• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM DI INDONESIA HISTORISITAS SUNNI IS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ISLAM DI INDONESIA HISTORISITAS SUNNI IS"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAM DI INDONESIA

(HISTORISITAS, SUNNI-ISME, DAN MODERASI)

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Peradaban Islam

Dosen Pengampu: Dr. H. Asnawi, M.Ag.

Oleh

Muhammad Munir 17721035

Mudrofin 17721065

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA ARAB

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 3

1.4.2 Manfaat Praktis ... 3

BAB 2 PEMBAHASAN ... 4

2.1 Masuknya Islam di Indonesia ... 4

2.2 Tokoh Utama Penyebar Islam di Nusantara ... 10

2.3 Proses Islamisasi Di Nusantara ... 19

2.4 Nilai-Nilai dan Tradisi Keulamaan Nusantara ... 22

2.5 Pesantren Hasil Asimilasi Pendidikan Hindu Budha ... 24

BAB 3 PENUTUP ... 26

3.1 Simpulan ... 26

3.2 Saran ... 26

(3)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Islam di Indonesia baik secara historis maupun sosiologis sangat kompleks,

terdapat banyak masalah, misalnya tentang sejarah dan perkembangan awal Islam.

Harus di akui bahwa penulisan sejarah Indonesia di awali oleh golongan orientalis

yang sering ada usaha untuk meminimalisasi peran Islam, disamping usaha para

sarjana muslim yang ingin mengemukakan fakta sejarah yang lebih jujur.

Suatu kenyataan bahwa kedatangan Islam ke indonesia dilakukan secara

damai. Berbeda dengan penyebaran Islam di timur tengah yang dalam beberapa

kasus disertai dengan pendudukan oleh wilayah militer. Islam dalam batas tertentu

disebarkan oleh para pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para Da’i dan para

pengenbara sufi. Orang yang terlibat dalam dakwah pertama itu tidak bertendensi

apapun selain bertanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga

nama mereka berlalu begitu saja. Karena wilayah Indonesia sangat luas dan

perbedaan kondisi dan situasi maka wajar kalau terjadi perbedaan pendapat tentang

kapan, dari mana, dan dimana pertama kali Islam datang ke Indonesia.1

Sebut saja teori Gujarat yang dipopulerkan oleh Snouk Hurgronje,seorang

orientalis terkemuka Belanda yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di

India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah nusantara. Teori Snock Hurgronje

ini lebih lanjut dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat

yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam datang ke nusantara. Ia

menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang

muslim dalam pelayaran mereka menuju nusantara.2

Beda lagi dengan Hamka yang mengkritik teori Gujarat bahwa Islam masuk

ke nusantara berasal dari Makkah, disebut dengan teori Makkah. Hamka

berpandangan bahwa peranan bangsa arab sebagai pembawa agama Islam ke

Indonesia berasal dari Makkah sebagai pusat pengkajian keislaman pada masa itu;

1Fahmi Irfani, “Jawara Banten,” Hikamanua Journal (No. 1 Vol. 2 Tahun 2017), hlm. 30.

(4)

atau juga dari Mesir. Artinya, Gujarat hanyalah sebagai tempat singgah semata

ulama penyebar Islam di nusantara.3

Lain lagi dengan teori Benggali yang dikembangkan Fatimi menyatakan

bahwa Islam datang dari Benggali (Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome

Pires yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah

orang Benggali atau keturunan mereka.4

Pendapat lainnya, berdasarkan teori Persia yang dibangun teorinya oleh

Hoesein Djayadiningrat. Pandangannya berdasarkan tradisi Islam di nusantara

kental dengan tradisi Persia. Seperti peringatan 10 Muharram atau Asyura, bubur

Syura dan lain sebagainya. Pendapat selanjutnya, teori China yang dipopulerkan

Sayyid Naquib Alatas, bahwa berpandangan muslim Canton China bermigrasi ke

Asia Tenggara sekitar tahun 867 M, sehingga hijrahnya muslim Canton banyak

yang singgah di Palembang, Kedah, Campa, Brunai, dan pesisir timur tanah melayu

(Patani, Kelantan, Terengganu dan Pahang) serta Jawa Timur.5

Berdasarkan pemaparan tersebut, pembahasan tentang Islam di Indonesia

menjadi sangat penting sehingga pemakalah merasa perlu untuk membuat makalah

dengan judul “Islam di Indonesia (Historisitas, Sunni-isme, dan Moderasi)”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini

adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana masuknya Islam ke Indonesia?

2. Siapakah tokoh utama penyebar Islam di Nusantara?

3. Bagaimana proses islamisasi di Nusantara?

4. Bagaimana nilai-nilai dan tradisi keulamaan Nusantara?

5. Bagaimana pesantren sebagai hasil asimilasi pendidikan Hindu Budha?

3 Ahmad Mansur Suryanegara. Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia. (Bandung: Penerbit

Mizan, 1996), h. 81-82

4 Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013), hlm. 21

5 Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014),

(5)

1.3Tujuan

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui bagaimana masuknya Islam ke Indonesia.

2. Untuk mengetahui siapakah tokoh utama penyebar Islam di Nusantara.

3. Untuk mengetahui bagaimana proses islamisasi di Nusantara.

4. Untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai dan tradisi keulamaan Nusantara.

5. Untuk mengetahui bagaimana pesantren sebagai hasil asimilasi pendidikan

Hindu Budha.

1.4Manfaat

Makalah ini diharapkan memberikan manfaat dalam dua aspek utama, baik

secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat secara teoritis mengacu kepada

manfaat keilmuan sedangkan manfaat secara praktis lebih mengarah kepada telaah

fungsional.

1.1.1 Manfaat Teoritis

Makalah ini untuk mengetahui Islam di Indonesia dilihat dari sudut pandang

historis, sunni-isme, dan moderasi. Selain itu, diharapkan makalah ini dapat

memperkaya khazanah keislaman dan sejarah Islam di Indonesia.

1.1.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

berbagai pihak, antara lain sebagai berikut.

a. Bagi Mahasiswa

Makalah ini dapat digunakan sebagai bahan kajian, referensi, dan

informasi mengenai Islam di Indonesia.

b. Bagi Umat Islam di Indonesia

Makalah ini dapat digunakan sebagai bahan informasi tentang Islam di

(6)

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Masuknya Islam di Indonesia

Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai

pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah

ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan

berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.6 Wilayah Barat Nusantara dan sekitar

Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama

karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi

daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang

berasal dari Maluku, dipasarkan di Jawa dan Sumatera, dan kemudian dijual kepada

para pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara

abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi para pedagang asing seperti Lamuri (Aceh),

Barus, dan Palembang di Sumatra (Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa).7

Pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang

sampai kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abad I H), ketika

Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Malaka, jauh sebelum di

taklukkan Portugis (1511) merupakan pusat utama lalu-lintas perdagangan dan

pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok

Nusantara dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat, yang melakukan hubungan

dagang langsung dengan Malaka pada waktu itu. Dengan demikian, Malaka

menjadi mata rantai pelayaran yang penting. Lebih ke Barat lagi dari Gujarat,

perjalanan laut melintasi Laut Arab. Dari sana perjalanan bercabang dua. Jalan

pertama di sebelah utara menuju Teluk Oman, melalui selat Ormuz, ke teluk Persia.

Jalan kedua melalui Teluk Aden dan laut Merah, dan dari kota Suez jalan

perdagangan harus melalui daratan ke Kairo dan Iskandariah. Melalui jalan

6 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia

II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 2

7 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), hlm.

(7)

pelayaran tersebut, kapal-kapal Arab, Persia, dan India mondar-mandir dari Barat

ke Timur dan terus ke negeri Cina dengan menggunakan angin musim untuk

pelayaran pulang perginya.8

Ada indikasi bahwa kapal-kapal Cina pun mengikuti jalan-jalan tersebut

sesudah abad ke-9 M, tetapi kapal tersebut hanya sampai di pantai barat India,

karena barang yang diperlukannya sudah dapat dibeli disini. Dari berita Cina dapat

diketahui bahwa di masa dinasti Tang (abad ke 9-10) orang-orang Ta-Shih sudah

ada di Kanton (Kanfu) dan Sumatera. Ta-Shih adalah sebutan untuk orang-orang

Arab dan Persia, yang ketika itu jelas sudah menjadi Muslim. Perkembangan

pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia

bagian Barat dan Timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah

Bani Umayyah di bagian barat dan kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara, yang pada

zaman Sriwijaya pedagang-pedagang Nusantara mengunjungi

pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai Timur Afrika.

Pada zaman-zaman berikutnya, penduduk kepulauan ini masuk Islam,

bermula dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang Muslim itu. Menjelang

abad ke-13 M, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak, dan

Palembang di Sumatera. Di Jawa, makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik)

yang berangka tahun 475 H (1082 M), dan makam-makam Islam di Tralaya yang

berasal dari abad ke-13 M merupakan bukti berkembangnya komunitas Islam,

termasuk di pusat kekuasaan Hindu-Jawa ketika itu, Majapahit.9

2.1.1 Teori Masuknya Islam ke Indonesia

Proses masuknya agama Islam ke nusantara tidak berlangsung secara

revolusioner, cepat, dan tunggal, melainkan berevolusi, lambat-laun, dan sangat

beragam. Menurut para sejarawan, teori-teori tentang kedatangan Islam ke

Indonesia dapat dibagi menjadi:

8 Badri Yatim, Sejarah …, hlm. 192

(8)

a. Teori Gujarat, mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia

berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak

di India bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang

mensosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana

pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas

Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab bermazhab Syafei

telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke 7

Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel

bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah

memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia. Teori

Pijnapel ini disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck

Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota

pelabuhan Anak Benua India. Orang-orang Gujarat telah lebih awal

membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang

Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa

berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan

Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif” di depan

namanya. Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta

(1912) yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik

Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh.

Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang

wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan

nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan

bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh

orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat.

Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafei yang di anut masyarakat

muslim di Gujarat dan Indonesia.10

b. Teori Persia, mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia

berasal dari daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah

10 Syed Nagib Alatas, Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of

(9)

Hoesein Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan

argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan

budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia.

Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro

sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu Nabi

Muhammad, seperti yang berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di

Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang

ditranslasi melalui bahasa Parsi. Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak

kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah dengan

ajaran sufi AlHallaj dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum

oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan

ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas politik dan sosial.

Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta,

yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di

kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam

Indonesia menganut mahzab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di Iran.11

c. Teori Cina, bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa)

berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan

masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa

Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk

Indonesia terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai

di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang.

Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan,

menurut kronik masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao,

Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah

pemukiman Islam. Menurut sejumlah sumber lokal tersebut ditulis bahwa raja

Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan

keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina bagian selatan

(10)

(sekarang termasuk Vietnam). Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua

yang bernilai arsitektur Tiongkok yang didirikan oleh komunitas Cina di

berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Pelabuhan penting sepanjang pada

abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki

pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina.12

d. Teori Mekah, mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah

langsung dari Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama

Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Haji

Abdul Karim Amrullah atau HAMKA, salah seorang ulama sekaligus

sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan pendapatnya ini pada tahun

1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis Perguruan Tinggi Islam

Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan para sarjana

Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak langsung

dari Arab. Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah

sumber lokal Indonesia dan sumber Arab. Dalam hal ini, teori HAMKA

merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang banyak kelemahan. Ia

malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis Barat yang

cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Pandangan HAMKA ini hampir

sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H. Johns yang mengatakan

bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang telah melakukan Islamisasi

awal di Indonesia.13

Semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan

tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam masing-masing

teori tersebut. Meminjam istilah Azyumardi Azra, sesungguhnya kedatangan Islam

ke Indonesia datang dalam kompleksitas; artinya tidak berasal dari satu tempat,

peran kelompok tunggal, dan tidak dalam waktu yang bersamaan.

12 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 8

13 Ahmad Mansur Suryanegara. Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islam Di

(11)

2.1.2 Kondisi dan Situasi Politik Kerajaan-kerajaan di Indonesia

Pada abad ke-7 sampai ke-10 M, kerajaan Sriwijaya meluaskan

kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai Kedah. Datangnya

orang-orang muslim ke daerah itu sama sekali belum memperlihatkan dampak-dampak

politik, karena mereka datang memang hanya untuk usaha pelayaran dan

perdagangan. Keterlibatan orang-orang Islam dalam bidang politik baru terlihat

pada abad ke-9 M, ketika mereka terlibat dalam pemberontakan petani-petani Cina

terhadap kekuasaan T’ang pada masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889 M). Akibat pemberontakan itu, kaum muslimin banyak yang dibunuh. Sebagian lainnya

lari ke Kedah, wilayah yang masuk kekuasaan Sriwijaya pada waktu itu memang

melindungi orang-orang muslim di wilayah kekuasaannya.

Kemajuan politik dan ekonomi Sriwijaya berlangsung sampai abad ke-12

M. Pada akhir abad ke-12 M, kerajaan ini mulai memasuki masa kemundurannya.

Kemunduran politik dan ekonomi Sriwijaya dipercepat oleh usaha-usaha kerajaan

Singasari yang sedang bangkit di Jawa. Kerajaan Jawa ini melakukan ekspedisi

Pamaluyu tahun 1275 M dan berhasil mengalahkan kerajaan Melayu di Sumatera.

Keadaan itu mendorong daerah-daerah di Selat Malaka yang dikuasai kerajaan

Sriwijya melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan tersebut.14

Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan pula oleh pedagang-pedagang muslim

untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan politik dan perdagangan. Mereka

mendukung daerah-daerah yang muncul dan daerah yang menyatakan diri sebagai

kerajaan bercorak Islam, yaitu kerajaan Samudera Pasai di pesisir Timur Laut Aceh.

Daerah ini sudah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan ke-8

M. Proses Islamisasi tentu berjalan di sana sejak abad tersebut. Kerajaan Samudera

pasai dengan segera berkembang baik dalam bidang politik maupun perdagangan.

Karena kekacauan-kekacauan dalam negeri sendiri akibat perebutan kekuasaan di

istana, kerajaan Singasari, juga selanjutnya, Majapahit, tidak mampu mengontrol

daerah Melayu dan Selat Malaka dengan baik, sehingga kerajaan Samudera Pasai

(12)

dan Malaka dapat berkembang dan mencapai puncak kekuasaannya hingga abad

ke-16 M.15

2.2 Tokoh Utama Penyebar Islam di Nusantara

Dalam proses penyebaran Islam di Nusantara tidak terlepas dari tokoh-tokoh

utama. Peranan tokoh memberikan daya semangat sehingga Islam dapat tersebar

hingga ke seluruh pelosok Nusantara. Namun dari tokoh utama penyebar Islam

tidak terlepas dari kerajaan, disebabkan Nusantara terbentuk atas kerajaan-kerajaan.

Selain itu peran para ulama tidak bisa dilupakan dalam proses Islamiasai di

Nusantara. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa penyebaran Islam di Nusantara

dilakukan oleh para ulama dan kerajaan. Berikut beberapa kerajaan Islam beserta

para Ulama yang berperan dalam penyebaran Islam Nusantara:

2.2.1 Penyebaran Islam di Sumatera

Berita awal abad XVI M dari Tome Pires yang dikutip dari Ensiklopedi

Indonesia dalam Arus Sejarah mengatakan bahwa Sumatera, terutama di sepanjang

pesisir Selat Malaka dan pesisir barat Sumatera, telah berdiri banyak kerajaan Islam,

baik yang besar maupun yang kecil. Kerajaan tersebut antara lain adalah Aceh, Biar

dan Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal,

Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan

Barus. Dari kerajaann-kerajan tersebut ada yang berkembang, maju, bahkan ada

yang mengalami keruntuhan. Ada kerajaan Islam yang tumbuh sejak 2 abad

sebelum kehadiran Tome Pires, yaitu Kesultanan Samudera Pasai.

Letak kerajaan Samudera Pasai ini lebih kurang 15 km di sebelah timur

Lhokseumawe, Nanggroe Aceh, dan tumbuh diperkirakan antara 1270 dan 1275

atau pada pertengahan abad XIII. Sultan pertamanya bernama Malikush Shaleh

(wafat 696 H/1297 M). Nama Malikush Shaleh sebagai sultan pertama kerajaan

tersebut diceritakan dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai ialah

Merah Selu.

(13)

Letaknya yang strategis dengan pusat pelayaran dan perdagangan

Internasional membuat kerajaan ini berkembang begitu cepat. Perkembangan

jaringan perdagangan melalui pelayaran tersebut disebabkan pula oleh upaya-upaya

perkembangan kekuasaan di Asia Barat di bawah Dinasti Umayyah, Asia timur di

bawah dinasti Tang dan Asia Tenggara di bawah kerajaan Sriwijaya.

Pada masa pemerintahan Sultan Malikush Shaleh, Kesultanan Samudera

Pasai mungkin sudah mempunyai hubungan dengan Cina, sebagaimana diberitakan

dalam sejarah dinasti Yuan bahwa pada tahun 1282 duta Cina bertemu dengan salah

seorang menteri kerajaan Sumutra (Samudera) di Quilon yang meminta raja

Sumutra mengirimkan dutanya ke Cina. Ternyata pada tahun itu ada dua orang

utusan Samudera yang bernama Sulaiman dan Syamsudin.

Kesultanan Samudera Pasai telah mengenal mata uang (Ceitis, dramas) dan

telah melakukan kegiatan ekspor seperti lada, Sutra, kapur barus, dan berbagai

macam lainnya. Barang-barang ini didapat karena menjadi tempat pengumpulan

barang dagangan dari berbagai daerah. Di bidang keagamaan, Ibnu Batutah

memberitakan kehadiran para ulama Persia, Suriah, dan Ishafan. Ibnu Batutah

menceritakan bagimana taatnya Sultan Samudera Pasai pada Islam dari Madzhab

Syafi‟ie, dan selalu dikelilingi oleh ahli-ahli Teologi Islam. Sehingga Kesultanan

Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam.16

2.2.2 Penyebaran Islam di Jawa

Kehadiran dan proses penyebaran Islam di pesisir utara Pulau Jawa dapat

dibuktikan berdasarkan data arkeologis, dan sumber-sumber babad, hikayat,

legenda, serta berita asing.17 Proses islamisasi yang terjadi di beberapa kota pesisir

utara Jawa, dari bagian timur sampai ke barat, lambat laun mennyebabkan

munculnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Kesultanan Demak, Cirebon, Banten,

Pajang, dan Kesultanan Mataram. Di samping kerajaan, peranan para ulama di

Pulau Jawa begitu sangat penting dalam penyebaran islam. Para ulama ini di

16 Uka Tjandrasasmita, Indonesia dalam Arus SejarahJilid 3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012), hlm. 21-23.

(14)

samping sebagai pewaris para nabi juga berperan sebagai penyatu budaya lokal

dengan Islam.18

2.2.2.1 Kesultanan Islam di Jawa

a. Kesultanan Demak

Kesultanan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa

yang berdiri sejak akhir abad XV, setelah runtuhnya ibukota kerajaan

Majapahit di Trowulan oleh Wangsa Girindra Wardhana dari kerajaan Kadiri

pada 1474. Kesultanan ini dipimpin oleh Raden Fatah putra dari Brawijaya dan

ibunya seorang putri dari Campa. Kesultanan ini bermula dari sebuah kampong

yang dalam babad lokal disebut Gelagahwangi. Tempat inilah yang konon

dijadikan permukiman muslim di bawah pimpinan Raden Fatah, yang

kehadirannya di tempat tersebut atas petunjuk Raden Rahmat atau Sunan

Ampel. Setelah Raden Fatah, raja Demak kedua adalah Pangeran Sabrang Lor,

lalu dilanjutkan oleh raja ketiga yaitu Sultan Trenggono.

Sebagai catatan bahwa raja Demak terkenal sebagai pelindung agama

dan bergandengan erat dengan kaum ulama, terutama Wali Songo. Masjid

Agung Demak dibangun oleh Wali Songo, arsiteknya adalah Sunan Kalijaga,

dan merupakan pusat dakwah para wali.19

b. Kesultanan Pajang

Kesultanan Pajang bermula dari perebutan kekuasaan di kalangan

keluarga Sultan Trenggono. Bupati Pajang Adiwajaya (Joko Tingkir) menjadi

penguasa Kesultanan setelah membunuh Penangsang. Joko Tingkir merupakan

ipar dari Sunan Prawoto anak dari Sultan Trenggono. Ia dinobatkan sebagai

sultan Pajang dan diberi gelar Sultan Adiwijaya. Jasa yang dilakukannya ialah

melakukan perluasan ke Jipang dan Demak. Pengaruhnya sampai ke Jepara

Pati dan Banyumas. Setelah wafat Ia digantikan oleh putranya Pangeran

Benowo.

(15)

c. Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon dipimpin oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan

Gunung Jati. Ia wafat pada 1568 dan dimakamkan di Gunug Sembung yang

kemudian dikenal dengan Astana Gunung Jati. Penggantinya ialah Pangeran

Suwarga.20

2.2.2.2 Wali Songo

a. Syaikh Maulana Malik Ibrahim

Syaikh Maulana Malik Ibrahim merupakan sesepuh Walisongo. Beliau

memiliki beberapa nama yang membuat kekeliruan asumsi antara lain, Syeikh

Magribi (berasal dari Maghrib Maroko), Sunan Gresik, atau Syeikh Ibrahim

Asamarkandi (berasal dari Samarkand Asia Tengah). Namun Sir Thomas

Standford Raffles dalam Atlas Wali Songo menyatakan bahwa berdasar

sumber-sumber lokal, Maulana Ibrahim adalah seorang panditha termasyhur

asal Arabia, keturunan Zainal Abidin dan sepupu Raja Chermen.21 Menurut J.P

Moquette atas tulisan prasasti makam syaikh

Maulana Malik Ibrahim, beliau wafat pada hari senin, 12 Rbbiul Awal 882 H

(8 April 1419) dan berasal dari Kashan (Persia Iran). Di kalangan para wali,

syaikh Maulana Malik Ibrahim merupakan tokoh yang dianggap paling senior

dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa.

Sementara itu, sumber cerita lokal menuturkan bahwa daerah yang

dituju Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang pertama kali saat mendarat di Jawa

ialah Desa Sembalo, di dekat Desa Leran Kecamatan Manyar Kabupaten

Gresik, yaitu 9 kilometer di arah utara kota Gresik, tidak jauh dari kompleks

makam Fatimah bin Maimun. Dengan mendirikan masjid pertama di Desa

Pasucian, Manyar, ia mulai menyiarkan agama Islam. Awal aktivitasnya ialah

berdagang di Desa Rumo Setelah dakwahnya berhasil di Sembalo, Maulana

Malik Ibrahim kemudian pindah ke Gresik. Setelah itu mendatangi raja

Majapahit dan mengajak raja masuk agama Islam. Walaupun raja tidak

memeluk Islam, Maulana Malik Ibrahim diberikan tanah di Pinggiran kota

20 Tjandrasasmita, Indonesia…, hlm. 41.

(16)

Gresik yang bernama Desa Gapura. Di desa inilah ia mendirikan pesantren

untuk mendidik kader-kader pemimpin umat dan penyebar Islam di masa yang

akan datang sebagai pengganti dirinya.22

b. Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Sunan Ampel merupakan tokoh tertua Walisongo pengganti ayahnya

Syaikh Ibrahim As-Samarkandi, Ia berperan besar dalam pengembangan

dakwah Islam di Jawa dan tempat lain di Nusantara. Melalui pesantren Ampel

Denta, Sunan Ampel mendidik kader-kader penggerak dakwah Islam seperti

Sunan Giri, Raden Fatah, Raden Kusen, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.

Dengan cara menikahkan juru dakwah Islam dengan putri-putri penguasa

bawahan Majapahit, Sunan Ampel membentuk keluarga-keluarga muslim

dalam suatu jaringan kekerabatan yang menjadi cikal bakal dakwah Islam di

berbagai daerah. Jejak dakwah Sunan Ampel bukan hanya di Surabaya dan ibu

kota Majapahit, melainkan meluas ke daerah Sukandana di Kalimantan.23

c. Sunan Bonang (Maulana Mahdum Ibrahim)

Nama lain Sunan Bonang adalah Raden Makdum atau Maulana

Makdum Ibrahim. beliau lahir di Bonang, Tuban pada tahun 1465 M. Sunan

Bonang merupakan putra keempat Sunan Ampel dari hasil pernikahannya

dengan Candrawati alias Nyai Gede Manila putri Arya Teja Bupati Tuban.

Sunan Bonang dikenal sebagai tokoh Wali Songo yang ulung dalam berdakwah

dan menguasai ilmu fiqh, ushuludin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan

berbagai ilmu kesaktian dan kedigdayaan. Dakwah awal yang dilakukan Sunan

Bonang di daerah Kediri yang menjadi pusat ajaran Bhairawa-Tantra. Dengan

membangun masjid di Singkal yang terletak di sebelah barat Kediri, Sunan

Bonang mengembangkan dakwah di pedalaman yang masyarakatnya masih

menganut ajaran Tantrayana. Setelah meninggalkan Kediri Sunan Bonang

berdakwah di Lasem. Sunan Bonang dikenal mengajarkan Islam melalui

22

Sunyoto, Atlas…, hlm. 77.

23

(17)

wayang, tembang, dan sastra sufistik. Karya sufistik yang digubah Sunan

Bonang dikenal dengan nama Suluk Wujil.24

Dalam melaksanakan dakwahnya, Sunan Bonang dikenal sering

menggunakan wahana kesenian dan kebudayaan untuk menarik simpati

masyarakat. Salah satunya dengan perangkat gamelan Jawa yang disebut

bonang. Bonang sendiri adalah sejenis alat musik dari bahan kuningan

berbentuk bulat dengan tonjolan di bagian tengah mirip gong ukuran kecil.

Pada masa lampau, alat musik ini selain digunakan untuk gamelan pengiring

pertunjukan wayang, juga digunakan oleh aparat desa untuk mengumpulkan

warga dalam rangka penyampaian wara-wara dari pemerintah kepada

penduduk.25

d. Sunan Kalijaga (Raden Sahid)

Sunan Kalijaga adalah Putra Tumenggung Wilaktikta Bupati Tuban.

Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh Wali Songo yang mengembangkan

dakwah Islam melalui seni dan budaya. Sunan Kalijaga termashur sebagai juru

dakwah yang tidak saja piawai dalam mendalang melainkan dikenal pula

sebagai pencipta bentuk-bentuk wayang dan lakon-lakon carangan yang

dimasuki ajaran Islam. Melalui pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga

mengajarkan tasawuf kepada masyarakat. Sunan Kalijaga dikenal sebagai

tokoh keramat oleh masyarakat dan dianggap sebagai wali pelindung Jawa.26

Beliau ulama yang sakti dan cerdas, nama kecilnya Raden Sahid, yang

merupakan seorang perampok dan pembunuh yang jahat. Mengenai jalan

hidupnya banyak terangkum dalam naskah-naskah kuno Jawa.

Menurut sejarah Raden Sahid diusir oleh keluarganya dari kerajaan

karena katahuan merampok. Setelah itu dia berkeliaran dan berkelana tanpa

tujuan yang jelas, hingga kemudian menetap di hutan Jatiwangi sebagai

seorang yang berandal dan suka merampok. Dalam Babad Demak disebutkan

(18)

bahwa Raden Sahid bertemu dengan Sunan Bonang. Karena kagum melihat

kesaktian Sunan Bonang, Raden Sahid berguru kepadanya dengan syarat beliau

harus bertobat. Akhirnya Raden Sahid yang dulu berandal berubah menjadi

seorang wali dan ulama yang cerdas dan budayawan.

Di Cirebon beliau bertemu dengan Sunan Gunungjati dan dinikahkan

dengan adiknya Siti Zaenab. Cara dakwah Sunan Kalijaga berbeda dengan para

wali lainnya. Beliau berani memadukan dakwahnya dengan seni budaya yang

telah menjadi kebiasaan adat masyarakat Jawa. Seperti berdakwah dengan

wayang, gamelan, tembang, ukir dan batik.

e. Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati berasal dari Persia dan Arab. Sampai sekarang

belum ada catatan sejarah yang pasti mengenai kelahiran beliau. Dan

berdasarkan beberapa babad dan sumber sejarah beliau mempunyai banyak

nama, di antaranya Muhammad, Nuruddin, Syeikh Nurullah, Sayyid Kamil,

Bulqiyyah, Syeikh Madzkurullah, Syarif Hidayatullah, Makdum Jati.

Sejak kecil Sunan Gunung Jati tinggal di Mekkah dan di sana beliau

memperdalam ilmu agama Islam. Di sana beliau tinggal kurang lebih 3 tahun.

Sunan Gunung Jati datang kembali ke tanah airnya dan pergi ke Pulau Jawa.

Kedatangannya di sambut baik oleh Kerajaan Islam Demak yang saat itu

mencapai puncaknya berada di bawah pemerintahan Raden Trenggono

(1521-1546). Ketika datang ke pulau Jawa, beliau berdakwah di daerah Jawa bagian

barat. Berkat dakwahnya, banyak rakyat Jawa Barat yang memeluk agama

Islam. Raden Trenggono pun menaruh simpati kepadanya sehingga Sunan

Gunung Jati dinikahkan dengan adik Raden Trenggono. Dakwahnya terus

berlanjut, Raden Trenggono memerintahkan Sunan Gunung Jati untuk

memimpin ekspedisi ke Banten dan Sunda Kelapa yang masyarakatnya masih

beragama Hindu-Budha dan berada di bawah kekuasaan Pajajaran.

Sunan Gunung Jati berangkat bersama pasukannya dari Demak dan

berhasil menjatuhkan Pajajaran serta mengislamkan wilayah tersebut. Setahun

(19)

penduduk di wilayah tersebut (1528). Dalam kurun waktu yang tidak lama

Sunan Gunung Jati berhasil menaklukan Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon.

Sehingga beliau telah berhasil merintis hubungan antara Banten, Sunda Kelapa,

Cirebon dengan Demak, Jepara, Kudus, Tuban, dan Gresik.

Meskipun Jawa Barat dan sekitarnya berada pada kekuasaannya,

namun kekuasaan tertinggi tetap berada di bawah kerajaan Islam Demak.

Setelah Raden Trenggono wafat, terjadi perselisihan antara Hadiwijaya dengan

Adipati Jipang Arya Penangsang. Kerajaan Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa

memisahkan diri dari kerajaan Demak. Setelah itu, beliau tidak lagi menetap di

Demak, tetapi mengembangkan dakwahnya di Cirebon sampai menjelang

wafatnya pada tahun 1570 M dan makamnya terletak di Gunung Jati,

Cirebon.27

f. Sunan Drajat (Raden Qasim)

Nama lain dari Sunan Drajat adalah Raden Qasim atau Syarifudin.

Sunan Drajat merupakan putra dari Sunan Ampel hasil pernikahannya dengan

Candrawati alias Ni Gede Manila. Dikisahkan bahwa sejak berusia muda

Sunan Drajad telah diperintahkan ayahnya untuk menyebarkan agama Islam di

pesisir Gresik. Semasa muda beliau dikenal dengan Raden Qasim. Sebenarnya

masih banyak lagi nama-nama lain dari beliau berdasarkan beberapa naskah

kuno. Di antaranya beliau dikenal dengan nama Sunan Mahmud, Sunan

Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syeikh

Masakeh, Pangeran Syarifudin, Pangeran Kadrajat dan Masaikh Munar.28

Sunan Drajat diminta untuk menyebarkan agama Islam di pesisir

Gresik. Perjalananya ke Gresik menjadi sebuah legenda. Dikisahkan bahwa

ketika beliau hendak menuju Gresik, kapal yang ditumpanginya terkena

ombak, Raden Qasim selamat dengan berpegang pada dayung perahu tersebut.

Setelah kejadian itu, datang dua ekor ikan menolongnya, kedua ikan tersebut

27

Sunyoto, Atlas…, hlm. 268.

28

(20)

adalah ikan Cucut dan ikan Talang. Dengan pertolongan kedua ikan tersebut

Raden Qasim terdampar di sebuah tempat bernama Kampung Jelak,

Banjarwati. Di sana beliau bertemu dengan Mbah Mayang Madu dan Mbah

Banjar. Kedua mbah tersebut telah memeluk agama Islam.

Raden Qasim kemudian menetap di Jelak dan menikah dengan

Kemuning yang merupakan putri dari Mbah Mayang Madu. Di Jelak Raden

Qasim mendirikan pondok pesantren sebagai tempat belajar ilmu agama

ratusan penduduk. Jelak dulunya merupakan dusun kecil yang terpencil, lambat

laun berkembang menjadi kampung yang besar. Tempat itu kemudian diberi

nama Desa Drajat karena letak geografisnya yang berupa dataran tinggi.

g. Sunan Giri (Raden Paku)

Nama lain Sunan Giri adalah Raden Paku atau Maulana Ainul Yaqin.

Ayahnya bernama Maulana Ishaq yang berasal dari Pasai serta ibunya bernama

Sekardadu, Putri Raja Blambangan. Ia adalah tokoh Wali Songo yang

berkedudukan sebagai raja sekaligus guru suci. Ia memiliki peran penting

dalam pengembangan dakwah Islam di Nusantara dengan memanfaatka

kekuasaan dan jalur perniagaan. Sebagaimana guru sekaligus mertuanya,

Sunan Ampel, Sunan Giri mengembangkan pendidikan dengan menerima

murid-murid dari berbagai daerah di Nusantara. Sejarah mencatat, jejak

dakwah Sunan Giri bersama keturunannya mencapai daerah Banjar,

Martapura, Pasir, Kutai di Kalimantan, Buton dan Gowa di Sulawesi, Nusa

Tenggara, Bahkan di kepulauan Malukau.29

Ketika dewasa beliau berguru kepada Sunan Ampel, dan oleh Sunan

Ampel beliau diberi gelar Raden Paku. Sunan Giri mengikuti jejak ayahnya

Syeikh Awwalul Islam atau Maulana Ishaq menjadi seorang mubaligh, beliau

bersama Sunan Bonang diperintahkan Sunan Ampel pergi ke Mekkah tetapi

tidak jadi mengingat Nusantara lebih memerlukannya.

29

(21)

h. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung. Sunan Kudus dikenal

sebagai tokoh Wali Songo yang tegas dalam menegakkan syariat. Namun,

seperti wali yang lain, Sunan Kudus dalam berdakwah berusaha mendekati

masyarakat untuk menyelami serta memahami kebutuhan apa yang diharapkan

masyarakat. Itu sebabnya, Sunan

Kudus dalam dakwahnya mengajarkan penyempurnaan alat-alat

pertukangan, kerajinan emas, pande besi, membuat keris pusaka, dan

mengajarkan hukum-hukum agama yang tegas. Sunan Kudus selain dikenal

eksekutor Ki Ageng Pengging dan Syaikh Siti Jenar, juga dikenal sebagai

tokoh Wali Songo yang memimpin penyerangan ke ibukota Majapahit dan

berhasil mengalahkan sisa-sisa pasukan kerajaan tua yang sudah sangat lemah

itu.30

i. Sunan Muria (Raden Umar Said)

Sunan Muria merupakan putra dari Sunan Kalijaga, Sunan Muria

merupakan tokoh Wali Songo yang paling muda usianya. Sebagaimana Sunan

Kalijaga, Sunan Muria berdakwah melalui jalur budaya. Sunan Muria dikenal

sangat piawai menciptakan berbagai macam jenis tembang cilik jenis sinom dan

kinanthi yang berisi nasehat-nasehat dan ajaran tauhid. Seperti ayahnya, Sunan

Muria dikenal pintar mendalang dengan membawakan lakon-lakon carangan karya

sunan Kalijaga.31

2.3 Proses Islamisasi Di Nusantara

Proses Islamisasi memang tidak berhenti sampai berdirinya

kerajaan-kerajaan Islam, tetapi terus berlangsung intensitif dengan berbagai cara dan

Saluran.32 Saluran-saluran Islamisasi tersebut ialah yaitu:

30

Sunyoto, Atlas…, hlm. 322.

31

Sunyoto, Atlas…, hlm. 350.

(22)

a. Saluran Perdagangan, Pada taraf permulaan, saluran Islamisasi adalah

perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad 7 hingga

ke-16 M. membuat pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut

ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara

dan Timur Benua Asia.

b. Saluran Perkawinan, Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki

status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga

penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi

istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin, mereka diIslamkan terlebih

dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin

luas. Akhirnya, timbul kampungkampung, daerah-daerah dan Kerajaan -

Kerajaan Muslim. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi

antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak

adipati, karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat

proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan

Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Nyai Kawunganten,

Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama

Demak) dan lain-lain.

c. Saluran Dakwah, yanng dilakukan oleh mubalig yang berdatangan bersama

para pedagang. Para mubalig itu bisa juga para sufi pengembara.33

d. Saluran Tasawuf, Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan

teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh

masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai

kekuatankekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang

mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam

yang diajarkan keadaan penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan

alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga

agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf

yang memberikan ajaran yang mengandung perasaman dengan alam pikiran

(23)

Indonesia para-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syeikh Lemah

Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih

berkembang di abad ke-19 bahkan di abad ke-20 M ini.

e. Saluran Pendidikan, Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik

pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama,

kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru

agama, dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren,

mereka pulang ke kampung masing-masing kemudian berdakwah ke tempat

tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden

Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren

Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.

f. Saluran Kesenian, Saluran Islamisasi melalui Kesenian yang paling terkenal

adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang

paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah

pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya

mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik

dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan

ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga

dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni

bangunan dan seni ukir.

g. Saluran Politik, Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk

Islam setelah rajanya masuk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja

sangat berpengaruh tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di

Sumatra dan Jawa maupun di Indonesia bagian Timur, demi kepentingan

politik, Kerajaan-kerajaan Islam memerangi Kerajaan-kerajaan non-Islam.

Kemenangan Kerajaan Islam secara politik banyak menarik penduduk

Kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.34

(24)

2.4 Nilai-Nilai dan Tradisi Keulamaan Nusantara

Kata “Ulama” dalam konsep sosial masyarakat Islam menunjuk kepada

suatu pengertian tentang orang-orang yang berilmu, orang-orang yang

berpengetahuan yang merupakan bentuk jama’ dari kata tunggal ‘alim’, yang

bermakna ‘orang yang berilmu’, ‘sarjana’, ‘orang yang terpelajar’, ‘ahli ilmu’,

namun dalam konteks sosial masyarakat Jawa pada khususnya dan masyarakat

Nusantara pada umumnya, kata tersebut cenderung dihubungkan dengan

kekuatan-kekuatan ghaib yang disebut dengan “daya sakti” yang terkait dengan sisa-sisa

ajaran Kapitayan yang disebut “Tu-ah” dan “Tu-lah”, yaitu “daya sakti” yang

hanya dimiliki para “dha-Tu” dan “ra-Tu”, yang di era Hindu-Buddhis pun

prasyarat itu diberikan kepada para brahmana, rishi, wiku, acarya, pandhita, dan

ajar.35

Proses perubahan dalam struktur sosial masyarakat Majapahit

Hindu-Buddhis yang menempatkan kalangan ruhaniyawan-keagamaan pada kedudukan

tertinggi menjadi masyarakat muslim di pesisir utara jawa, jejak-jejaknya tersebar

dalam berbagai cerita mitos dan legenda yang berkaitan dengan “daya sakti, Tu-ah, Tu-lah, karomah, ma’unah” yang diletakkan pada para tokoh Wali Songo, pusaka

-pusaka, dan murid-muridnyayang acapkali dikisahkan sangat fantastik. Ditilik dari

konteks keyakinan pada “Daya sakti” yang merupakan warisan ajaran agama

kapitayan itu, dapat diketahui bagaimana proses terjadinya permuliaan dan

pengeramatan terhadap makam-makam tokoh Wali Songo yang dilakukan oleh

masyarakat Nusantara dari masa lampau sampai saat sekarang ini.36

Bahkan tegaknya kekuasaan-kekuasaan politis Islam seperti Demak, Giri,

Jipang, Pajang, Mataram, Cirebon, dan Banten pada akhir abad ke-15 dan sepanjang

abad ke-16 selalu dihubungkan dengan “perlindungan rohani” yang dikaitkan

dengan tokoh-tokoh Wali Songo seperti Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijaga,

(25)

Sunan Gunungjati, Sunan Bonang, dan Syekh Siti Jenar, beserta pusaka-pusaka

bertuah yang diyakini sampai saat sekarang.37

Demikianlah tradisi keulamaan di Nusantara terbentuk dengan cara yang

sangat khas terpengaruh Kapitayan, yang menempatkan sosok ulama’ bukan sekedar sebagai “orang-orang yang berpengetahuan agama”, melainkan juga sebagai sosok ruhaniawan yang memiliki kemampuan adi duniawi yang ditandai

“daya sakti”, karomah atau ma’unah yang bisa mendatangkan berkah bagi orang -orang sekitar yang taat dan memuliakannya serta sebaliknya akan mendatangkan

laknat dan kutukan bagi orang-orang yang merendahkannya.

Atas alasan “daya sakti” yang dalam keyakinan kapitayan disebut “Tu-ah”

dan “Tu-lah” itulah, sosok ulama yang diakui oleh kalangan muslim Nusantara

benar-benar “ulama” adalah sosok ahli ilmu agama atau guru agama yang diyakini

memiliki “Tu-ah” dan “Tu-lah” yang dalam terminologi Islam Lazim disebut

karomah atau ma’unah; sosok ulama yang sudah benar-benar diakui sebagai ulama

dalam makna ulama sebagai ahli ilmu agama yang memiliki ilmu pengetahuan

agama mendalam dan sekaligus meiliki kekuatan adi duniawi yang disebut

“karomah” inilah, yang secara tradisional diberi gelar khusus: Kyayi, ajengan, tuan guru, tengku, dan hadratusy syaikh; figur yang dijadikan panutan dan kiblat

keteladanan serta sandaran ruhani, yang setelah wafatpun makamnya dijadikan

tempat memperolah barokah dalam kegiatan yang disebut tabarrukan (ngalap

berkah).

Menurut Dawam Rahardjo, Sebutan Kyai atau ulama tidaklah bisa diperoleh

sebagaimana gelar-gelar disekolah formal. Orang yang ahli menguasai sesuatu ilmu

agama tidak berarti bisa disebut ulama, apalagi kyai. Untuk memperoleh status

ulama atau kyai, selain harus melewati jalur keilmuwan yang melembaga pada

proses pewarisan melalui mengkaji kitab-kitab klasik kepada kyai tertentu, derajat

keulamaan atau kekyaian seseorang juga ditentukan oleh kekuatan adikodrati yang

disebut “karomah” atau “ma’unah” yang dimiliki seorang ulama. Historiografi

(26)

lokal mencatat bahwa nilai-nilai dan tradisi keulamaan di jawa yang kemudian

berkembang ke seluruh Nusantara, bersumber dari dukuh-dukuh dan

pesantren-pesantren yang diyakini diasuh kyai-kyai keramat yang meiliki hubungan dengan

tokoh-tokoh Wali Songo bahkan dengan Nabi Muhammad Saw. Atas alasan-alasan

inilah, menjadi seorang ulama atau kyai di Nusantara tidaklah mudah.38

2.5 Pesantren Hasil Asimilasi Pendidikan Hindu Budha

Salah satu proses islamisasi melalui dakwah islam yang dilakukan para

penyebar Islam melalui pengambilalihan sistem pendidikan lokal berciri

Hindu-Budha dan kapitayan seperti dukuh, asrama, padepokan, menjadi lembaga

pendidikan Islam yang disebut “pondok pesantren”, tercatat sebagai hasil dakwah

yang menakjubkan. Dikatakan menakjubkan karena para penyebar Islam—yang

merupakan guru-guru ruhani dan tokoh sufi yang dikenal dengan sebutan Wali

Songo itu—mampu memformulasikan nilai-nilai sosio-kultural religius yang dianut

masyarakat Syiwa-Budha dengan nilai-nilai Islam, terutama dalam

memformulasikan nilai-nilai tauhid Syiwa-Budha dengan ajaran tauhid Islam yang

dianut para guru sufi.39

Dengan kewaskitaan seorang arif yang sudah tercerahkan, para guru sufi

mengambil alih sistem pendidikan Syiwa-Budha yang disebut “dukuh”, yaitu

pertapaan untuk mendidik calon pendeta yang disebut wiku. Naskah-naskah kuno

berbahasa Kawi yang berjudul Silakrama, Tingkahing Wiku, dan Wratisasana yang

berasal dari era majapahit, yang memuat tatakrama yang mengatur para siswa

disebuah dukuh dalam menuntut pengetahuan, mengajarkan bahwa yang disebut

guru bakti adalah tatakrama yang berisi tata tertib, sikap hormat, dan sujud bakti

yang wajib dilakukan para siswa kepada guru ruhaninya. Para siswa, dalam tata

krama itu, misal tidak boleh duduk berhadapan dengan guru, tidak boleh memotong

pembicaraan guru, menuruti apa yang diucapkan guru, mengindahkan nasihat guru

meskipun dalam keadaan marah, berkata-kata yang menyenangkan guru, jika guru

(27)

datang harus turun dari tempat duduknya, jika guru berjalan mengikuti dibelakang,

dan sebagainya. Ketundukan siswa terhadap guru adalah mutlak.40

Gagasan guru bakti dalam silakrama mencakup tiga guru (tri guru), yaitu

orang tua yang melahirkan (guru rupaka), guru yang mengajarkan pengetahuan

ruhani (guru pangjyan), dan raja (guru wasesa). Gagasan tri guru ini sampai

sekarang masih kita temukan dalam masyarakat muslim Madura yang mengenal

konsep (bapa-babu-guru-ratu). Yang paling beroleh penghormatan dari ketiga guru

itu adalah guru pangajyan, karena guru pangajyan telah membukakan kesadaran

kedua untuk mengenal kehidupan didunia dan akhirat hingga mencapai mokhsa.

Khusus untuk guru pangajyan didukuh-dukuh yang mengajarkan lakuh spiritual

dan berhak melakukan dikhsa (baiat) disebut dengan gelar “sesuhunan”.

Demikianlah guru-guru sufi pada masa silam mendapat gelar sesuhunan; dukuh

kemudian disebut pesantren—tempat para santri belajar—dimana kata santri

sendiri adalah adaptasi dari istilah sashtri yangbermakna orang-orang yang

mempelajari kitab suci (sahstra) sebagaiman dikemukakan C.C Berg (dalam Gibb,

1932:257); sementara tata krama dalam menuntut pengetahuan mirip dengan

aturan-aturan yang terdapat dalam kitab Ta’limul Muta’allim, karya Syaikh

az-Zarnuji.41

(28)

BAB 3

PENUTUP

3.1 Simpulan

1. Terdapat empat teori tentang masuknya Islam ke Indonesia, yaitu teori

Gujarat yang dikemukakan oleh J. Pijnapel dari Universitas Leiden, teori

Persia yang dicetuskan oleh Hoesein Djajadiningrat sejarawan asal Banten,

teori Cina yang dipopulerkan oleh Sayyid Naquib Alatas, dan teori Mekah

yang diperkenalkan oleh Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA, salah

seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia.

2. Dalam proses penyebaran Islam di Nusantara tidak terlepas dari

tokoh-tokoh utama. Peranan tokoh-tokoh memberikan daya semangat sehingga Islam

dapat tersebar hingga ke seluruh pelosok Nusantara. Namun dari tokoh

utama penyebar Islam tidak terlepas dari kerajaan, disebabkan Nusantara

terbentuk atas kerajaan-kerajaan. Selain itu peran para ulama (Wali Songo)

tidak bisa dilupakan dalam proses Islamiasai di Nusantara.

3. Proses islamisasi dilakukan melalui beberapa sarana, yaitu perdagangan,

perkawinan, dakwah, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.

4. Tradisi keulamaan di Nusantara terbentuk dengan cara yang sangat khas

terpengaruh Kapitayan, yang menempatkan sosok ulama’ bukan sekedar

sebagai “orang-orang yang berpengetahuan agama”, melainkan juga sebagai sosok ruhaniawan yang memiliki kemampuan adi duniawi yang ditandai

“daya sakti”, karomah, atau ma’unah.

5. Salah satu proses islamisasi melalui dakwah islam yang dilakukan para

penyebar Islam melalui pengambilalihan sistem pendidikan lokal berciri

Hindu-Budha dan kapitayan seperti dukuh, asrama, padepokan menjadi

lembaga pendidikan Islam yang disebut “pondok pesantren”.

3.2 Saran

Berdasarkan pembahasan di atas, maka saran yang dapat diberikan adalah

(29)

1. Bagi mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Arab, khususnya yang

mengambil mata kuliah Studi Peradaban Islam, dapat menjadikan makalah

ini sebagai bahan rujukan dan referensi dalam tema Islam di Indonesia.

2. Bagi para peneliti dan pembelajar sejarah, agar melakukan kajian yang lebih

mendalam tentang Islam di Indonesia yang merujuk pada berbagai sumber,

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. MUI.

Buchori, Didin Saefuddin. 2009. Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermasa.

Graaf, H. J. de. 1987. Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati.

Jakarta: Grafiti Pers.

Hasbullah, Moeflich. 2012. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Bandung:

CV Pustaka Setia.

Nawawi, Chatibul Umam dan Abidin. 1984. Sejarah dan Kebudayaan Islam.

Jakarta: Menara Kudus.

Notosusanto, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho. 1984. Sejarah

Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Pigeud, H. J. de Graaf dan Th. G. Th. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.

Jakarta: Grafiti Pers.

Sunanto, Musyrifah. 2012. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali

Pers.

Sunyoto, Agus. 2016. Atlas Wali Songo. Depok: Pustaka IIMaN.

Tjandrasasmita, Uka. 1976. Sejarah Nasional III. Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan.

Referensi

Dokumen terkait

Software biasa disebut dengan perangkat lunak. Sifatnya pun berbeda dengan hardware atau perangkat keras. Jika perangkat keras adalah komponen yang nyata yang dapat dilihat

Dengan diberikannya terapi desensitisasi sistematik diharapkan dapat meminimalisir reaksi cemas, yakni terjadi penurunan tingkat kecemasan penderita fobia jarum

Tujuan : Untuk mengetahui bagaimana manfaat sinar infra merah dan terapi latihan terhadap pengurangan nyeri, peningkatan kekuatan otot dan peningkatan lingkup

Operator logika dapat digunakan dalam pembuatan program dengan variabel / operand yang didefinisikan sebagai operasi aritmatika atau operasi relasional..

Kepelbagaian aliran pemikiran dan agenda dalam Tamadun China yang saling bergabung jalin dengan nilai-nilai dan etika menghasilkan suatu masyarakat yang dinamik dan progresif

SpPD KGH, FINASIM selaku Ketua Program Studi PPDS I Interna dan sebagai pembimbing I, yang telah membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan tesis ini,

Berdasarkan hasil jawaban kelompok siswa di atas menunjukkan bahwa kelompok ini sudah paham mengenai sampel dan populasi, serta bisa menjawab pertanyaan dengan benar.