• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - Evaluasi Efisiensi Reproduksi dan Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Melalui Inseminasi Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - Evaluasi Efisiensi Reproduksi dan Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Melalui Inseminasi Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa

tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan

sapi potong hanya mencapai 1,08% pertahun, sementara laju pertumbuhan

penduduk meningkat dengan kisaran antara 1,5-5% pertahun. Seiring dengan laju

pertumbuhan penduduk maka permintaan terhadap daging akan terus meningkat

(Dirjennak & Keswan 2010). Bila tidak dilakukan upaya untuk meningkatkan

populasi dan produksinya, maka populasi ternak potong lokal akan terkuras

karena tingginya angka pemotongan ternak. Demikian halnya di Propinsi

Sumatera Utara pada tahun 2008 tingkat pertumbuhan penduduk 1,57% pertahun

dengan pertumbuhan konsumsi 17,82% dan tingkat konsumsi daging sapi sebesar

0,99 kg/kapita/tahun. Angka ini masih jauh dari rata-rata konsumsi nasional yaitu

sebesar 1,84 kg/kapita/tahun. Siregar (2009) mengemukakan bahwa produksi sapi

potong di Sumatera Utara berjalan sangat lambat rata-rata sebesar 0,24%

pertahun, sedangkan kenaikan tingkat pemotongan mencapai 21,24%.

Untuk mengatasi masalah ini dalam jangka pendek dilakukan impor sapi

potong dan jangka panjang meningkatkan populasi dan produktivitas sapi potong

lokal. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktifitas sapi potong lokal adalah

dengan melakukan program seleksi keunggulan sapi lokal yang dapat

dikembangkan sesuai harapan yang diinginkan serta persilangan sapi potong

lokal dengan sapi unggul impor berupa bibit hidup atau teknologi reproduksi,

seperti inseminasi buatan atau teknologi lainnya sehingga diperoleh keturunan

yang lebih baik dibanding induknya.

Dalam sistem budidaya ternak, baik ternak sapi maupun kerbau di

Indonesia dikenal 2 cara perkawinan yaitu melalui Inseminasi Buatan (IB) dan

Kawin Alam (KA). Kawin alam merupakan salah satu pilihan dalam

pengembangbiakan ternak karena akseptor pada sapi potong untuk IB ditargetkan

berjumlah 2,5 juta ekor sehingga dari 4 juta betina produktif yang ada saat ini 1,5

(2)

Banyak pertimbangan oleh para peternak yang menjadikan alasan kenapa

kawin alam digunakan antara lain (1) secara alamiah ternak memiliki kebebasan

hidup dialam bebas, sehingga dengan sikap alamiah ini perkembangbiakannya

terjadi secara normal mendekati sempurna (2) secara alamiah ternak jantan

mampu mengetahui ternak betinanya yang birahi, sehingga sedikit kemungkinan

terjadinya keterlambatan perkawinan yang dapat merugikan dalam proses

perbanyakan populasi (3) penanganan perkawinan secara kawin alam memerlukan

biaya sangat murah karena manusia sebagai pelaku usaha budidaya tidak banyak

lagi menangani proses perkawinan ini (4) metode kawin alam sangat efektif dan

efisien digunakan pada pola usaha budidaya ternak baik secara semi intensif atau

ekstensif dan tidak mungkin dilakukan metoda IB. KA dapat juga dilakukan

dibeberapa perusahaan yang melakukan budidaya dengan sistem penggembalaan

(Dirjennak & Keswan 2011).

Teknologi persilangan yang digunakan dengan harapan efisiensi tinggi

adalah melalui teknologi inseminasi buatan (IB) yaitu dengan penggunaan semen

beku dari sapi pejantan unggul import. Hal ini dilakukan agar peningkatan mutu

genetik ternak diiringi dengan biaya murah, mudah dan cepat serta diharapkan

dapat meningkatkan pendapatan para peternak. Di daerah-daerah pertanian

intensif, IB semakin popular karena dengan jumlah sapi pejantan yang lebih

sedikit dapat dikawinkan dengan jumlah betina yang lebih banyak dibanding

kawin alam dan adanya pelayanan IB dari Dinas Peternakan setempat (Hadi &

Ilham 2000; Hadi et al. 2002).

Perkembangbiakan sapi dapat ditingkatkan dengan menggunakan

teknologi inseminasi buatan serta telah dibuktikan keunggulan teknologi

reproduksi ini. Keberhasilan inseminasi dipengaruhi berbagai faktor, yaitu:

fertlitas pejantan, keahlian pengumpulan dan pengolahan semen, penyimpanan,

peralatan, inseminator dan lainnya (Toelihere 1993).

Evaluasi terhadap keberhasilan pelaksanaan IB adalah menghasilkan

(3)

populasi ternak dari hasil inseminasi buatan dapat diukur dengan cara menghitung

Calf Crop.

Berdasar Pedoman Teknis Percepatan Pencapaian Swasembada Daging

Sapi dilakukan untuk pengembangan Kelompok I untuk penerapan Kawin Suntik;

Kelompok II Daerah Campuran Inseminasi Buatan dan Kawin Alam yaitu

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera

Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat,

Sulawesi Selatan, dan Gorontalo dan Kelompok III untuk penerapan dengan

Kawin Alam. Ketiga kelompok daerah tersebut ditugaskan untuk melakukan

upaya peningkatan populasi, produksi dan produktivitas ternak sapi dan secara

bersama-sama melakukan peningkatan penyediaan daging sapi (Dirjenak 2008).

Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah penghasil sapi yang

cukup besar dan juga merupakan daerah konsumen sapi potong serta pemasaran

yang dekat ke Kota Medan. Pengembangan sapi potong diarahkan untuk

penyediaan kebutuhan sapi bakalan dan sapi potong untuk menjamin ketersediaan

daging sapi secara berkesinambungan. Populasi Sapi Potong di Kabupaten

Langkat tahun 2012 mencapai 152.115 ekor (24,93% dari populasi ternak sapi

potong di Sumatera Utara) dan merupakan Kabupaten yang mempunyai populasi

ternak sapi potong yang terbesar dibandingkan kabupaten lainnya di Sumatera

Utara, sebagian besar merupakan bangsa sapi lokal yaitu sapi-sapi keturunan

Peranakan Ongole (PO) disilangkan dengan bangsa sapi-sapi lain.

Melihat jumlah populasi ternak sapi potong di Kabupaten Langkat

dibandingkan dengan jumlah akseptor yang ada maka dapat diasumsikan bahwa

masih ada peternak sapi potong di Kabupaten Langkat yang tidak menggunakan

teknologi Inseminasi Buatan untuk ternaknya atau melaksanakan sistem

perkawinan alam dengan penggunaan ternak sapi pejantan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka diperlukan suatu penelitian

tentang pelaksanaan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam dalam mengembangkan

(4)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengevaluasi dan membandingkan efisiensi reproduksi (NRR, S/C, CR dan

CC) hasil perkawinan alam dan kegiatan Inseminasi Buatan.

2. Mengevaluasi perkembangan kegiatan Inseminasi Buatan (S/C dan CR) sapi

potong di Kabupaten Langkat

3. Menganalisis strategi pengembangan ternak sapi potong melalui Inseminasi

Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat.

Kegunaan Penelitian

1. Mendapat hasil evaluasi efisiensi reproduksi dari metode kawin alam dan

pelaksanaan Inseminasi Buatan serta informasi mengenai pelaksanaan

Inseminasi Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi instansi terkait dalam menentukan

langkah-langkah kebijakan dan merencanakan pengembangan ternak sapi potong di

Kabupaten Langkat sesuai dengan potensi kemampuan peternak dalam

mengadopsi teknologi Inseminasi Buatan dan atau Kawin Alam.

Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan tingkat efisiensi reproduksi antara kawin alam dan

Inseminasi Buatan serta terdapat perbedaan hasil evaluasi dilapangan dengan

standar Inseminasi Buatan terhadap S/C dan CR.

Defenisi dan Batasan Operasional

1. Inseminasi Buatan (IB) adalah memasukkan semen/mani beku dari ternak

jantan kedalam alat kelamin ternak betina sehat dengan menggunakan alat

inseminasi agar ternak tersebut menjadi bunting

2. Kawin Alam (KA) adalah memasukkan semen/mani ternak jantan kedalam

(5)

4. Inseminator adalah petugas yang telah dididik dan lulus dalam latihan

ketrampilan khusus untuk melakukan inseminasi buatan serta memiliki Surat

Izin Melakukan Inseminasi (SIMI)

5. Pemeriksa Kebuntingan (PKB) adalah petugas yang telah dididik dan lulus

dalam latihan ketrampilan khusus untuk melakukan pemeriksaan kebuntingan

6. Asisten Teknis Reproduksi (ATR) adalah petugas yang telah dididik dan lulus

dalam latihan ketrampilan dasar manajemen reproduksi untuk melakukan

pengelolaan reproduksi

7. Akseptor adalah ternak betina produktif yang dimanfaatkan untuk inseminasi

8. Satuan Pelayanan Inseminasi Buatan (SP-IB) adalah Unit kerja atau kelompok

yang dibentuk untuk melaksanakan pelayanan inseminasi buatan kepada

peternak.

9. Non Return Rate (NRR) adalah angka yang menunjukkan berapa persen ternak yang diinseminasi tidak kembali minta diinseminasi dalam kelompok

dan dianggap bunting (keberhasilan inseminasi dilihat dari persentase ternak

yang tidak minta kawin).

10.Conception Rate (CR) adalah angka yang menunjukkan berapa persen ternak yang diinseminasi pertama berhasil bunting dalam kelompok berdasarkan

pemeriksaan kebuntingan (keberhasilan inseminasi dilihat dari persentase

ternak sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama).

11.Service per Conception (S/C) adalah angka yang menunjukkan berapa jumlah inseminasi yang diperlukan oleh ternak untuk menjadi bunting.

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat dua dimensi penting dalam skenario sasaran ini, yaitu berpusat pada usaha pemasaran pada seluruh segmen atau sebagian dari segmen dan persamaan pelanggan dengan

Pada saat persemaian populasi tikus masih tidak terlalu tinggi, tetapi pada fase tanaman tua populasi tikus sudah mulai meningkat sampai pada fase pematangan bulir populasi

Dampak dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kondisi operasi pre-treatment terbaik, kondisi operasi tegangan listrik, jenis elektroda, serta jenis elektrolit untuk proses

Market Brief ini diharapkan dapat menjadi acuan informasi bagi pengusaha Indonesia yang ingin memasarkan produknya ke pasar Korea Selatan khususnya untuk komoditi ubi jalar

Menurut asumsi peneliti berat badan lahir pada bayi di Puskesmas Lhok Bengkuang Kabupaten Aceh Selatan mempengaruhi kejadian rupture perineum terutama pada ibu

Penelitian ini difokuskan pada kajian ilmiah tentang Kepekaan Pastoral Konseling bagi Pelayan Gereja Kontemporer di GMIST Filadelfia Manado. Peneliti melihat masih kurangnya

Secara praktis, beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepuasan kerja para dosen adalah dengan memberikan (a) kesempatan berkembang bagi para dosen, (b)

Pada analisis yang dilakukan, terhadap sub indikator jumlah desa dengan akses pelayanan kesehatan > 5 Km (tempat praktek bidan) di Kabupaten Nunukan,