam penentuan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
(CKPN).
Pada tahun 2013 terdapat 36 bank yang telah tercatat di Bursa Efek Indonesia
(BEI). Meskipun tahapan ketiga untuk implementasi IFRS baru dimulai pada awal
tahun 2012, dalam praktiknya sebagian besar perbankan yang telah terdaftar di BEI
tersebut telah menerapkan IFRS lebih awal yaitu pada tahun 2010 sebanyak 29 bank,
dan terdapat satu bank pada tahun 2011. Penerapan standar akuntansi ini diharapkan
dapat menutup celah manajemen untuk melakukan perekayasaan laporan keuangannya
karena konsep dari PSAK 50 dan 55 menuntut bank untuk menentukan cadangan
berdasarkan data historis kerugian kredit yang sudah terjadi (incurred loss) dimana data
yang dijadikan patokan harus berusia minimal 3 tahun. Sebelumnya, konsep penentuan
cadangan menggunakan ekspektasi kerugian kredit (expectation loss) yang
merasa default kreditnya besar. Hal ini merupakan celah yang banyak dimanfaatkan
oleh bank untuk memoles laporan keuangannya. Dengan adanya PSAK 50 dan 55, bank
tidak bisa lagi memilah-milah data historis kredit untuk mengatur cadangan guna
memeroleh rasio probability of default tertentu karena akan dengan mudah diketahui
oleh auditor akuntan publik maupun dari pengawasan Bank Indonesia sehingga bank
akan menjadi lebih transparan dalam menyajikan laporan keuangannya (Iskandar,
2010). Dengan adanya transparansi ini laba yang dihasilkan akan lebih berkualitas
sehingga membuat laporan keuangan menjadi lebih informatif (Dechow et al., 2010).
Sejalan dengan pemikiran ini Bushman dan William (2012), menyatakan bahwa
penyampaian informasi secara transparan oleh bank akan memainkan peran yang
fundamental dalam memajukan disiplin pasar sebagaimana prinsip kehati-hatian dalam
industri perbankan.
Penerapan IFRS sebagai standar global akan menghasilkan laporan keuangan
yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi. Barth et al. (2008) membuktikan bahwa
negara yang telah mengadopsi IAS secara sukarela (voluntary) antara tahun 1994 dan
2003 memiliki tingkat manajemen laba yang lebih rendah, hasil yang sama juga
dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Rudra dan Bhattacharjee (2011) pada
sektor perbankan dan keuangan di India, dan Anggraita (2012) pada sektor perbankan di
Indonesia. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohaeni dan Aryati
(2012) mengenai pengaruh konvergensi IFRS terhadap perataan laba pada perusahaan
manufaktur di negara Indonesia, Singapura, dan Cina selama tahun 2006-2010 yang
memberikan bukti bahwa konvergensi IFRS berpengaruh negatif terhadap perataan
laba.
Namun hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Goncharov dan
Zimmerman (2006), Santy et al. (2013), Zhou et al. (2013), yang menyatakan bahwa
adopsi IFRS ternyata tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena IFRS belum tentu sepenuhnya sesuai apabila diimplementasikan di
negara yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara maju, sehingga
implementasi dari penerapan standar ini belum dapat berjalan secara efektif sesuai
dengan tujuan yang diharapkan. Selain itu, manajemen laba merupakan perilaku yang
rasional oleh seorang manajer untuk memperhatikan kepentingan dirinya sendiri,
perekayasaan laporan keuangan masih bisa dilakukan oleh manajer demi tujuan-tujuan
tertentu.
Penelitian-penelitian lain mengenai dampak IFRS telah banyak dilakukan.
Armstrong et al. (2008) melakukan penelitian mengenai reaksi pasar terhadap adopsi
IFRS di Eropa. Penelitian ini telah memberikan bukti empiris bahwa IFRS telah
membuat perusahaan-perusahaan lebih mudah untuk dibandingkan yang mana hal ini
akan membuat alokasi modal menjadi efisien. Konsisten dengan penelitian ini,
penelitian Daske et al. (2008, 2011) memberikan bukti bahwa adopsi IFRS baik secara
wajib maupun sukarela telah menurunkan biaya modal. Loureiro dan Taboada (2012)
yang telah melakukan pengujian pengaruh adopsi IFRS baik secara wajib maupun
sukarela terhadap keinformatifan harga saham dengan sampel sebanyak 3.994
perusahaan di 30 negara, hasil penelitian ini membuktikan bahwa adopsi IFRS baik
secara wajib maupun sukarela telah meningkatkan keinformatifan harga saham.
Perilaku perataan laba di Indonesia khususnya pada industri perbankan sebelum
dan sesudah konvergensi IFRS merupakan hal penting untuk diteliti, karena penerapan
PSAK 50 dan 55 pada industri perbankan belum dilakukan secara optimal mengingat
PSAK ini merupakan standar akuntansi yang cukup kompleks, sehingga penerapannya
pada industri ini membutuhkan biaya yang cukup besar karena membutuhkan investasi
dalam hal teknologi informasi dan sumber daya manusia (Anggraita, 2012). Bertolak
dari penjelasan dan penelitian-penelitian tersebut di atas, peneliti termotivasi untuk
menguji perbedaan return dan risiko saham antara perbankan yang telah menerapkan
IFRS dan perbankan yang belum menerapkan IFRS, serta perbedaan return dan risiko
saham antara perbankan perata laba dan bukan perata laba sebelum dan sesudah
konvergensi IFRS.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dihadapi dapat
dirumuskan sebagai berikut: apakah return saham perbankan yang telah menerapkan
IFRS berbeda dengan return saham perbankan yang belum menerapkan IFRS?, apakah
risiko saham perbankan yang telah menerapkan IFRS berbeda dengan risiko saham
perbankan yang belum menerapkan IFRS?, apakah return saham perbankan perata laba
yang telah menerapkan IFRS berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba
yang telah menerapkan IFRS?, apakah return saham perbankan perata laba yang belum
menerapkan IFRS berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba yang
menerapkan IFRS berbeda dengan risiko saham perbankan bukan perata laba yang telah
menerapkan IFRS?, apakah risiko saham perbankan perata laba yang belum
menerapkan IFRS berbeda dengan risiko saham perbankan bukan perata laba yang
belum menerapkan IFRS?, apakah return saham perbankan perata laba yang telah
menerapkan IFRS dengan return saham perbankan perata laba yang belum menerapkan
IFRS tidak terdapat perbedaan?, apakah return saham perbankan bukan perata laba yang
telah menerapkan IFRS dengan return saham perbankan bukan perata laba yang belum
menerapkan IFRS tidak terdapat perbedaan?, apakah risiko saham perbankan perata
laba yang telah menerapkan IFRS dengan risiko saham perbankan perata laba yang
belum menerapkan IFRS tidak terdapat perbedaan?, apakah risiko saham perbankan
bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS dengan risiko saham perbankan bukan
perata laba yang belum menerapkan tidak terdapat perbedaan?.
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai
berikut: menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan
yang telah menerapkan IFRS dan perbankan yang belum menerapkan IFRS, menguji
secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara perbankan yang telah
menerapkan IFRS dan perbankan yang belum menerapkan IFRS, menguji secara
empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan perata laba yang telah
menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS,
menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan perata
laba yang belum menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang belum
menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara
perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba
yang telah menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko
saham antara perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS dan perbankan
bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya
perbedaan return saham antara perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan
perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada
tidaknya perbedaan return saham antara perbankan bukan perata laba yang telah
menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS,
menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara perbankan perata
laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan perata laba yang belum menerapkan
bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang
belum menerapkan IFRS.
2. Kerangka Pemikiran Teoritis Dan Pengembangan Hipotesis
2.1. Return Dan Risiko Saham Perbankan Sebelum Dan Sesudah Konvergensi IFRS
Hartono (2013), return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi. Return
dapat berupa return realisasian yang telah terjadi (realized return) atau return
ekspektasian (expected return) yang belum terjadi tetapi yang diharapkan akan terjadi di
masa mendatang. Return realisasian dihitung menggunakan data historis. Return
realisasian penting karena digunakan sebagai salah satu pengukur kinerja perusahaan.
Dalam konsep investasi jika hanya mengkaji return saja tidaklah lengkap. Return dan
risiko merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Risiko sering dihubungkan dengan
penyimpangan atau deviasi dari outcome yang diterima dengan yang diekspektasi. Van
Horne dan Wachowics, Jr (1992) mendefinisikan risiko sebagai variabilitas return
terhadap return yang diharapkan. Risiko yang diukur dengan ukuran ini mengukur
risiko dari seberapa besar nilai tiap-tiap item menyimpang dari rata-ratanya.
Adopsi standar akuntansi mengharuskan informasi menjadi berkualitas tinggi,
transparan dan dapat diperbandingkan. Sulit untuk membandingkan informasi keuangan
seluruh dunia tanpa seperangkat standar akuntansi dan pelaporan keuangan yang umum.
Penggunaan seperangkat standar akuntansi berkualitas tinggi akan memberikan fasilitas
investasi dan pengambilan keputusan ekonomis lainnya melewati lintas batas,
meningkatkan efisiensi pasar, dan mengurangi biaya untuk peningkatan modal. IFRS
semakin menjadi perangkat standar akuntansi yang diterima secara global yang
memenuhi kebutuhan dunia, dengan semakin bertambahnya pasar modal global yang
terintegrasi. PSAK 50 dan 55 merupakan penerapan IFRS pada laporan keuangan
industri perbankan ditujukan agar industri ini menjadi lebih transparan dalam
menyajikan laporan kinerjanya. Hal ini diharapkan agar industri perbankan semakin
strategis dan menarik bagi investor karena mereka menjadi lebih mudah dalam
memahami kinerja perbankan.
Penelitian terdahulu telah menemukan alasan bahwa perusahaan yang telah
menerapkan IFRS akan mengalami kenaikan likuiditas pasar, menurunkan biaya modal,
dan menaikkan penilaian ekuitas (Daske et al., 2008). Daske et al. (2011) menemukan
biaya modal dan likuiditas pasar dibandingkan “label” adopters. Loureiro dan Taboada
(2012) menyatakan bahwa perusahaan yang mengadopsi IFRS keinformatifan harga
sahamnya semakin meningkat. Demikian juga, Armstrong et al. (2008) yang telah
menyimpulkan bahwa investor-investor di negara Eropa memberikan respon positif
terhadap perusahaan yang telah menerapkan IFRS, karena mereka telah merasakan
keuntungan dari adopsi standar ini, yang antara lain laporan keuangan menjadi lebih
berkualitas karena informasi asimetri dan risiko informasi yang semakin rendah.
Dari uraian di atas peneliti lebih menekankan pada teori dan hasil penelitian
terdahulu. IFRS telah menghasilkan laporan keuangan yang lebih transparan karena
pengungkapannya dilakukan lebih detail dan terperinci sehingga dapat membantu
pengguna laporan keuangan untuk mendapatkan informasi yang lebih relevan. Kualitas
laporan keuangan yang semakin baik ini akan direspon positif oleh para pengguna,
khususnya para investor (Armstrong et al., 2008) karena mereka menjadi lebih mudah
dalam memahami kinerja perusahaan dan diharapkan dapat memberi manfaat dalam
mengestimasi tingkat return dan risiko investasi yang dilakukannya.
Kepercayaan nilai suatu saham oleh investor sangat dipengaruhi oleh kinerja
perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Jika prospek suatu perusahaan publik
dalam kondisi kuat dan baik, maka harga saham perusahaan tersebut diperkirakan akan
merefleksikan kekuatannya (Puspitaningtyas, 2012). Kepercayaan investor ini sangat
bermanfaat bagi perusahaan, karena semakin banyak investor yang percaya terhadap
perusahaan, maka keinginan untuk berinvestasi pada perusahaan ini akan semakin kuat.
Semakin banyak permintaan terhadap saham dari suatu perusahan maka dapat
menaikkan harga saham tersebut, karena harga saham di bursa efek akan ditentukan
oleh kekuatan permintaan dan penawaran (Anoraga dan Pakarti, 2001). Apabila harga
saham yang tinggi dapat dipertahankan maka kepercayaan investor terhadap investor
akan semakin tinggi (Zuliarni, 2012). Keadaan ini dapat menjanjikan tingkat
pengembalian (return) yang lebih tinggi dan risiko saham lebih minimal karena realisasi
outcome yang diterima tidak menyimpang dari outcome yang diharapkan.
Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis yang tampak pada gambar 2.1, maka
peneliti mengajukan hipotesis pertama dan kedua sebagai berikut:
H1: Return saham perbankan yang telah menerapkan IFRS lebih besar dibandingkan
H2: Risiko saham perbankan yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan
dengan risiko saham perbankan yang belum menerapkan IFRS.
2.2. Perataan Laba, Return Dan Risiko Saham Perbankan Sebelum Dan Sesudah
Konvergensi IFRS
Konsep perataan laba mengasumsikan bahwa investor adalah orang yang menolak
risiko (Fudenberg dan Tirole, 1995), sehingga investor lebih menyukai aliran laba yang
stabil. Secara teoritis, perilaku investor demikian ini menyebabkan manajemen
melakukan perataan laba. Perataan laba juga merupakan perilaku rasional yang
dilakukan oleh manajer (agent), yaitu untuk lebih mementingkan kepentingan dirinya.
Maka motivasi yang memengaruhi kebijakan manajer atas kebijakan yang diambilnya
adalah untuk memaksimalkan kepentingannya, karena manajer percaya bahwa penilaian
pasar mendasarkan pada angka akuntansi yang mereka hasilkan.
Michelson et al. (2000) memberikan bukti bahwa perusahaan yang melakukan
perataan laba secara signifikan memiliki rata-rata kumulatif abnormal return yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak melakukan perataan laba. Chen
(2012) telah membuktikan bahwa perusahaan dengan kondisi perataan laba yang lebih,
akan cenderung untuk memiliki return yang lebih pula. Martinez dan Castro (2011)
membuktikan bahwa perusahaan perata laba memiliki tingkat risiko pasar lebih rendah
dibanding perusahaan bukan perata laba, dan abnormal return perusahaan perata laba
signifikan lebih tinggi daripada perusahaan bukan perata laba. Sementara itu penelitian
yang dilakukan oleh Garizi et al. (2011) memberikan hasil bahwa tidak ditemukan
adanya perbedaan rata-rata return antara perusahaan perata laba dan bukan perata laba.
Penerapan IFRS untuk laporan keuangan industri perbankan yaitu PSAK 50 dan
55 diharapkan akan menutup celah upaya para manajer untuk melakukan rekayasa
laporan keuangan bank untuk tujuan tertentu sehingga bank harus melaporkan kondisi
laporan posisi keuangan yang benar saat pelaporan. Rudra dan Bhattacharjee (2011)
memberikan bukti bahwa setelah diperkenalkannya IFRS tingkat manajemen laba
menjadi lebih rendah, hasil yang sama juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan
Anggraita (2012). Barth et al. (2008) membuktikan bahwa perusahaan yang
menggunakan standar akuntansi keuangan internasional menunjukkan tingkat perataan
laba dan manajemen laba yang rendah, serta terdapat hubungan yang tinggi antara
angka akuntansi dengan harga dan return saham. Demikian juga dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rohaeni dan Aryati (2012), mengenai pengaruh konvergensi IFRS
Namun hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Santy et al. (2013),
Goncharov dan Zimmermann (2006), Zhou et al. (2013), yang menyatakan bahwa
adopsi IFRS ternyata tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, hal ini kemungkinan
disebabkan oleh perbedaan karakteritik suatu negara yang belum tentu dapat
diakomodasi oleh IFRS sehingga implementasi dari penerapan standar ini belum
berjalan dengan baik.
Dari uraian di atas peneliti lebih menekankan pada teori dan hasil penelitian
terdahulu. Investor yang menolak risiko lebih menyukai perusahaan dengan aliran laba
yang stabil, karena mereka akan lebih mudah untuk memprediksi laba yang akan
datang. Kondisi ini telah memotivasi manajer perusahaan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang membuat smooth aliran labanya (Fudenberg dan Tirole, 1995), selain itu
perusahaan dengan aliran laba yang mempunyai variabilitas relatif rendah memiliki
return saham yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang variabilitas
labanya tinggi (Michelson et al., 2000; Chen, 2012).
IFRS merupakan standar yang berbasis prinsip, dalam prinsip ini diperlukan
penggunaan professional judgment dari seorang ahli (Martani, 2014). Sesuai dengan
teori agensi (Jensen dan Meckling, 1976) dimana manajer sebagai pihak pemegang
informasi yang lebih banyak dibandingkan investor akan berpotensi untuk
memaksimalkan utilitas-nya, sehingga penggunaan professional judgment ini akan
dapat digunakan sebagai celah untuk membuat laporan keuangannya menjadi lebih baik
(Armstrong, 2008) yang salah satunya melalui tindakan perataan laba. Salah satu tujuan
yang ingin diperoleh manajer adalah untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaannya
agar dapat berjalan secara stabil, sehingga dapat menarik perhatian para investor untuk
berinvestasi pada perusahaannya (Stolowy dan Breton, 2000). Aliran laba yang smooth
ditangkap oleh manajer sebagai refleksi kondisi kinerja perusahaannya dalam keadaan
kuat dan baik, sehingga hal ini dapat memicu kepercayaan para investor untuk
berinvestasi pada perusahaannya. Semakin banyak permintaan terhadap saham
perusahaannya, harga saham dari perusahaan itu akan terus meningkat.
Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis yang tampak pada gambar 2.2, maka
hipotesis ketiga sampai dengan keenam adalah sebagai berikut:
H3: Return saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS lebih besar
dibandingkan dengan return saham perbankan bukan perata laba yang telah
H4: Return saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS lebih besar
dibandingkan dengan return saham perbankan bukan perata laba yang belum
menerapkan IFRS.
H5: Risiko saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS lebih kecil
dibandingkan dengan risiko saham perbankan bukan perata laba yang telah
menerapkan IFRS.
H6: Risiko saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS lebih kecil
dibandingkan dengan risiko saham perbankan bukan perata laba yang belum
menerapkan IFRS.
Secara teori perekayasaan laporan keuangan tidak akan menjadi permasalahan
jika di dalamnya tidak ditumpangi dengan motif oportunistik dari seorang manajer
(Beaver, 2000 dalam Bao dan Bao, 2004). Jika laba yang dihasilkan memang secara
alami terjadi dan merefleksikan kinerja perusahaan, investor akan mempercayai bahwa
laba ini merupakan laba yang berkualitas dan memiliki relevansi nilai informasi yang
tinggi (Michelson et al., 2000). Informasi ini akan membuat para investor konsisten
untuk tidak dengan mudah merevisi kepercayaannya. Keadaan ini akan bermanfaat
dalam pergerakan harga dan risiko saham yang lebih stabil meskipun mereka telah
menerapkan IFRS.
Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis yang tampak pada gambar 2.2, maka
hipotesis ketujuh sampai dengan kesepuluh adalah sebagai berikut:
H7: Return saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda
dengan return saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS.
H8: Return saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak
berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan
IFRS.
H9: Risiko saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda
dengan risiko saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS.
H10: Risiko saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak
berbeda dengan risiko saham perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan
3. Metode Penelitian
3.1.Objek Penelitian
Return dan risiko saham perbankan yang telah menerapkan IFRS dan perbankan
yang belum menerapkan IFRS, return dan risiko saham perbankan perata laba dan
bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan belum menerapkan IFRS.
3.2.Metode Pengambilan Sampel
Menggunakan metode purposive sampling guna memeroleh sampel perbankan
yang dapat merepresentasikan periode cut point sebelum dan sesudah konvergensi
IFRS, berdasarkan kriteria sebagai berikut: perbankan tercatat di BEI pada tahun
2007-2012, menerapkan IFRS (PSAK 50 dan 55) di tahun 2010, dan memiliki data lengkap
untuk keperluan penelitian.
3.3.Jenis dan Sumber Data
Data sekunder diperoleh dari directory Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id) dan
finance.yahoo.com, berupa data akuntansi dan data saham. Data akuntansi meliputi
pendapatan dan laba bersih setelah pajak, data saham berupa return saham.
3.4.Operasional Variabel
Untuk menguji H1- H10, terdapat variabel: status yang telah menerapkan IFRS dan
belum menerapkan IFRS, status perata laba dan bukan perata laba, return saham dan
risiko saham. Operasionalisasi dari variabel-variabel tersebut sebagai berikut:
1. Variabel status telah menerapkan IFRS dan belum menerapkan IFRS: dilihat
dari pengadopsian PSAK 50 (Penyajian Instrumen Keuangan) dan PSAK 55
(Pengakuan dan Pengukuran Instrumen Keuangan) yang terdapat pada Laporan
Keuangan Auditan pada bagian Ikhtisar Kebijakan Akuntansi atau dapat juga
dilihat pada Laporan Auditor Independen, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Anggraita (2012).
2. Variabel status perata laba dan bukan perata laba: diklasifikasikan menggunakan
indeks Eckel (1981) sesuai dengan penelitian Michelson et al. (2000), Bao dan
Bao (2004), Garizi et al. (2011), Martinez dan Castro (2011) sebagai berikut:
Indeks Eckel = CV ∆ I
CV ∆ S
Dimana: ∆I= perubahan laba dalam satu periode. ∆S= perubahan pendapatan
dalam satu periode. CV = koefisien variasi dari variabel pada perusahaan, yaitu
standar deviasi (σ) dibagi dengan nilai yang diharapkan (μ). Dalam hal ini nilai
indeks ≥ 1: Bukan perataan laba. Variabel ∆I dan ∆S diperoleh dari laporan laba rugi (komprehensif) triwulan dari masing-masing perbankan.
3. Variabel return saham: Metode yang digunakan adalah return total (total return/
TR). Hartono (2013), return total terdiri dari capital gain (loss) dan yield. Data
harga saham yang digunakan untuk penelitian ini adalah harga aktivitas
perdagangan bulanan bukan harga aktivitas perdagangan harian (seperti halnya
penelitian Michelson et al., 2000), dengan pertimbangan: harga saham harian
normalitasnya lebih menyimpang dibandingkan harga saham bulanan (Fama,
1976 dalam Brown dan Warner, 1985) dan perdagangan saham di Indonesia
masih tergolong jarang (kurang aktif). Berdasarkan uraian di atas, return total
(TR) dirumuskan:
TR = Pt−Pt−1 + Dt
Pt−1
Dimana: Dt = dividen pada periode t. Pt = harga saham pada akhir periode.
Pt-1 = harga saham pada awal periode
4. Variabel risiko saham: Untuk menghitung risiko, metode yang banyak
digunakan adalah deviasi standar (standard deviation) yang mengukur absolut
penyimpangan nilai-nilai yang sudah terjadi dengan nilai ekspektasinya
(Hartono, 2013).
Deviasi standar dapat dirumuskan:
SD = �{(xi−x)2
n }
Dimana: SD = deviasi standar. xi = return saham tertentu pada masing-masing
bulan. x = nilai rata-rata saham tertentu selama periode penelitian. n= jumlah
dari observasi data historis untuk sampel besar dengan n (paling sedikit 30
observasi) dan untuk sampel kecil digunakan (n-1).
3.5.Teknik Analisis Data
Data penelitian dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan uji statistik untuk
pengujian hipotesis. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis menggunakan t-tes sampel
independen (independent-sample t-test) dengan software statistik SPSS, dilakukan uji
4. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan di BEI, populasi berupa perusahaan perbankan yang
terdaftar hingga tahun 2012. Dari sejumlah 32 bank sebagai populasi, diperoleh sampel
sebanyak 18 bank untuk pengujian H1 dan H2, dan 14 bank untuk pengujian H3 sampai
dengan H10. Hasil penelitian pada bagian ini, akan dipaparkan dalam 2 bagian, yaitu:
hasil statistik deskriptif yang menyajikan profil data penelitian, dan statistik induktif
(inferensi) yang menyajikan hasil pengujian hipotesis.
4.1.Profil Data Penelitian
Profil data penelitian diperoleh dari hasil analisis data melalui pengolahan statistik
deskriptif. Data-data penelitian yang akan disajikan pada profil ini mengacu pada
variabel-variabel penelitian yang ada, yaitu variabel return saham dan risiko saham.
Pada H1 sampai dengan H10, terdapat variabel: setelah menerapkan IFRS, sebelum
menerapkan IFRS, perata laba dan bukan perata laba setelah menerapkan IFRS, serta
perata laba dan bukan perata laba sebelum IFRS. Variabel-variabel penelitian tersebut
merupakan variabel kategorikal sehingga tidak diikutkan pada pengolahan statistik
deskriptif.
a. Profil Variabel Return Saham
Hasil pengolahan data statistik deskriptif yang menunjukkan data penelitian
variabel return saham untuk H1 (masing-masing bank) disajikan pada tabel 4.1, yang
kemudian secara keseluruhan nilai-nilai tersebut ditampilkan pada tabel 4.2. Hasil
pengolahan data statistik deskriptif variabel return saham untuk pengujian H3, H4, H7,
H8 (masing-masing bank) disajikan pada tabel 4.3, yang kemudian secara keseluruhan
nilai-nilai tersebut dapat ditampilkan pada tabel 4.4.
b. Profil Variabel Risiko Saham
Hasil pengolahan data statistik deskriptif yang menunjukkan data penelitian
variabel risiko saham untuk H2 (masing-masing bank) disajikan pada tabel 4.5, yang
kemudian secara keseluruhan nilai tersebut ditampilkan pada tabel 4.6. Hasil
pengolahan data statistik deskriptif variabel risiko saham untuk pengujian H5, H6, H9,
H10 (masing-masing bank) disajikan pada tabel 4.7, yang kemudian secara keseluruhan
nilai-nilai tersebut dapat ditampilkan pada tabel 4.8.
Profil variabel return dan risiko saham tersebut secara ringkas disajikan pada tabel
4.2.Hasil Pengujian Hipotesis dan Pembasan
Ringkasan hasil pengujian hipotesis disajikan pada tabel 4.10. Pembahasan
masing-masing hipotesis disampaikan sebagai berikut:
Hipotesis pertama ditolak, sehingga return saham antara perbankan yang telah
menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan yang belum
menerapkan IFRS. Terjadinya pergerakan harga saham tidak lepas dari hasil publikasi
laporan keuangan, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Barth et
al. (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang tinggi antara angka
akuntansi dengan harga saham dan return saham. Jika return saham antara perbankan
yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan yang belum
menerapkan IFRS, hal ini menunjukkan bahwa pada periode tersebut angka akuntansi
yang tampak pada laporan keuangan yang merefleksikan fundamental/ kinerja
perusahaan tidak mengalami perubahan, sehingga hasil analisis yang dilakukan oleh
investor pun juga tidak mengalami perubahan, akibatnya permintaan saham pada
periode ini tidak mengalami perbedaan. Keadaan ini membuat harga saham perusahaan
tersebut tidak mengalami perubahan, sehingga return sahamnya pun tidak mengalami
perbedaan.
Hipotesis kedua diterima, yaitu risiko saham perbankan yang telah menerapkan
IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan yang belum menerapkan
IFRS. IFRS mensyaratkan pengungkapan informasi (disclosure) yang lebih detail dan
terperinci. Kondisi yang transparan ini membuat para investor lebih mudah
menganalisis kinerja perusahaan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Armstrong et al. (2008). Prestasi keuangan perusahaan yang tertuang pada laporan
keuangan, dapat membantu para investor untuk memahami kekuatan, kelemahan dan
perkembangan perusahaan tersebut. Seiring dengan meningkatnya kredibilitas laporan
keuangan, perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan IFRS lebih mudah untuk
dibandingkan (Daske et al., 2008). Hal ini membuat para investor tidak mudah terpicu
oleh isu yang dapat memengaruhi perubahan harga saham suatu perusahaan. Kondisi
yang lebih kondusif ini akan dapat meredam fluktuasi harga sekuritas, sehingga hal ini
dapat membuat kemungkinan risiko saham menjadi lebih kecil.
Hipotesis ketiga ditolak, sehingga return saham perbankan perata laba yang telah
menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba yang
telah menerapkan IFRS. Hal ini menunjukkan laporan keuangan yang dihasilkan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Barth et al. (2008). Bao dan Bao (2004) menyatakan
apakah dampak perilaku perataan laba terhadap harga saham jika hal ini terjadi pada
negara dengan kondisi praktik akuntansi yang transparan dan optimis. Dari pertanyaan
ini dapat dijelaskan bahwa dengan adanya laporan keuangan yang berkualitas, laba
dengan variabilitas yang rendah belum tentu memberikan jaminan yang lebih terhadap
nilai dari perusahaan tersebut (Beaver, 2002 dalam Bao dan Bao, 2004). Laba akan
memiliki relevansi jika laba tersebut berkualitas (Michelson et al., 2000). Dari uraian di
atas dapat dikatakan bahwa dengan adanya IFRS, investor tidak lagi memandang
apakah suatu perusahaan perata laba ataupun bukan perata. Investor menilai suatu
perusahaan dari kualitas laba yang dihasilkan. Keadaan ini akan memicu investor untuk
bertindak secara rasional, sehingga volume perdagangan atau perubahan-perubahan
harga saham antara perbankan perata laba dan bukan perata laba tidak mengalami
perbedaan.
Hipotesis keempat ditolak, sehingga return saham perbankan perata laba yang
belum menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan bukan perata
laba yang belum menerapkan IFRS. Hal ini menunjukkan laporan keuangan yang
dihasilkan oleh perusahaan yang belum menerapkan IFRS memiliki kapasitas
pengungkapan informasi yang kurang baik sebagaimana yang disampaikan oleh
Armstrong et al. (2008), sehingga belum dapat membantu para penggunanya untuk
mendapatkan informasi yang relevan. Informasi yang dimanipulasi yang salah satunya
melalui tindakan perataan laba akan membuat mislead para penggunanya dan akan
mempersulit mereka dalam melakukan analisa laporan keuangan (Beidleman, 1973
dalam Garizi et al., 2011). Dalam keadaan ini investor dapat beranggapan bahwa
laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan perata laba memiliki kualitas yang
sama dengan perusahaan bukan perata laba. Secara otomatis anggapan ini akan
memengaruhi keputusan mereka dalam berinvestasi. Hal ini mengakibatkan permintaan
saham akan perusahaan tersebut tidak mengalami perbedaan dengan perusahaan bukan
perata laba, sehingga harga saham kedua jenis perusahaan inipun tidak mengalami
pergerakan yang berbeda.
Hipotesis kelima ditolak, sehingga risiko saham perbankan perata laba yang telah
menerapkan IFRS tidak berbeda dengan risiko saham perbankan bukan perata laba yang
telah menerapkan IFRS. Penyajian dan pengungkapan laporan keuangan berbasis IFRS
yang berkredibilitas tinggi karena sarat akan transparansi sangat membantu para
lainnya sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Daske et al. (2008). Kondisi laba
yang lebih berkualitas dan dapat merepresentasikan kualitas kinerja yang dihasilkan
oleh perusahaan yang menerapkan IFRS, akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi
para investor sehingga mereka tidak membedakan apakah perusahaan itu perata laba
ataupun bukan perata dalam keputusan berinvestasinya. Pertimbangan yang rasional ini
dapat menyebabkan para investor semakin yakin bahwa keputusan investasi yang
diambilnya adalah tepat sehingga mereka tidak mudah terpengaruh untuk mengikuti
keputusan berinvestasi investor lainnya. Optimisme ini akan dapat meredam fluktuasi
harga saham pada kedua jenis perusahaan tersebut sehingga risiko saham dari keduanya
pun dapat lebih terkontrol dengan baik.
Hipotesis keenam ditolak, sehingga risiko saham perbankan perata laba yang belum
menerapkan IFRS lebih besar dibandingkan dengan perbankan bukan perata laba yang
belum menerapkan IFRS. Hal ini menunjukkan bahwa laba yang dilaporkan oleh
perusahaan perata laba memiliki relevansi nilai informasi yang lebih rendah karena laba
tersebut berkualitas yang rendah seperti yang disampaikan Michelson et al. (1995)
dalam Bao dan Bao (2004). Terlebih perusahaan perata laba tersebut belum menerapkan
IFRS, akan menimbulkan kemungkinan bahwa laba yang dilaporkan benar-benar
memiliki kualitas yang rendah sehingga tidak dapat memberikan jaminan akan kualitas
nilai perusahaan. Selain itu penyajian dan pengungkapan laporan keuangan yang belum
dilakukan secara detail dan terperinci, akan menyebabkan kurangnya transparansi dari
laporan keuangan sehingga para investor akan sulit untuk memahami kinerja
perusahaan. Hal ini akan semakin membuat bias keputusan berinvestasi para investor,
sehingga akan membuat investor lebih mudah untuk merevisi kepercayaannya,
akibatnya keputusan untuk membeli atau menjual saham akan dengan mudah mereka
lakukan. Kondisi ini akan membuat harga saham menjadi fluktuatif, sehingga risiko
saham perusahan perata laba yang belum menerapkan IFRS akan berpotensi lebih besar
dibandingkan dengan perusahaan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS.
Hipotesis ketujuh diterima, yaitu return saham perbankan perata laba yang telah
menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan perata laba yang
belum menerapkan IFRS. Secara teori perekayasaan laporan keuangan tidak akan
menjadi permasalahan jika di dalamnya tidak ditumpangi dengan motif oportunistik dari
seorang manajer seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Beaver (2000) dalam
Bao dan Bao (2004). Jika laba yang dihasilkan memang secara alami terjadi dan
merupakan laba yang berkualitas dan memiliki relevansi nilai informasi yang tinggi
(Michelson et al., 2000). Bao dan Bao (2004) juga menyimpulkan bahwa perilaku
perataan laba dimungkinkan terjadi secara legal dan normal (Oliverio dan Newman,
1997; Sunden dan Jansson, 1999) dan mungkin terjadi tidak disebabkan oleh keinginan
manajer untuk memeroleh bonus (Hermann dan Inoue, 1996). Oleh karena laba yang
dilaporkan memiliki kualitas yang tinggi, kualitas kinerja perusahaan akan dapat
tercermin dari laporan laba ini, investor akan menanggapi informasi laba tersebut
sebagai informasi yang relevan. Informasi ini akan membuat para investor konsisten
untuk tidak dengan mudah mengubah kepercayaannya. Keadaan ini akan bermanfaat
dalam pergerakan harga saham, akibatkan harga saham perusahaan ini tidak berubah
atau tidak berbeda meskipun mereka telah menerapkan IFRS.
Hipotesis kedelapan diterima, yaitu return saham perbankan bukan perata laba yang
telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba
yang belum menerapkan IFRS. Sejalan dengan penelitian Bao dan Bao (2004), yaitu
perusahaan dengan variabilitas laba yang rendah belum tentu dapat memberikan
jaminan bahwa perusahaan tersebut memiliki nilai perusahaan yang lebih (Beaver,
2002), dan laba yang dilaporkan oleh perusahaan ini akan memiliki relevansi nilai yang
rendah akibat dari rendahnya kualitas laba tersebut (Michelson et al., 1995), perusahaan
bukan perata laba yang cenderung menghasilkan aliran laba dengan variabilitas yang
lebih tinggi dimungkinkan lebih dapat mencerminkan kualitas kinerja perusahaan
sehingga laba yang dilaporkan oleh perusahaan ini lebih memiliki relevansi nilai.
Pelaporan laba oleh perusahaan bukan perata laba yang dilakukan secara apa adanya ini,
menyebabkan investor memberikan apresiasi tersendiri terhadap perusahaan tersebut.
Konsistensi kepercayaan investor terhadap perusahaan bukan perata laba membuat
mereka menjadi tidak mudah terpicu untuk mengubah keputusan investasi mereka,
akibatnya harga saham dari perusahaan ini tidak mengalami perubahan meskipun IFRS
telah diterapkan.
Hipotesis kesembilan ditolak, sehingga risiko saham perbankan perata laba yang
telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan perata
laba yang belum menerapkan IFRS. Laporan keuangan yang lebih berkualitas yang
dihasilkan perusahaan yang telah menerapkan IFRS (Armstrong et al., 2008) dapat
dipastikan akan menghasilan informasi laba yang juga berkualitas lebih sehingga
informasi tersebut akan memberikan relevansi nilai bagi para investor sebagaimana
transparansi pada laporan keuangan, akan membantu para investor untuk lebih mudah
memahami bagaimana kinerja suatu perusahaan dan perusaahan tersebut akan semakin
mudah untuk dibandingkan dengan perusahaan lainnya (Daske et al., 2008). Dengan
adanya IFRS investor tidak akan mudah dibodohi (fooled) karena mereka akan
melakukan analisis lebih lanjut untuk menentukan apakah perusahaan tersebut
merupakan perusahaan yang tepat untuk keputusan investasinya.Pelaporan laba dengan
variabilitas rendah dan memiliki kualitas lebih ini membuat investor semakin yakin
akan kualitas kinerja perusahaan karena perataan natural (natural smoothing)
kemungkinan bisa terjadi pada perusahaan yang menerapkan IFRS. Keadaan ini akan
membuat investor semakin optimis terhadap perusahaan yang telah menerapkan standar
ini, sehingga mereka tidak akan mudah untuk merevisi kepercayaannya pada
perusahaan ini, akibatnya mereka akan lebih berhati-hati dalam memperlakukan saham
yang dimilikinya. Dengan adanya kehati-hatian ini perubahan-perubahan dalam harga
saham akan dapat dikendalikan sehingga harga saham tersebut tidak berfluktuasi, yang
mana hal ini akan serta merta memperkecil kemungkinan risiko saham pada perusahaan
ini.
Hipotesis kesepuluh diterima, yaitu risiko saham perbankan bukan perata laba yang
telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan risiko saham perbankan bukan perata laba
yang belum menerapkan IFRS. Beberapa penelitian menyatakan bahwa aliran laba
dengan variabilitas tinggi merupakan karakter dari perusahaan bukan perata laba
sebagai akibat dari pelaporan laba yang dilakukan tanpa adanya unsur rekayasa. Beaver
(2002) dalam Bao dan Bao (2004) menyatakan bahwa perusahaan dengan variabilitas
laba yang rendah belum tentu dapat memberikan jaminan bahwa perusahaan tersebut
memiliki nilai perusahaan yang lebih. Di sini dapat dijelaskan bahwa laporan laba yang
berkualitaslah yang dapat memengaruhi pertimbangan investor untuk berinvestasi. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lang et al. (2003), Leuz et al. (2003),
Lang et. al (2005) dalam Barth et al. (2008) yang menyatakan bahwa laba yang lebih
berkualitas adalah laba yang memiliki relevansi nilai yang lebih. Dalam hal ini laporan
laba yang memiliki variabilitas tinggi yang dimiliki oleh perusahaan bukan perata laba,
oleh investor dianggap lebih berkualitas karena mencerminkan kualitas kinerja
perusahaan yang sebenarnya. Interprestasi investor ini tidak menyebabkan perubahan
keputusan berinvestasinya pada perusahaan ini meskipun perusahaan telah menerapkan
IFRS, sehingga perubahan harga saham tidak terjadi, akibatnya risiko saham perusahaan
5. Kesimpulan, Keterbatasan, Dan Saran
5.1.Kesimpulan
Return saham antara perbankan yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan
return saham perbankan yang belum menerapkan IFRS, namun risiko saham perbankan
yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan
yang belum menerapkan IFRS. Setelah kedua kelompok perbankan tersebut
diklasifikasikan kembali menjadi empat kelompok: perata laba yang telah menerapkan
IFRS, bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS, perata laba yang belum
menerapkan IFRS, dan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan return saham, namun risiko
saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan
dengan risiko saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Pelaporan
laba dengan variabilitas rendah dan memiliki kualitas lebih telah membuat investor
semakin yakin akan kualitas kinerja dari perusahaan ini.
5.2. Keterbatasan
1. Sampel penelitian ini menggunakan data dari perbankan yang tercatat di BEI pada
tahun 2007-2012, dimana cut point periode penerapan IFRS terdapat pada tahun
2010. Seperti kita ketahui tahapan ketiga dari adopsi IFRS yang dilakukan DSAK
yaitu tahap implementasi secara mandatory baru dilaksanakan pada 1 Januari 2012,
sehingga dimungkinkan perbankan yang telah menerapkan IFRS lebih awal tersebut
belum secara optimal dalam mengaplikasikan kriteria standar yang terdapat dalam
IFRS. Disamping itu, karena sampel penelitian adalah industri perbankan,
dimungkinkan investor memiliki kriteria tersendiri dalam keputusan berinvestasinya
dalam industri ini.
2. Dalam menentukan variabel status perata laba dan bukan perata laba dengan
menggunakan indeks Eckel, peneliti hanya menggunakan perubahan laba pada laba
bersih setelah pajak (LBSP).
3. Peneliti mengabaikan tingkat asimetri informasi (information assymetric) yang
terjadi pada saat sebelum dan sesudah IFRS, padahal jika asimetri informasi suatu
perusahaan semakin kecil, maka kualitas laporan keuangannya juga akan semakin
baik. Pengukuran tingkat asimetri informasi ini dapat dilakukan dengan
menggunakan proksi bid-ask spreads. Hal ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi mengenai tipe perataan laba yang terjadi dalam penelitian ini,
terbukti sebagai perata laba namun tingkat asimetri informasinya kecil, maka
perbankan tersebut dapat dikategorikan sebagai tipe perataan natural ataupun
sebaliknya.
5.3.Saran
Berdasarkan beberapa keterbatasan tersebut, untuk keperluan akademis, penelitian
ini memberikan saran kepada penelitian berikutnya untuk melakukan analisis dengan
topik yang serupa, dengan sampel bukan pada industri perbankan dengan periode
penerapan IFRS pada tahun 2012 (sesuai dengan batas penerapan secara mandatory
oleh pemerintah) dan untuk penentuan variabel perata laba dan bukan perata laba, data
perubahan laba bisa menggunakan: laba operasi setelah depresiasi, laba sebelum pajak,
ataupun laba sebelum item luar biasa, serta mempertimbangkan tingkat asimetri
informasi yang terjadi sehingga tipe perataan laba yang terjadi juga bisa diidentifikasi.
Selain itu, dalam aplikasinya meskipun professional judgment digunakan dalam
principle-based IFRS, bagi manajer sebaiknya professional judgment ini jangan
ditumpangi dengan kepentingan untuk mengatur labanya karena akan berpotensi
menurunkan nilai keterbandingan laporan keuangan. Terlebih investor saat ini
merupakan investor yang canggih, yang tidak akan dengan mudah dibodohi oleh
emiten. Mereka akan menganalisis setiap informasi yang mereka dapat untuk
menentukan apakah benar informasi tersebut relevan untuk keputusan investasinya.
Apabila manajer melakukan tindakan yang kurang hati-hati, hal ini akan berpotensi
memengaruhi kepercayaan para investor, yang akibatnya juga akan memengaruhi risiko
Referensi
Anoraga, P., dan P. Pakarti. 2001. Pengantar Pasar Modal. Cetakan ketiga. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Anggraita, V. 2012. Dampak Penerapan PSAK 50/55 (Revisi 2006) Terhadap Manajemen Laba di Perbankan: Peranan Mekanisme Corporate Governance, Struktur Kepemilikan, dan Kualitas Audit. Simposium Nasional Akuntansi (SNA) XVBanjarmasin.
Armstrong, C. S., M. E. Barth, A. D. Jagolinzer, dan E. J. Riedl. 2008. Market Reaction to the Adoption of IFRS in Europe. The Accounting Review 85, 31-61.
Bao, B. H., dan D. H. Bao. 2004. Income Smoothing, Earnings Quality and Firm Valuation. Journal of Business Finance and Accounting,31 (9) dan (10).
Barth, M. E., W. R. Landsman, dan M. H. Lang. 2008. International Accounting Standards and Accounting Quality. Journal of Accounting Research 46, 467-498.
Brown, S.J., dan J. B.Warner. 1985. Using Daily Stock Returns the Case of Event Studies. Journal of Financial Economics 14, 3-31.
Bushman, R. M., dan C. D. William. 2012. Accounting Descretion, Loan Loss Provisioning, and Discipline of Banks’ Risk-Taking. Journal of Accounting and Economics 54, 1-18.
Chen, L. 2012. Income Smoothing, Information Uncertainty, Stock Return, and Cost of Equity.papers.ssrn.com diakses tanggal 01 Septermber 2013.
Daske, H., L. Hail, C. Leuz, dan R. Verdi. 2008. Mandatory IFRS Reporting around the World: Early Evidence on the Economic Consequences. Journal of Accounting Research 46, 1085-1142.
Daske, H., L. Hail, C. Leuz, dan R. Verdi. 2011. Adopting a Label: Heterogeneity in the
Economic Consequences of IFRS Adoptions. Working Paper No.5 the
University of Chicago.
Dechow, P., W. Ge, dan C. Schrand. 2010. Understanding Earnings Quality: A Review
of the Proxies, Their Determinants and Their Consequences. Journal of
Accounting and Economics 50, 334-401.
Eliza, A. 2012. Tinjauan atas PSAK No.1 (Revisi 2009): Penyajian Laporan Keuangan dan Perbedaannya dengan PSAK No.1 (Revisi 1998). Jurnal Ilmiah ESAI, Vol. 6, ISSN No.1978-6034.
Fudenberg, D., dan J. Tirole. 1995. A Theory of Income and Dividend Smoothing Based on Incumbency Rent. Journal of Political Economy. Vol. 103, No.1: 75-93.
Garizi, A. Z., A. Homayoun, B. B. Firouzi. 2011. The Impact of Income Smoothing on Companies Abnormal Return. Australian Journal of Basic and Applied Sciences. Vol. 5, pp: 245-251.
Goncharov, I., dan J. Zimmermann. 2006. Do Accounting Standards Influence the Level
of Earnings Management? Evidence from Germany. http://www.SSRN diakses
tanggal 04 November 2013.
Hartono, J. 2013. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi Ketujuh. Yogyakarta: BPFE.
Haryanto, C.M. 2012. Pengaruh Relevansi Laba Akuntansi terhadap Return Saham dengan Risiko Perusahaan dan Leverage sebagai Variabel Pemoderasi pada
Perusahaan Manufaktur di BEI. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi, Vol.1,
Iskandar, D. 2010. Penerapan PSAK Cegah Window Dressing. keuangan.kontan.co.id/news diakses tanggal 15 Agustus 2013.
Jensen, M. C., dan W. H. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behaviour, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3: 305-306.
Loureiro, G., dan A. G. Taboada. 2012. The Impact of IFRS Adoption on Stock Price Informativeness. www.efmaefm.org/ working papers.
Martani, D. 2014. Dampak Implementasi IFRS pada perusahaan.
http://staff.blog.ui.ac.id diakses tanggal 03 Maret 2014.
Martinez, A. L., dan M. A. R. Castro. 2011. The Smoothing Hypotesis, Stock Returns and Risk in Brazil. Brazilian Administration Review,V. 8., no.1,art.1, pp.1-20. Michelson, S. E., J. Jordan-Wagner, dan C. W. Wooton. 2000. The Relationship
between the Smoothing of Reported Income and Risk-Adjusted Returns. Journal of Economics and Finance, Summer: 141-159.
PBI No.14/15//PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.
Puspitaningtyas, Z. 2012. Relevansi Nilai Informasi Akuntansi dan Manfaatnya Bagi Investor. Jurnal Ekonomi dan Keuangan. Vol. 16, No.2, 164-183
Putra, D., dan W. Rahmanti. 2013. Return dan Risiko Saham Perata dan Bukan Perata Laba. Jurnal Dinamika Akuntansi.Vol.5, No.1: 55-66.
Rohaeni, D., dan T. Aryati. 2012. Pengaruh Konvergensi IFRS terhadap Income Smoothing dengan Kualitas Audit sebagai Variabel Moderasi. sna.akuntansi.unikal.ac.id diakses tanggal 06 November 2013.
Rudra, T., dan D. Bhattacharjee. 2011. Does IFRS Influence Earnings Management?
Evidence from India.Journal of Management Research Finance and Control
Group, Indian Institute of Management Calcutta. ISSN 2012, Vol.4, No.1:E17. Santy, P., Tawakkal, dan G. T. Pontoh. 2013. Pengaruh Adopsi IFRS terhadap
Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan di BEI. Pasca.unhas.ac.id/jurnal diakses tanggal 01 Oktober 2013.
Scott, W. R. 2012. Financial Accounting Theory. Sixth Edition. Canada: Prentice Hall. Stolowy, H., dan G. Breton. 2000. A Framework for the Classification of Accounts
Manipulations. Working Papers, HEC School of Management, France.
Zhou, H., Y. Xiong, dan G. Ganguli. 2013. Accounting Standards and Earnings Management: Evidence from Emerging Market. http://www.lby100.com diakses tanggal 01 November 2013.
Zuliarni, S. 2012. Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Harga Saham pada Perusahaan
Gambar
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis: Perbandingan return dan risiko saham perbankan yang telah menerapkan IFRS dan belum menerapkan IFRS
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Teoritis: Perbandingan return dan risiko saham perbankan perata laba dan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan belum menerapkan IFRS
Tabel
Tabel 4.1 Profil Variabel Return Saham untuk H1 (masing-masing bank)
* N merupakan jumlah data return bulanan masing-masing bank selama periode pengamatan 2007-2012.
Tabel 4.2 Profil Variabel Return Saham untuk H1 (keseluruhan)
N* Minimum Maksimu
Tabel 4.3 Profil Variabel Return Saham untuk H3, H4, H7, H8
(masing-* N merupakan jumlah data return bulanan masing-masing bank selama periode pengamatan 2007-2012.
Tabel 4.4 Profil Variabel Return Saham untuk H3, H4, H7, H8 (keseluruhan)
N* Minimum Maksimu
Tabel 4.5 Profil Variabel Risiko Saham untuk H2 (masing-masing bank)
keterangan:
*tampak N dari masing-masing bank bernilai 6. Nilai ini menunjukkan tahun karena data risiko saham dihitung berdasarkan serial data return saham, sehingga data return saham selama satu tahun (12 bulan) dihitung sebagai data risiko saham dalam tahun tersebut. Selama periode pengamatan 2007-2012 akan diperoleh data risiko saham untuk masing-masing bank sebanyak 6 tahun.
N* Minimu
m
Maksimu m
Rata-rata Deviasi
Standar
Bbca 6 0,06 0,12 0,0867 0,02658
Babp 6 0,09 0,40 0,2217 0,12384
Bbkp 6 0,06 0,15 0,1183 0,04215
Bbni 6 0,05 0,22 0,1300 0,06293
Bbri 6 0,07 0,17 0,1067 0,03983
Bcic 6 0,00 0,20 0,0517 0,08495
Bdmn 6 0,07 0,18 0,1100 0,04427
Beks 6 0,10 0,24 0,1750 0,05648
Bbnp 6 0,00 0,30 0,0733 0,11290
Bksw 6 0,02 0,17 0,0783 0,05193
Bmri 6 0,06 0,18 0,1133 0,04131
Bnga 6 0,06 0,20 0,1150 0,05648
Bnii 6 0,04 0,28 0,1400 0,09633
Bnli 6 0,03 0,17 0,0933 0,06088
Bvic 6 0,05 0,26 0,1483 0,07679
Nisp 6 0,05 0,26 0,1233 0,08287
Pnbn 6 0,07 0,18 0,1283 0,03869
Sdra 6 0,07 0,43 0,1800 0,12649
Valid N
Tabel 4.6 Profil Variabel Risiko Saham untuk H2 (keseluruhan)
*N menunjukkan jumlah keseluruhan risiko saham dari 18 bank selama periode pengamatan 2007-2012. Data risiko saham dihitung berdasarkan serial data return saham, sehingga data return saham selama satu tahun (12 bulan) dihitung sebagai data risiko saham dalam tahun tersebut. Selama periode pengamatan 2007-2012 akan diperoleh data risiko saham dari 18 bank sebanyak 108 tahun.
Tabel 4.7 Profil Variabel Risiko Saham untuk H5, H6, H9, H10 (masing-masing bank)
Tabel 4.8 Profil Variabel Risiko Saham untuk H5, H6, H9, H10 (keseluruhan)
N* Minimu
m
Maksimu m
Rata-rata Deviasi Standar
Risiko 84 0,00 0,40 0,1194 0,07406
Valid N (listwise )
84
keterangan:
*N menunjukkan jumlah keseluruhan risiko saham dari 14 bank selama periode pengamatan 2007-2012. Data risiko saham dihitung berdasarkan serial data return saham, sehingga data return saham selama satu tahun (12 bulan) dihitung sebagai data risiko saham dalam tahun tersebut. Selama periode pengamatan 2007-2012 akan diperoleh data risiko saham dari 14 bank sebanyak 84 tahun.
Tabel 4.9 Ringkasan Profil Return dan Risiko Saham
Variabel Sampel N Minimum Maksimum Rata-rata Deviasi
Standar
Return 18 bank 1296 -66% 152%
1,67%* 14,46%
14 bank 1008 -66% 94%
1,70%* 13,85%
Risiko 18 bank 108 0,00 0,43
0,1219 0,0792
14 bank 84 0,00 0,40
0,1194 0,0741 keterangan:
*Pada periode 2007-2012, rata-rata BI rate adalah 7,21% atau sebesar 0,60% perbulan. Pada periode tersebut rata-rata return saham perbulan adalah 1,67%- 1,7%. Dapat disampaikan bahwa pada periode ini kinerja perbankan di BEI dalam keadaan baik sehingga menarik investor untuk terus bertahan di bursa karena return saham perbankan lebih besar dibandingkan dengan BI