BAB II
HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DENGAN DOKTER DAN TANGGUNGJAWAB DOKTER DALAM UPAYA PELAYANAN MEDIS
A. POLA HUBUNGAN ANTARA DOKTER-PASIEN
Ilmu kedokteran adalah cabang ilmu kesehatan yang mempelajari tentang
cara mempertahankan kesehatan manusia dan mengembalikan manusia pada
keadaan sehat dengan memberikan pengobatan pada penyakit dan cedera. Ilmu ini
meliputi pengetahuan tentang sistem tubuh manusia dan penyakit serta
pengobatannya, dan penerapan dari pengetahuan tersebut.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran menjelaskan: “praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan
upaya kesehatan.” Adapun dalam ayat (2) menjelaskan pengertian dokter yaitu:
“dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter gigi, dokter gigi spesialis lulusan
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik didalam maupun di luar negeri
yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.25
Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya
berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut
rupanya hanya terlihat superioritas dokter terhadappasien dalam bidang ilmu
biomedis, hanya ada kegiatan pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif.
Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna, karena merupakan suatu
25
pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap yang lainnya. Oleh karena
hubungan anatara manusia, lebih dikehendaki hubungan yang mendekati
persamaan hak antara manusia.
Jadi, hubungan dokter yang semula bersifat paternalistik akan bergeser
menjadi hubungan yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan saling berbagi
antara kedua belah pihak yang ditandai dengan suatu kegiatan aktif yang saling
mempengaruhui. Dokter dan pasien akan berhubungan lebih sempurna sebagai
partner. Sebenarnya, pola dasar hubungan dokter dan pasien,terutama berdasarkan
keadaan sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola
hubungan, yaitu:26
a. Activyty-Passitivity
Activity-Passivity Relation pola ini berlaku hubungan dokter dengan
pasien selayaknya bapak dengan anaknya, yang dilandasi oleh asas kepercayaan
(fiduciary relationship), dimana ada anggapan bahwa seorang bapak tidak
mungkin mencelakakan anaknya, yang tahu akan keperluan anakanya. kekurangan
dari pola ini adalah pada saat si dokter berbuat keliru, lalai atau salah, maka
pasien tidak bisa protes tidak punya hak untuk mengeluh dan harus menerima
hasil apapun. Pada pola ini hanya aspek medis yang menjadi perjanjinnya.27
Pola hubugan orangtua-anak seperti ini merupakn pola klasik sejak profesi
kedokteran mulai mengenalkode etik, abad ke-5 SM. Disini, dokter seolah-olah
dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien, dengan
26
Ibid, halaman 96
27
suatu motivasi altruistis. Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang
keselamatan jiwanya terancam, atau dalam keadaan tidak sadar, atau menderita
gangguan mental berat.
Activity passivity dokter dapat melakukan sepenuhnya ilmunya tanpa
campur tangan pasien dengan motivasi altruitis (selalu pikirkan dan tolong orang
lain).28Diibaratkan seperti komunikasi antara orang tua dengan anak kecil
atau anak balita, dimana dokter bertindak sebagai orang tua yang aktif
memerintah ini itu, dan pasien sebagai anak kecil yang hanya
menurut dan tidak dapat mengungkapkan berbagai keluhan rasa sakit
yang dia rasakan dan menyebabkandia berobat ke dokter.29
b. Guidance-Cooperation
Hubungan membimbing kerja sama, seperti halnya orangtua dengan
remaja. Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya
penyakit infeksi baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap
sadar dan memiliki perasaan serta kemauan sendiri. Ia berusaha mencari
pertolongan pengobatan dan bersedia bekerjasama. Walaupun dokter mengetahui
lebih banyak, ia tidak semata-mata menjalankan kekuasaan, namun mengharapkan
kerja sama pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat atau anjuran
dokter.30
Dokter tetap bertanggung jawab mengarahkan; membimbing pertemuan,
bersifat kooperatif, mengurangi sifat autocratic; menjelaskan pada pasien dan
28
http://dokumen.tips/documents/hubungan-dokter-pasien-55a0bb8ed0475.html, diakses pada tanggal 2 Agustus 2017, pukul 10:11 WIB
29
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/60745/Chapter%20II.pdf?seque nce=4&isAllowed=y. diakses pada tanggal 2 Agustus 2017, pukul 11: WIB
30
pasien bebas memutuskan sesuai keinginan, tetapi dokter tetap pada posisi yang
dominan.
c. Mutual-Participation
Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki
martabat dan hak yang sama. Pola ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara
kesehatannya seperti medical check-up atau pada pasien penyakit kronis. Pasien
secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Hal ini tidak
dapat diterapkan pada pasien dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang
rendah, juga pada anak atau pasien dengan ganngguan mental tertentu. Hubungan
antara dokter dan pasien, secara hukum umumnya terjadi melalui suatu perjanjian
atau kontrak. Dimulai dengan tanya jawab (anamnesis) antara dokter dan pasien,
kemudian diikuti dengan pemeriksaan, akhirnya dokter menegakkan suatu
diagnosis. Diagnosis ini dapat merupakan suatu working diagnosis atau diagnosis
sementara,bisa juga merupakan diagnosa yang defenitif.31
Mamfaat Hubungan Dokter-Pasien
Apabila hubungan dokter-pasien yang baik dapat diwujudkan serta dibina
secara berkesinambungan, akan diperoleh banyak manfaat. Manfaat yang
dimaksud antara lain.
Dapat mengenal pasien selengkapnya, sehingga dengan demikian
penatalaksanaan masalah kesehatan yang dihadapi oleh pasien dapat dilakukan
dengan sebaik-baiknya. Lebih dari pada itu akan berpengaruh pula pada orientasi
penyelenggaraan pelayanan. Pelayanan kedokteran akan dapat lebih memusatkan
perhatiannya kepada pasien sebagai manusia seutuhnya (patient centered medical
care).
Dapat menjamin terselenggaranya pelayanan kedokteran secara
terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga dengan demikian akan dapat
dimanfaatkan oleh pasien pada setiap saat yang dibu-tuhkan dan atau untuk setiap
masalah yang sedang dihadapi. Dapat mempermudah penatalaksanaan masalah
kesehatan yang dihadapi oleh pasien, yakni melalui kerjasama yang baik antara
dokter dengan pasien, yang terwujud dari hasil hubungan dokter-pasien yang baik.
Dapat diatur pemakaian pelbagai sumber kesehatan (resources of
medicine) yang dimiliki dan atau yang dibutuhkan oleh keluarga secara lebih
efektif dan efisien.
Dapat memperkecil kemungkinan terjadinya silang sengketa dan
ataupun kesalah-pahaman antara dokter dengan pasien, yang pa-da akhir-akhir ini,
karena makin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, sering muncul dalam
bentuk tanggung gugat hukum (liability) yang menyulitkan profesi kedokteran.
Sesungguhnyalah baiknya hubungan dokter-pasien mempunyai peranan
yang amat besar dalam menjamin keberhasilan pelayanan kesehatan. Hubungan
dokter-pasien yang baik sering disebutkan se-bagai obat pertama dan utama dalam
menyelesaikan pelbagai masalah kesehatan yang dihadapi oleh pasien.
Pada saat ini, dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial
ekonomi penduduk, terbinanya hubungan dokter-pasien yang baik memang telah
merupakan suatu keharusan. Bukan saja dalam rangka meningkatkan mutu
satu dari kebutuhan dan tuntutan masyarakat, tetapi jugs un-tuk mengendalikan
biaya pelayanan kesehatan (cost containment), yang dari hari kehari tampak
makin meningkat saja.32
B. TANGGUNG JAWAB DOKTER TERHADAP PASIEN
Istilah tanggung jawab atau responbility, berasal dari kata “
response-ability”, yang berarti kemampuan untuk memilih respon kita sendiri. Hal ini
berkaitan dengan prinsip yang paling mendasar mengenai sifat manusia. Diantara
stimulus dan respon, manusia memiliki untuk kebebasan untuk memilih.33
1. Tanggung Jawab Dokter Menurut Etik Profesi
Etik kedokteran Indonesia ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Kesehatan No. 434/Men.Kes/SK/X/1983 tentang KODEKI. Kode etik merupakan
pedoman Kode perilaku yang berisi garis-garis besar yang berisi pemandu sikap
dan perilaku. Kode etik Kedokteran menyangkut dua hal yang harus diperhatikan.
a. Etik jabatan kedokteran (medical ethics) yaitu menyangkut masalah yang
berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawat, para pembantunya,
masyarakat, dan pemerintah
b. Etik asuhan kedokteran (ethics of medical care) merupakan etik
kedokteran untuk pedoman kehidupan sehari-hari, yaitu mengenai sikap
tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi tanggung
jawabnya.34
32
http://medicalyoung.blogspot.co.id/2016/08/komunikasi-empati-dan-etika.html, , diakses pada tanggal 2 Agustus 2017, pukul 10:19 WIB
34
2. Tanggung Dokter Menurut Hukum Pidana
Untuk memperjelas masalah dan kenyataan masalah dan kenyataannya,
akan dibicarakan terlebih dahulu pelaksanaan pembedahan yang terutama pada
indikasi medis dan persetujuan pasien (tostetemming van de patient). Masalah
akan timbul bila seorang dokter membedah pasien atau tanpa indikasi medis akan
tetapi dengan persetujuan pasien yang semuanya mempunyai akibat buruk bagi
pasien. Apakah perbuatan tersebut dapat dianggap melanggar hukum
(wederrechtelijk) sehingga menimbulkan tanggung jawab bagi dokter.
Apabila seorang dokter membedah pasien atas dasar indikasi medis,
perbuatan tersebut dapat dibenarkan. Hal itu disebabkan karena perbuatan
membedah didasarkan pada wewenang profesional dari dokter yang diakui oleh
peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal atau wewenang dokter
didalam menerapkan ilmu dan keterampilam profesionalnya (KUHP).
Hak atau wewenang profesional merupakan dasar pembenaran yuridis yang
meniadakan sifat perbuatan melanggar hukum (wederrechtelijkheid).35 Menurut
doktrin dan yuriprudensial (misalnya, Van Eyk dan Verstegen serta keputusan
Hoge Raad 10 Pebruari 1902), yang terpenting ialah tujuan serta kesadaran akan
tujuan tersebut. Penganiayaan menurut KUHP merupakan perbuatan yang
disengaja untuk membuat cidera yang tidak didasarkan pada tujuan yang
diperbolehkan. Jadi, sepanjang operasi dilakukan menurut cara-cara dan tujuan
menurut profesi kedokteran, perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan
35
sebagai penganiayaan (Pasal351, 352 KUHP, dan seterusnya). Kasus tersebut
merupakan suatu pengecualian di luar Undang-undang.
Bila dokter membedah pasien tanpa persetujuannya, dia dapat dituduh telah
melakukan perbuatan kekerasan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 89 KUHP.
Doktrin atau ajaran para ahli hukum menyatakan, persetujuan untuk mengadakan
operasi dengan tujuan untuk memulihkan kesehatan dan meniadakan sifat
peristiwa pidana perbuatan tersebut.36
3. Tanggung Jawab Dokter Menurut UU Praktik Kedokteran
Pasal 88 UU Praktik Kedokteran yang disahkan pada tanggal 6 Oktober
2004 menyatakan mulai berlaku satu tahun setelah diundangkan. Sementara itu,
Pasal 85 UU Praktik Kedokteran mencabut berlakunya Pasal 54 UU Kesehatan
sebagai berikut:
1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian
dalam melaksanakan profesinya dapat dokenakan tindakan displin.
2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
3. Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, dan tata kerja Majelis Displin
Tenaga Kesehatan ditetapkan dengan keputusab Presiden.
Keputusan Presiden No.56/1995 tentang Majelis DisplinTenaga
Kesehatan. Akan tetapi,ternyata majelis tersebut tidak pernah terbentuk karena
adanya keberatan dari kalangan dokter apabila Majelis Displin Tenaga Kesehatan
diketuai oleh sarjana hukum, seperti ditentukan dalam Penjelasan Resmi atas
36
Pasal 54 ayat (2) UU Kesehatan. Alasannya, seorang ahli hukum tidak
mengetahui atau tidak cukup mempunyai pengetahuan dibidang teknis medis.
Padahal pengetahuan di bidang teknis medis sangat diperlukan untuk menilai
salah atau tidaknya tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya.
Keanggotaan Majelis Displin Tenaga Kesehatan menurut Pasal 6
Keputusan Presiden tentang Majelis Displin Tenaga Kesehatan terdiri atas unsur
sarjana hukum, ahli kesehatan, yang mewakili organisasi profesi di bidang
kesehatan, ahli agama, ahli psikologi, dan ahli sosiologi. Pasal 59 Ayat (1) UU
Praktik Kedokteran menyatakan bahwa keanggotaan Majelis Kehormatan Displin
Kedokteran Indonesia atas tiga orang dokter dan tiga orang dokter gigi dari
organisasi profesi masing-masing; seorang dokter dan seorang dokter gigi
mewakili asosiasi rumah sakit; dan tiga orang sarjana hukum.37
Pasal 63 UU Praktik Kedokteran menentukan bahwa pimpinan Majelis
Displin Kedokteran Indonesia dipilih dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota.
Tugas Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditentukan dalam
Pasal 64 UU Praktik Kedokteran sebagai berikut:38
1. Menerima pengaduan, memmeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran
displin dokter dan dokter gigi yang diajukan.
2. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran displin
dokter atau dokter gigi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 64 UU Praktik Kedokteran, apbila terjadi
kesalahan yang melibatkan pelayanan kesehatan oleh dokter maka pengaduan
37
Ibid, halaman 74
38
diajukan pada Majalis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia. Pengaduan
berhubungan dengan kesalahan dalam pelaksanaan tugas dokter ditentukan dalam
Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang menyatakan bahwa setiap orang
yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter
gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat egadukan secara tertulis kepada
Ketua Majelis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia.
Di samping dapat menagdukan kerugian yang dideritanya kepada Majelsi
Kehormatan Displin Kesokteran, pihak yang dirugikan atas kesalahan pelayanan
dokter juga dapat melaporkan tentang adanya dugaan tindak pidana kepada pihak
yang berwenang dan/ atau menggugat kerugian secara perdata ke pengadilan.39
Langkah-langkah yang dapat dilakukan menurut UU Praktik Kedokteran
berhubungan dengan kesalahan pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter
terhadap pasien adalah sebagai berikut.
a. Pengaduan dapat dilakukan oleh setiap orang, yaitu orang yang secara
langsung mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter
atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, termasuk korporasi
yang dirugikan kepentingannya.
b. Pengaduan ditujukan kepada Ketua majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran secara tertulis, namun apabila pihak pengadu tidak dapat
mengajukan pengaduan secara tertulis maka pengaduan dapat dilakukan
secara lisan.
39
c. Pengajuan pengaduan kepada Majelis Kehormatan Displin Kedokteran
dapat dilakukan bersamaan dengan penuntutan hukum secara pidana
maupun digugat secara perdata ke pengadilan.
Majelis Kehormatan Displin Kedokteran berwenang untuk memeriksa dan
memberikan keputusan atas pengaduan yang diterima. Apabila ditemukan adanya
pelanggaran etika (berdasarkan Kodeki) maka Majelis Kehormatan Displin
Kedokteran yang akan meneruskan pengaduan pada organisasi profesi. Meskipun
demikian, dugaan kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam menjalankan
profesi tidak sekaligus menghilangkan proses verbal yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum, baik secar perdata maupun pidana.40
Pasal 70 UU Praktik Kedokteran menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengnai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan Displin Kedokteran
Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara
pemeriksaan serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia.
Selama belum terbentuk Majelis Kehormatan Displin Kedokteran
Indonesia, UU Praktik Kedokteran Indonesia, UU Praktik Kedokteran
menentukan dalam Bab XI tentang Ketentuan Peralihan di bawah Pasal 83
sebagai berikut:
1. Ayat (1) pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran displin pada saat
belum terbentuknya Majelis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia
40
ditangani oleh Kepala Dinas Provinsi di Tingkat Pertama dan Menteri
pada Tingkat Banding.
2. Ayat (2) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Menteri dalam menangani
pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) membentuk tim yang
terdiri atas unsur profesi untuk memberikan pertimbangan.
3. Ayat (3) Putusan berdasarkan pertimbangan tim dilakukan oleh Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan Menteri sesuai dengan fungsi dan
tugasnya.41
4. Tanggung Jawab Dokter Menurut Hukum Perdata
Hingga dewasa ini di Indonesia mungkin hanya sedikit yang menyadari,
betapa banyaknya masalah yang akan dapat dikembalikan pada tanggung jawab
perdata dokter (rumah sakit). Tanggung jawab Perdarta terjadi, apabila seorang
pasien menggugat dokter, untuk membayar ganti rugi atas dasar perbuatan yang
merugikan pasien tersebut.
Di dalam situasi yang normal terjadi semacam kontrak atau perjanjian
antara pasien dengan dokter, apabila pasien menyatakan memerlukan bantuan
dokter (untuk memulihkan kesehatannya). Kontrak tersebut menurut Pasal 1313
BW adalah suatu perbuatan, dengan mana satu orang atau lebih mengingatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih. Untuk sahnya persetujuan-persetujuan
diperlukan beberapa syarat, yaitu (Pasal 1320 BW):
1. Kesepakatan antara mereka yang mengingatkan dirinya.
2. Kesepakatan untuk membuat suatu perikatan.
41
3. Mengenai suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Jelaslah bahwa pada umumnya tidak dapat diterapkan ketentuan-ketentuan
perubahan, oleh karena dokter yang berpraktik, mengadakan suatu “penawaran
umum” mengenai pekerjaan yang dapat dilakukannya untuk menyembuhkan
orang-orang yang sakit (pasien). Pasien yang kemudian menghubungi dokter serta
minta bantuan, dan dokter kemudian mengobatinya, maka dengan
perbuatan-perbuatan tersebut terjadilah kontrak atau persetujuan. Dengan demikian tuntutan
ganti rugi kepada dokter adalah karena wanprestasi dan atau perbuatan melanggar
hukum (Pasal 1365 dan 1372 BW).42
Gugatan untuk membayar ganti rugi atas dasar persetujuan atau perjanjian
antar dokter dengan pasien. Perjanjian tersebut dapat digolongkan sebagai
persetujuan untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Perjanjian itu terjadi apabila
pasien memanggil dokter atau pergi ke dokter, dan dokter memenuhui permintaan
pasien untuk mengobatinya. Dalam hal ini pasien akan membayar sejumlah
honorarium, sedang dokter sebenarnya harus melakukan prestasi menyembuhkan
pasien dari sakitnya.
Hal terakhir ini tidak pastoi dapat dilakukan sehingga oleh karena itu
seorang dokter hanya mengingatkan dirinya untuk memberikan bantuan
sedapat-dapatnya, sesuai dengan ilmu dan keterampilan yang dikuasainya. Dia berjanji
dengan daya upaya akan menyembuhkan pasien tersebut. Asas tersebut diatas
mendapat dukungan dari Keputusan Rechbank di Breda tanggal 15 April 1936
42
dan juga dari doktrin, misalnya pendapat-pendapat dari Wolfsbergen, Berkhouwer
dan juga Vorstman. Mereka berpendapat, bahwa apabila seorang dokter tidak
tidak melaksanakan kewajiban kontraknya dengan melakukan wanprestasi dan
dapat dipertanggungjawabkan. Dengan membayar ganti rugi.
Pasal 1365 BW43, dalam gugatan atas wanprestasi, maka harus dibuktikan
bahwa dokter benar-benar telah mengadakan perjanjian dan bahwa dia telah
melakukan wanprestasi.
Seorang pasien juga dapat menggugat dokter, oleh karena dokter telah
melakukan perbuatan melanggar hukum. Hal itu diatur di dalam Pasal 1365 BW,
yang menyatakan “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerufian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Biasanya pasal tersebut dihubungkan dengan Pasal 1371 ayat (1) yang
menyatakan: “penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja
atau kurang hati-hati, memberikan hak kepada si korban, selain penggantian
kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut”. Baik dalam hal
melakukan wanprestasi dalam perjanjian maupun perbuatan melanggar hukum,
maka ukurannya yang utama adalah ketidakcermatan dari dokter atau kekurang
cermatannya. Sudah tentu ukuran ketidak cermatan merupakan masalah
profesional. Perlu dicatat pula bahwa dalam hal pasien meninggal dunia, suami
43
atau istri maupun ahli warisnya mempunyai hak untuk menuntut ganti rugi( Pasal
1370 BW).44
5. Pertanggung Jawaban Hukum Rumah Sakit
Kasus hukum kedokteran umumnya terjadi di Rumah Sakit diana dokter
bekerja. Rumah sakit merupakan suatu usaha yang pada pokoknya dapat di
kelompokan menjadi:45
1. Pelayanan medis dalam arti luas menyangkut kegiatan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif.
2. Pendidikan dan latihan tenaga medis/para medis.
3. Penelitian dan pengemban ilmu kedokteran
MKDKI berwenang dalam menangani pengaduan masyarakat, sesuai
dengan Pasal 67 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 : “Majelis Kehormatan
Displin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap
pengaduan yang berkaitan dengan displin dokter dan dokter gigi”.
MKDKI merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada
tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapandisplin
ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. Lembaga ini merupakan lembaga otonom
dari Konsil Kedokteran Indonesia yang dalam menjalankan tugasnya bersifat
independen.
Lembaga ini menawarkan penyelasian kepada pihak-pihak yang bertikai,
antara pasien dengan dokter atau dokter gigi. Penyelesaian ini bersifat melalui
44
Ibid, halaman 254
45
konsilasi, mediasi, fasilitasi dan negosiasi, tanpa mengedepankan benar-salah,
dilakukan diluar pengadilam, dengan atau tanpa kompensasi.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI
meneruskan pengaduan pada organisasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia/IDI) atau
(Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia/PDGI), sesuai Pasal 68 “apabila dalam
pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Displin
Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi”.46
46