• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemimpinan Militeristik Otoritarian : Perbandingan Gaya Kepemimpinan Saloth Sar di Kamboja (1975-1979) dan Soeharto di Indonesia (Periode 1965-1970)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kepemimpinan Militeristik Otoritarian : Perbandingan Gaya Kepemimpinan Saloth Sar di Kamboja (1975-1979) dan Soeharto di Indonesia (Periode 1965-1970)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap dan semua organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan memerlukan seorang pimpinan tertinggi (pimpinan puncak) dan/atau manajer tertinggi (top manager) yang harus menjalankan kegiatan kepemimpinan (leadership) dan/atau manajemen (management) bagi keseluruhan organisasi sebagai satu kesatuan.1 Menurut Kartono, kepemimpinan itu sifatnya spesifik, khas, diperlukan bagi satu situasi khusus. Sebab dalam suatu kelompok yang melakukan aktivitas - aktivitas tertentu, dan mempunyai suatu tujuan serta peralatan - peralatan yang khusus. Pemimpin kelompok dengan ciri-ciri karakteristik itu merupakan fungsi dari situasi khusus.2 Sedangkan menurut Rivai, kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi dalam menentukan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.3

Kamboja dan Indonesia merupakan negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara. Secara geografis negara Kamboja terletak di Semenanjung Indochina, berbatasan darat di sebelah utara dengan Laos dan Thailand, di sebelah timur dan selatan dengan Vietnam dan sebelah barat

1

Hadari Nawawi. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2003. hal. 18.

2

Kartini Kartono. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006. hal.48. 3

(2)

dengan Teluk Thailand.4Sedangkan Indonesia secara geografis terletak di antara 2 benua, yaitu benua Australia dan benua Asia, serta berada di antara 2 samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.5

Di kamboja, konflik yang terjadisebagian besar merupakan konflik perebutan tampuk kekuasaan.Konflik itu terjadi karena ketidakpuasan suatu golongan tertentu sehingga berusaha untuk merebut kursi kepemimpinan di Kamboja. Konflik-konflik politik di Kamboja mulai muncul ketika Kamboja berada di bawah kekuasaan Perancis. Pada saat itu Perancis mengangkat Pangeran Norodom Sihanouk sebagai raja Kamboja. Hal itu terlihat janggal karena ayah serta paman Pangeran Sihanouk masih hidup. Meskipun demikian karena Perancis menghendaki maka Pangeran Sihanouk resmi menjadi raja Kamboja sejak tahun 1941, yang pada akhirnya dikudeta oleh Lon Nol pada tahun 1970 dikarenakan oleh Norodom Sihanouk yang senang bersahabat oleh Vietnam Utara dan Cina yang komunis.

Kamboja dan Indonesia adalah negara - negara di kawasan Asia Tenggara yang pernah mengalami konflik dalam pemerintahannya. Kamboja dan Indonesia pernah menjalani masa pemerintahan dimana rezim militeristik otoriter pernah memimpin di kedua negara tersebut.

6

4

Presiden Republik Indonesia-Susilo Bambang Yudhoyono. 2006. Profil Negara Kamboja. Tersedia pada http://www.presidensby.info., diakses pada tanggal 1 April 2017 pukul 19.35.

5

Letak Geografis Wilayah Indonesia. Dikutip melalu

6

(3)

Setelah berhasil mengadakan kudeta tak berdarah pada bulan Maret 1970 dan menyatakan dirinya sebagai presiden Kamboja, Lon Nol segera mengambil beberapa tindakan yaitu: Pertama, mengadakan perubahan terhadap bentuk negara yaitu dari bentuk kerajaan menjadi republik. Kedua, menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat guna menghadapi Khmer Merah. Tindakan pemerintah Lon Nol yang menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat guna menghadapi gerakan komunis Khmer Merah dan mengadakan pengejaran terhadap gerilyawan komunis Vietnam Utara semakin merusak netralitas Kamboja. Sementara itu mengetahui kekuasaannya direbut oleh Lon Nol, di pengasingan Pangeran Sihanouk yang didukung oleh Cina mendirikan Royal Goverment of National Union of Cambodia (GRUNC) atau

(4)

berarti menandai era baru negara Kamboja di bawah pemerintahan Khmer Merah pimpinan Saloth Sar.7

Pada tahun 1975, Kamboja pernah menjadi sorotan dunia internasional ketika di bawah masa pemerintahan Saloth Sar atau yang lebih dikenal dengan nama Pol Pot. Saat itu Saloth Sar memproklamirkan Kamboja sebagai negara baru dengan nama Democratic Kampuchea setelah melakukan kudeta militer untuk menggulingkan pemerintahan Lon Nol yang didukung oleh Amerika Serikat. Pada saat itu ia menyebutkan tahun 1975 yaitu sebagai “Year Zero” yang berarti bahwa segala sesuatu ingin dibangun dari titik nol oleh rezim ini. Tanggal 17 April 1975 dinyatakan sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Diharapkan pergantian kepemimpinan itu membawa dampak yang lebih baik, namun hal yang diharapkan ternyata malah sebaliknya. Tahun 1975 merupakan awal dari sejarah kelam negara Kamboja. Bagaimana tidak, setelah beberapa hari memerintah rezim ini telah menghukum mati orang-orang yang pernah bergabung dengan rezim Lon Nol bahkan tanpa proses peradilan. Penduduk Phnom Penh dan juga penduduk di beberapa provinsi lain terpaksa pindah dari kota dan pergi ke daerah-daerah penampungan yang di rasa aman. Tatanan pemerintahan Kamboja menjadi berubah sangat drastis dibawah garis keras komunis.8

7

Muhammad Resky.Sistem Politik Indocina 1945-1990. Yogyakarta: Deepublish. 2015. hal. 30. 8

(5)

Kamboja kehilangan banyak rakyatnya. Hal tersebut terjadi karena pada saat Saloth Sar berkuasa terjadi semacam “revolusi kebudayaan” di mana orang-orang yang tidak disukai dibantai secara membabi buta.9

Begitu Mendapatkan Kekuasaan, Saloth Sar dan Khmer Merahnya segera mengevakuasi rakyat dari perkotaan ke perdesaan. Mereka dipaksa hidup di ladang-ladang yang ditinggali bersama. Rezim Saloth Sar ini sangat kritis terhadap oposisi dan kritik. Karenanya, ribuan politikus dan pejabat dibunuh. Akibatnya, Phnom Penh menjadi kota hantu karena penduduknya banyak yang tewas akibat kelaparan, penyakit, maupun dieksekusi. Ranjau-ranjau darat yang oleh Saloth Sar disebut dengan “tentara yang sempurna” disebar diseluruh wilayah perdesaan. Untuk mewujudkan “Year Zero” tersebut, Saloth Sar membangun masyarakat sosialis yang sempurna dari bawah ke atas. Uang dan properti disingkirkan. Buku-buku dibakar. Rumah-rumah milik pribadi dibakar, candi dan pura tidak dipergunakan lagi, dan setiap simbol teknologi barat, dari mobil sampai peralatan kesehatan, dihancurkan.10

Sementara itu di Indonesia, tahun 1965 sampai 1970 adalah masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yaitu masa dimana pergolakan

politik terjadi di

digulingkannya presiden pertama Indonesia saat itu ya tahun menjabat. Periode ini adalah salah satu periode paling penuh gejolak

9

Achmad Munif.50 Tokoh Legendaris Dunia. Yogyakarta: Narasi. 2007. hal. 154 10

(6)

dalam tahun masa kepemimpina11

Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar menjadi titik awal lahirnya Orde Baru.12 Sebab dengan supersemar itulah kemudian Soeharto membubarkan PKI dan mengambil tindakan “pembaharuan dan stabilitas politik”. Dengan Supersemar itu pula kekuasaan Presiden Soekarno dengan sistem politik Demokrasi Terpimpinnya lenyap. Tampilnya Orde Baru dipentas politik telah menggeser sistem politik Indonesia dari titik ekstrem otoriter kesistem Demokrasi Liberal kembali (seperti pada tahun 1950-an) yang namanya dikenal sebagai sistem politik Orde Baru.13

Sejak Soeharto mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret, ia mulai melakukan tindakan-tindakan yang inkonstitusional. Tindakan melanggar hukum itu seperti dikeluarkannya Kepres No. 1/3/1966 pada tanggal 12 Maret 1966. Yang salah satu isinya yaitu pemberantasan PKI dan simpatisannya. Akibatnya terjadilah “pembersihan” (baca: pembunuhan) yang frontal dan bengis di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Pembunuhan ini berpola dan terstruktur, pertama pembentukan organisasi massa, melakukan gerakan sosial anti PKI, dan akhirnya pembunuhan massal. Pada bulan Oktober, pembunuhan terjadi di Jawa Tengah, selanjutnya pada bulan November

11

Sejarah Indonesia (1965-1966). Dikutip melalu

12

Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI. Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka. 1984. hal. 45.

13

(7)

merembet ke Jawa Timur, dan baru pada bulan Desember terjadi di Pulau Bali.14

Bahkan sebelum pengesahannya selaku Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968, kewenangan yang dimiliki Soeharto telah memungkinkannya untuk mensahkan sejumlah peraturan/perundangan yang amat penting. Kesemuanya ini memberikan legitimasi baginya untuk naik ke pangung kekuasaan, memfasilitasi proses persekusi dan diskriminasi terhadap para anggota PKI dan orang-orang yang dituduh bersimpati dengan organisasi tersebut. Saat peristiwa 30 September 1965 meletus, Soeharto menjabat Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Jabatan tersebut menempatkannya pada posisi strategis untuk memberikan perintah langsung kepada seluruh jajaran Angkatan Bersenjata dan menguasai sarana komunikasi yang ada.15

Pada tanggal 2 Oktober 1965, Presiden Soekarno dipaksa untuk menyerahkan tanggung jawab pemulihan keamanan dan stabiltas kepada Soeharto. Pada tanggal 10 Oktober 1965, Soeharto melembagakan kekuasaannya dengan membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan mengangkat dirinya sendiri sebagai Panglima Tertinggi. Dalam posisinya selaku Panglima Tertinggi, Soeharto memerintahkan untuk melanjutkan proses “pembersihan” semua anggota PKI, serta keluarga maupun kerabat dekat mereka. Proses tersebut diikuti dengan pemecatan sejumlah besar orang dari kesatuan kepolisian dan insitusi

14

Wardaya T. Baskara. Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S. Yogyakarta: Galangpress. 2006. hal. 172.

15

(8)

lainnya. Perintah Soeharto ini juga memungkinkan proses pengawasandan “rehabilitasi politik” atas mereka yang memiliki hubungan dengan para tahanan, atau dicurigai terlibat sebagai simpatisan. Soeharto juga memerintahkan RPKAD untuk mengawasi proses penangkapan dan persekusi tersebut. Di bawah kepemimpinan Soeharto, Kopkamtibdengan cepat berkembang melampaui tujuan utamanya yaitu melacak simpatisan PKI. Kopkamtib menjadi alat utama pemerintahan untuk kontrol politik.16

Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius mengenai jumlah korban. Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal. Sedangkan menurut orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1 juta orang.

Pada 1966,

sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang.Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai,lebih banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia. Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara tatap

16

(9)

muka, tidak seperti proses pembantaian massal oleh Saloth Sar dan Khmer

Merah nya di17

1.2.Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaa penelitian apa saja yang perlu di jawab atau perlu di cari jalan pemecahannya, atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah.18

Dalam membuat penelitian, peneliti memerlukan batasan. Pembatasan masalah berguna untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup terhadap hal-hal apa saja dari masalah yang akan diteliti dan dibahas agar masalah yang diangkat tidak menyimpang dari tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itu, adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah :

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya di dalam latar belakang, maka dalam penelitian ini yang menjadi perumusan masalah adalah :“Bagaimana Perbandingan Gaya Kepemimpinan Saloth Sar di Kamboja (1975-1979) dengan Soeharto di Indonesia (Periode 1965-1970).”

1.3. Batasan Masalah

17

Pembantaian di Indonesia 1965–1966. Dikutip

melalu tanggal 8 April 2017 pukul 21.16.

18

(10)

1. Hanya mendeskripsikan kebijakan yang diterapkan Oleh Saloth Sar di Kamboja pada tahun 1975 sampai 1979 dan Soeharto di Indonesia pada periode 1965 sampai 1970.

2. Hanya mendeskripsikan bagaimana gaya kepemimpinan Oleh Saloth Sar di Kamboja pada tahun 1975 sampai 1979 dan Soeharto di Indonesia pada periode 1965 sampai 1970.

1.4.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan profil Saloth Sar dan Soeharto serta sistem politik di Kamboja di tahun 1975-1979 dan Indonesia di tahun 1965-1970. 2. Menganalisis perbandingan gaya kepemimpinan Saloth Sardan

Soeharto di Kamboja dan Indonesia.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan salah satu kajian ilmu politik yang membahas tentang perbandingan kepemimpinan Militeristik Otoritarian, yang diharapkan mampu untuk memberikan kontribusi dalam ilmu politik mengenai gaya kepemimpinan Militeristik Otoritarian.

(11)

1.6.Kerangka Teori

1.6.1. Teori Kepemimpinan

Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan kepemimpinan. Untuk berbagai usaha dan kegiatannya diperlukan upaya yang terencana dan sistematis dalam melatih dan mempersiapkan pemimpin baru. Oleh karena itu, banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari masalah pemimpin dan kepemimpinan yang menghasilkan berbagai teori tentang kepemimpinan.19

Teori kepemimpinan adalah penggeneralisasian satu seri perilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinannya, dengan menonjolkan latar belakang historis, sebab-musabab timbulnya kepemimpinan, persyaratan menjadi pemimpin, sifat-sifat utama pemimpin, tugas pokok dan fungsinya, serta etika profesi kepemimpinan.20

Ada beberapa sebab seseorang menjadi pemimpin, tiga teori yang menonjol dalam menjelaskan munculnya pemimpin antara lain:21

- Pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakat-bakat alami yang luar biasa sejak lahirnya.

a. Teori genetis menyatakan sebagai berikut :

- Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi-kondisi yang bagaimanapun juga, yang khusus.

- Secara filosofi, teori tersebut menganut pandangan deterministis.

19

Kartini Kartono, op.cit., hal. 31.

20

Ibid., hal. 31.

21

(12)

b. Teori sosial (lawan teori genetis) menyatakan sebagai berikut :

- Pemimpin itu harus disiapkan, dididik, dan dibentuk, tidak terlahirkan begitu saja.

- Setiap orang bisa menjadi pemimpin, melalui usaha penyiapan dan pendidikan, serta didorong oleh kemauan sendiri.

c. Teori ekologis atau sintetis (muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut lebih dahulu), menyatakan bahwa seseorang akan sukses menjadi pimpinan, bila sejak lahirnya dia telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini sempat dikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan; juga sesuai dengan tuntutan lingkungan/ekologisnya.

Teori-teori dalam Kepemimpinan:

1. Teori Sifat

Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki pemimpin itu. Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Dan kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya.

Ciri-ciri ideal yang perlu dimiliki pemimpin menurut SondangSiagian adalah:22

22

(13)

- Pengetahuan umum yang luas, daya ingat yang kuat, rasionalitas, obyektivitas, pragmatisme, fleksibilitas, adaptabilitas, orientasi masa depan;

- Sifat inkuisitif, rasa tepat waktu, rasa kohesi yang tinggi, naluri relevansi, keteladanan, ketegasan, keberanian, sikap yang antisipatif, kesediaan menjadi pendengar yang baik, kapasitas integratif;

- Kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang, analitik, menentukan skala prioritas, membedakan yang urgen dan yang penting, keterampilan mendidik, dan berkomunikasi secara efektif.

Namun, teori sifat memiliki berbagai kelemahan. Antara lain : terlalu bersifat deskriptif, tidak selalu ada relevansi antara sifat yang dianggap unggul dengan efektivitas kepemimpinan, dan dianggap sebagai teori yang sudah kuno, namun apabila kita renungkan nilai-nilai moral dan akhlak yang terkandung didalamnya mengenai berbagai rumusan sifat, ciri atau perangai pemimpin, justru sangat diperlukan oleh kepemimpinan yang menerapkan prinsip keteladanan. 2. Teori Perilaku

(14)

menerima atau menolak pengaruh dari pemimpinnya. Pendekatan perilaku menghasilkan dua orientasi perilaku pemimpin yaitu :23

- Pemimpin yang berorientasi pada tugas (task orientation) atau yang mengutamakan penyelesaian tugas dan,

- Perilaku pemimpin yang berorientasi pada orang (people orientation) atau yang mengutamakan hubungan kemanusiaan.

3. Teori Situasional

Keberhasilan seorang pemimpin menurut teori situasional ditentukan oleh ciri kepemimpinan dengan perilaku tertentu yang disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan dan situasi organisasional yang dihadapi dengan memperhitungkan faktor waktu dan ruang. Menurut Sondang Siagian, Faktor situasional yang berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan tertentu adalah :24

- Jenis pekerjaan dan kompleksitas tugas. - Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan. - Persepsi, sikap dan gaya kepemimpinan. - Norma yang dianut kelompok.

- Rentang kendali.

- Ancaman dari luar organisasi. - Tingkat stress.

- Iklim yang terdapat dalam organisasi.

Efektivitas kepemimpinan seseorang ditentukan oleh kemampuan membaca situasi yang dihadapi dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya

23

Harbani Pasolong. Kepemimpinan Birokrasi. Bandung: CV. Alfabeta. 2013. hal. 33. 24

(15)

agar cocok dengan dan mampu memenuhi tuntutan situasi tersebut. Penyesuaian gaya kepemimpinan dimaksud adalah kemampuan menentukan ciri kepemimpinan dan perilaku tertentu karena tuntutan situasi tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut berkembanglah model-model kepemimpinan berikut:25

a. Model kontinuum Otokratik-Demokratik

Gaya dan perilaku kepemimpinan tertentu selain berhubungan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, juga berkaitan dengan fungsi kepemimpinan tertentu yang harus diselenggarakan. Contoh: dalam hal pengambilan keputusan, pemimpin bergaya otokratik akan mengambil keputusan sendiri, ciri kepemimpinan yang menonjol ketegasan disertai perilaku yang berorientasi pada penyelesaian tugas.Sedangkan pemimpin bergaya demokratik akan mengajak bawahannya untuk berpartisipasi. Ciri kepemimpinan yang menonjol di sini adalah menjadi pendengar yang baik disertai perilaku memberikan perhatian pada kepentingan dan kebutuhan bawahan.

b. Model ” Interaksi Atasan-Bawahan”

Menurut model ini, efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada interaksi yang terjadi antara pemimpin dan bawahannya dan sejauhmana interaksi tersebut mempengaruhi perilaku pemimpin yang bersangkutan. Seorang akan menjadi pemimpin yang efektif, apabila Hubungan atasan dan bawahan dikategorikan baik. Tugas yang harus

25

(16)

dikerjakan bawahan disusun pada tingkat struktur yang tinggi dan posisi kewenangan pemimpin tergolong kuat.

c. Model Situasional

Model ini menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa bawahan. Dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam model ini adalah perilaku pemimpin yang berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dan hubungan atasan-bawahan. Berdasarkan dimensi tersebut, gaya kepemimpinan yang dapat digunakan adalah:

- Memberitahukan. - Menjual.

- Mengajak bawahan berperan serta; - Melakukan pendelegasian.

d. Model ”Jalan-Tujuan”

(17)

e. Model “Pimpinan-Peran serta Bawahan”

Perhatian utama model ini adalah perilaku pemimpin dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan. Perilaku pemimpin perlu disesuaikan dengan struktur tugas yang harus diselesaikan oleh bawahannya. Salah satu syarat penting untuk paradigma tersebut adalah adanya serangkaian ketentuan yang harus ditaati oleh bawahan dalam menentukan bentuk dan tingkat peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan. Bentuk dan tingkat peran serta bawahan tersebut “didiktekan” oleh situasi yang dihadapi dan masalah yang ingin dipecahkan melalui proses pengambilan keputusan.

Gaya Kepemimpinan

Menurut Inu Kencana, ada beberapa gaya kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam pemerintahan, yaitu :26

1. Gaya Demokratis

Gaya Demokratis adalah cara dan irama sesorang pemimpin pemerintahan dalam menghadapi bawahan dan masyarakatnya dengan memakai metode pembagian tugas dengan bawahan, antar bawahan tugas tersebut dibagi secara adil dan merata.

2. Gaya Birokratis

Gaya birokratis adalah cara dan irama seseorang pemimpin pemerintahan dalam menghadapi bawahan dan masyarakatnya tanpa pandang bulu, artinya setiap bawahan harus dilakukan sama disiplinnya.

26

(18)

3. Gaya Kebebasan

Gaya kebebasan adalah cara dan irama seseorang pemimpin pemerintahan dalam menghadapai bawahan dan masyarakatnya dengan pemberian kekuasaan kepada bawahan seluas-luasnya.

4. Gaya Otokrasi

Gaya otokrasi adalah cara dan irama seseorang pemimpin pemerintahan dalam mengahadapi bawahan dan masyarakatnya dengan memakai metode paksaan kekuasaan.

Tipe Kepemimpinan

Menurut Kartono, ada 8 (delapan) tipe kepemimpinan yang dapat diterapkan oleh seorang pemimpin. Kedelapan tipe kepemimpinan itu adalah sebagai berikut :27

1. Tipe Karismatis

Tipe pemimpin karismatis ini memiliki kekuatan energi, daya tarik dan wibawa yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya. Dia dianggap mempunyai kekuatan gaib (supernatural power)dan kemampuan-kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya sebagai karunia Yang Mahakuasa.

2. Tipe Paternalistis

Yaitu tipe kepemimpinan yang “kebapakan”, dengan sifat-sifat antara lain sebagai berikut :

27

(19)

- Dia menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atau anak sendiri yang perlu dikembangkan.

- Dia bersikap terlalu melindungi (overly protective).

- Jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri.

- Dia hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif.

- Dia tidak memberikan atau hampir tidak pernah memberika kesempatan kepada bawahan dan pengikut untuk mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri.

- Selalu bersikap maha tahu dan maha benar. 3. Tipe Milteristis

Adapun sifat-sifat pemimpin yang milteristis antara lain ialah :

- Lebih banyak menggunakan sistem perintah/komando terhadap bawahannya. Keras, sangat otoriter, kaku, dan seringkali kurang bijaksana.

- Menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan.

- Sangat menyenangi formalitas, upacara-upacara, ritual dan tanda-tanda kebesaran yang berlebih-lebihan.

- Menuntut adanya disiplin keras dan kaku dari bawahannya.

- Tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan kritikan-kritikan dari bawahannya.

(20)

-4. Tipe Otokratis

Otokrat berasal dari perkataan autos = sendiri, dan kratos = kekuasaan. Jadi otokrat berarti penguasa absolut. Kepemimpinan otokratis itu mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak harus dipatuhi. Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal. Setiap perintah dan kebijakan ditetapkan tanpa berkonsultasi dengan bawahannya. Semua pujian dan kritik terhadap segenap bawahannya diberikan atas pertimbangan pribadi pemimpin sendiri. Pemimpin otokratis senantiasa ingin berkuasa absolut, tunggal, dan merajai keadaan.

5. Tipe Laissez Faire

Pada tipe kepemimpinan Laissez Faireini, sang pemimpin praktis tidak memimpin. Dia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semau sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahan sendiri.

6. Tipe Populistis

Kepemimpinan populistis ini berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisional dan juga kurang mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan hutang-hutang luar negeri (asing). Kepemimpinan jenis ini mengutamakan penghidupan kembali nasionalisme.

7. Tipe Administratif atau Eksekutif

(21)

administratur-administratur yang mampu menggerakkan dinamika modernisasi dan pembangunan.

8. Tipe Demokratis

Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia, dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerja sama yang baik. Kekuatan kepemimpinan demokratis ini bukan terletak pada person atau individu pemimpin, akan tetapi kekuatan justru terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok.

1.6.2. Teori Perbandingan Politik

Studi perbandingan adalah bidang di dalam Ilmu Politik yang acap kali mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan studi intensif untuk mengurangi kekakuan dalam sistem politik yang ada. Perbandingan melibatkan sebuah abstraksi situasi atau proses konkrit yang tidak pernah dibandingkan semata, setiap fenomena diharapkan merupakan peristiwa yang unik; setiap manifestasi adalah unik; setiap individu dan perilakunya adalah unik.

(22)

pendekatan lembaga pemerintahan yang dibentuk secara formal atau lebih pada sebuah kontekstual dalam pembongkaran kekuatan-kekuatan politik yang melatari yaitu ideologi.

Dalam menganalisa perbandingan biasanya harus dilalui tiga tahap seperti yang ditunjukkan Profesor Almond, yaitu :28

1. Tahap mencari informasi tentang sistem politik yang jadi sasaran penelaahan;

2. Memilah-milah informasi ini berdasar klasifikasi tertentu, seperti kelompok kepentingan atau birokrasi, dan kemudian;

3. Dengan menganalisa hasil pengklarifikasian itu dapat di lihat keteraturan (regularities) dan hubungan-hubungan di antara berbagai variabel dalam masing-masing sistem politik. Selanjutnya menjelaskan tiga konsep yang dianggapnya paling tepat untuk menganalisa berbagai sistem politik. Konsep-konsep itu adalah sistem, struktur, dan fungsi.

Pengembangan terhadap sebuah abstraksi situasi akan membentuk relevansi dengan kekuatan kategori umum, sebuh relevansi yang terhimpun dari berbagai perbandingan yang dilakukan melalui peristiwa dan fenomena politik yang terjadi. Yang kesemua pada gilirannya dapat mengarahkan kesimpulan dan tanggapan kita kepada sebuah pandangan umum mengenai stabilitas politik; makanya diperlukannya pengkajian terhadap fenomena yang terjadi dalam studi ilmu politik.29

28

Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews. Studi Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2001. hal. 21-32.

29

(23)

Secara garis besar tinjauan didalam perbandingan ilmu politik dari awal perkembangannya sampai dengan kondisi politik yang mutakhir, terdapat beberapa teori yang mendukung,30yakni; Pertama, Teori sistem, seperti apa yang diutarakan David Easton di dalam bukunya “The Political System”,31

Dalam sebuah kaitannya dapatlah dipahami bahwa setiap manifestasi sikap, hubungan, motivasi dan ide dalam masyarakat merupakan relevansi dalam kegiatan politik. Secara sederhana polituk dapat dipahami sebagai sebuah aspirasi dalam membentuk sebuah kepentingan, yang diawali dengan sebuah tuntutan dan akhirnya menghasilkan sebuah keputusan serta konsensus bersama. Dan dalam memahami sebuah fenomena politik yang ada diperlukannya sebuah pemahaman holistik tentang potensi potensial politik dan memahami

yang memuat mengenai konsep input dan output politik, tuntutan dan dukungan serta umpan balik terhadap keseluruhan sistem yang saling berhubungan. Kedua, Teori Budaya, berangkat dari karya tradisional tentang budaya dalam dunia antropologi, studi sosialisasi dan kelompok-kelompok kecil dalam sosiologi; serta konsep kebudayaan yang dikaitkan dengan konsep negara dan budaya-budaya nasional. Ketiga, Teori Pembangunan, kemunculan negara di dunia ketiga mendorong kemunculan teori ini, yang tercurahkan pada wawasan keterbelakangan dan potensi untuk memajukan diri unruk tumbuh dan berkembang menjadi sebuah bangsa, yang kesemuanya terkait dalam pola modernisasi politik.

30

Ronald Chilcote.Teori Perbandingan Politik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002. hal. 11-13. 31

(24)

bahwa ada sebuah sikap yang dianggap bertentangan yaitu sebuah sikap apolitis. Semua terbentuk pada ruang dan waktu yang berbeda tetapi semua menyangkut kegiatan politik dalam sebuah wadah partisipasi politik.

Dalam melihat struktural kelembagaan pemerintahan maka dianggap penting mempelajari pelaku elit-elit pemerintahan yang menggunakan kekuatannya untuk mendapatkan kekuasaan. Kita harus melihatnya dari sebuah sisi dimana segala aktivitas politiknya merupakan sebuah jalan pemecahan permasalahan dan berorientasi pada sebuah tujuan, sebuah aktivitas yang merupakan ciri khas dalam sebuah fenomena politik.

Komplotan elit pada umumnya mengambil keputusan akan perencanaan yang bersifat menguntungkan posisi mereka, yang dalam studi dan penilaiannya jauh lebih menguntungkan kelompoknya daripada masyarakat secara luas.32

Konsepsi pemikiran dan perbandingan politik, adalah bertujuan untuk melihat dan penekanan pada pergolakan sosial dan konsensus yang terbangun, dan tidak pula tertutup kemungkinan akan terjadinya konflik di dalam masyarakat. Mulai dari pemahaman yang konservatif sampai

Tindakan dan kehendak yang dijalankan oleh kelompok elit kembali sebagai sebuah penentu berjalannya lembaga pemerintahan dengan menunjukan kondisi-kondisi yang seolah membatasi ruang kebebasan individu.

32

(25)

dengan pemahaman yang radikal tentang negara dan tujuannya, semua merupakan dan interpertasi terhadap analisis peran negara dalam kondisi yang temporer. Lewat berbagai diskursus tentang teori perbandingan, maka kedepannya diharapkan akan menghasilkan sebuah implikasi yang nyata dalam memberikan kontribusi pemikiran politik serta ruang untuk mencapai sebuah sistem yang muncul dari kondisi latar belakang sosial politik masyarakat.

1.7. Studi Terdahulu

Penelitian yang mengambil tema Perbandingan Kepemimpinan Militeristik Otoritarian belum ada ditemukan di jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU. Akan tetapi, ditemukan beberapa skripsi yang juga membahas tentang perbandingan kepemimpinan yang didapatkan melalui media massa internet yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini, salah satunya ditemukan di jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU. Penelitian tersebut tentang

“Perbandingan Konsep Kepemimpinan Vatikan Dan Iran” yang dilakukan

(26)

institusi-institusi yang biasa disebut Trias Politika (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif).Adapun hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan dan persamaan Negara Vatikan dan Iran dengan menggunakan teori Kedaulatan Tuhan dan Perbandingan Politik. Peneliti melihat perbedaan dalam kepemimpinan kedua Negara tersebut dalam hal membuat sebuah kebijakan. Konsep kepemimpinan kedua negara tersebut mempunyai perbedaan. Untuk Vatikan kepemimpinan berada pada Paus dan untuk seluruh warga Katolik yang ada di dunia. Berbeda dengan Iran, konsep Imamah hanya berada pada wilayah Negara Iran sendiri. Sedangkan yang menjadi persamaan bagi kepemimpinan kedua Negara tersebut adalah kebijakan Negara hanya di putuskan oleh satu orang yang dianggap orang menjadi wakil Tuhan di dunia.33

Penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh

Nurcholifahpada tahun 2011 dengan judul “Kepemimpinan Golkar Pasca Orde Baru (Studi Perbandingan Pola Kepemimpinan Akbar Tandjung

[Periode 1999-2004] dan Muhammad Jusuf Kalla [Periode 2004-2009]

Dalam Partai Golkar)” di Prodi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dimana Nurcholifah dalam penelitiannya ini memfokuskan pembahasan pada kepemimpinan mantan ketua Partai Golkar Akbar Tandjung yang menjadi ketua Partai Golkar periode 1999-2004 dan Muhammad Jusuf Kalla yang menjadi ketua umum Partai Golkar periode 2004-2009. Penelitiannya ini

33

(27)

menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan hasil wawancara sebagai sumber primer. Adapun sumber sekundernya didapatkan dari berbagai literatur, baik dari buku, majalah, maupun artikel yang ada di internet. Wawancara dilakukan dengan kedua tokoh tersebut, yaitu Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dengan menggunakan interview guide(pedoman wawancara). Berdasarkan hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh Nurcholifah, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan Akbar Tandjung lebih bersifat paternalistik. Hal ini terlihat dari bagaimana Akbar Tandjung mengambil keputusan mengenai kebijakan Partai Golkar yang mengutamakan keselarasan antar sesama pengurus dengan banyak melibatkan para senior untuk mendapatkan pengarahan. Sedangkan gaya kepemimpinan Jusuf Kalla bersifat demokratis. Menilik latar belakang Jusuf Kalla sebagai pengusaha, tidak mengherankan jika kebijakan-kebijakan yang diambil Jusuf Kalla bersifat efisien, lugas, dan terus terang.34

34

Nurcholifah. Skripsi. “Kepemimpinan Golkar Pasca Orde Baru (Studi Perbandingan Pola Kepemimpinan Akbar Tandjung [Periode 1999-2004] dan Muhammad Jusuf Kalla [Periode 2004-2009] Dalam Partai Golkar)”. Dikutip melalu

Dari kedua penelitian tersebut diatas, penulis belum menemukan adanya tulisan yang membahas tentang kepemimpinan militeristik otoritarian. Oleh karna itu, penelitian ini akan membahas tentang Kepemimpinan Militeristik Otoritarian : Perbandingan Gaya Kepemimpinan Saloth Sar di Kamboja (1975-1979) dan Soeharto di Indonesia (Periode Transisi 1965-1970).

(28)

1.8.Metodologi Penelitian

1.8.1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan suatu cara untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu, penelitian ini berusaha untuk menggambarkan situasi atau kejadian.35

Menurut Ulber Silalahi, penelitian komparatif adalah penelitian yang membandingkan dua gejala atau lebih. Penelitian komparatif dapat berupa komparatif deskriptif (descriptive-comparative) maupun komparatif korelasional (correlation-comparative). Komparatif deskriptif membandingkan variabel yang sama untuk sampel yang berbeda. Komparatif deskriptif juga dapat digunakan untuk membandingkan variabel yang berbeda untuk sampel yang sama. Perbandingan korelasional juga bisa dengan variabel yang berbeda dalam hubungan dengan variabel yang sama. Selain itu, perbandingan korasional pun bisa

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif. Kata “komparasi‟ dalam bahasa inggris yaitu comparation yang berarti perbandingan. Makna dari kata tersebut menunjukan bahwa dalam penelitian ini peneliti bermaksud mengadakan perbandingan kondisi yang berbeda yang ada di satu tempat, apakah kondisi di tempat tersebut sama atau ada perbedaan, dan kalau ada perbedaan, kondisi mana yang lebih baik.

35

(29)

dengan membandingkan korelasi variabel yang sama untuk sampel yang berbeda.36

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif, yaitu mencoba menggambarkan berbagai situasi, kondisi, atau berbagai realitas sosial yang ada dalam masyarakat yang menjadi obyek penelitian, dan berupaya menarik realitas tersebut ke permukaan sebagai suatu ciri atau karakter tentang fenomena tertentu.

1.8.2. Jenis Penelitian

37

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara studi pustaka. Melalui studi pustaka, data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang di dapat dari buku, jurnal, website, artikel, ataupun sumber-sumber lain yang berkaitan dengan judul penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca, menganalisis, kemudian mengutip dari sumber-sumber tersebut.

1.8.3. Teknik Pengumpulan Data

38

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan cara studi pustaka yang didapatkan melalui buku, jurnal, artikel maupun website untuk menjabarkan tentang latar belakang dari penelitian ini, teori-teori yang akan digunakan didalam penelitian ini, profil dari Saloth Sar dan Soeharto serta sistem politik di Kamboja dan Indonesia, serta pembahasan dari penelitian ini yaitu PerbandinganGaya Kepemimpinan Saloth Sar di

36

Ulber Silalahi. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama. 2009. hal.35. 37

Burhan Bunging. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.2007. hal. 67. 38

(30)

Kamboja tahun 1975 Sampai 1979 dengan Soeharto di Indonesia Pada Periode 1965 sampai 1970.

1.8.4. Teknik Analisis Perbandingan

Pada penelitian ini teknik analisis data yang akan digunakan adalah teknik analisis dengan menggunakan metode Komparatif (Perbandingan), yakni teknik analisis kualitatif dengan cara membandingkan dua variabel atau lebih, yang kemudian akan dicari letak persamaan dan perbedaannya dan ditarik kesimpulannya. Metode ini merupakan proses penelitian yang nantinya akan menghasilkan data yang deskriptif.

Dalam studi Ilmu Politik, telah banyak Perbandingan Sistem Politik yang dilakukan oleh pada teoritisi dunia, termasuk membandingkan antara Negara dan Negara, Monarki/ Oligarki dengan Demokrasi, Pemerintahan Konstitusional dengan Tirani dan sebagainya.39 Definisi sederhana dari Perbandingan adalah suatu kegiatan untuk mengadakan identifikasi persamaan/perbedaan antara dua gejala tertentu atau lebih.40

Lebih lanjut, Lijphart mengemukakan bahwa metode komparatif (Comparative Method) atau perbandingan lebih ditekankan kepada suatu metode penemuan hubungan empiris antara berbagai variabel, dan metode ini bukan merupakan metode pengukuran. Karena metode komparatif

Walaupun sederhana, akan tetapi dalam implementasi sebuah analisis ataupun studi perbandingan, definisi ini tetap menjadi acuan dalam perbandingan dua gejala tertentu atau lebih.

39

Mohtar Mas’oed dan Colin McAndrews. Op.Cit., Hal. 21. 40

(31)

bukan merupakan metode pengukuran, maka metode komparatif melibatkan analisis kualitatif, bukan kuantitatif.41

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan data-data sekunder. Setelah data-data sekunder terkumpul kemudian penelitian dilanjutkan dengan menganalisis data secaradeskriptif berdasarkan fenomena yang terjadi dilapangan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.42

41

Ronald Chillcote. Op.Cit., Hal. 30. 42

Bagong Suyanto dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Media Group. 2006. hal. 53.

1.9. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan dimaksudkan untuk menjabarkan rencana penulisan agar mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan terperinci serta lebih terarah dalam penyusunan penelitian. Oleh karena itu, penulis membagi sistematika penulisan ini ke dalam empat bab, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdiri atas latar belakang masalah yang akan diteliti, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, studi terdahulu,metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : PROFIL SALOTH SAR DAN SOEHARTO SERTA

SISTEM POLITIK DI KAMBOJA (1975-1979) DAN INDONESIA

(32)

Dalambab ini berisi penjelasan tentang segala sesuatu mengenai objek penelitian yaitu profil tentang Pol Pot dan Soeharto, yang didalamnya akan dibahas tentang masa kecil dan remaja, latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi, serta karir politik mereka. Dalam bab ini juga berisi penjelasan mengenai sistem politik di negara Kamboja dan Indonesia pada masa pemerintahan masing-masing kedua tokoh tersebut.

BAB III : PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN

SALOTH SAR DI KAMBOJA (1975-1979) DAN SOEHARTO DI

INDONESIA (PERIODE 1965-1970)

Dalam bab ini berisi penjelasan data yang telah di peroleh dari sumber-sumber terkait, mengenai perbandingan gayakepemimpinan Saloth Sar di Kamboja dalam kurun waktu 1975 sampai 1979 denganSoeharto di Indonesia pada periode 1965 sampai 1970.

BAB IV : PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Hal itu sesuai dengan teori karena material SS400 memiliki nilai modulus elastisitas lebih besar daripada yang lainnya, kemudian diikuti oleh matterial AISI 1018 kemudian

Berdasarkan hasil uji t disimpulkan bahwa kinerja keuangan perusahaan 1 tahun sebelum dengan 1 tahun sesudah go public pada rasio CR, DAR, DER, NPM, dan ROE menunjukkan tidak

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wisata Danau Ranau di Kampung Lombok Kecamatan Sukau Kabupaten

Keberadaan Taman Kalpataru, Taman Dipangga dan Embung Taman Kota Way Halim yang merupakan bagian dari RTH Kota Bandar Lampung perlu dilakukan penelitian untuk

Demikian juga seorang tidak wajib zakat kalau semua uang yang ada di dompet atau ditabungan adalah pinjaman dari orang lain yang harus segera dikembalikan.. Karena, seperti

kelompok (mitra komunikasi) yang tidak memperhatikan (yang melamun, birbicara dengan.. yang lain, atau mengerjakan pekerjaan lain) pada saat Anda menyampaikan gagasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggantian nutrisi berpengaruh tidak nyata, konsentrasi larutan kompos bulu ayam berpengaruh sangat nyata, interaksi antara faktor

Berdasar latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Brand Extension terhadap Brand Equity produk Samsung di Surabaya. Penelitian ini