• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Polimorfisme Gen Beta Fibrinogen-455 G ke A Pada Pemberian Aspirin Dan Efeknya Terhadap Skor Barthel Indeks Dan Modified Rankin Scale Penderita Stroke Iskemik Berdasarkan Kelompok Usia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Polimorfisme Gen Beta Fibrinogen-455 G ke A Pada Pemberian Aspirin Dan Efeknya Terhadap Skor Barthel Indeks Dan Modified Rankin Scale Penderita Stroke Iskemik Berdasarkan Kelompok Usia"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke

2.1.1 Pandangan Umum Stroke Genetik

Berdasarkan studi The Ischemic Stroke Genetic Study (ISGS) dikatakan bahwa dasar terjadinya risiko genetik pada stroke iskemik bersifat multigenetik dan melibatkan faktor lingkungan (Meschia et. al, 2003). Kadar fibrinogen juga dapat dipakai sebagai prediktor kejadian risiko penyakit kardiovaskuler, terutama bagi populasi yang tergolong risiko tinggi (kadar fibrinogen plasma >3 g/dl). Kadar fibrinogen tampaknya sangat ditentukan oleh faktor genetik (Ernst et. al., 1993; Kamath et. al., 2003).

2.1.1.1 Definisi Stroke

(2)

iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina berdasarkan gejala yang bertahan > 24 jam atau meninggal, dan etiologi lainnya yang telah disingkirkan (Sacco et. al., 2013).

2.1.1.2 Epidemiologi Stroke

Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di Amerika Serikat, termasuk di banyak Negara lainnya di dunia, setelah penyakit Jantung dan kanker (Caplan, 2000). Insiden stroke bervariasi di negara-negara Eropa dan diperkirakan antara 100 – 200 kasus stroke baru per 100.000 penduduk per tahun (Hacke et. al., 2003). Rerata insiden stroke di Amerika Selatan per tahun adalah 0,35 – 1,83 per 1000 penduduk (Saposnik et al., 2003). Insiden di Australia per tahun adalah 2,06 per 1000 penduduk (pria 1,95 dan wanita 2,17) (Thrift et. al., 2001; Sturm et. al.,2004). Insiden di Jerman didapatkan per tahun 1,74 per 1000 penduduk (pria 1,47 dan wanita 2,01) (Kolominsky-Rabas et. al., 1996). Di Jepang insiden stroke per tahun pada populasi usia di atas 35 tahun, pria 2,687 per 1000 penduduk dan wanita 1,675 (Kita et. al., 1999).

(3)

0,06 per 1000 penduduk. Seluruh persentase kasus kematian dalam 28 hari adalah sebesar 19,4%, dalam 3 bulan sebesar 28,5%, dan dalam 1 tahun 37,3% (Kolominsky et. al., 1998).

(4)

Prasetyo et.al.(2011) mengatakan dari 110 subjek penelitian berdasarkan sebaran waktu kedatangan (likelihood of behavior change) penderita stroke di Rumah Sakit dengan onset di bawah 3 jam adalah 24,5%, subjek yang datang di atas 3 jam adalah 75,5%, dan datang setelah 1 hari 41,8%. Berdasarkan sebaran Modifying Factors, usia yang terbanyak mengalami stroke adalah usia 41 – 64 tahun sebesar 56,4%, disusul usia lanjut (> 65 tahun) yaitu sebesar 37,3%, dan usia muda (< 40 tahun) sebesar 6,4%. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki 57,3% dan wanita 42,7%. Berdasarkan kondisi saat datang ke rumah sakit, sadar sebanyak 46,4% dan kesadaran menurun sebanyak 53,6%.

Agustini et. al. (2010) melaporkan gambaran stroke pada wanita di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkosumo yang diilakukan pada tahun 2003 – 2009, hasilnya didapatkan 1744 data pasien stroke, yaitu pasien wanita sebanyak 793 kasus (45,4%), sedangkan laki-laki sebanyak 951 kasus (54,5%). Jenis atau tipe stroke yang terbanyak pada wanita adalah stroke iskemik (64,7%). Berdasarkan kelompok umur di bawah 45 tahun adalah sebanyak 131 kasus (16,5%), 45 – 54 tahun sebanyak 239 kasus (30,1%), dan di atas 55 tahun sebanyak 423 (53,3%) kasus. Pada penelitian ini juga didapatkan rerata umur penderita wanita adalah 56 tahun dengan umur stroke termuda adalah 14 tahun dan umur tertua adalah 91 tahun.

(5)

15,4%, umur 45 – 54 tahun 15,9%, dan umur 55 – 64 tahun 26,0% (Riskesdas, 2008).

2.1.2 Klassifikasi Stroke

Dasar klasifikasi yang berbeda-beda diperlukan sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan, dan prognosis yang berbeda walaupun patogenesisnya sama (Misbach, 2011).

2.1.2.1 Berdasarkan Patologi Anatomi dan Penyebabnya: 1. Stroke iskemik

Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana infark susunan saraf pusat adalah kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau sel retina akibat iskemia, berdasarkan: patologi, pencitraan atau bukti objektif dari injury fokal iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular tertentu, atau bukti klinis dari injury fokal iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina berdasarkan gejala yang bertahan > 24 jam atau meninggal dan etiologi lainnya telah disingkirkan (Sacco et al, 2013).

Pada stroke iskemik dapat disebabkan oleh tiga macam mekanisme, yakni

(6)

b. Thrombosis serebri adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi pada satu pembuluh darah lokal atau lebih (Hacke, 2003, Bogousslavsky et. al., 2012).

c. Embolia serebri adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem vaskuler dan tersangkut dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade aliran darah (Hacke, 2003, Bogousslavsky et al., 2012).

2. Stroke hemoragik

Stroke hemoragik adalah gangguan fungsi otak fokal yang berlangsung lebih dari 24 jam atau lebih yang disebakan perdarahan spontan dalam jaringan otak akibat pecah pembuluh darah (Hacke, 2003, Bogousslavsky et. al., 2012). Stroke hemoragik terdiri atas:

a. Perdarahan intraserebral yaitu perdarahan spontan ke dalam substansi otak yang penyebabnya bisa hipertensif dan nonhipertensif (Caplan, 2000, Bogousslavsky et. al., 2012).

b. Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid, yang penyebabnya bisa trauma dan spontan (Caplan, 2000, Bogousslavsky et. al., 2012).

2.1.2.2 Berdasarkan Stadium/ Pertimbangan Waktu:

1. Transient Ischemic Attack (TIA)

(7)

TIA sistem karotis dan TIA sistem vertebrobasiler (Caplan, 2000; Misbach, 2011).

2. Stroke in Evolution (Progressing Stroke)

Pada bentuk ini kelainan yang ada masih terus berkembang (sedang berlangsung) ke arah yang lebih berat (Caplan, 2000; Misbach, 2011).

3. Completed Stroke

Pada bentuk ini diartikan bahwa kelainan neurologis yang ada sifatnya sudah menetap (Caplan, 2000; Misbach, 2011).

2.1.2.3 Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah:

Gejala klinis stroke pada sistem karotis atau stroke hemisfer yakni: daerah otak yang mendapat darah dari arteri karotis interna terutama lobus frontalis, parietalis, basal ganglia dan lobus temporalis. Gejala timbul sangat mendadak berupa hemiparesis, hemihipastesi, bicara pelo (Caplan, 2000; Adams et. al., 2001 ; Misbach, 2011; Saco et. al., 2013).

Gejala klinis stroke pada sistem vertebrobasiler atau stroke fosa posterior tergantung kepada cabang-cabang sistem vertebrobasiler yang terkena, yakni:

a. Cabang-cabang panjang, misalnya arteri serebri inferior posterior yang jika tersumbat akan memberikan gejala-gejala sindroma

wallenberg yaitu infark di bagian dorso lateral tegmentum medulla oblongata.

(8)

hemiparesis alternans dari berbagai saraf kranial dari mesensefalon atau pons.

c. Cabang-cabang perforating branches memberikan gejala-gejala sangat fokal seperti internuclear ophtalmoplegia (Adams et. al.,

2001; Misbach, 2011; Saco et. al., 2013).

2.1.2.4 Berdasarkan tipe stroke :

a. Total Anterior Circulation Infarction, gambaran klinis yaitu hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi), hemianopia (kontralateral sisi lesi), gangguan fungsi luhur.

b. Partial Anterior Circulation Infarction, gambaran klinis yaitu defisit motorik/ sensorik dan hemianopia, defisit motorik/ sensorik disertai gejala fungsi luhur, gejala fungsi luhur dan hemianopia, defisit motorik/ sensorik murni yang kurang ekstensif dibandingkan dengan infark lakunar, serta gangguan fungsi luhur saja.

c. Posterior Circulation Infarction, gambaran klinis yaitu disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral dan gangguan motorik/ sensorik kontralateral, gangguan motorik/ sensorik bilateral, gangguan gerakan konjugat mata (horizontal atau vertical), disfungsi serebellar dan buta kortikal.

(9)

dengan gejala motorik murni, sensorik murni serta ataksia hemiparesis (Caplan, 2000; Sjahrir, 2003; Misbach, 2011; Sacco

et. al., 2013):

2.1.2.5 Klasifikasi Stroke Iskemik Berdasarkan Kriteria Kelompok Peneliti TOAST

Aterosklerosis arteri besar (Embolus/ Trombosis), kardio embolism (Risiko Tinggi/ Risiko Sedang), oklusi pembuluh darah kecil (Lakunar), Stroke akibat dari penyebab lain yang menentukan, dan Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat ditentukan: dua atau lebih penyebab teridentifikasi dan tidak ada evaluasi serta evaluasi tidak lengkap (Caplan, 2000; Adams et. al., 2001; Sjahrir, 2003; Sacco et. al., 2013).

2.1.3 Faktor Risiko Stroke

Faktor risiko terhadap terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinan untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable, atau potentially modifiable) dan bukti yang kuat (Well documented atau less well documented).

2.1.3.1 Non-modifiable Risk Factors:

1. Usia

(10)

tua dari pada pria (60,4 + 13, 8 tahun versus 57,5 + 12,7 tahun. Usia kurang dari 45 tahun sebanyak 12,9% dan lebih dari 65 tahun sebanyak 35,8%. Dari data ini terlihat peningkatan kejadian stroke yang berkorelasi dengan bertambahnya usia (Misbach, 2011). Chuang et. al. (2009) yang meneliti kadar fibrinogen plasma di Taiwan menjelaskan bahwa prediktor independen pada stroke iskemik pada community based follow up The CardioVascular Disease Risk Factors Two-township Study (CVDFACTS) selama 10,4 tahun, adalah pada kadar fibrinogen rendah (kurang dari 7.03 umol/L) pada usia 41,7 + 14,0, kadar fibrinogen sedang (7,03 – 8,79 umol/L) pada usia 46,3 + 14,6, dan kadar fibrinogen tinggi (> 8,79) pada usia 51,2 + 14,8. Di dalam analisis chi-square test pada perbandingan kadar fibrinogen tertile ini dijumpai hubungan yang bermakna antara usia dan kadar fibrinogen plasma sebagai faktor independen stroke iskemik (p < 0,0001).

2. Jenis Kelamin

(11)

3. Berat Badan Lahir Rendah.

Angka mortalitas stroke, di Inggeris dan Wales lebih tinggi pada penderita dengan berat badan lahir rendah (Goldstein, 2006).

4. Ras/ Etnis

Berdasarkan studi ARIC (Atherosclerosis Risk in Communities) dijelaskan bahwa kaum ras kulit hitam lebih tinggi insidens stroke yaitu 38% dibandingkan dengan kaum ras kulit putih. Sebaliknya, insidensi stroke juga lebih tinggi pada etnis grup di Asia (Caplan, 2000; Goldstein, 2006; Sacco et. al., 2013).

5. Genetik

Berdasarkan studi ISGS (The Ischemic Stroke Genetic Study) mengatakan dasar terjadinya resiko genetik pada stroke iskemik bersifat multigenik dan melibatkan beberapa faktor lingkungan. Adanya mutasi gen pada coding region mempunyai hubungan dengan stroke iskemik. Misalnya polimorfisme gen beta fibrinogen G455A, C148T, G448A, C807T dan glycoprotein (GP) reseptor Ia/IIa, Ib/IX/V, dan IIb/IIIa (Meschia et. al., 2003).

2.1.3.2 Modifiable risk factors:

1. Well-documented and Modifiable Risk Factors:

a.Hipertensi

(12)

yang diobati dan terkendali dengan tekanan darah 140/90 mmHg. Risiko terjadinya stroke trombotik berkisar antara 4,5 kali dibandingkan dengan normotensi. Akan tetapi, pada usia lebih dari 65 tahun hanya 1,5 kali dibanding normotensi (Misbach, 2011). Pada The British Regional Heart Study dijelaskan bahwa laki-laki dengan tekanan darah sistolik antara 160 – 180 mmHg mengalami resiko stroke 4 kali daripada pria dengan tekanan darah dibawah 160 mmHg. Pada tekanan diastolik di atas 180 mmHg mempunyai 6 kali lipat risiko terjadinya stroke. Risiko relatif stroke untuk kenaikan 10 mmHg tekanan darah diastolik adalah 1,9 untuk laki-laki dan 1,7 untuk wanita setelah disesuaikan dengan faktor risiko lainnya (Sacco, 2000).

b. Paparan asap rokok

Rokok adalah faktor risiko stroke iskemik. Berdasarkan studi meta -analisis dari 32 studi dikatakan bahwa risiko relatif pada stroke iskemik adalah 1,9 (95% CI 1,7 - 2,2) bagi perokok dan bagi bukan perokok serta 2,9 (95% CI 2,5 – 3,5) pada stroke subaraknoid (Goldstein, 2006). Rokok adalah determinan independen yang menyebabkan penebalan pembuluh darah arteri karotis, yang disebabkan oleh meningkatnya koagulabilitas, viskositas darah, kadar fibrinogen, platelet aggregasi, dan tekanan darah (Ernst et al., 1988; Misbach, 2011; Saco et. al., 2013).

c. Diabetes

(13)

pada stroke iskemik adalah 1,8 sampai dengan 6 kali lipat (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011; Saco et. al., 2013).

d. Atrial Fibrilasi dan Beberapa Kondisi Jantung Tertentu

Angka thrombo-embolism pada penderita kelainan katup jantung adalah 4,4 per 100 pasien tanpa terapi antithrombotik dan 2,2 per 100 pasien dengan obat antiplatelet, serta 1 per 100 pasien dengan warfarin. Atrial Fibrilasi dapat meningkatkan insidens stroke 3 - 4 kali lipat pada stroke emboli. Prevalens atrial fibrilasi dapat meningkat sesuai umur, yaitu 5% pada usia > 70 tahun. Rerata usia penderita Atrial Fibrilasi adalah 75 tahun (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001;Goldstein, 2006; Saco et. al., 2013).

e. Dislipidemia

Tiga studi prospektif pada laki-laki menunjukkan peningkatan stroke iskemik pada kadar kolesterol di atas 240 – 270 mg/ dl. HMG CoA-reductase inhibitor (statin) yang dapat digunakan sebagai pencegahan stroke iskemik dengan Coronary Artery Disease (CAD). HDL kolesterol berhubungan dengan stroke iskemik. Angka HDL <30 – 35 mg/dl dan LDL <130 mg/dl dapat menurunkan risiko stroke (Caplan, 2000; Goldstein, 2006; Saco et. al., 2013).

f. Stenosis arteri karotis

(14)

minimal 60% dengan angiografi, dan 70% dengan Doppler ultrasound

(Goldstein, 2006; Misbach,2011; Guideline Stroke, 2011). g. Sickle Cell Disease

Sickle Cell Disease (SCD) merupakan penyakit turunan akibat

autosomal recessive yang disebabkan oleh abnormalnya gen pada

hemoglobine beta chain (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001;Goldstein, 2006).

h. Terapi Hormonal Pascamenopause

Berdasarkan The Heart and Estrogen/ Progesterone replacement study (HERS) dijelaskan bahwa terapi hormonal tidak ada efeknya sebagai pencegahan stroke primer pada penderita pascamenopause (Caplan, 2000; Goldstein,2006; Saco et. al., 2013).

i. Diet yang Buruk

Penurunan masukan natrium dan peningkatan masukan kalium direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. Metode Dietary Approach to stop Hypertension (DASH) yang menekankan pada konsumsi buah, sayur, dan produk susu rendah lemak dapat menurunkan tekanan darah serta merupakan diit yang direkomendasikan (Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011).

j. Inaktivitas fisik

(15)

menit) setiap minggu dengan intensitas lebih berat (Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011; Saccoet. al., 2013).

k. Obesitas

Pada individu overweight dan obesitas, penurunan berat badan dipandang cukup beralasan dapat menurunkan risiko stroke. Penurunan berat badan sebaiknya dilakukan dengan target Body Mass Index (BMI) < 25 kg/ m2, garis lingkar pinggang < 80 cm untuk wanita dan < 90 cm untuk laki-laki (Goldstein,2006; Guideline Stroke, 2011).

2 Less well-documented and modifiable risk factors:

a. Sindroma Metabolik

Sindroma metabolik merupakan suatu pertanda prediktor pada

coronary heart disease dan cardiovascular disease (coronary heart disease dan stroke). Rekomendasi pada sindroma metabolik adalah perubahan gaya hidup (seperti latihan, penurunan berat badan dan diet yang teratur) serta farmakoterapi (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006).

b. Penyalahgunaan Alkohol

Laki-laki sebaiknya mengkonsumsi alkohol tidak lebih dari 2 gelas/ hari dan wanita tidak hamil mengkonsumsi tidak lebih dari 1 gelas/ hari (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006).

c. Penggunaan Kontrasepsi Oral

(16)

dapat menyebabkan stroke hemoragik (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006).

d. Sleep-Disordered Breathing (SDB)

Sleep-Disordered Breathing berhubungan dengan faktor risiko vaskuler dan morbiditas kardiovaskuler lain. Evaluasi adanya SDB dengan anamnesis yang teliti dan bila perlu dengan tes khusus direkomendasikan untuk dilakukan terutama pada individu dengan obesitas abdomen, hipertensi, penyakit jantung, atau hipertensi yang resisten terhadap obat (Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011).

e. Nyeri Kepala Migren

Mengingat adanya hubungan antara frekuensi migren yang sering dengan risiko stroke (migraineus infarction), pengobatan untuk menurunkan migren cukup beralasan (Caplan, 2000; Goldstein, 2006).

f. Hiperhomosisteinemia

Pemberian vitamin B komplek, piridoksin (B6), kobalamin (B12), dan asam folat berguna menurunkan kadar homosistein darah dan mencegah terbentuknya aterosklerosis (Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011).

g. Peningkatan lipoprotein (a)

Pemberian niacin cukup beralasan untuk pencegahan stroke iskemik pada penderita dengan Lp(a) yang tinggi (Goldstein, 2006; Guideline, 2011).

h. Peningkatan Lipoprotein-Associated Phosphilipase

(17)

lipat risiko stroke iskemik. Lp-PLA dapat dikurangi dengan pemberian statin, fenofibrat, dan beta blockers (Goldstein, 2006).

i. Hypercoagulability

Manfaat skrining genetik untuk mendeteksi hiperkoagulabilitas herediter pada pencegahan stroke masih belum jelas (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006).

j. Inflamasi dan Infeksi

Penanda inflamasi seperti hsCRP pada penderita tanpa stroke mungkin dapat mengidentifikasikan penderita dengan peningkatan risiko stroke meskipun manfaatnya dalam praktik klinis rutin belum jelas (Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011; Di Napoli et. al., 2011).

2.1.4 Patofisiologi Stroke Iskemik 2.1.4.1 Aterosklerosis

Mekanisme terjadinya stroke iskemik secara garis besar dapat dibagi tiga, yaitu thrombus, emboli dan penurunan perfusi sistemik. Dimana penyebab trombus yang tersering adalah aterosklerosis (Caplan, 2000).

Aterosklerosis merupakan suatu proses inflamasi pada dinding vaskuler pembuluh darah dan diamplikasi karena adanya vascular oxidative stress. Sumber potensial yang paling penting pada oxidative stress pada dinding vaskuler adalah oxidized low density lipoprotein

(18)

agregasi, dan modifikasi berupa oksidasi LDL yang berperanan penting dalam aktivasi dari proses inflamasi (Glass et. al., 2001). Oxidized low density lipoprotein (oxLDL) merupakan suatu penanda yang umum untuk menjelaskan variasi dan modifikasi dari lipid dan protein yang terdapat dalam LDL. OxLDL terjadi ketika radikal bebas menginduksi peroksidasi dari lipid. OxLDL bersifat sitotoksik bagi sel endotel, bertindak sebagai

chemoatractant bagi monosit, menghalangi pergerakan makrofag, dan memicu trombosis dengan menginduksi adhesi platelet. OxLDL juga dapat mengatur ekspresi faktor pertumbuhan dan sitokin-sitokin yang berperan dalam perkembangan aterosklerosis, memengaruhi vascular reactivity, dan juga menstimulasi ekspresi molekul yang terlibat dalam trombogenesis (Tsimikas et. al., 2003; Furie et. al., 2008).

(19)

tunika adventitia, yang terdiri atas jaringan ikat dengan serat saraf dan vasa vasorum (Robbins, 2007).

Karakteristik aterosklerosis adalah adanya akumulasi fibro fatty plaque

yang mengandung sel imun, vascular smooth muscle cells, vascular endothelial cells, dan extracellular matriks yang mengelilingi suatu lipid rich core. Kompleksitas aterosklerosis ditandai dengan adanya efek apoptosis dan proliferasi dari spesifik tipe sel yang terdapat pada pembuluh darah (Kavurma et. al., 2008).

Proses aterosklerosis diawali dengan penumpukan lipid di tunika intima disertai dengan masuknya/ adhesi monosit dan sel T. Adhesi ini didahului dengan ekspresi molekul adhesi, yaitu Vascular cellular adhesion molecule (VCAM) dan lipid yang bertanggung jawab dalam aktivasi gen VCAM. Ekspresi VCAM juga dipengaruhi oleh shear stress. Monosit tersebut akan dikonversi menjadi makrofag, akan memakan/ memfagosit sel-sel lipid (modified LDL), dan kemudian berubah menjadi sel busa / foam cell (Ito et al, 2006).

Sejumlah sel otot polos akan memproduksi matriks protein yang terkumpul di dalam plak aterosklerosis dan membentuk berbagai tipe lesi aterosklerosis yang diawali dengan fatty streak (akumulasi lipid intraselular), intermediate lesion (akumulasi lipid ekstraselular), atheroma

(terbentuknya inti lipid di bagian tengah), pembentukan fibrous plaque

(pembentukan jaringan ikat yang dominan), dan diakhiri dengan

(20)

Faktor yang memengaruhi patogenesis dari aterosklerosis, di antaranya adalah gangguan metabolisme lipid, disfungsi endotel, inflamasi, sistem imunologi tubuh, ketidakstabilan plak, dan gaya hidup (Szmitko et. al., 2003).

Plaque instability and thrombus

At he roscl e rosis M a y C ul mi na t e i n Pl a q ue I nst a bi l it y, Rupt ure , a nd Thrombus

Libby P. Circulation.2001;104:365-372; Ross R.N Engl J Med.1999;340:115-126.

Monocyte LDL-C

Gambar 2.1 Proses terjadinya aterosklerosis.(Libby, 2001).

2.1.4.2 Patofisiologi Stroke Iskemik

Pada stroke iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya (Misbach, 2011).

(21)

jika semakin ke perifer akan semakin ringan. Derah luar penumbra iskemik, dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas bergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi refepfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami kematian (Misbach, 2011).

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap, yaitu:

Tahap 1:

1. Penurunan aliran darah

(22)

Kecepatan aliran darah di otak bervariasi antara 40 – 70 cm/ detik. Apabila Cerebral Blood Flow (CBF) meninggi atau arteri menyempit, kecepatan segmen arteri tersebut juga akan meninggi.

Jika aliran darah 20 ml/ 100 gram/ menit, gambaran elektroensefalogram akan terganggu. Rate of cerebral oxygen metabolism

(CMRO2) mulai menurun jika CBF turun di bawah 20 ml/ 100 gram otak/

menit. Jika aliran darah otak dibawah 17 cc/ 100 gram otak/ menit, dapat menyebabkan aktivitas listrik otak berhenti meskipun kegiatan ion pump

masih berlangsung. Jika aliran darah otak 10 ml/ 100 gram otak/ menit, akan terjadi kegagalan ionik. Pengaruh iskemia terhadap integritas dan struktur otak pada daerah penumbra terletak antara batas kegalan elektrik otak dan batas bawah kegagalan ionik. Kematian neuron terjadi apabila CBF di bawah 10 ml/ 100 gram otak/ menit (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Sjahrir, 2003).

2. Pengurangan O2

Jika aliran darah ke otak menurun, pembuluh darah mengalami vasodilatasi untuk mempertahankan ekstraksi oksigen ke otak yang maksimum sehingga CMRO2 turun. Berkurangnya aliran darah ke otak

menyebabkan berkurangnya persediaan oksigen dan glukosa serta zat-zat lain yang penting untuk kehidupan sel otak. Dalam keadaan fisiologis otak manusia membutuhkan energi yang besar untuk metabolisme yang berasal dari metabolisme oksidatif. Dalam keadaan normal konsumsi oksigen yang diukur sebagai CMRO2 adalah 3,5 cc/ 100 gram otak/ menit.

(23)

pasangan elektron (oxygen free radical), menyebabkan oksidasi fatty acid

dalam organel sel dan plasma sel yang mengakibatkan disfungsi sel (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Sjahrir, 2003).

3. Kegagalan Energi

Berbeda dengan organ tubuh lainnya, otak hanya menggunakan glukosa sebagai substrat dasar agar metabolisme energi dapat mengubah ADP (adenin difosfat) menjadi ATP (adenosin trifosfat). Supply produksi ATP secara konstan penting untuk mempertahankan integritas neuron, mayoritas kation Ca ++. Na ++ ekstraseluler dan K + intraseluler.

Produksi ATP sangatlah efisien dengan adanya 02. Otak normal

membutuhkan 500 cc 02 dan 75 – 100 mg glukosa tiap menitnya (total

sekitar 125 mg glukosa per harinya). Jika supply 02 berkurang (hipoksia),

proses anerob glikolisis akan terjadi dalam pembentukan ATP dan laktat. Akhirnya produksi energi menjadi kecil dan terjadi penumpukan asam laktat, baik di dalam sel saraf maupun di luar sel saraf (lactic acidosis).

Akibatnya metabolisme sel saraf terganggu (Ahmad et. al. 2001; Sjahrir, 2003; Ito et. al., 2006).

4. Terminal Depolarisasi dan Kegagalan Hemostasis Ion

(24)

Tahap 2 :

1. Eksitoksisitas dan Kegagalan Hemostasis Ion

Dalam keadaan normal, neurotransmitter glutamat terkonsentrasi dalam terminal nerve dan dalam proses transisi neuronal yang bersifat eksitatorik. Pada keadaan iskemik aktivitas neurotransmitter eksitatori (glutamat, aspartat, asam kainat) meninggi di daerah iskemik (Adams et al., 2001). Pada stroke iskemik akibat berkurangnya pembentukan ATP serta Na-K-ATP-ase, mengakibatkan konsentrasi Na dalam sel meningkat sehingga timbul pembengkakan sel serta pelepasan glutamat karena depolarisasi membran sel (Ito et. al., 2006). Peninggian pelepasan glutamat mengakibatkan neuron lebih mudah rusak karena sifat toksik glutamat mengakibatkan kematian sel. Depolarisasi menyebabkan rangsangan pada reseptor-reseptor glutamat dan masuknya ion-ion bermuatan positif yang secara tidak langsung merangsang pembukaan saluran kalsium peka voltase (Caplan, 2000). Masuknya ion natrium dalam jumlah besar ke dalam sel diikuti oleh ion klorida dan air sehingga menyebabkan edema sel (Caplan, 2000; Sjahrir, 2003). Glutamat adalah suatu agonist NMDA (N-methyl-D-aspartat) dan non NMDA (kainate dan

quisqualate) reseptor. NMDA reseptor berikatan dengan membrane channel dengan permeabilitas ion kalsium yang tinggi (Adams et. al., 2001; Sjahrir, 2003; Ito et. al., 2006).

2. Spreading Depression

(25)

serebral. Cortical spreading depression dapat memengaruhi perburukan lesi pada stroke eksperimental serta dapat berperan pada inisiasi serangan migrain (Obrenovitch et al., 2003).

Derajat keparahan iskemik yang disebabkan blokade arteri bervariasi dalam zona yang berbeda di daerah disupply. Pada pusat zona tersebut aliran darah sangat rendah (0 - 10 ml/ 100 gram/ menit) dan kerusakan iskemik sangat parah sehingga dapat menyebabkan nekrosis. Proses ini disebut core of infarct. Di daerah pinggir zona tersebut aliran darah agak lebih besar yaitu sekitar 10 – 20 ml/ 100 mg/ menit karena adanya aliran kolateral sekitarnya. Hal ini menyebabkan kegagalan elektrik tanpa disertai kematian sel permanen. Daerah ini disebut daerah iskemik

penumbra, keadaan antara hidup dan mati, sel neuron keadaan paralisis/ disfungsi yang menunggu aliran darah, dan oksigen yang adekuat untuk suatu restorasi. Di sebelah luar dari daerah penumbra ada daerah yang disebut daerah oligemia (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Fisher, 2001; Sjahrir, 2003).

(26)

Tahap 3: Inflamasi

Respon inflamatorik pada stroke iskemik akut berpengaruh buruk terhadap perkembangan infark serebri. Berbagai penelitian menunjukkan adanya perubahan kadar sitokin pada stroke iskemik akut. Mikroglia merupakan makrofag serebral yang merupakan sumber sitokin yang utama di serebral. Sitokin adalah mediator peptida molekuler yang merupakan protein atau glikoprotein yang dikeluarkan oleh suatu sel dan memengaruhi sel lain dalam suatu proses inflamasi, contohnya limfokin dan interleukin (IL) yang terdiri atas beberapa jenis yakni IL-1 beta, IL-6, IL-8.dan TNF (Tumor Necrotizing Factor) alfa yang merupakan sitokin proinflamatorik (Caplan, 2000; Sjahrir, 2003).

Tahap 4: Apoptosis

Apoptosis setelah iskemia otak yang terjadi akibat serangkaian proses patofisiologi yakni eksitoksitas, pembentukan radikal bebas, reaksi inflamasi, dan kerusakan mitokondria (Adams et. al., 2001; Ahmed et. al., 2001)

(27)

terutama sel-sel glia dan endotel kapiler juga berperan penting (Caplan, 2000; Fisher, 2001; Misbach, 2011).

2.1.4.3 Sistem Hemostasis

a Kelainan Hemostasis dan Hubungannya dengan Stroke

Hemostasis dilaporkan berhubungan dengan berbagai penyakit klinis, mulai dari penyakit jantung iskhemik dan insufisiensi pembuluh darah perifer sampai dengan terjadi stroke iskemik akut dan iskemik otak reversibel. Sekarang ini banyak penelitian melaporkan bahwa adanya kelainan hemostasis di pembuluh darah otak cenderung menyebabkan stroke iskemik. Ini mungkin ditandai oleh peningkatan marker sekunder sebagai akibat dari pengrusakan sawar darah otak dan pelepasan zat prokoagulan dari jaringan otak yang mengalami nekrosis (Lai et. al., 1994; Yatsu et. al., 1998; Hoffbrand et .al.,2002; Davis et. al., 2012)

(28)

fibrinogen berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler (Cardiovascular Disease) dan iskhemik pembuluh darah otak (Kamath et. al., 2003; Borrissoff et. al., 2011).

b Hiperkoagulasi

Konsep status hiperkoagulasi (trombofilia) pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1854 oleh seorang ahli patologi Jerman yang bernama Rudolph Virchow. Ia menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu :Penurunan aliran darah (stasis vena), peradangan di dekat pembuluh darah (cedera endotel) dan faktor intrinsik yang mempengaruhi keadaan darah (Welch et. al., 1998; Hoffbrand et. al. , 2002).

(29)
(30)

92% disebabkan oleh kejadian APC resisten (APC-R) dan 8% sisanya disebabkan oleh faktor kehamilan, penggunaaan kontrasepsi oral, kanker, APA selektif, dan mutasi faktor V lain. Oleh karena itu, istilah ”faktor Leiden-V” dan ”APC-R” tidak sinonim. Buktinya, APC-R merupakan faktor risiko independen terhadap VTE bahkan tanpa faktor Leiden V (Lai et. al., 1994).

Mutasi pada nenek moyang orang Kaukasia tunggal diperkirakan telah terjadi sejak 21.000 – 34.000 tahun yang lalu setelah evolusi pemisahan orang non-Afrika dari orang Afrika dan orang Kaukasia (orang non-afrika putih) dari subpopulasi Mongolia/ Asia (Roos, 1999).

Protrombin G20210A merupakan mutasi (subsitusi G ke A di nukleotida 20210) di daerah gen 3’ untranslated protrombin/ faktor koagulasi II (Lai et al, 1994). Mutasi autosomal yang dominan ini menyebabkan peningkatan konsentrasi protrombin plasma. Seperti halnya faktor V Leiden, mutasi protrombin G20210A terdapat pada orang Kaukasia tunggal, yang mungkin juga terjadi setelah evolusi pemisahan subpopulasi (Salaeth, 2006).

(31)

2.1.4.4 Peran Fibrin dan Fibrinogen pada Stroke Iskemik a Pandangan Umum Fibrinogen

Fibrin adalah protein yang terlibat dalam pembentukan bekuan darah. Ini merupakan serat-serat protein yang terpolimerisasi membentuk jaring dalam pembentukan plak hemostasis atau bekuan bersama dengan trombosit pada suatu luka. Fibrin dibuat dari fibrinogen, yaitu suatu glikoprotein plasma yang disintesis oleh hati (Ernst et. al.,1993; Blake et. al., 2001; Hoffbrand et .al., 2002; Mackie et. al., 2003).

Fibrinogen merupakan molekul yang berbentuk heksamer yang terdiri atas tiga pasang rantai polipeptida yaitu A-, B-, dan . A dan B adalah polipeptida spesifik pada dua rantainya yang disebut fibrinopeptida. Peptida kecil ini berperan mencegah fibrinogen membentuk polimer secara spontan. Setelah terjadi translasi, protein fibrinogen matur berada dalam sirkulasi darah dengan berat molekul 340.000 dalton (Ernst

et .al.,1993; Mackie et. al., 2003; Brummel et .al., 2004).

Fibrinogen disintesis di hati sekitar 1,7 gram sampai 5 gram per hari. Dengan rata-rata 75% disekresi di plasma dan sisanya didistribusikan antara kelenjar limfe dan jaringan interstisial. Fibrinogen dianggap sebagai reaktan fase akut sehingga kadarnya bisa meningkat 2 sampai 10 kali lipat pada berbagai keadaan stres, seperti trauma, kehamilan, dan peradangan jaringan (Ernst et .al.,1993; Blake et. al., 2001; Mackie et. al., 2003).

(32)

satu rantai  dengan NH2 dan COOH pada masing-masing ujung yang sama. Belahan molekul tersebut dihubungkan oleh ikatan nonkovalen dan disulfida pada ujung terminal asam aminonya yang membentuk struktur noduler yang tersusun lurus. Bagian luar kedua domains tersebut dibentuk oleh bagian ujung terminal gugus hidroksil dari rantai B- dan  yang disebut domain D, sedangkan domain bagian tengah mengandung ujung asam amino pada setiap rantainya yang disebut domain E (Ernst et. al.,1993; Blake et. al., 2001; Mosesson et. al., 2005).

(33)

Tabel 2.1 Karakteristik Molekul dan Gen Fibrinogen

Konsentrasi dalam plasma 7400 nmol/L atau 2500 g/ml

Waktu paruh (hari) 3-5

Karbohidrat (%) 3

Lokus gen 4q23-q32

Fibrinogen A B 

Berat Molekul 340.000 d 66.500 d 52.000 d 46.500 d

Ukuran Gen (kb) 50 5,4 8 8,5

Jumlah Exon 6 8 10

Ukuran mRNA (kb) 2,2 1,9 1,6

Sumber :Brummel et. al., 2004

(34)

Gambar 2.3 Molekul Fibrinogen (Jennifer McDowall ,2006).

(35)

Gambar 2.4 Fibrinogen dan Pembentukan Polimer Fibrin (Jennifer McDowall ,2006).

Setelah terjadi aktivasi protrombin menjadi trombin (faktor IIa), trombin akan memecah fibropeptida ini. Pada ujung rantai  terdapat

domain E yang bisa melekat ke ujung terminal gugus karboksil dari rantai . Pemecahan rantai  terjadi lebih lambat dan menyebabkan

(36)

membentuk sumbat hemostatik yang stabil sehingga efektif menghentikan perdarahan (Hoffbrand, 2002; Jennifer, 2006).

b Hubungan Fibrinogen dengan Aterosklerosis dan Stroke

Sejak tahun 1950-an sudah diketahui bahwa fibrinogen berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler. Peningkatan kadar fibrinogen berhubungan dengan kerusakan target organ kardiovaskuler. Beberapa penelitian prospektif menunjukkan bahwa fibrinogen merupakan prediktor kuat untuk terjadi aterotrombosis. Hubungan antara fibrinogen dan aterotrombogenesis tidak dibantah lagi (Smith et .al., 1990; Blake et. al., 2001; Ohira et al, 2006).

(37)

secara klinis diduga bahwa fibrinogen juga bisa sebagai faktor risiko terjadinya sekuele pada pasien stroke iskemik aterotrombotik. Walaupun demikian, viskositas plasma dan fibrinogen juga bisa meningkat secara bermakna pada pasien serangan otak sepintas (TIA). Hal ini diduga bahwa kadar fibrinogen meningkat sebelum terjadi stroke (Ernst et. al., 1993; Chao et. al.,2007). Peningkatan kadar fibrinogen dapat menjadi prediksi terjadinya stroke iskemik di kemudian hari, terutama pada pria berusia muda atau menengah (Rothwell et. al., 2004; Kofoed et. al., 2003).

Fibrinogen merupakan protein fase akut yang kadarnya akan meningkat sebagai respon terhadap infeksi, peradangan, stress, tindakan bedah, trauma dan nekrosis jaringan (Kamath et. al., 2003). Kadar fibrinogen yang tinggi berhubungan dengan proses aterosklerosis dan juga dilaporkan pada pasien dengan coronary hearth disease, peripheral vascular disease dan carotid stenosis (Escobar et. al., 2002; Rothwell et.

al, 2004). Reseptor platelet glycoprotein apabila berikatan dengan fibrinogen, von Willebrand factor (vWF) atau kolagen, dapat mempromosikan aggregasi platelet dan trombosis. Peningkatan risiko stroke aterotrombotik ditemukan pada A2 allel carriers pada integrasi -3 /GP IIIa (Debatte et. al., 2009).

c Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar Fibrinogen

(38)

al.,1987). Interaksi fibrinogen dengan beberapa variabel lain telah dilakukan melalui penelitian potong silang epidemiologi (Stout, 1991). Penelitian yang besar ini dengan 15.803 orang menunjukkan kadar fibrinogen lebih tinggi 0.2 g/L pada orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih. Juga menunjukkan bahwa kadarnya pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Fibrinogen meningkat sesuai peningkatan usia, merokok, ukuran badan, diabetes, insulin serum puasa, LDL, Lp(a), hitung lekosit, dan menopause. Kadarnya menurun pada peminum alkohol, latihan, HDL, dan penggunaan hormon wanita postmenopause (Bielak et.

(39)

Tabel 2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Fibrinogen Normal Kadar fibrinogen tinggi Kadar fibrinogen rendah 1. Kulit hitam

d Hubungan Fibrinogen, Aterosklerosis, dan Aterogenesis

(40)

Keadaan hiperkoagulasi jelas berhubungan dengan trombosis. Fibrinogen merupakan faktor penentu utama viskositas darah dan menyebabkan aggregasi sel darah merah secara reversibel. Perubahan hemorheologik akibat hiperfibrinogenemia dapat menurunkan kecepatan aliran darah sehingga cendrung terjadi trombosis dan aterogenesis (Sabeti et. al., 2005).

Hiperaggregasi trombosit berperan penting dalam pembentukan plak atherosklerotik. Fibrinogen berikatan dengan reseptor pada permukaan membran trombosit, sehingga terjadi agregasi in vivo (Rothwell et. al., 2004). Selanjutnya, fibrinogen juga terintegrasi secara langsung ke dalam lesi vaskuler aterosklerotik yang berubah menjadi fibrin dan produk degradasi fibrinogen. Fibrinogen dan produk degradasi fibrinogen tampaknya merangsang proliferasi dan migrasi sel otot polos (Smith et. al.,1990). Fibrinogen diduga terlibat pada fase awal pembentukan plak. Kadar fibrinogen yang tinggi mencerminkan tingkat aktivitas inflamasi yang berhubungan dengan progresivitas aterosklerosis (Sabeti et. al., 2005).

(41)

Gambar 2.5 Fibrinogen Plasma, Trombogenesis, dan Aterogenesis Sumber: Kamath et. al., 2003

Fibrinogen berperan penting dalam sejumlah proses patofisiologi di dalam tubuh seperti aterogenesis, trombogenesis, dan inflamasi. Walaupun demikian, pemahaman tentang mekanisme timbulnya aterotrombogenesis oleh faktor fibrinogen masih terkotak-kotak. Mekanisme tersebut terjadi diduga melalui infiltrasi fibrinogen ke dinding pembuluh darah, mempengaruhi hemoreologis karena viskositas darah yang meningkat, meningkatkan aggregasi trombosit, dan pembentukan trombus. Selanjutnya, fibrinogen plasma juga berperan pada reaksi fase akut, yaitu memperkuat degranulasi trombosit dalam responnya terhadap

(42)

Deposit fibrin bisa menyebabkan aterogenesis dan pertumbuhan plak (Levenson et. al., 1995). Fibrinogen dan metabolitnya menyebabkan kerusakan dan disfungsi endotel melalui beberapa mekanisme (Rothwell

et. al., 2004). Banyak lesi aterosklerotik pada manusia tidak terdapat celah atau ulkus, ini bisa berisi sejumlah besar fibrin seperti halnya juga pada trombus mural, pada permukaan plak yang utuh, di dalam lapisan di bawah selubung fibrosa, dalam inti yang kaya lipid, atau tersebar merata pada seluruh bagian plak. Fenomena ini bisa disertai oleh penurunan aktivitas fibrinolitik intimal arteri dan konsentrasi plasminogen yang kesemuanya itu dapat diamati pada penyakit kardiovaskuler. Selanjutnya, di tunika intima, fibrin merangsang proliferasi sel melalui tahap-tahapan sepanjang migrasi sel dan melalui perlekatan fibronektin yang berakibat perangsangan migrasi dan adhesi sel (Naito et .al., 1992; Kamath et al., 2003). Produk degradasi fibrin yang terdapat di tunika intima bisa merangsang mitogenesis dan sintesis kolagen, menarik lekosit, dan mengubah permeabilitas endotel dan tonus vaskuler. Pada plak yang baru terbentuk fibrin dapat ikut terlibat dalam memperkuat penempelan LDL dan akumulasi lipid sehingga membentuk inti lipid dalam lesi aterosklerosis (Smith et.al. ,1990; Levenson et. al, 1995). Walaupun demikian hasil ini tidak dapat dipastikan karena hanya bersifat asosiasi. Jadi tidak bisa secara pasti dikatakan peran fibrinogen sepenuhnya.

(43)

sub-endotel. Tromboplastin jaringan ini selanjutnya mengaktifkan jalur ekstrinksik dari sistem koagulasi melalui aktivasi faktor VII menjadi VIIa. Kontak langsung darah dengan permukaan asing akan mengaktifkan jalur koagulasi intrinksik melalui aktivasi faktor XII menjadi XIIa dan juga trombosit. Agregasi trombosit saja tidak cukup adekuat untuk membuat stabil sehingga diperlukan juga pengaktifan jalur koagulasi (Kamath et al., 2003). Pengaktifan kedua jalur kaskade koagulasi tersebut akhirnya mengaktifkan faktor X menjadi Xa, dan selanjutnya mengaktifkan protrombin menjadi trombin. Trombin suatu enzim protease, memfasilitasi pemecahan fibrinogen menjadi fibrin monomer yang saling berikatan satu sama lain dan dari ujung ke ujung membentuk fibrin polimer. Pengaktifan faktor XIII menyebabkan ikatan silang fibrin polimer ini sehingga membentuk bekuan fibrin yang stabil. Fibrinogen juga terlibat pada jalur akhir aggregasi trombosit. Fibrinogen membentuk ikatan silang dengan trombosit melalui perlekatannya ke reseptor glikoprotein IIb-IIIa pada permukaan trombosit (Naito et. al.,1992; Kamath et al.,2003).

e Fibrinogen sebagai Faktor Risiko Stroke Iskemik

(44)

median (Hazard Rasio; 1.34; interval kepercayaan 95%, 1.13 - 1.60). Hubungan tersebut lebih kuat pada stroke non-lakuner (HR, 1.42; interval kepercayaan 95%, 1.13-1.78) dibandingkan stoke lakunar (HR, 1.09; interval kepercayaan 95%, 0.80-1.49). Jadi, hubungan antara kadar fibrinogen dan risiko stroke iskemik adalah berbanding lurus (Rothwell et. al., 2004). Penelitian kohort yang dilakukan di kota Copenhagen Denmark tahun 2003 dengan 8.755 sampel yang diikuti selama 6 tahun dan menunjukkan bahwa kadar fibrinogen di atas rata-rata (>3 gr/L) diprediksi berisiko menimbulkan stroke iskemik (risiko relatif, 1.9; interval kepercayaan 95%, 1.4-2.5; 235 kejadian). Risiko yang bermakna juga dijumpai pada pria (2.7;1.7-4.2), wanita (1.4;0.9-2.0; 122 kejadian), pada usia muda (5.2;1.1-26, 8 kejadian), dan usia menengah (2.9;1.6-5.4; 64 kejadian). Jadi, peningkatan kadar fibrinogen memprediksi timbulnya stroke iskemik di kemudian hari, terutama pada pria berusia muda dan menengah. Hal ini mencerminkan kecenderungan timbulnya aterosklerosis (Kofoed et. al., 2003).

(45)

Whiteley et al. (2012) meneliti pada 270 pasien stroke iskemik akut dengan menilai Biomarker darah untuk memprediksi outcome selama 3 bulan. Pada 3 bulan outcome yang dinilai, ditemukan 112 pasien memiliki

outcome yang buruk. Salah satu Biomarker darah yang dinilai yakni fibrinogen. Odds ratio fibrinogen pada penelitian ini adalah 1,29 (0,57-2,47), sehingga apabila Odds ratio di atas satu berhubungan dengan

outcome yang jelek.

(46)

Tabel 2.3 Faktor-faktor yang Bisa Menyebabkan Kelainan Pembuluh Darah Oklusif (Stroke Iskemik, Iskemik Miokard, dan Klaudikasio)

Penyebab pasti Kemungkinan penyebab 3. Peningkatan kadar plasminogen aktifator jaringan

4. Inaktifitas fisik

5. Peningkatan kadar hematokrit 6. Obesitas

7. Diet (garam, antioksidan, kopi dll) 8. Alkoholism

9. Ras

10. Kegagalan sosial Sumber : Warlow, 1997

2.1.4.5 Faktor Genetik pada Fibrin dan Fibrinogen a. Fibrinogen – α, β dan γ

(47)

Gen rantai A mempunyai 6 exon, gen rantai B 8 exon, dan gen

rantai  10 exon. Gen A terdapat di tengah dan diapit oleh gen B pada

satu sisinya dan gen  pada sisi yang lain. Kedua rantai A dan 

ditranskripsikan dari untaian DNA yang sama, sedangkan rantai B

ditranskripsikan dari untaian DNA yang berseberangan. Jadi, arah transkripsi gen  ini berlawanan dengan arah kedua gen yang lain. Terdapat hasil salinan tunggal pada tiap-tiap gen ini. Ekspresi ketiga gen bersama-sama diatur oleh suatu mekanisme regulasi. Oleh karena itu, ekspresi ketiga rantai tersebut dikoordinasi secara baik sehingga kadar mRNA tiap-tiap rantai berada dalam keadaan seimbang di dalam sel hepatosit. Transkripsi dicetuskan oleh promoter pada masing-masing rantainya dan menghasilkan mRNA yang multipel. Variasi lokus fibrinogen menyebabkan perbedaan individual kadar fibrinogen plasma (Rothwell et. al., 2004).

b Polimorfisme Gen Beta Fibrinogen

(48)

memengaruhi kepekaan atau keparahan suatu penyakit aterotrombotik (Brummel et al, 2004). Walaupun demikian, mekanisme molekuler pasti mendasari kelainan genetik konsentrasi fibrinogen plasma yang diturunkan ini masih belum jelas. Hasil penelitian epidemiologis menunjukkan hubungan yang kuat antara dua polimorfisme gen fibrinogen  dan konsentrasi fibrinogen plasma. Pengaruh polimorfisme ini terhadap

penyakit vaskuler masih dipertanyakan karena lingkungan atau keadaan fenotip pasien bisa berpengaruh. Hal ini memperkuat dugaan kepekaan individual terhadap suatu penyakit yang ditentukan oleh faktor genotipe dan faktor risiko lingkungan (Brummel et. al., 2004).

Pengaruh genetik dari gen  fibrinogen telah dipelajari secara luas

karena sintesis rantai  merupakan langkah yang membatasi produksi fibrinogen matur. Pada tahun tahun terakhir ini, beberapa polimorfisme sudah diidentifikasi pada gen fibrinogen, terutama melalui analisis

Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLP) dan Single-Standard Conformation Polymorphysm (SSCP) (Kant, et. al., 1985). Sebaliknya, Van’t Hooft et .al. (1999) menunjukkan bahwa polimorfisme gen  fibrinogen -455 G/A dan -845G/A secara bermakna memengaruhi konsentrasi fibrinogen dalam plasma. Polimorfisme gen  fibrinogen

(49)

plasma pada kedua jenis kelamin dari seluruh populasi (Kamath et. al.,2003).

Walaupun banyak penelitian menunjukkan kebermaknaan hubungan antara polimorfisme gen fibrinogen, ada beberapa penelitian yang gagal menunjukkan hubungan antara polimofisme genetik ini dan kadar fibrinogen plasma seperti penelitian yang dilakukan oleh Connor et. al. (1992), penelitiannya menemukan bahwa kadar fibrinogen plasma tidak berhubungan dengan 4 polimorfisme lokus fibrinogen, yaitu  (TaqI), 

(BclI dan HaeIII) dan  (KpnI/SacI). Humphries et. al. menemukan bahwa individu dengan genotip B1B1 memunyai kadar fibrinogen rata-rata 2,74 g/L, sementara mereka dengan genotipe B2B2 memunyai kadar fibrinogen plasma rata-rata 3.69 g/L, suatu kadar yang berhubungan kuat dengan peningkatan risiko penyakit jantung iskhemik. Heterozigot dari kedua alel genotip B1B1 memunyai kadar fibrinogen rata-rata 2.98 g/L (Humpries, 1987).

(50)

(p<0,05). Selain itu, juga ada hubungannya dengan faktor lingkungan seperti merokok. Martiskainen et. al. (2003) ini menduga A allel pada fibrinogen Gen Promoter -455 sebagai predisposisi kejadian aterotrombosis pada cerebrovascular circulation.

Nan et. al. (2012), dengan desain kasus kontrol pada 3119 penderita (1559 kasus stroke dan 1560 kontrol). Penelitian tersebut dilakukan pada The Stroke Hypertension Investigation in Genetics

(SHINING) dari tahun 1997 sampai tahun 2000. Rerata umur pada kasus stroke iskemik adalah 59,20 + 10,71 dan pada kontrol adalah 62,32 + 10,68, serta dijumpai perbedaan signifikan pada kedua kelompok p < 0,0001. Dua single nucleotide polymorphism (SNP) dari 51 SNP dijumpai pada 35 gen yang berhubungan dengan respon inflamasi pada stroke iskemik.

El-Tarras et. al. (2012) pada 200 orang populasi Saudi Arabia yang berumur 55 sampai 60 tahun menggunakan faktor koagulasi darah Faktor XIII gen V34L dan polimorfisme gen beta fibrinogen -455 G/A. Penelitian ini dijumpainya frekuensi FXIII V23L allel V(G) 0,98% dan allel L(T) 0,02% serta  gen -455 G/A dijumpainya frekuensi G allel 0,825% dan A allel

(51)

berinteraksi dengan faktor genetik adalah peningkatan usia, wanita, ras kulit hitam, merokok, obesitas, inaktifitas fisik, peningkatan kadar kolesterol, menopause, kontrasepsi oral, status sosio-ekonomi yang rendah, dan stress (Ananyeva , 2002).

Gambar 2.6 Gen  Fibrinogen dan Polimorfisme (Iacoviello et.al. 2001).

2.2 Antiplatelet

2.2.1 Pandangan Umum Antiplatelet

Platelet berfungsi menjaga integritas sirkulasi sistemik. Pada kondisi sehat, endotelium pembuluh darah mencegah terjadinya adhesi platelet. Proses adhesi platelet atau pergerakan platelet menuju daerah luka (injury), apabila menjadi aktif, mengakibatkan pembentukan dan pelepasan tromboksan A2 (TXA2) dari asam arakidonat yang terdapat

pada fosfolipida membran platelet. Tromboksan A2 (TXA2) merupakan

senyawa pengagregat poten dan bersifat vasokonstriktor. Aktivasi platelet juga menyebabkan pelepasan ADP (adenosin difosfat) dari granul penyimpanan platelet. Tromboksan A2 (TXA2) dan ADP beraksi pada

(52)

adesif vWF (Von Willebrand Factor). Akibatnya, fibrinogen yang telah terikat pada platelet tersebut berikatan dengan kompleks fibrinogen-platelet lainnya sehingga terjadi proses agregasi fibrinogen-platelet. Sebaliknya vWF berperan dalam adesi platelet ke jaringan lainnya. Pembentukan trombus terjadi pada permukaan platelet teraktiviasi tersebut (Nugroho,2012; Davi

et .al., 2007).

Gambar 2.7 Peran sel endotel (Hoffbrand et .al. ,2005).

Aktivasi platelet dihambat oleh kenaikan cAMP platelet. Prostasiklin (PGI2) yang dilepaskan sel dinding pembuluh darah dan NO dari sel

endotelial meningkatkan konsentrasi cAMP, sehingga memunyai efek menghambat proses aggregasi platelet (Nugroho, 2012).

(53)

kelompok ketiga, zat-zat yang berada dalam platelet berinteraksi dengan platelet, yaitu prostaglandin endoperoksida, dan TXA2, ion kalsium

(Katzung et. al., 2005).

Gambar 2.8 Aktivasi dan aggregasi platelet (Fergusson, 2000).

2.2.2 Aspirin

Obat antiplatelet telah direkomendasikan untuk pengobatan stroke dan TIA, untuk mengurangi risiko stroke berulang, dan kejadian vaskular lainnya. Berdasarkan prosedur penatalaksanaan pemberian obat antiplatelet sebagai pilihan dapat digunakan aspirin, clopidogrel, dipiridamole, dan aspirin (Hills et. al., 2007; Husted,2007).

Menurut Food Drug Administration ada tiga golongan obat antiplatelet, yakni Cyclooxygenase inhibitors, misalnya aspirin,

Thienopyridine derivates misalnya clopidogrel dan ticlopidine, dan

Phosphodiesterase inhibitors (misalnya cilostazol dan dipiridamole) (Katzung, 2005).

(54)

untuk digunakan dalam memperbaiki keefektifan dan keamanan dari penggunaan aspirin (O’Donnel et. al., 2008).

Aspirin (acetylsalicyclic acid) merupakan prototipe dari prostaglandin

tromboxane A2 (TXA2) yang memproduksi arakhidonat sehingga

mengakibatkan perubahan bentuk dari platelet untuk mengeluarkan granul dan melakukan aggregasi (Katzug, 2003; Michos et. al., 2006; Husted, 2007). Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 (TXA2) di dalam

trombosit dan prostasiklin (PGI2) di pembuluh darah dengan menghambat

secara irreversibel enzim siklooksigenase (akan tetapi siklooksigenase dapat dibentuk kembali oleh sel endotel). Penghambatan enzim siklooksigenase terjadi karena aspirin mengasetilasi enzim tersebut. Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembetukan TXA2, sebagai

(55)

Gambar 2.9 Mekanisme kerja Antiplatelet (Patrono C. et. al.,2011).

Gambar 2.10 Mekanisme Kerja Obat Aspirin (Katzung,2005).

2.2.3 Mekanisme Kerja Aspirin (Farmakokinetik)

(56)

50-80%, semakin tinggi dosis, semakin rendah ikatan protein plasma (Katzung, 2005).

Asam asetil salisilat (ASA) bekerja dengan menghambat kedua bentuk isoform dari enzim COX dan dapat menurunkan sintesis prostaglandin dan tromboksan dalam tubuh. Perbedaan obat ini dengan obat anti-inflamasi nonsteroid yang lainnya adalah obat ini dapat menghambat COX secara irreversibel, sementara yang lainnya reversibel (Vane et. al., 2003; Katzung, 2005).

Aspirin (ASA) memunyai efek pleotropik. Selain mempunyai kerja sebagai antiplatelet, juga sebagai antitrombotik, sehingga aspirin dapat menurunkan kadar fibrinogen (Altman et .al., 2004)

2.2.4 Penggunaan Klinis Aspirin

(57)

untuk pengurangan kejadian vaskuler adalah: 150 – 1500 mg per hari sebanyak 19%, 160 – 325 mg per hari sebanyak 28%, 75 – 150 mg/ hari sebanyak 6%, dan kurang dari 75 mg per hari sebanyak 13%. (Antithrombotic Trialist Collaboration, 2002). Menurut Guideline Stroke pada tahun 2011, aspirin dapat diberikan dalam 24 – 48 jam pertama setelah stroke dengan dosis awal 325 mg per hari. Rekomendasi ini termasuk klas I level of evidence A (Guideline Stroke, 2011).

Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembentukan TXA2, sebagai akibatnya terjadi pengurangan aggregasi trombosit. Akan tetapi pemberian dosis kecil/ rendah kemungkinan dapat menyebabkan ” resistensi aspirin”. Dosis yang lebih tinggi selain meningkatkan toksisitas (terutama perdarahan) juga menjadi kurang efektif karena selain menghambat TXA2 juga menghambat prostasiklin (Dewoto, 2007; Michos

et. al., 2006). Pada penelitian ini menggunakan aspirin dosis tunggal 300 mg yang diikuti dengan 100 mg sekali sehari dan diikuti dengan penggunaan pada hari ke-14 dan hari ke-90.

2.2.5 Resistensi aspirin

(58)

polimorfisme, COX-I, GP IIa reseptor, collagen reseptor dan vWF reseptor (Michos et. al., 2006).

2.2.6 Efek Samping Aspirin

Efek samping dari penggunaan aspirin adalah rasa tidak enak di perut, mual dan perdarahan saluran cerna, ruam kulit, purpura, dan alopesia (Blann, et .al., 2003; Dewoto, 2007).

2.2.7 Kontraindikasi Aspirin

Kontraindikasi pemberian aspirin dibagi menjadi dua, yakni absolut pada kondisi ulkus gastrontestinal yang aktif, hipersensitivitas, dan trombositopenia. Yang relatif adalah adanya riwayat ulkus atau dispepsia, penyakit dengan perdarahan, dan pemberian warfarin (Blann et. al.,

2003).

2.3 Pengobatan Stroke Iskemik

2. 3.1 Terapi Stroke Iskemik dengan Aspirin

Pada stroke iskemik akut pemberian aspirin (ASA) dapat bermanfaat dalam mengurangi mikroaggregasi dari platelet dan

thromboxane A2 (TXA2) (Wilterdink et. al., 2001).

(59)

dosis 75 – 150 mg per hari sebanyak 6%, dan dosis kurang dari 75 mg per hari sebanyak 13 % (Antitrombotic Trialists Collaboration, 2002).

Berdasarkan hasil meta-analisis O’ Donnel et. al. (2008), pada pemberian aspirin ditemukan efek samping antara lain perdarahan intrakranial simptomatik sebanyak 22% dan perdarahan ekstrakranial sebanyak 69% (O’Donnel et. al., 2008).

2.3.2. Keberhasilan Pengobatan Stroke Iskemik dengan Aspirin

Menurut Guideline Stroke pada tahun 2011, aspirin dapat diberikan dalam 24 – 48 jam pertama setelah stroke dengan dosis awal 325 mg per hari. Rekomendasi ini termasuk klas I level of evidence A (Guideline Stroke, 2011).

Berdasarkan studi Wilterdink et. al. pada tahun 2001, dilakukan pada 1275 pasien stroke iskemik akut yang melakukan perbandingan keparahan stroke antara pasien yang mendapatkan aspirin dan tidak mendapat aspirin. Pada studi ini digunakan National Institute of Health and Stroke Scale (NIHSS) dan Suplemental Motor Examination (SME) untuk menilai keparahan stroke. Dari hasil penelitian ditemukan perbedaan signifikan pada skor NIHSS dan SME antara pasien yang menggunakan aspirin dan pasien yang tidak menggunakan aspirin (Wilterdink et. al., 2001).

(60)

iskemik yang bukan kardioemboli. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cilostazol dibandingkan dengan aspirin kemungkinan lebih baik dalam mencegah kejadian stroke dan berhubungan dengan risiko perdarahan yang lebih rendah pada cilostazol (Shinohara et. al., 2010).

Sementara Hankey et. al., 2010 melakukan penelitian yang menilai efek dari clopidogrel ditambah aspirin dengan plasebo, ditambah aspirin terhadap fungsional keparahan stroke yang diukur dengan modified rankin scale (mRS) di antara semua penderita stroke dengan risiko tinggi. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penambahan clopidogrel dan aspirin tidak menunjukkan secara signifikan perubahan outcome

fungsional keparahan stroke di antara pasien stroke dengan risiko tinggi. Nilai rerata skor mRS pada awal masuk adalah 36 + 1,8 pada subjek yang akan mendapatkan aspirin ditambah clopidogrel dan 3,4+ 1,8 pada subjek yang akan mendapatkan aspirin ditambah plasebo. Setelah dilakukan pemberian obat pada kedua subjek penelitian pada hari ke – 30 nilai rerata skor mRS tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Ini menunjukkan nilai rerata skor mRS pada hari ke -30 adalah 3,6 + 2,3 pada kelompok yang mendapatkan aspirin ditambah clopidogrel dan 3,3 + 2,1 pada kelompok yang mendapatkan aspirin ditambah plasebo.

2.4 Instrumen Pengukuran Keberhasilan Terapi

(61)

1. Impairment adalah suatu kehilangan atau abnormalitas psikologis dan fisiologis atau fungsi/ struktur anatomis.

2. Disabilitas adalah setiap keterbatasan atau ketidakmampuan untuk melakukan suatu aktivitas dengan cara atau dalam rentang yang dianggap normal untuk orang sehat.

3. Handicap adalah gangguan yang dialami oleh individu akibat impairment atau disabilitas yang membatasi perannya sebagai manusia normal.

Penelitian klinis tentang stroke secara rutin menggunakan mortalitas sebagai outcome. Namun, terdapat outcome lainnya yang penting untuk investigasi klinis dan relevan dengan pasien, mencakup perubahan fungsi tubuh dan disabilitas. Sejumlah instrumen untuk menilai fungsi dan disabilitas telah dikembangkan. Pada berbagai penelitian klinis, skala

Barthel index dan Modified Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah digunakan dan merupakan pengukuran yang sensitif terhadap derajat keparahan stroke. Penilaian modified Rankin Skale (mRS) lebih sensitif dibandingkan dengan Barthel Indeks

(BI) (Weimar et. al., 2002).

(62)

mampu mempertahankan urusan hal-hal sehari-hari tanpa bantuan, nilai 3 (disabilitas sedang atau memerlukan sedikit pertolongan akan tetapi bisa berjalan tanpa bantuan), nilai 4 (disabilitas sedang-berat atau tidak mampu berjalan tanpa bantuan dan tidak mampu melayani kebutuhan diri sendiri tanpa dibantu), Nilai 5 ( disabilitas berat atau bedridden), dan nilai 6 (fatal atau meninggal) (Milan et. al., 2007). Berdasarkan penilaian

outcome, nilai mRS 0 – 2 dikategorikan sebagai outcome baik dan nilai mRS 3 – 6 dikategorikan sebagai outcome buruk (Milan et. al., 2007).

Penilaian Barthel Index (BI) adalah menilai 10 aktivitas dasar dalam mengurus diri sendiri dan mobilitas. Skor maksimum adalah 100 (fungsi fisik benar-benar tanpa bantuan) dan nilai terendah adalah 0 (Fungsi bergantung total) (Sulter et. al.,1999; Weimar et. al., 2002).

(63)

2.5. Kerangka Teori

(64)

Penjelasan kerangka teori:

Kadar fibrinogen plasma dipengaruhi oleh faktor genetik dan non-genetik antara lain usia. Secara non-genetik kadar fibrinogen plasma dikendalikan oleh gen, allel, dan polimorfisme.

Polimorfisme genetik merupakan perbedaan dalam urutan DNA di antara individu, kelompok, dan populasi. Polimorfisme gen beta fibrinogen -455 G/A menyebabkan peningkatan kadar fibrinogen dalam darah (hiperfibrinogenemia). Lokus mutasi pada polimorfisme ini terjadi di daerah promoter. Kelainan di daerah ini menyebabkan gen tersebut kurang atau tidak aktif. Akibatnya, aktivitas gen fibrinogen menjadi tidak terkendali sehingga biosintesis fibrinogen meningkat dan menyebabkan peninggian kadar fibrinogen di dalam darah (hiperfibrinogenemia).

(65)

Aspirin merupakan obat antiplatelet pertama yang digunakan untuk mencegah stroke. Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 di dalam trombosit dan prostasiklin di pembuluh darah sehingga obat aspirin dapat menghambat terjadinya thrombosis dan juga dapat menurunkan kadar fibrinogen di dalam darah.

Penilaian disabilitas stroke dapat digunakan skala Barthel Indeks dan Modified Rankin Scale. Penilaian Modified Rankin Scale ini mengukur tingkat ketergantungan, baik mental maupun adaptasi fisik yang digabungkan dengan defisit neurologis. Sebaliknya penilaian skala Barthel Indeks ditujukan pada sepuluh aktivitas dasar dalam mengurus diri sendiri dan mobilitas penderita stroke.

2.6 Hipotesis Penelitian

Dari pertanyaan penelitian di atas dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

2.6.1 Hipotesis Mayor

Ada pengaruh polimorfisme gen beta fibrinogen -455 G/A.pada pemberian aspirin dan efeknya terhadap skor Barthel Indeks dan modified Rankin Scale penderita stroke iskemik berdasarkan kelompok usia.

2.6.2 Hipotesis Minor

1. Terdapat perbedaan polimorfisme menurut usia

(66)

3. Terdapat perbedaan kadar fibrinogen menurut usia.

4. Terdapat perbedaan nilai Barthel Indeks/ modified rankin scale

pre dan pasca-aspirin menurut polimorfisme

5. Terdapat perbedaan nilai Barthel Indeks/ modified rankin scale

pre dan pasca-aspirin menurut usia

6. Terdapat perbedaan nilai Barthel Indeks/ modified rankin scale

(67)

2.7 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan hipotesis minor dapat dibuat kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Keterangan

Yang diteliti

Gambar 2.12 Kerangka Konsep

Outcome

Skor Barthel Indeks Skor Modified

Rankin Scale

Polimorfisme gen Beta Fibrinogen

-455 G/A

FIBRINOGEN

Gambar

Gambar 2.1  Proses terjadinya aterosklerosis.(Libby, 2001).
Tabel 2.1  Karakteristik Molekul dan Gen Fibrinogen
Gambar 2.3  Molekul Fibrinogen  (Jennifer McDowall ,2006).
Tabel 2.2  Faktor-Faktor yang  Mempengaruhi Kadar Fibrinogen Normal
+7

Referensi

Dokumen terkait