• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kekuasaan Sentralistik dan Elitis Dalam Pengambilan Keputusan (Studi Analitis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kekuasaan Sentralistik dan Elitis Dalam Pengambilan Keputusan (Studi Analitis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Transfer kekuasaan dari presiden Soeharto kepada Wakil Presiden B.J

Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan-perubahan yang berarti

pada sistem politik Indonesia. Di tingkat makro, perubahan itu terlihat dari adanya

transformasi sistem politik Indonesia, dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke

arah yang lebih demokratis. Paling tidak, pintu menuju demokratisasi sejak saat

itu menjadi terbuka lebar. Secara lebih parsial, kecenderungan itu terlihat adanya

perubahan relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dari yang

bercorak sentralistis ke corak yang lebih terdesentralisasi, juga

perubahan-perubahan kerangka kelembagaan lainnya, seperti adanya sistem multipartai,

pelaksanaan pemilu yang relatif lebih demokratis, adanya pers yang bebas, dan

upaya menjadikan birokrasi dan militer sebagai kekuatan profesional tetapi netral

secara politik.1

Melalui semangat desentralisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 membuka peluang bagi warga masyarakat untuk

menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara lebih otonom dan mandiri

melalui demokratisasi, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Partisipasi

1 Marijan, Kacung. 2010.

(2)

masyarakat dimaksud meliputi kontribusi dalam pengambilan keputusan publik

dan keterlibatan secara langsung dalam kegiatan pembangunan mulai dari tahap

perencanaan pelaksanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap hasil

pembangunan.2

Terlepas dari baik buruknya promosi kebijakan desentralisasi tersebut,

ruang untuk memfasilitasi demokrasi pada tingkat desa menjadi kian terbuka.

Tetapi, ruang ini bukan dengan serta merta berubah mengantisipasi realitas plural.

Kecenderungan kultural-politis menempatkan aparatur desa sebagai pusat

kekuasaan tidak serta merta mengubah sistem pemerintahan desa yang semula

bersifat sentralistik menjadi lebih demokratis. Asal-usul desa, adat-istiadat,

keterbatasan sumber daya manusia secara kualitas dan sosial menjadi alasan

kemana arah penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan. Di satu sisi, para

perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai tugas

kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan

program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat,

serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Di sisi lain, para perangkat

desa selalu dikonstruksi sebagai pemimpin adat dan pemilik desa yang dituakan,

ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan

publik maupun privat warga desa.

3

2 Mashad Dhurorudin dkk. 2005.

Konflik Elit Pedesaan. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. hal. 16 3

Sutoro Eko, “Meletakkan Desa Dalam Desentralisasi dan Demokrasi”, (pdf) hal. 2

Fenomena inilah yang terjadi di desa Sihopur,

asal-usul desa dan adat-istiadat sangat mempengaruhi arah jalannya pemerintahan

(3)

Kepala Desa disebut sebagai si Pukka Huta.4

Kemudian elit desa yakni si Pukka Huta selalu tampil dominan dalam

urusan publik dan politik terutama dalam pengambilan keputusan, dan cenderung

tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang bersendikan transparansi,

akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan. Yang terjadi adalah

sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karena elit desa

merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga sebagai pemilik desa. Elit di desa

puny a citra diri sebagai pemilik desa dan pemimpin yang sudah dipercaya dan

diserahi mandat oleh rakyatnya, sehingga tidak bekerja dengan semangat

partisipatif dan transparansi, atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dan

kebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya, warga desa tidak terlalu peduli

dengan kinerja pemerintahan desa sebagai pemegang kekuasaan desa, sejauh

mereka tidak mengganggu perut dan nyawa warganya secara langsung. Fenomena

ini tentu saja mengindikasikan terjadinya kekuasaan yang sentralistik dan elitis

dalam pemerintahan desa terutama dalam pengambilan keputusan. Masyarakat

tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan yang seharusnya dalam demokrasi

Dalam praktiknya si Pukka Huta ini

adalah sebagai pemilik desa. Karena dulunya nenek moyang merekalah yang

membangun atau merintis desa Sihopur. Hal ini dibuktikan masih banyaknya

tanah mereka yang diatasnya dibangun rumah oleh warga pendatang. Sehingga

pengakuan terhadap kepala BPD dan kepala desa sebagai pemilik desa masih kuat

hingga saat ini.

4

(4)

mereka dituntut untuk aktif didalamnya. Masyarakat desa, secara formal, tidak

memiliki otoritas dalam hal pembentukan kebijakan. Namun demikian ia memiliki

otoritas moral dan politik untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan

pembentukan kebijakan yang kelak akan sangat berpengaruh terhadap hidupnya.5

Di samping itu, Miriam Budiardjo juga menegaskan bahwa pengambilan

keputusan menyangkut dengan keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif

dan mengikat seluruh masyarakat. Keputusan-keputusan itu dapat menyangkut

tujuan masyarakat, dapat pula menyangkut kebijakan-kebijakan untuk mencapai

tujuan itu6. Madekhan Ali menjelaskan bahwa setiap kebijakan publik, termasuk

kebijakan di tingkat lokal, haruslah mencerminkan sinergi antara tiga poros

kekuatan dalam pengambilan keputusan dan yang sekaligus berkepentingan secara

langsung terhadap kebijakan tersebut, yaitu: a). Pemerintah Desa, b). Badan

Permusyawaratan Desa, dan c). Masyarakat.7

5

Madekhan Ali. 2007. Orang Desa Anak Tiri Perubahan. Malang: Averroes Press. hal. 53 6 Miriam Budiardjo. 2008.

Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal.19 7

Madekhan Ali. Op. cit

Pemerintahan desa merupakan

lembaga kemasyarakatan atau organisasi desa yang dipahami sebagai organisasi

kekuasaan yang secara politis memiliki fungsi dan wewenang dalam memenuhi

kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mencapai keteraturan dan integrasi dalam

masyarakat. Namun faktanya, justru elit di desa lebih dominan dalam

pengambilan keputusan. Sehingga dalam pengambilan keputusan yang terkait

dengan kemaslahatan masyarakat desa bersifat sentralistik dan elitis. Para elit desa

cenderung melihat bahwa pengambilan keputusan dapat dilakukan sendiri

(5)

Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah kekuasaan yang

sentralistik dalam pengambilan keputusan oleh elit di desa Sihopur. Berbeda

dengan desa-desa yang lainnya di Kecamatan Angkola Selatan, asal-usul desa dan

adat yang masih kuat di Desa Sihopur menyebabkan adanya kekuasaan yang

sentralistik dan elitis. Meskipun musyawarah desa dilakukan, masyarakat tidak

begitu aktif dalam musyawarah tersebut karena pengakuan terhadap si Pukka

Huta dan adat-istiadat yang masih sangat kental. Kemudian, rendahnya tingkat

pendidikan masyarakat serta aspirasi dari masyarakat yang kurang mampu diserap

oleh elit pemerintahan desa selama ini menjadi penyebab kekuasaan terpusat pada

segelintir elit yakni si Pukka Huta yang sekaligus menjabat sebagai aparat

pemerintahan desa. Elit ini merasa lebih tahu apa yang harus dilakukan dan

keputusan mana yang diambil. Sehingga pada akhirnya keputusan elit inilah yang

menjadi keputusan bersama.

Elemen-elemen lain yang ada didesa Sihopur juga tidak mempunyai

kekuasaan yang signifikan dalam penentuan kebijakan-kebijakan serta

pengambilan keputusan. Wujud konkret dari terjadinya dominasi elit terlihat

dalam proses-proses penyusunan dan penetapan peraturan desa, penyusunan dan

penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD), pelaksanaan

peraturan desa dan pelaksanaan pertanggungjawaban Kepala Desa serta

pengambilan keputusan. Bentuk desa, kondisi budaya dan sosial, aturan-aturan di

(6)

sangat beragam menjadi alasan tersendiri bagi elit dalam menjalankan roda

pemerintahan desa.

Kemudian, terjadi hegemoni elit desa yakni dominasi oleh satu kelompok

terhadap kelompok lainnya yaitu masyarakat, dengan atau tanpa ancaman

kekerasan sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap

kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar yang bersifat

moral, intelektual serta budaya.

Dari uraian yang telah dipaparkan tersebut diatas, peneliti memiliki

ketertarikan untuk membahas Kekuasaan Sentralistik di Desa. Maka dalam hal ini

peneliti mengangkat judul penelitian Kekuasaan Sentralistik Pada Elit Desa

Dalam Pengambilan Keputusan Studi Analitis Deskriptif di Desa Sihopur

Kecamatan Angola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan.

B.Rumusan Masalah

Penerapan beberapa kebijakan politik yang merupakan bagian dari proses

demokratisasi seperti otonomi daerah atau khususnya otonomi desa, ternyata

belum berdampak secara signifikan pada perubahan struktur kelembagaan desa

dan perilaku politik di dalamnya. Lebih jauh, konsentrasi kekuasaan di tingkat

desa pun semakin menguat. Hal ini tampak pada kasus pengambilan keputusan di

Desa Sihopur. Dengan berbagai alasan, elit desa dalam mengambil keputusan

(7)

orang yang masih diakui masyarakat sebagai pemilik desa atau si Pukka Huta

sehingga mereka merasa bahwa mereka lebih besar kekuasaannya dibandingkan

dengan kekuasaan rakyat. Dari pemaparan pada latar belakang diatas maka yang

menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Mengapa terjadi Kekuasaan

Yang Sentralistik Dalam Pengambilan Keputusan di Desa Sihopur Kecamatan

Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Mendeskripsikan Kekuasaan yang Sentralistik Pada Elit Desa Dalam

Pengambilan Keputusan di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten

Tapanuli Selatan.

2. Menganalisis penyebab Kekuasaan yang Sentralistik Pada Elit Dalam

Pengambilan Keputusan di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten

(8)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Peneliti mampu mengasah kemampuan dalam melakukan sebuah proses

penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan pengetahuan yang baru bagi

peneliti sendiri.

2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan tentang Kekuasaan

yang Sentralistik Dalam Pengambilan Keputusan di Desa Sihopur Kecamatan

Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan.

3. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu

pengetahuan khususnya dalam kajian tentang Kekuasaan politik dan menjadi

referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

E. Kerangka Teori

1. Teori Kekuasaan Politik

Kekuasaan merupakan salah satu diantara konsep politik yang paling sering

dipelajari dan dibahas oleh para akademisi dalam mempelajari ilmu politik.

Sebagian sarjana atau ilmuwan politik beranggapan bahwa kekuasaan inti dari

politik yaitu semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan

mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan erat kaitannya dengan pengaruh dan

(9)

artian bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the

ruler and ruled), satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi

perintah. Definisi mengenai kekuasaan kekuasaan telah banyak dikemukakan oleh

para ahli. Antonio Gramsci tentang hegemoni akan dapat membantu kita dalam

memahami kekuasaan. Bagi Gramsci, kelas sosial akan memperoleh keunggulan

(supremasi) melalui dua cara, yaitu melalui cara dominasi (dominio) atau paksaan

(coercion) dan yang kedua adalah kepemimpinan intelektual dan moral. Cara yang

terakhir ini adalah yang kemudian disebut oleh Gramsci sebagai hegemoni.

Hegemoni bersifat tulus diwujudkan melalui intervensi kebijakan bersifat

lebih halus dan mendapat persetujuan massa. Hegemoni yang bersifat paksaan

lebih menekankan pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan negara untuk

mendapat manfaat untuk kesejahteraan. Menurut Gramsci, hegemoni adalah

dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa

ancaman kekerasan, sehingga ide yang didiktekan oleh kelompok dominan

diterima sebagai sesuatu yang wajar yang bersifat moral, intelektual serta

budaya8

Menurut Max Weber, kekhasan hegemoni dan dominasi adalah pihak yang

berkuasa mempunyai wewenang sah untuk berkuasa sesuai peraturan yang

berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Suatu

hegemoni dan dominasi memerlukan keabsahan (legitimacy) yakni pengakuan dan

atau pembenaran masyarakat terhadap kekuasaan tersebut, agar penguasa dapat .

8

(10)

melaksanakan kekuasaannya secara sah. Dalam hal ini hegemoni maupun

dominasi merupakan suatu paksaan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi

serta penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat kesejahteraan.

Lebih lanjut, Weber membedakan tiga jenis dominasi yakni dominasi

karismatik, dominasi tradisional, dan dominasi legal rasional. 1) Dominasi

karismatik adalah dominasi yang keabsahannya didasarkan atas kepercayaan

bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa. Sang penguasa

menjalankan kekuasaannya bukan atas dasar peraturan yang berlaku tetapi atas

dasar peraturan yang dibuat sendiri dan kesetiaan bawahan mentaati aturan

tersebut. 2) Dominasi tradisional, merupakan perkembangan dominasi

kharismatik yang telah mengalami pergeseran. Dalam dominasi tradisional

penguasa menjalankan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin karismatik

sebelumnya dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada tradisi sebelumnya.

Biasanya dominasi demikian merupakan kelanjutan dominasi sebelumnya. 3)

Dominasi legal rasional kekuasaan pemimpin didasarkan atas aturan hukum yang

dibuat secara sengaja atas dasar pertimbangan rasional. Keabsahan penguasa

didasarkan pada hukum, pemimpin dipilih atas dasar hukum yang berdasarkan

kriteria tertentu, dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan

hukum pula.

Pemerintah memperoleh legitimasi dan otoritas berupa wewenang dan

kekuasaan mengatur dan menjaga agar orang-orang berperilaku pada jalur yang

(11)

juga berwewenang menetapkan aturan-aturan, menentukan keputusan-keputusan

terkait masalah penting, serta menyelesaikan pertentangan-pertentangan yang

terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Max Weber dalam bukunya Wirtschafgt und Gessellshaft (1992) seperti yang

dikut ip oleh Miriam Budiardjo9

Kekuasaan secara umum diartikan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi pihak lain sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi. Dalam arti sempit kekuasaan politik dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat pada umumnya

:

Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalamai perlawanan, dan apapun

dasar kemampuan ini (macht beduetet jede chance innerhalb einer soziale

Beziehung den eigenen Willen durchzusethen auch gegen Widerstreben durchzustzen, gleichviel worauf diese chance beruht).

Lebih jelas Weber mengatakan, kekuasaan adalah kesempatan seseorang

atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauan

sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan

dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Sementara itu apabila kita

mengacu pada teori kekuasaan menurut pendapat Ramlan Surbakti dan Robert

Dahl.

Sebagaimana yang dikutip oleh Siti Nuraini dalam buku “Memahami Ilmu

Politik” menurut Ramlan Surbakti, kekuasaan diartikan sebagai berikut :

10

9

Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal. 60 10 Siti Nuraini. 2010. “

Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa”, Jurnal Kybernan, Vol.1.Maret 2010, Bekasi. hal. 11

(12)

Gagasan yang disampaikan Ramlan Surbakti tersebut dapat disimpulkan

bahwa kekuasaan diperoleh karena adanya sumber-sumber yang dimiliki

seseorang atau kelompok, yang dapat dijadikan sebagai alat atau sarana untuk

mempengaruhi orang lain atau kelompok lain sesuai yang diinginkan.

Sebagaimana yang dikutip oleh Siti Nuraini dalam buku “Analisa Politik

Modern” Robert Dahl berpendapat bahwa membahas berbagai sumber-sumber

kekuasaan tentu tidak boleh mencampurkannya dengan makna kekuasaan itu

sendiri, karena itu menurut Dahl :

Bila merumuskan pengaruh atau kekuasaan secara sederhana sebagaimana kekuasaan itu sendiri, maka tidak hanya akan kehilangan kekuasaan subyek persoalan, namun juga telah menyangkal suatu masalah yang empiris yang penting mengenai apa dan bagaimana hubungan pengaruh harus diterapkan dan bagaimana cara aktor untuk mempergunakan sumber kekuasaan yang

dimilikinya11

Dalam pandangannya, Dahl berpendapat mengenai lebih pentingnya untuk

mengkaji kekuasaan dengan melihat bagaimana hubungan kekuasaan dan

pengaruhnya, serta cara penggunaan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki

seseorang. Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Ilmu

Politik”, menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau

sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok

lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan

dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu .

Miriam Budiardjo. op.cit. hal.17-18.

(13)

Dalam perkembangannya, kekuasaan digunakan untuk mempengaruhi

kebijakan umum dengan tujuan agar kebijakan tersebut sesuai dengan keinginan

pemegang kekuasaan itu sendiri. Hal ini relevan dengan definisi yang

disampaikan oleh para ilmuwan politik yang secara umum menjelaskan bahwa

kekuasaan adalah mempengaruhi seseorang agar bertingkah laku sesuai dengan

yang diinginkan. Kekuasaan mempunyai jangkauan cukup luas meliputi

kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, kemampuan untuk memerintah,

kemampuan untuk memberi keputusan.

Konsep kekuasaan (politik) diupayakan sebagai suatu elaborasi dengan

menjadikan kekuasaan itu sebagai fenomena politik kekuasaan13. Untuk

memahami fenomena kekuasaan politik, Charles F Andrain dan Ramlan Surbakti

seperti yang dikutip oleh P. Anthonius Sitepu dapat ditinjau dari enam (6) dimensi

yaitu14

1. Dimensi Potensial dan Aktual

:

Seseorang yang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila

mempunyai atau memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti kekayaan,

tanah, senjata, pengetahuan informasi, popularitas, status sosial yang

tinggi, massa yang terorganisir, dan jabatan. Sebaliknya seseorang yang

dipandang memiliki kekuasaan aktual apabila telah menggunakan

sumber-sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan-kegiatan politik secara efektif.

2. Dimensi Konsensus dan Paksaan

13 P. Anthonius Sitepu. 2012.

Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.130 14

(14)

Dalam menganalisis hubungan kekuasaan harus membedakan kekuasaan

yang berdasarkan paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan consensus.

Para analisis politik yang lebih menekankan aspek konsensus dari

kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang tengah

berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat

secara keseluruhan. Sementara itu, apabila menekankan pada aspek

paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang politik sebagai

perjuangan, pertarungan, dominasi, dan konflik.

3. Dimensi Positif dan Negatif

Tujuan umum pemegang kekuasaan adalah untuk mendapatkan ketaatan

atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum ini dapat

dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda yakni, tujuan positif dan

negatif. Kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan

untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan. Sedangkan

kekuasaan negatif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk

mencegah orang lain mencapai tujuan yang tidak hanya dipandang tidak

perlu akan tetapi juga merugikan pihaknya.

4. Dimensi Jabatan dan Pribadi

Dalam masyarakat yang sudah maju dan mapan, kekuasaan terkandung

erat dalam jabatan-jabatan. Penggunaan kekuasaan yang terkandung dalam

jabatan secara efektif tergantung pada kualitas pribadi yang dimiliki dan

(15)

masyarakat yang masih sederhana, struktur kekuasaan didasarkan atas

realitas pribadi lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung di

dalam jabatan itu. Dalam hal ini, pemimpin yang melaksanakan

kekuasaan efektifitas kekuasaannya terutama berasal dari kualitas pribadi.

5. Dimensi Implisit dan Eksplisit

Kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak terlihat dengan kasat

mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah

pengaruh yang terlihat dan dapat dirasakan. Adanya kekuasaan dimensi

eksplisit, menimbulkan perhatian orang pada segi rumit hubungan

kekuasaan yang disebut dengan “azas memperkirakan reaksi dari pihak

lain”.

6. Dimensi Langsung dan Tidak Langsung

Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk

mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan

melakukan hubungan secara langsung tanpa melalui perantara. Yang

termasuk dalam kategori sumber-sumber kekuasaan adalah sarana paksaan

fisik, kekayaan dan harta benda (ekonomi) normatif jabatan, keahlian,

status sosial popularitas pribadi, massa yang terorganisasi, senjata, penjara,

kerja paksa, teknologi, aparat yang menggunakan senjata. Sedangkan

kekuasaan yang tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber

kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik

(16)

pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan

politik.

2. Teori Elit

Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat

tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit

modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan.

Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional15

Secara struktural ada disebutkan tentang administratur-administratur,

pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para

intelektual, tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara

elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah

pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalu maupun masa sekarang

mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat

yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat

dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan

sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa

ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai

pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis

daripada praktis.

.

16

15 Robert Van Niel. 1984.

Munculnya Elite Modern Indonesia. Pustaka Jaya. Jakarta. hal. 12 16

Ibid. hal. 12

(17)

Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang

memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller17

Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul

semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang

dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan

Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap masyarakat,

suatu minoritas membuat keputusan-keputusan besar. Konsep teoritis yang

dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua

sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca.

mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama,

ahli yang beranggapan bahwa golongan elit itu adalah tunggal yang biasa disebut

elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang

beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi

kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint

Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).

18

Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok

kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan

politik. Kelompok kecil itu disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat

kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan

tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit

berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai

17 Lihat Jayadi Nas,

Konflik Elit Di Sulawesi Selatan Analisis Pemerintahan dan Politik Lokal, hal. 33. 18

(18)

kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya.

Pareto lebih lanjut membagi masyarakat dalam dua kelas, yaitu pertama elit yang

memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non governing elit).

Kedua, lapisan rendah (non-elit) kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan

oleh Mosca yang mengembangkan teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua

masyarakat, mulai dari yang paling giat mengembangkan diri serta mencapai fajar

peradaban, hingga pada masyarakat yang paling maju dan kuat selalu muncul dua

kelas, yakni kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang

memerintah, biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik,

monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari

kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh

kelas yang memerintah.19

Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara

efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat. Definisi ini kemudian

didukung oleh Robert Michel yang berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki”

tak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu ada kelompok kecil yang kuat,

dominan dan mampu mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell

berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya tersebar (tidak

berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti pada setiap tahapan

fungsional dalam proses pembuatan keputusan, dan perannya pun bisa naik turun

tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang lebih penting, dalam situasi

(19)

peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit bisa melekat kepada siapa saja

yang kebetuan punya peran penting20

Lipset dan Solari menunjukkan bahwa elit adalah mereka yang menempati

posisi di dalam masyarakat di puncak struktur-struktur sosial yang terpenting,,

yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik,

agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan oleh

Czudnowski bahwa elit adalah mereka yang mengatur segala sesuatunya, ataua

aktor-aktor kunci yang memainkan peran utama yang fungsional dan terstruktur

dalam berbagai lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri,

komunikasi dan sebagainya.

.

Pandangan yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine Marvick.

Menurutnya ada dua tradisi akademik tentang elit. Pertama, dalam tradisi yang

lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis,

memenuhi kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul, atau

menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta

tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Ke dua, dalam tradisi yang lebih

baru, elit dilihat sebagai kelompok, baik kelompok yang menghimpun yang

menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa di berbagai sektor dan

tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau

pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral.

(20)

Field dan Higley menyederhanakan dengan mengemukakan bahwa elit

adalah orang-orang yang memiliki posisi kunci, yang secara awam dipandang

sebagai sebuah kelompok. Merekalah yang membuat kebijakan umum, yang satu

sama lain melakukan koordinasi untuk menonjolkan perannya. Menurut Marvick,

meskipun elit sering dipandang sebagai satu kelompok yang terpadu, tetapi

sesungguhnya di antara anggota-anggota elit itu sendiri, apa lagi dengan elit yang

lain sering bersaing dan berbeda kepentingan. Persaingan dan perbedaan

kepentingan antar elit itu kerap kali terjadi dalam perebutan kekuasaan atau

sirkulasi elit.

Berdasarkan pandangan berbagai ahli, Robert D. Putnam menyatakan

bahwa secara umum ilmuwan sosial membagi dalam tiga sudut pandang.22

Schrool

Pertama, sudut pandang struktur atau posisi. Pandangan ini lebih menekankan

bahwa kedudukan elit yang berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang

menyebabkan mereka akan memegang peranan penting dalam aktivitas

masyarakat. Kedudukan tersebut dapat dicapai melalui usaha yang tinggi atau

kedudukan sosial yang melekat, misalnya keturunan atau kasta.

23

22 Ibid. hal. 37 23

Ibid

menyatakan bahwa elit menjadi golongan utama dalam

masyarakat yang didasarkan pada posisi mereka yang tinggi dalam struktur

masyarakat. Posisi yang tinggi tersebut terdapat pada puncak struktur masyarakat,

yaitu posisi tinggi dalam bidang ekonomi, pemerintahan, kemiliteran, politik,

(21)

Ke dua sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini didasarkan pada suatu

lembaga yang dapat menjadi pendukung bagi elit terhadap peranannya dalam

masyarakat. C. Wright Mills24

Pandangan ilmuwan sosial di atas menunjukkan bahwa elit memiliki

pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang

memiliki/bersumber dari penghargaan masyarakat terhadap kelebihan elit yang

dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber

kekuasaan itu bisa berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan, agama,

kekerabatan, kepandaian dan keterampilan. Pendapat senda juga diungkapkan

oleh Charles F. Andrain

menyatakan bahwa untuk bisa memiliki

kemasyhuran, kekayaan, dan kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam

lembaga-lembaga besar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya

menentukan sebagian besar kesempatan-kesempatannya untuk memiliki dan

menguasai pengalaman-pengalamannya yang bernilai itu.

Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Bila kekuasaan politik didefinisikan

dalam arti pengaruh atas kegiatan pemerintah, bisa diketahui elit mana yang

memiliki kekuasaan dengan mempelajari proses pembuatan keputusan tertentu,

terutama dengan memperhatikan siapa yang berhasil mengajukan inisiatif atau

menentang usul suatu keputusan.

25

yang menyebutnya sebagai sumber daya kekuasaan,

yakni : sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian.

24 Ibid hal. 39 25

(22)

3. Teori Budaya Politik

3.1 Pengertian Budaya Politik

Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap

orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam

bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem

itu.26 Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju

tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan,

bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan

simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki.

Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan

peranan mereka di dalam sistem politik.27

Dengan memahami budaya politik, kita akan memperoleh paling tidak dua

manfaat, yakni: (1) sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik akan

mempengaruhi tuntutan -tuntutan, tanggapannya, dukungannya serta orientasinya

terhadap sistem politik itu; (2) dengan memahami hubungan antara budaya politik

dengan sistem politik, maksud-maksud individu melakukan kegiatan dalam sistem

politik atau faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik

dapat di mengerti. Budaya politik selalu inhern pada setiap masyarakat yang

terdiri dari sejumlah individu yang hidup dalam sistem politik tradisional,

transnasional, maupun modern. Almond dan Verba melihat bahwa pandangan

26

Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, 1990. Budaya Pollitik, Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Bumi Aksara, Jakarta,. hal 13. 8

27

(23)

tentang obyek politik, terdapat tiga komponen yakni komponen kognitif, efektif,

dan evaluatif.

Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada

politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.

Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor

dan penampilannya.

Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik

yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan

perasaan. Oleh karena itu kebudayaan politik adalah bagian dari kebudayaan suatu

masyarakat. Dalam kebudayaannya sebagai sub kultur, kebudayaan politik

dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat secara umum. Kebudayaan politik

menjadi penting di pelajari karena ada dua sistem :

Pertama : Sikap warga negara terhadap orientasi politik yang menentukan pelaksanaan sistem politik. Sikap orientasi politik sangat mempengaruhi

bermacam-macam tuntutan itu di utarakan, respon dan dukungan terhadap

golongan elit politik, respons dan dukungan terhadap rezim yang berkuasa.

Kedua : dengan mengerti sikap hubungan antara kebudayaan politik dan pelaksanaan sisitemnya, kita akan lebih dapat menghargai cara-cara yang lebih

membawa perubahan sehingga sisitem politik lebih demokratis dan stabil.28

Alfian, menganggap bahwa lahirnya kebudayaan itu sebagai pantulan

langsung dari keseluruhan sistem sosial-budaya masyarakat. Hal ini terjadi

28

(24)

melalui proses sosialisasi politik agar masyarakat mengenal, memahami, dan

menghayati nilai-nilai lain yang hidup dalam masyarakat itu, seperti nilai-nilai

sosial budaya dan agama.29

Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang

harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka 3.2 Bentuk-bentuk budaya Politik

Tipe Budaya Politik

1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan Pada negara yang memiliki

sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas

untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur

dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki

kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.

a. Budaya Politik Militan

Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari

alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila

terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh

peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar

emosi.

b. Budaya Politik Toleransi

29

(25)

pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan

curiga terhadap orang.

Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan,

maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik.

Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan

jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap

tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :

a. Budaya Politik yang Memiliki Sikap Mental Absolut Budaya politik

yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan

kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi.

Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan

kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang

selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru

atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut

bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya

berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu

dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang

absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

b. Buda ya Politik yang Memiliki Sikap Mental Akomodatif Struktur

mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa

(26)

terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan

perkembangan masa kini.

Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai

suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai

suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan

dianggap sebagai penyim¬pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik

melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan.

Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih

sempurna.

2. Berdasarkan Orientasi Politiknya

Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki

beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan

karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan

memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam

tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki

karakteristik yang berbeda-beda.

Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat,

Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :

a. Budaya Politik Parokial (parochial political culture) yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif

(misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). menyangkut budaya

(27)

yang bersifat provincial. Karena wilayah yang terbatas acapkali

pelaku politik sering memainkan peranannya seiring dengan

diferiensiasi, maka tidak terdapat peranan politik yang bersikap khas

dan berdiri sendiri. Yang menonjol dalam budaya politik adalah

kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat

kewenangan\kekuasaan politik dalam masyarakat.

b. Budaya Politik Kaula (subyek political culture) yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya)

tetapi masih bersifat pasif. anggota masyarakat mempunyai minat

perhatian, mungkin juga kesadaran terhadap sistem sebagai

keseluruhan terutama pada aspek outputnya. Kesadaran masyarakat

sebagai aktor dalam politik untuk memberikan input politik boleh

dikatakan nol. Posisi sebagai kaula merupakan posisi yang pasif dan

lemah. Mereka menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi atau

mengubah sistem dan oleh karena itu menyerah saja pada kepada

segala kebijakan dan keputusan para pemegang jabatan.

c. Budaya Politik Partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.

Masyarakat dalam budaya ini memiliki sikap yang kritis untuk

memberi penilaian terhadap sistem politik dan hampir pada semua

(28)

d. Budaya Politik Campuran (mixed political cultures) yaitu gabungan karakeristik tipe-tipe kebudayaan politik yang murni.

3.3 Budaya Politik Masyarakat dan Partisipasi

Budaya politik terdiri dari serangkaian keyakinan, simbol-simbol dan

nilai-nilai yang melatar belakangi situasi dimana suatu peristiwa politik terjadi.30

Dalam sistem itu terdapat cukup banyak aktivis politik untuk menjamin

adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara yang besar,

maupun publik peminat politik yang kritis yang mendiskusikan masalah-masalah

kemasyarakatan dan pemerintahan dan kelompok-kelompok pendesak yang Orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik, paling tidak dalam

pemberian suara (voting), dan memperoleh informasi cukup banyak tentang

kehidupan politik kita sebut berbudaya politik partisipan. Orang-orang yang

secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi

tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan,

kita sebut dalam pemilihan subyek. Golongan ketiga adalah orang-orang yang

sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik.

Mereka ini mungkin buta huruf, tinggal di desa yang terpencil, atau mungkin

nenek-nenek tua yang tidak tanggap terhadap hak pilih dan menggungkung diri

dalam kesibukan keluarga. Orang-orang dari golongan ketiga ini disebut budaya

politik parokial.

30

(29)

mengusulkan kebijaksanaan-kebijaksanan baru dan melindungi kepentingan

khusus mereka. Model kedua adalah sistem otoriter hanya sebagian industrial dan

modern seperti Portugal. Meskipun terdapan organisasi politik beberapa

partisipasi politik, seperti mahasiswa dan kaum intelektual, menentang sistem itu

dan berusaha merubahnya melalui tindakan-tindakan persuasif.

Kelompok-kelompok terhormat seperti pengusaha, Kelompok-kelompok gereja, dan tuan tanah

mendiskusikan masalah-masalah pemerintahan, serta ikut aktif dalam kegiatan

lobbying. Tetapi sebagian besar rakyat dalam sistem itu hanya sebagai subyek

yang pasif, mengakui pemerintah dan tunduk pada hukumnya, tetapi tidak

melibatkan diri dalam urusan pemerintahan. Model ketiga adalah sistem

demokratis pra-industrial seperti republik Dominika yang sebagian besar warga

negaranya buta huruf di pedesaan dan buta huruf.

Dalam negara semacam ini hanya terdapat sedikit sekali partisipan yang

terutama terdiri dari profesional terpelajar, usahawan, dan tuan tanah, sejumlah

besar pegawai, buruh, dan petani bebas secara langsung terpengaruh atau terkena

oleh perpajakan dan kebijaksanaan resmi pemerintah lainnya. Tetapi kelompok

warganegara yang paling besar terdiri dari kelompok tani yang buta huruf, yang

pengetahuannya tentang dan keterlibatannya dalam kehidupan politik dan

pemerintahannya sangat sedikit. Kesadaran kelas merupakan sekumpulan

sikap-sikap yang sangat mempengaruhi struktur dari sistem kepartaian dan stabilitas

pemerintah. Motivasi untuk berpartisipasi atau sikap-sikap yang berkaitan dengan

(30)

mengumpulkan kekayaan material adalah sangat penting dalam modernisasi

ekonomi dan politik. Kolompok penduduk yang mau memperbaiki keadaannya

sendiri cenderung untuk berhasil dalam mengumpul modalkan untuk investasi

dalam mencapai pertumbuhan tingkat ekonomi yang sangat tinggi, atau dalam

mengembangkan pendidikan dirinya sendiri.31

Partisipasi dan keterlibatan masyarakat desa tidak terlihat dalam

melakukan kritik secara keras maupun tindakan-tindakan protes terhadap kepala

desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Relasi kekuasaan dalam pemerintah desa

bersifat sentralistik, dan sosial budaya masyarakat secara sosioligis masih

menerapkan prinsip-prinsip lama. Kekuasaan dalam pembuatan kebijakan terpusat

pada satu orang yaitu Kepala Desa. Elemen-elemen lain yang ada didesa tidak

F. Penelitian Sebelumnya

Penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan kekuasaan dalam

Pemerintahan Desa, diantaranya dilakukan oleh Heru Kurnia (2011), yang

meneliti tentang Analisis Relasi Kekuasaan Dalam Pemerintahan Desa, hasilnya

menunjukkan bahwa dimungkinkan terwujudnya kompromi diantara

sumber-sumber kekuasaan. Kepala Desa bersekongkol dengan para perangkat desa dan

pihak BPD memanipulasi alokasi dana desa (ADD). Serta lemahnya akuntabilitas

pemerintah desa dalam mengolah Alokasi Dana Desa.

31 Mohtar Mas’oed, Colin Mac Andrews,

(31)

mempunyai kekuasaan yang signifikan dalam penentuan kebijakan-kebijakan

desa.

Pola relasi kekuasaan yang terbangun dalam Pemerintahan Desa tidak

sesuai dengan mekanisme yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Pemerintahan di tingkat desa dalam aplikasinya tidak dijalankan sesuai dengan

peraturan yang berlaku yang ada hanya tulisan belaka. (Dikutip dari skripsi Heru

Kurnia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, 2011).

G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah

metode penelitian deskriptif kualitatif. Dalam buku Metodologi Penelitian karya

Narbuko dan Ahmadi menjelaskan bahwa penelitian deskriptif sebagai penelitian

yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan

data-data, menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat

komperatif dan korelatif 32

32

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. hal. 44. .

2. Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diadakan di Desa Sihopur , Kecamatan Angkola

(32)

3. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analitis. Dengan

metode kualitatif, selain untuk mengungkap dan memahami sesuatu hal yang baru

dan sedikit diketahui, metode kualitatif juga akan memberikan rincian tentang

suatu fenomena yang sulit diungkap oleh penelitian kuantitatif33. Dalam hal ini

peneliti menggunakan metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel

yang disesuaikan dengan tujuan dan syarat tertentu yang ditetapkan berdasarkan

tujuan dan masalah penelitian34

33

Ansem Strauss dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan Teknik Teorisasi Data.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 5.

34

Nawawi Hadari.1987. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada Press. hal. 157.

. Oleh karena penelitian ini menggunakan metode

kualitatif maka peneliti membutuhkan informan kunci (key informan). dengan

daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Peneliti akan melaksanakan

wawancara secara langsung dan bertemu dengan informan yang dianggap dapat

memberikan informasi mengenai judul penelitian. Pihak-pihak yang diwawancarai

dilibatkan dalam penggalian data sebagai informan dengan tujuan agar

memperoleh informasi yang tersaring tingkat akurasinya sehingga keseimbangan

informasi dapat diperoleh. Key informan yang dipilih yaitu Kepala Desa sebagai

si Pukka Huta yaitu, Mahmudin Ritonga S.Sos, Kepala Badan Permusyawaratan

Rakyat (BPD) sebagai si Pukka Huta yaitu, Drs. Muhammad Nau Ritonga dan

anggotanya yaitu, Roba’a Sipahutar dan Roslaini Harahap serta masyarakat yaitu

(33)

Muhammad Nasution, Dodi Siregar, Abdul Azis Sipahutar, Adi Nasution, Dian

Erlan Afandi Harianja, Najir Pasaribu.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan

data primer dan data sekunder.

a. Data primer yaitu data yang diambil dari sumber data primer atau

sumber pertama dilapangan35

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber

sekunder

. Dilaksanakan dengan metode wawancara

mendalam (indepth-interview) yang dipandu dengan oleh pedoman wawancara.

Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan terbuka kepada

informan atau pihak yang berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah

yang berhubungan dengan penelitian.

36

. Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian

seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah, undang-undang, peraturan-peraturan,

internet serta sumber-sumber lain yang dapat memberikan informasi mengenai

judul penelitian.

35

Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press. hal. 128

36

(34)

5. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa

deskriptif kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan

data-data primer dan data-data-data-data sekunder. Analisa data-data kualitatif memberikan hasil

penelitian untuk memperoleh gambaran terhadap proses yang diteliti dan juga

menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data dan proses tersebut37

H. Sistematika Penulisan

.

Metode ini sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

hasil wawancara dari para narasumber maupun data-data tertulis. Data hasil

wawancara akan diuraikan melalui petikan wawancara dengan masing-masing

informan.

Setelah data-data primer dan data-data sekunder terkumpul kemudian

dilanjutkan dengan menganalisis data secara deskriptif berdasarkan fenomena

yang terjadi di lapangan yakni data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan

informan. Hal ini penting dilakukan agar diperoleh kejelasan atas permasalahan

yang telah dirumuskan sebelumnya. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan

dari hasil penelitian.

Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih

mempermudah dan terarah dalam penulisan karya ilmiah. Agar mendapatkan

37 Burhan Bungin. 2009.

(35)

gambaran yang jelas dan terperinci, maka penulis membagi penulisan skripsi ini

kedalam 4 (empat) bab. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab I terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,

Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Penelitian Sebelumnya,

Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN

Dalam Bab II akan mendeskripsikan Deskripsi Kabupaten Tapanuli

Selatan, Desa dan Pemerintahan Desa, Peraturan Desa, Struktur Organisasi

Pemerintahan Desa Sihopur, Konfigurasi Politik Desa Sihopur.

BAB III KEKUASAAN DALAM PEMERINTAHAN DESA

Pada Bab III ini akan menyajikan hasil penelitian mengenai Sejarah Desa

Sihopur, Pengaruh Adat-istiadat Dalam Pemerintahan di Desa Sihopur, Pola

Hubungan Antara Elit (si Pukka Huta) Dengan Masyarakat, Politik Pedesaan dan

Kekuasaan Elit (si Pukka Huta) di Desa Sihopur, Serta Peran Elit (si Pukka Huta)

(36)

BAB IV PENUTUP

Pada Bab IV berisi kesimpulan yang diperoleh hasil dari hasil pembahasan pada

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari tesis ini yaitu untuk menganalisis dan membandingkan besarnya beban maksimum pondasi tiang bor dengan menggunakan analisis tiang tunggal dengan menggunakan data bored

Baswedan, Anies. Key Strategic to Excellent culture. The dialogue, in the Muhammadiyah, Magazine. Globalization and Teaching English in Indonesia. Anthology Series

Pada kuesioner pernyataan tentang minat untuk skor yang didapatkan tertinggi yaitu pada soal no 4 ( saya akan tetap memberikan ASI, meskipun meskipun nantinya

[r]

adalah program terapan yang penulis buat berdasarkan studi lapangan dan pendekatan kepustakaan dengan tujuan membantu Toko Grosir Matur Suwun dalam hal kecepatan efisiensi kerja

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( Lembaran Negara Republik

terbentuknya struktur mikro ferrite side plate ( FSP ) dan ferit batas butir atau grain boundary ferrite (GBF) , namun struktur mikro ferrite side plate FSP ) lebih

Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut