BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Strategi Pelayanan
Di dalam menjalankan bisnis, ada dua prinsip yang harus dijalankan yaitu pelayanan
terhadap konsumen dan komunikasi secara personal kepada konsumen. Pelayanan sangat
dibutuhkan untuk pengembangan bisnis agar lebih maju. Prinsip pelayanan merupakan
kondisi dimana penciptaan produk barang ataupun jasa yang dihasilkan harus berbeda
dengan jenis usaha milik orang lain, sehingga perbedaan inilah yang menjadi daya tarik
tersendiri untuk menarik simpati konsumen. Bisnis yang tidak memiliki pelayanan
maksimal terhadap konsumen ataupun hanya sekedar pelayanan biasa-biasa saja, lambat
laun bisnis yang dijalankan tidak berkembang dan akhirnya bankrut.
Untuk menjalankan prinsip-prinsip diatas, maka dibutuhkan beberapa strategi
pelayanan. Strategi ini diperuntukkan agar sistem pelayanan bagi konsumen bersifat
berkelanjutan bagi bisnis tersebut. Pelayanan yang dilakukan bukan hanya sekedar
penyediaan barang dan jasa, melainkan bagaiman proses interaksi sosial yang terjadi.
Interaksi yang ada akan menimbulkan hubungan sosial yang bisa bersifat baik maupun
buruk bagi institusi tersebut. Kesemua proses diatas tidak lepas dari adanya proses
komunikasi antara konsumen dan pebisnis. Ada empat asas kepuasan pelanggan yang harus
diperhatikan oleh para pelaku usaha yaitu (Johns, 49: 2003):
1. Variabel yang berhubungan dengan produk atau jasa itu sendiri
2. Variabel yang berhubungan dengan penjualan dan promosi
3. Variabel yang berhubungan dengan paska penjualan
Bank BCA sebagai institusi perbankan juga harus memiliki beberapa strategi
pelayanan terhadap nasabahnya. Strategi ini dilakukan agar nasabah yang datang ke bank
merasa nyaman dan merasa dipedulikan. Penelitian ini ingin melihat strategi apa yang
disusun untuk menarik nasabah baik itu beretnis Tionghoa maupun Etnis Pribumi. Keempat
variabel diatas nantinya akan dilihat pada penelitian ini, apakah keempatnya ada dalam
strategi pelayanan di Bank BCA atau ada stretegi lainnya.
Di dalam buku BCA Learning Centre (2008), Bank BCA juga memiliki tata nilai
yang menjadi pedoman bagi seluruh elemen di dalamnya untuk mewujudkan tujuan
perusahaan. Adapun yang menjadi tata nilai tersebut adalah :
1. Fokus pada nasabah (Customer Focus)
Maksud dari tata nilai pertama ini adalah memahami, mendalami, dan
memenuhi kebutuhan pelanggan dengan cara terbaik. Kepercayaan nasabah
merupakan dasar utama dari bisnis perbankan menjadikan pilihan bank BCA
harus mampu memahami dan mendalami segala bentuk kebutuhan dari nasabah.
Interaksi dan komunikasi yang dibangun harus mampu mewujudkan rasa empati
dan peduli kepada nasabah sehingga hubungan yang terjalin dengan nasabah
bersifat jangka panjang.
2. Integritas (Integrity)
Keselarasan antara ucapan dan tindakan adalah hal yang menjadi dasar dari
kepercayaan yang ingin didapatkan. Integritas tidak dapat diciptakan dalam
waktu singkat, maka dari itu harus dilakukan secara berulang-ulang sampai
integritas itu dibentuk. Integritas yang kuat akan memelihara kepercayaan
BCA. Integritas yang dibangun dikembangkan dengan sikap jujur, tulus, dan
lurus serta saling menghormati.
3. Kerja sama tim (Team work)
Keberhasilan yang dicapai oleh Bank BCA hingga saat ini bukanlah dari hasil
kerja individu melainkan karena adanya kerja sama dari seluruh elemen yang
ada di Bank BCA. Komitmen, sinergi, dan peduli untuk mencapai tujuan
bersama adalah kunci pokok dari kerja sama tim.
4. Berusaha mencapai yang terbaik (Continuous Pursuit of Excellence)
Berusaha untuk mencapai yang terbaik bukan berarti segala sesuatunya harus
sempurna, melainkan harus berusaha semaksimal mungkin dengan kemampuan
dan pengetahuan yang dimiliki. Mengkaji ualng sistem dan proses kerja yang
digunakan untuk memperoleh cara yang paling tepat adalah hal yang dibutuhkan
untuk mencapai yang terbaik.
Dari tata nilai diatas, Bank BCA memiliki standar layanan sendiri yaitu :
1. Standar Sikap yaitu sikap teller, CSO, dan etika bertelepon.
2. Standar Penampilan yaitu busana, wajah, rambut, aksesoris, tangan dan kaki
(BCA Learning Centre, 2013)
2.2 Hubungan Antar Kelompok
Keragaman jenis etnis di dalam suatu negara memang menjadi kekayaan tersendiri
bagi negara tersebut.Setiap negara juga memiliki beragam jenis etnis yang mendiami
negara tersebut.Dengan adanya keragaman tersebut, masyarakat yang terbentuk juga
memiliki kelompok-kelompok berdasarkan etnis tertentu yang menjelaskan identitas dari
terbagi ke dalam kategori in-group dan out-group.In-group merupakan sekumpulan
individu yang membentuk kelompok masyarakat yang memiliki rasa solidaritas tinggi
terhadap kelompoknya dan akan sangat antipati dan lebih bersifat antagonisme terhadap
out-groupnya. Dikarenakan adanya sifat antagonisme ini, tidak jarang terjadi konflik antar
kelompok masyarakat. Sikap-sikap in-group pada umumnya didasarkan pada faktor simpati
dan selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota-anggota kelompok (Soekanto, 1990:
135)
Dengan adanya berbagai etnis yang ada di Indonesia, mereka semua harus disatukan
dalam naungan NKRI. Menurut Koentjaraningrat dalam Poerwanto (2006), akan dijumpai
masalah-masalah dalam mempersatukan mereka yaitu : a). Mempersatukan aneka-warna
suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c) hubungan mayoritas-minoritas dan (d)
integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia. Adanya keempat
hambatan diatas, maka muncul prasangka dan stereotip antar etnis suku bangsa. Munculnya
prasangka dan stereotip di masyarakat karena adanya interaksi yang terjadi antar etnis
sehingga masing-masing etnis mampu menilai etnis lainnya dan hal ini terjadi secara
alamiah. Prasangka dan stereotip yang berkembang di masyarakat tidak selalu bersifat
negatif, tetapi lebih banyak ditemukan di masyarakat berbau negatif.
Munculnya prasangka dan stereotip negatif di masyarakat, dinilai akan menghambat
proses interaksi antar kelompok masyarakat, bahkan menghambat proses penyatuan
masyarakat Indonesia yang multietnis. Prasangka dan stereotip berhubungan dengan
out-group dan in-group di masyarakat. Prasangka dan stereotip akan bersifat negatif ketika
berada pada out-groupnya dan akan bersifat positif pada in-groupnya. Munculnya stereotip
pada diri seseorang baik itu bersifat positif maupun negatif, sangat erat kaitannya dengan
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat fakta-fakta sosial yang terjadi di dalam
in-groupnya etnis Tionghoa terhadap out-gruopnya yaitu etnis pribumi yang terjadi pada
nasabah dan karyawan di Bank BCA. Etnis pribumi yang dimaksud adalah etnis-etnis asli
Indonesia seperti Melayu, Batak, Jawa, dan lain-lain. Peneliti berasumsi bahwa di Kota
Medanmasyarakat yang beretnis Tionghoa memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap
anggota kelompoknya.Mereka membentuk kelompok in-groupnya yang bertujuan untuk
membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi sesama etnis Tionghoa. Peneliti juga ingin
melihat solidaritas yang terbentuk di dalam in-groupnya apakah mampu membantu
beberapa kesulitan yang dihadapi oleh anggota kelompoknya. Out-groupnya dari etnis
Tionghoa adalah etnis pribumi. Hubungan yang terjadi juga ingin dilihat dalam penelitian
ini, apakah hubungan tersebut bersifat positif yang mampu membaurkan
kelompok-kelompok ini atau bersifat negatif yang justru malah mempertegas jarak diantara kedua
kelompok ini.
2.3 Kepercayaan (trust)
Trust adalah pengharapan yang muncul dalam komunitas yang berperilaku normal,
jujur, dan kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan
anggota yang lain dari komunitas itu (Fukuyama, 2002: 36). Di dalam buku Fukuyama
(2002), Qianhong Fu membagi tingkatan trust yaitu pada tingkatan individual, relasi sosial
dan pada tingkatan sistem sosial. Pada tingkatan individual, trust merupakan kekayaan
individu, merupakan kekayaan personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu. Pada
tingkatan hubungan sosial, trust merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan
kelompok. Sedangkan pada tingkatan sistem sosial trust merupakan nilai berkembang
Trust atau kepercayaan sangat dibutuhkan dalam setiap hubungan sosial yang terjadi
antara masing-masing individu. Di dalam dunia usaha kepercayaan sangat dibutuhkan
untuk mempererat hubungan bisnis yang akan ataupun sedang berjalan. Antara pedagang
satu dengan pedagang lainnya akan menuntut kepercayaan dari lawan bisnisnya untuk
memperlancar hubungan bisnis. Kepercayaan juga sering dijadikan alat atau indikator
apakah relasi bisnis dari satu pedagang mampu dijadikan sebagai jaringan bisnis.
Trust bukan hanya ditemukan pada bisnis kecil saja, melainkan sektor yang lebih
luas lagi bisa ditemukan, misalnya saja dunia perbankan. Lembaga perbankan sendiri bisa
dikategorikan sebagai institusi yang membutuhkan kepercayaan yang tinggi. Masyarakat
yang memiliki kepercayaan tinggi yang mau menggunakan jasa perbankan untuk
menitipkan aset kekayaannya. Bank BCA merupakan institusi perbankan yang mayoritas
nasabahnya beretnis Tionghoa. Mereka sendiri memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap
Bank BCA untuk digunakan jasanya. Asumsi awal adalah kepercayaan besar itu bisa
muncul karena adanya keterikatan emosional etnis Tionghoa dalam Bank BCA sendiri yang
mayoritas karyawannya juga beretnis Tionghoa. Berdasarkan asumsi inilah peneliti ingin
melihat apakah kepercayaan yang terjalin antara nasabah dengan bank dikarenakan
hubungan tersebut, mengingat bahwa etnis Tionghoa memiliki solidaritas tinggi terhadap
in-groupnya.
Dari penjelasan diatas, semakin menguatkan kalau persaingan untuk mendapatkan
nasabah sangat ketat. Dunia perbankan terus mengalami kemajuan pesat semenjak
dikeluarkannya kebijakan yang dikenal dengan paket Oktober 1988. Kebijakan ini
memungkinkan bagi bank-bank swasta dan bank perkreditan rakyat untuk mendirikan
cabang-cang baru serta di beri kemudahan terhadap pembukaan kantor baru. Munculnya
kualitas pelayanannya sehingga nasabah percaya terhadap bank yang dipilihnya (Simamora,
2007: 1 ).
Kualitas pelayanan nasabah sangat mempengeruhi kepercayaan nasabah terhadap
bank tersebut. Ketika nasabah mendapatkan pelayanan yang baik, maka citra positif akan
melekat kepada bank tersebut. Begitu juga sebaliknya, ketika nasabah tidak mendapatkan
pelayanan yang buruk, maka nasabah akan melabelkan bank tersebut tidak mampu
memberikan pelayan terbaik bagi nasabahnya.Sebagai contoh, ketika nasabah bertransaksi
dan mendapatkan pelayanan yang baik, maka bank tersebut sudah menumbuhkan
kepercayaan kepada nasabah untuk tetap loyal terhadap penggunaan jasa transaksi tersebut,
sebaliknya nasabah yang tidak puas terhadap pelayanan bank tersebut akan pergi
meninggalkannya dan aka mencari bank lain yang memiliki kualitas pelayanan bagus
(Simamora, 2007: 2).
Selain itu, untuk menumbuhkan kepercayaan nasabah terhadap suatu bank maka
tidak hanya kualitas pelayanan yang hrus ditingkatkan. Nilai pelanggan menjadi hal yang
perlu diperhatikan ketika ingin menumbuhkan kepercayaan nasabah. Fokus pada pelanggan
menjadi keharusan bagi perusahaan untuk memahami apa yang diinginkan oleh pelanggan
sehingga berpengaruh terhadap perkembangan dari perusahaan (Simamora, 2007: 20).
Menurut Monroe (2002: 46), nilai bagi nasabah (Customer Value) sebagai trade off antara
persepsi nasabah terhadap kualitas, manfaat produk dan pengorbanan yang dilakukan lewat
pengorbanan yang dibayar (Hidayat, 2009: 59). Nilai bagi nasabah ini merupakan cerminan
bagi perusahaan terhadap apa yang sudah diberikan kepada nasabah. Sebuah produk yang
memiliki kualitas pelayanan tinggi di mata nasabah, apabila perusahaan mampu
perusahaan menjalankan konsep nilai pelanggan, maka akan memberikan dampak yang
bersifaat jangka pendek maupun jangka panjang.
2.4 Lembaga Keuangan
Pada umumnya masyarakat hanya mendefenisikan lembaga sebagai wadahnya
masyarakat untuk berkelompok secara terorganisir. Robert Mac Iver dan Charles H. Page
mendefenisikan lembaga kemasyarakatan sebagai tata cara atau prosedur yang telah
diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia yang berkelompok dalam suatu
kelompok kemasyarakatan yang dinamakannya asosiasi (Soekanto, 1990: 218). Manusia
yang hidup berkelompok pasti memiliki kelembagaan sendiri baik itu di lingkup keluarga
maupun di masyarakat. Keteraturan menjadi elemen penting bagi kelembagaan yang
dibentuk oleh masyarakat walaupun beberapa konflik kecil bahkan besar bisa saja terjadi.
Penelitian ini membahas lembaga keuangan khususnya bank dan hubungannya
dengan masyarakat. Secara umum, lembaga keuangan didefinisikan sebagai perusahaan
atau kelembagaan yang bergerak di bidang keuangan, menghimpun dana, menyalurkan
dana, atau kedua-duanya. Khususnya yang dibahas pada disini adalah lembaga keuangan
bank. Menurut UU RI Nomor 11 Tahun 1998 mendefinisikan bank sebagai badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak. Kebijakan ini menegaskan bahwa selain menyediakan produk jasa
perbankan berupa simpanan dan pinjaman, bank juga diperbolehkan merancang
produk-produk jasa lainnya yang berhubungan dengan tujuan bank tersebut selama kegiatan
Menurut Howard D Crosse dan George J. Hemple dalam Vietzhal Rivai Andria
Permata Veitzhal dan Ferry N. Idroes mengartikan bank sebagai suatu organisasi yang
menggabungkan usaha manusia dan sumber-sumber keuangan untuk melaksanakan fungsi
bank dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat dan untuk memperoleh keuntungan
bagi pemilik. Disini dejelaskan bahwa ada dua fungsi bank yaitu bank melayani
kepentingan orang banyak melalui simpanan dan pinjaman, kemudian bank mencari
keuntungan atas perusahaan yang dimiliki (Nazrian, 2012).
Lembaga keuangan khususnya bank tidak terlepas dari kegiatan untuk mendapatkan
keuntungan seperti yang dijelaskan diatas. Bank merupakan perusahaan jasa yang
mengedepankan pelayanan terhadap penggunanya yang disebut sebagai nasabah. Bank
akan terus meningkatkan pelayanannya terhadap nasabah demi mendapatkan kepuasan
pelanggan yang ujung-ujungnya juga berorientasi kepada keuntungan.
2.5 Etnis Tionghoa di Indonesia
Pada dasarnya penduduk Indonesia adalah orang-orang pribumi yang terdiri dari
beberapa etnis. Selain etnis-etnis pribumi yang mendiami kepulaun Indonesia, ada beberap
etnis non pribumi yang mediami Indonesia yaitu etnis Tionghoa. Sebagaimana diketahui
bahwa bukan hanya etnis Tionghoa saja yang menjadi etnis non pribumi yang mendiami
Indonesia, seperti Arab, India, Amerika Latin, dan lain-lain. Walaupun mereka bukan asli
keturunan Indonesia tetapi mereka tetap menjadi warga negara Indonesia yang sah dimata
hukum, mendapat persamaan hak seperti warga-warga lain yang hidup di Indonesia.
Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia merupakan etnis minoritas terhadap
etnis-etnis pribumi lainnya. Etnis Tionghoa sendiri masuk ke Indonesia melalui jalur
asimilasi diantara dua kebudayaan terjadi. Ada dua pelabelan terhadap orang-orang etnis
Tionghoa yaitu etnis Tionghoa peranakan dan totok. Etnis Tionghoa “peranakan” adalah
mereka yang beberapa generasi telah hidup di Indonesia sehingga proses asimilasi yang
terjadi sudah hampir kompleks. Mereka ini biasanya sudah berbaur dengan cepat dengan
masyarakat pribumi. Misalnya etnis Tionghoa di Jawa Tengah, mereka sudah menggunakan
bahasa Indonesia dengan aksen jawa bahkan mereka jarang memakai bahasa mereka
sendiri.
Etnis Tionghoa “totok” atau sing-kehsendiri adalah mereka yang belum lama tinggal
di Indonesia dan biasanya mereka ini pendatang baru yang sejak lahir dari Tiongkok (Liem,
2000: 4).Kebudayaan mereka juga masih berorientasi Tiongkok dan belum terlalu
beradaptasi dengan etnis pribumi. Bahasa yang mereka gunakan di dalam berkomunikasi
sehari-hari adalah Hokkian atau Fukkien. Dialek ini yang masih melekat dan digunakan
sehari-hari oleh etnis Tionghoa disamping bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi utama.
Di lain sisi ada jenis struktural lainnya yang mampu menjelaskan identitias dari
suatu kelompok masyarakat yaitu agama. Di dalam etnis Tionghoa terdapat tiga jenis
agama tradisional yang disebut Sam Kao (Taoisme, Konfusianisme, dan Budhisme).
Derasnya arus modernisasi tidak memungkinkan bahwa agama tradisional ini semakin
tereduksi dan mulai ditinggalkan. Dengan demikian, untuk kasusnya di Indonesia banyak
etnis Tionghoa yang beralih ke agama Islam sebagai agama mereka. Di lain sisi mereka
juga memeluk agama Kristen khususnya Katolik yang secara hipotetis lebih cenderung dan
toleran terhadap ajaran-ajaran tradisional (seperti ajaran Sam Kao).
Berdasarkan hasil penelitian dari Mely G. Tan bahwa di tahun 1960-an, etnis
Tionghoa khususnya kaum “peranakan”, mulai menjauhkan diri dari “keluarga besar yang
struktur keluarga etnis Tionghoa berubah dan lambat laun akan meninggalkan struktur
keluarga khas etnis Tionghoa seperti nilai-nilai keluarga tradisional.
Sesuai perkembangan zaman, pada dasarnya hubungan antara etnis Tionghoa
dengan etnis pribumi di Indonesia kurang harmonis. Hal ini bisa terjadi karena adanya
stereotip (prasangka) yang beredar di antara kedua kelompok masyarakat ini, baik itu yang
ditujukan ke etnis Tionghoa dan begitu juga sebaliknya. Stereotip biasa berkembang atas
dasar kejadian-kejadian sebelumnya yang menjadi panduan mereka untuk menentukan
kehidupan kedepannya. Setiap kelompok punya pandangan terhadap kelompok lainnya dan
stereotip juga dimiliki oleh masing-masing kelompok terhadap kelompok lainnya. Biasanya
yang sering terjadi di lapangan adalah stereotip etnis pribumi terhadap etnis Tionghoa
dikarenakan perbedaan persaingan sumber-sumber ekonomi juga gaya hidup yang
mencolok. Keberadaan mereka yang semakin menonjol dalam pengelolaan sumber-sumber
ekonomi menjadikan prasangka orang-orang pribumi selalu negatif. Mereka beranggapan
kalau etnis Tionghoa melakukan itu semua dengan cara yang tidak jujur dan menempuh
segala cara untuk mendapatkannya sehingga timbullah tuduhan-tuduhan seperti sombong,
hidup secara eksklusif, tinggal di pusat kota dan selalu mengasingkan diri dari orang-orang