BAB III
KEDUDUKAN KREDITUR LAIN DALAM MENGAJUKAN UPAYA HUKUM
PADA PERKARA KEPAILITAN
A. Asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis Dalam Hukum Kepailitan
Dalam ilmu hukum terdapat suatu asas peraturan perundang-undangan yang penting
yang dikenal dengan asas lex spesialis derogat legi generalis. Secara sederhana asas tersebut mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengenyampingkan
aturan hukum yang umum.132 Aturan yang khusus itu merupakan hukum yang berlaku terhadap peristiwa-peristiwa konkrit yang diatur dalam aturan khusus tersebut dan memiliki
kekuatan hukum mengikat untuk diterapkan sehingga mengenyampingkan aturan hukum
yang umum.
1. Hukum Kepailitan Sebagai Lex Spesialis Berhadapan Dengan Hukum
Perdata Sebagai Lex Generalis
Pada dasarnya tanggung jawab debitur atas segala perikatan yang telah
disepakatinya dengan kreditur telah diatur dalam hukum perdata yaitu dalam KUHPerdata,
HIR dan RBg.133 KUHPerdata berperan sebagai hukum materiil yang mengatur
132
Letezia Tobing, Mengenai Asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis, www.hukumonline.com, Kamis 29 November 2012, diakses tanggal 11 Juni 2016
133
norma umum tentang segala perikatan yang melahirkan hubungan hukum utang-piutang
antara debitur dan kreditur. Sedangkan HIR dan RBg berperan sebagai hukum formil untuk
menegakkan aturan hukum dalam KUHPerdata tersebut. Akan tetapi, aturan-aturan tersebut
tidak mengatur dengan jelas cara penyelesaian yang adil apabila harta kekayaan debitur
merupakan jaminan utang secara bersama untuk lebih dari satu kreditur. Oleh karena itu,
hukum perlu membuat rumusan yang lebih jelas dan terperinci melalui hukum kepailitan.
Hukum kepailitan ini dasar umumnya adalah KUHPerdata, khususnya Pasal 1131
dan Pasal 1132 KUHPerdata.134 Kedua pasal tersebut mengisyaratkan bahwa hukum menghendaki adanya jaminan kepastian hukum terhadap perlindungan hak-hak kreditur dan
paksaan bagi debitur untuk melunasi utang-utangnya. Namun sifat paksaan terhadap debitur
ini tetap harus memperhatikan asas keadilan. Itulah sebabnya ketentuan tentang kepailitan
dirumuskan secara tersendiri untuk mengatur cara-cara penyelesaian masalah utang-piutang
yang adil antara debitur dengan semua krediturnya. Kepastian hukum terhadap
perlindungan hak-hak kreditur yang diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata
tidak boleh sampai mengorbankan kepentingan dari debitur dan juga pihak lainnya yang
terlibat, seperti kreditur lain. Sebagaimana konsep keadilan yang disampaikan oleh John
Rawls bahwa keadilan tidak boleh mengorbankan hak sebagian kecil orang demi hak orang
banyak.135
134
Andriani Nurdin, Op. Cit., hal. 143
135
Hukum kepailitan pada dasarnya memiliki dua fungsi, yaitu :136
a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur
tidak akan berbuat curang dan tetap bertanggungjawab atas semua utang-utangnya
kepada semua krediturnya
b. Kepailitan juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan
eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya
Hukum kepailitan merupakan peraturan khusus dari hukum perdata yang mengatur
cara pembagian hasil penjualan harta kekayaan debitur agar sesuai dengan tata urutan dan
prioritas pelunasan masing-masing piutang para kreditur serta menentukan oleh siapa
pembagian itu dilakukan.137 Hukum kepailitan adalah realisasi dari dua asas pokok yang terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata.138 Hukum kepailitan adalah aturan hukum yang dibuat untuk melindungi kepentingan hak-hak perorangan atau hak-hak
keperdataan seseorang dalam lapangan hukum kebendaan dan perikatan yang merupakan
bagian dari hukum perdata.139 Oleh karena itu, hukum kepailitan berkedudukan sebagai lex spesialis berhadapan dengan hukum perdata sebagai lex generalis.
Dalam pelaksanaan asas lex spesialis derogat legi generalis ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan agar tidak terjadi disharmonisasi peraturan perundang-undangan.
Aturan-aturan yang terkandung dalam hukum kepailitan harus memperhatikan
136 Rahayu Hartini,
Op. Cit., hal. 74
137
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 8
138
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Op. Cit., hal. 20
139
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan,
prinsip tersebut agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Prinsip-prinsip tersebut
adalah :140
a. Ketentuan dalam aturan hukum umum tetap berlaku kecuali yang diatur khusus
dalam aturan hukum khusus tersebut
b. Ketentuan lex spesialis harus sederajat dengan ketentuan lex generalis
c. Ketentuan lex spesialis harus berada dalam lingkungan hukum yang sama dengan
lex generalis
Berdasarkan uraian sebelumnya maka hukum kepailitan tidak melanggar
prinsip-prinsip tersebut. Hukum kepailitan berada dalam lingkungan hukum yang sama dengan
hukum perdata yaitu dalam lingkungan hukum kebendaan dan hukum perikatan. Aturan
hukum kepailitan juga sederajat dengan hukum perdata. Ketentuan hukum umum yang
diatur dalam hukum perdata tetap berlaku dalam hukum kepailitan, seperti dalam hal
pembagian kreditur sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU,
penjabaran dari kreditur-kreditur yang diatur merupakan kreditur-kreditur yang juga diatur
dalam KUHperdata.
Kreditur konkuren yang terdapat dalam hukum kepailitan merupakan penjabaran
dari kreditur yang diatur dalam Pasal 1132 KUHperdata. Kreditur preferen merupakan
penjabaran dari Pasal 1134 KUHPerdata. Kreditur separatis merupakan penjabaran dari
pemegang hak jaminan gadai yang diatur dalam Pasal 1150-1160 Bab XX KUHPerdata dan
pemegang hak jaminan hipotek yang diatur dalam Pasal 1162-1232 Bab XXI KUHPerdata.
140
A.A. Oka Mahendra, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan,
Kreditur separatis juga merupakan penjabaran dari pemegang hak tanggungan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan
peraturan pengganti dari ketentuan hipotek atas tanah dan benda-benda yang melekat di
atasnya yang sebelumnya diatur dalam KUHPerdata dan jaminan hak fidusia yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Hak Fidusia.
Hukum kepailitan juga tetap melindungi hak-hak istimewa yang dimiliki oleh
kreditur preferen dan kreditur separatis. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 55 ayat 1
UUKPKPU yang menyebutkan bahwa kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek atau jaminan hak lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah
tidak terjadi kepailitan. Namun hak eksekusi terhadap benda-benda dengan hak jaminan
tersebut diberi kekhususan dalam pelaksanaanya. Kreditur separatis tidak dapat langsung
menggunakan hak eksekusinya melainkan ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama
sembilan puluh hari sejak tanggal pernyataan pailit diucapkan.141
Aturan yang terkandung dalam hukum kepailitan secara prinsip tidak menimbulkan
disharmonisasi peraturan perundang-undangan. Namun ada hal-hal khusus yang terdapat
dalam hukum kepailitan, salah satunya adalah syarat adanya dua atau lebih kreditur.
Lembaga kepailitan merupakan usaha bersama dari para kreditur untuk melakukan
penyitaan umum terhadap harta debitur.142 Maka dalam perkara kepailitan terdapat ketentuan syarat yaitu debitur harus mempunyai dua atau lebih kreditur.143 Utang-piutang
141
Pasal 56 ayat 1 UUKPKPU
142
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi II, Op. Cit., hal. 22
143
yang terjadi diantara debitur dengan satu kreditur saja tidak dapat diselesaikan melalui
kepailitan, melainkan secara perdata ke pengadilan negeri, karena hasil bersih dari eksekusi
kekayaan debitur sudah pasti merupakan sumber pelunasan bagi kreditur satu-satunya
tersebut sehingga tidak diperlukan lembaga kepailitan untuk mengatur pembagian hasil
eksekusinya.144
Ketentuan khusus lainnya adalah mengenai syarat adanya utang. Dalam konsep
kepailitan adanya utang haruslah dapat dibuktikan secara sederhana mengenai fakta telah
terjadi adanya utang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar.145 Utang dalam kepailitan mengharuskan sudah terbukti adanya hak untuk menagih. Hak untuk menagih tersebut
timbul karena debitur memiliki kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu yang
telah jatuh tempo kepada kreditur, baik yang timbul karena perikatan maupun karena
undang-undang.146 Apabila hak kreditur untuk menagih masih harus dicari kebenaran dasar hukumnya, maka hak untuk menagih utang tersebut tidak dapat diselesaikan melalui
lembaga kepailitan melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu secara perdata ke
pengadilan negeri.
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
144 Kartini Muljadi,
Pengertian Dan Prinsip-Prinsip Umum Hukum Kepailitan, Jakarta 12 April 2000, Dalam Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op. Cit., hal. 75
145
Penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU menyebutkan bahwa fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh wkatu dan tidak dibayar, sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit
146
Pengadilan yang menangani perkara kepailitan juga telah diatur secara khusus
melalui pengadilan niaga. Pengadilan niaga ini dibentuk pada masa berlakunya UUK.
Sedangkan pada masa peraturan kepailitan masih menggunakan FV, pengadilan yang
berwenang memeriksa dan memutus perkara kepailitan adalah pengadilan negeri. Dengan
adanya ketentuan penyelesaian perkara kepailitan melalui pengadilan niaga maka
penyelesaian perkara kepailitan melalui pengadilan negeri tidak lagi berlaku.147
Pembentukan pengadilan niaga ini jika dikaitkan dengan prinsip yang harus
diperhatikan dalam penerapan asas lex spesialis derogat legi generalis tidak menimbulkan disharmonisasi dengan aturan peradilan yang sudah berlaku. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU
Kekuasaan Kehakiman) yang berlaku pada saat itu, telah diatur pada penjelasan Pasal 10
ayat (1) bahwa terhadap empat lingkungan peradilan yang dikenal di Indonesia, yaitu
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara tidak
ditutup kemungkinan adanya pengkhususan dalam masing-masing lingkungan peradilan.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan
Umum) yang merupakan undang-undang tentang peradilan umum yang berlaku pada saat
itu juga menyebutkan bahwa dalam lingkungan peradilan umum dapat diadakan
pengkhususan yang diatur dengan undang-undang.
Dalam UUKPKPU juga terkandung asas integrasi yang memiliki makna bahwa
sistem hukum formil dan hukum materiil dari peraturan kepailitan tersebut merupakan satu
147
kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata.148 Oleh karena itu, hukum acara yang berlaku pada pengadilan niaga adalah hukum acara perdata yang diatur
dalam HIR dan RBg.149 Namun hukum acara memiliki ketentuan-ketentuan khusus pada perkara kepailitan di pengadilan niaga.150
Ketentuan khusus tersebut diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum dalam
penyelesaian masalah utang-piutang melalui lembaga kepailitan. Sehingga penyelesaian
masalah utang-piutang melalui lembaga kepailitan memenuhi substansi hukum yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat akan penyelesaian perkara yang cepat, efektif, efisien dan
adil. Sebagaimana dikemukakan oleh Jan M. Otto bahwa ''kepastian hukum dapat dicapai
jika substansi hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat''.151
Salah satu ketentuan khusus dalam beracara pada perkara kepailitan adalah adanya
kerangka waktu yang mengatur batas waktu dalam pemeriksaan perkara kepailitan.
Kerangka waktu tersebut tidak diatur dalam hukum acara perdata pada pengadilan negeri.
Kerangka waktu pemeriksaan dan putusan atas permohonan pernyataan pailit mulai dari
tingkat pengadilan niaga sampai kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung telah
diatur secara jelas, sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Tujuannya adalah
untuk menjamin kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara utang-piutang yang cepat
dan efektif yang terjadi antara debitur dan para kreditur.
148
Penjelasan UUKPKPU
149
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Op. Cit., hal. 79
150
Aco Nur, Op. Cit., hal. 163
151
Selain itu, hukum acara pada pengadilan niaga juga memiliki ketentuan khusus
lainnya, yaitu :152
a. Acara perdata di pengadilan niaga berlaku dengan tulisan atau surat, berlainan dengan acara yang berlaku di pengadilan negeri yaitu acara lisan dengan pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tanya-jawab dengan lisan dihadapan hakim
b. Para pihak yang berperkara pada perkara kepailitan harus didampingi oleh ahli hukum sedangkan pada sistem HIR tidak diwajibkan untuk didampingi oleh ahli hukum
c. Tidak tersedianya upaya hukum banding melainkan langsung upaya hukum kasasi setelah putusan pengadilan tingkat pertama
d. Sepanjang menyangkut kreditur, yang dapat mengajukan upaya hukum kasasi tidak hanya kreditur pada persidangan tingkat pertama tapi juga juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan pihak pada persidangan tingkat pertama
Ketentuan khusus terakhir dalam beracara pada perkara kepailitan yaitu mengenai
upaya hukum kasasi yang dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan para pihak pada
persidangan tingkat pertama. Hal ini merupakan ketentuan baru dalam mekanisme beracara
di pengadilan. Dalam hukum acara perdata, umumnya pihak lain diluar para pihak yang
berperkara pada persidangan tingkat pertama dapat melakukan upaya hukum melalui
derden verzet atau perlawanan. Perlawanan diajukan ke pengadilan tingkat pertama yang telah memberikan putusan. Sehingga perlawanan pihak lain tersebut tidak dapat diajukan ke
tingkat kasasi di Mahkamah Agung tanpa terlebih dahulu melalui proses persidangan di
tingkat pengadilan pertama dan banding.
Kreditur lain dapat langsung menggunakan upaya hukum kasasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU meskipun kedudukan kreditur lain dalam perkara
kepailitan bukan pihak pada persidangan tingkat pertama. Ketentuan tersebut menunjukkan
kekhususan dari hukum kepailitan yang menjamin bahwa semua pihak dalam perkara
152
kepailitan mendapatkan kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya guna
memperoleh keadilan. Dalam perkara kepailitan, kreditur lain yang bukan merupakan pihak
pada persidangan tingkat pertama tidak dibedakan dengan para pihak yang berperkara pada
persidangan tingkat pertama.
Pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas harta kekayaan debitur tidak hanya
debitur dan kreditur pemohon pailit tetapi juga kreditur lain. Apabila upaya hukum yang
dapat digunakan oleh kreditur lain sama dengan upaya hukum pihak ketiga yang diatur
dalam hukum acara perdata, maka upaya hukum tersebut akan berseberangan dengan tujuan
dari hukum kepailitan yaitu dapat menciptakan penyelesaian perkara kepailitan yang cepat,
efisien dan adil.
Hal tersebut juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses
penyelesaian masalah utang-piutang antara debitur dengan para krediturnya karena harus
melalui proses penyelesaian perkara yang diulang kembali melalui pengadilan tingkat
pertama. Sehingga para pihak pada persidangan tingkat pertama dan kreditur lain tidak
dapat segera mendapatkan keputusan yang berkekuatan hukum tetap atas masalah
utang-piutang yang terjadi. Padahal pihak-pihak tersebut membutuhkan penyelesaian masalah
utang-piutang yang cepat, efektif dan adil agar tidak semakin memperburuk kondisi
keuangan debitur sehingga debitur mampu keluar dari masalah kesulitan keuangannya dan
dapat segera melunasi utang-utangnya.
dengan para krediturnya telah sesuai dengan teori keadilan yang diutarakan oleh John
Rawls. Bagi John Rawls, konsep keadilan harus dapat menjamin bahwa setiap orang
mendapatkan keadilan yang sama.153
Pada perkara kepailitan terdapat kekhususan yaitu kreditur lain dapat langsung
mengajukan upaya hukum kasasi tanpa melalui perlawanan ke pengadilan tingkat pertama
yang telah memutus perkara. Kekhususan ini sesuai dengan konsep keadilan John Rawls.
Jhon Rawls berpendapat bahwa demi keadilan perbedaan itu dapat diterima.154 Ketentuan khusus dalam hukum kepailitan yang mengatur bahwa kreditur lain dapat langsung
menggunakan upaya hukum kasasi merupakan bentuk perbedaan demi memberi keadilan
yang sama bagi kedudukan kreditur lain dengan para pihak yang berperkara pada
persidangan tingkat pertama.
Ketentuan khusus dalam hukum kepailitan juga telah sesuai dengan teori kepastian
hukum. Sebagaimana pendapat dari Gustav Radbruch yang mengemukakan bahwa
kepastian hukum berhubungan dengan hukum yang dirumuskan dengan jelas.155 Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya syarat-syarat dalam mengajukan kepailitan yaitu
adanya dua atau lebih kreditur lain dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih. Kedua syarat tersebut merupakan aturan yang jelas dalam hukum kepailitan untuk
dapat membedakan perkara utang-piutang yang merupakan ranah hukum kepailitan dengan
perkara utang-piutang yang merupakan ranah hukum perdata, sehingga tidak menimbulkan
kekeliruan dalam pemaknaan dan mudah untuk dilaksanakan. Dan juga adanya aturan
153
John Rawls, Loc. Cit
154
Jhon Rawls, Loc. Cit
155
khusus tentang kerangka waktu dalam proses beracara pada perkara kepailitan, sehingga
menjamin kepastian hukum dari penyelesaian perkara yang cepat, efisien dan adil
sebagaimana yang dibutuhkan oleh masyarakat.
2. Latar Belakang Kreditur Lain Mengajukan Upaya Hukum
Pada hakikatnya hukum kepailitan adalah sarana untuk menghindari perebutan oleh
kreditur terhadap harta kekayaan debitur, setelah debitur tidak lagi mampu untuk membayar
utang-utangnya.156 Kata tidak lagi mampu untuk membayar utang-utangnya ini mengandung makna bahwa kondisi keuangan debitur menunjukkan aktiva lebih kecil daripada passiva. Dengan kata lain keuangan debitur memiliki nilai keekonomian yang negatif yaitu suatu kondisi yang menunjukkan bahwa debitur tidak lagi memiliki
pendapatan yang cukup untuk menutupi biaya operasional usaha.157 Sehingga debitur berada dalam keadaan tidak solven atau insolven yang mengandung arti bahwa
fundamental usaha debitur sudah tidak bagus dan total utang debitur juga jauh melebihi
nilai pasar asetnya.158 Maka debitur dan kreditur membutuhkan penyelesaian yang adil melalui lembaga kepailitan.
Di Indonesia, aturan insolvensi dalam peraturan perundang-undangan tentang
kepailitan telah beberapa kali mengalami perubahan. Awalnya keadaan insolvensi debitur
pernah diatur dalam peraturan kepailitan Indonesia yaitu pada FV. FV mengatur bahwa
debitur insolven adalah debitur yang tidak mampu membayar dan berhenti membayar
156
Hadi Subhan, Op. Cit., hal. 30
157
Andriani Nurdin, Op. Cit., hal.125
158
utang-utangnya kepada kreditur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) FV yang
berbunyi :
''Setiap debitur (pihak yang berutang) yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang-utangnya tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang kreditur (orang yang berpiutang) atau beberapa orang krediturnya, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitur yang bersangkutan dalam keadaan pailit.''
Oleh karena itu, pada masa FV masalah utang-piutang yang dapat diselesaikan
melalui kepailitan hanya apabila debitur dalam keadaan insolven. Namun bunyi Pasal 1
ayat (1) FV tersebut kemudian mengalami perubahan seiring dengan berlakunya UUK.
Pada UUK, ketentuan tentang keadaan debitur yang tidak mampu membayar utang telah
dihapus, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUK yang berbunyi :
'' Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.''
Ketentuan tersebut juga berlaku pada UUKPKPU yang merupakan undang-undang
kepailitan yang saat ini berlaku. UUKPKPU tetap menghapus ketentuan debitur yang tidak
mampu membayar utang sehingga debitur dapat lebih mudah untuk dimohonkan
pernyataan pailit karena syaratnya cukup dengan debitur tidak membayar lunas satu utang
saja kepada satu kreditur dan memiliki dua atau lebih kreditur.159 UUKPKPU tidak mengatur syarat bahwa keuangan debitur harus telah dalam keadaan berhenti membayar
utang-utangnya karena debitur dalam keadaan insolven. Berdasarkan ketentuan tersebut
maka UUKPKPU tidak dapat menjamin bahwa kepailitan hanya akan digunakan untuk
159
debitur insolven karena terbuka kemungkinan perusahaan yang masih solven juga dapat
dipailitkan.160
UUKPKPU mengatur bahwa debitur mulai dinyatakan insolven hanya apabila
dalam rapat pencocokan piutang kreditur tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana
perdamaian yang ditawarkan ditolak atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.161 Keadaan insolvensi yang diatur dalam UUKPKPU tersebut tidak didasarkan kepada suatu test yang akurat melainkan hanya
berdasarkan pada tidak adanya kesepakatan damai antara debitur dengan beberapa kreditur
yang mengharapkan kepailitan debitur. Padahal pengukuran keadaan insolvensi yang
banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan sekurang-kurangnya mencakup parameter
pengujian terhadap industry risk, management risk, financial flexibility, credibility, competitiveness, operating risk, common business performance analysis parameter, firm default parameter, reorganition parameter, pricing, differentiation parameter, marketing parameter, delivery parameters dan productivity.162 Maka seharusnya keadaan insolvensi debitur ditentukan secara objektif dan independen berdasarkan financial audit atau
financial due diligence yang dilakukan oleh suatu kantor akuntan publik yang independen.163
Insolvensi terhadap keadaan keuangan debitur tidak cukup hanya dengan
bersandarkan pada hal-hal yang diatur dalam Pasal 178 ayat (1) UUKPKPU. Apalagi Intelligent System And Application, Online Journal, Modern Education And Computer Science Press, 2014, hal. 36-38, Dalam Bambang Pratama, Op. Cit., hal. 161
163
perkara kepailitan yang terjadi saat ini telah melibatkan perusahaan-perusahaan besar yang
memiliki aset besar dengan jumlah karyawan yang besar. Perkara kepailitan juga terkait
dengan permasalahan yang cukup rumit yang berkaitan dengan hukum perusahaan, hukum
pasar modal dan hukum jaminan.164 Sehingga pernyataan pailit terhadap debitur yang tidak berdasarkan pada keadaan insolvensi debitur dapat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak
lainnya yang bergantung pada kelangsungan usaha debitur.
Sutan Remy Syahdeini berpendapat bahwa seorang debitur berada dalam keadaan
insolven apabila keuangan debitur tidak mampu untuk membayar utang-utang kepada
sebagian besar krediturnya.165 Dengan kata lain, debitur tidak dapat dikatakan insolven apabila tidak membayar utang hanya kepada satu kreditur atau beberapa kreditur dengan
jumlah utang yang lebih kecil daripada total keseluruhan utang debitur. Keadaan debitur
yang tidak mampu membayar utang-utangnya harus diartikan bahwa debitur tidak mampu
membayar utang-utangnya kepada mayoritas kreditur yang menguasai sebagian besar utang
debitur. Ukuran mayoritas utang debitur tersebut bisa lebih dari 50% dari jumlah utang
debitur , 2/3 atau 3/4 dari jumlah utang debitur kepada para krediturnya.166
Ketentuan insolvensi berdasarkan ketidakmampuan debitur membayar mayoritas
utang tersebut juga tidak diatur dalam UUKPKPU. UUKPKPU tidak melarang pengajuan
permohonan pailit oleh kreditur yang memiliki tagihan dengan porsi sangat kecil
dibandingkan keseluruhan utang debitur asalkan terbukti secara sederhana debitur memiliki
utang yang telah jatuh tempo, dapat ditagih dan ada dua atau lebih kreditur lain. Bahkan
164
Sunarmi, Prinsip Kesimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia Edisi 2, Op. Cit., hal. 320
165
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 39
166
debitur juga dapat mengajukan permohonan pailit atas dirinya tanpa adanya keharusan
untuk meminta persetujuan dari mayoritas kreditur.167
Oleh karena itu, debitur yang masih solven seharusnya tidak diberi kemungkinan
untuk diajukan permohonan pailit ke pengadilan niaga tetapi harus diajukan gugatan biasa
ke pengadilan perdata biasa.168 Putusan pailit yang diberikan kepada debitur atas permohonan kreditur yang memiliki piutang kecil atau atas permohonan debitur itu sendiri
tanpa persetujuan kreditur mayoritas dapat menimbulkan kerugian terhadap kepentingan
pihak lainnya, seperti bank yang berkedudukan sebagai kreditur lain. Bagi bank, kepailitan
debiturnya merupakan kehilangan salah satu potensi penyaluran kredit dan fasilitas-fasilitas
lainnya.169 Apalagi keuntungan usaha bank berasal dari kontraprestasi atas fasilitas kredit yang diberikannya kepada debitur yang berupa bunga kredit.170
Oleh karena itu, bank keberatan untuk mempailitkan debitur yang hanya memiliki
kendala pembayaran utang terhadap sebagian kreditur dengan nilai utang lebih kecil dari
keseluruhan total utang debitur, apalagi usaha yang dimiliki debitur masih dapat untuk
diselamatkan atau disehatkan kembali karena memiliki nilai usaha yang prospektif. Bank
akan lebih memilih untuk melakukan restructuring, rescheduling atau reconditioning
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan definisi bank sebagai badan usaha yang memiliki kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk di bidang jasa keuangan lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak
170
fasilitas pinjaman dalam penyelesaian masalah utang-piutangnya.171 Putusan pailit terhadap debitur juga dapat mengakibatkan perusahaan debitur kehilangan kepercayaan dan
kesulitan untuk menjalin hubungan bisnis baru. 172 Putusan pailit juga akan mengubah status hukum debitur menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.173 Kepailitan debitur akan menyebabkan usaha debitur mengalami potensial loss yaitu kehilangan pelanggan dan proyek-proyek baru.174 Keadaan ini justru akan memperburuk kondisi keuangan debitur dan akan mengakibatkan debitur mengalami kesulitan untuk memperbaiki
dan mengembangkan usahanya. Sehingga debitur menjadi kesulitan untuk mengembalikan
utang-utangnya dengan wajar.
Keadaan-keadaan tersebut yang menjadi latar belakang kreditur lain menolak
kepailitan debitur dan mengajukan upaya hukum kasasi. Putusan kepailitan debitur yang
tidak didasarkan pada keadaan insolvensi debitur dan persetujuan mayoritas kreditur telah
mengorbankan kepentingan kreditur lain. Padahal hukum kepailitan seharusnya juga
melindungi kepentingan kreditur lain karena hukum kepailitan memiliki tujuan untuk
memberikan keadilan yang seimbang bagi semua pihak yang terlibat dalam perkara
kepailitan. Namun aturan penyelesaian perkara kepailitan hanya berdasarkan telah terbukti
171
Harry Rachmadi, Dampak Likuidasi Bank dan Implikasi Perpu Kepailitan Terhadap Dunia Perbankan, Dalam Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
Op. Cit., hal. 509
172
Pande Radja Silalahi, Dampak Perpu Kepailitan Terhadap Dunia Usaha, Jakarta 30 April 1998, Dalam Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op. Cit.,
hal. 206
173
Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa subjek hukum yang tidak cakap untuk membuat perbuatan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan adalah orang yang belum dewasa dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan atau curatele
174
adanya utang serta adanya dua atau lebih kreditur lain.175 Sehingga debitur solven dan debitur yang memiliki usaha prosfektif dapat dinyatakan pailit.
Ketentuan tersebut tidak sesuai dengan teori keadilan yang disampaikan oleh John
Rawls. Bagi John Rawls, konsep keadilan harus dapat menjamin bahwa setiap orang
mendapat keadilan yang sama.176 Maka seharusnya jaminan kepastian hukum terhadap perlindungan kepentingan pihak pemohon pailit tidak boleh sampai mengorbankan hak
kreditur lain. Jika aturan kepailitan memberikan celah timbulnya ketidakadilan bagi pihak
lain, dalam hal ini kreditur lain, maka aturan kepailitan tersebut harus diperbaiki melalui
upaya hukum kasasi untuk menjamin keadilan yang sama bagi semua pihak seperti yang
dimaksudkan oleh John Rawls.
B. Kedudukan Kreditur Lain Dalam Perkara Kepailitan
Pada UUKPKPU ada ketentuan baru mengenai pihak yang dapat mengajukan upaya
hukum kasasi. Hal ini diatur pada Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, Pasal tersebut menjelaskan bahwa upaya hukum kasasi selain dapat
diajukan oleh debitur atau kreditur yang merupakan para pihak pada persidangan tingkat
pertama, juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada
persidangan tingkat pertama.
175
Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU
176
1. Pengertian Kreditur Lain
Para pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit dan
pihak termohon pailit. Pihak pemohon pailit adalah pihak yang mengambil inisiatif untuk
mengajukan permohonan pailit ke pengadilan. Dalam perkara perdata pihak pemohon ini
dikenal sebagai pihak penggugat.177
Pihak pemohon tersebut diatur dalam Pasal 2 UUKPKPU. Pasal tersebut
menjelaskan bahwa pihak yang dapat menjadi pemohon dalam perkara kepailitan adalah
salah satu dari :
a. Debitur itu sendiri
b. Salah satu dari dua atau lebih kreditur
c. Kejaksaan jika menyangkut kepentingan umum d. Bank Indonesia jika debiturnya adalah bank
e. Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian f. Menteri Keuangan jika debiturnya adalah perusahaan asuransi, reasuransi, dana
pension, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik
Selanjutnya Pasal 149 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UU PT) menyebutkan bahwa likuidator perusahaan terbatas juga dapat
menjadi pihak pemohon dalam perkara kepailitan. Likuidator tersebut menjadi pemohon
pailit dalam hal likuidator telah memperkirakan bahwa utang perseroan lebih besar dari
kekayaan perseroan. Likuidator wajib mengajukan permohonan pailit kecuali
undang-undang menentukan lain atau semua kreditur sepakat memilih penyelesaian di luar jalur
kepailitan.
177
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka pihak-pihak yang dapat
mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitur kehadapan pengadilan niaga adalah
debitur itu sendiri atau krediturnya. Pasal 1 ayat (3) UUKPKPU menyebutkan bahwa
debitur adalah orang yang mempunyai utang yang dapat ditagih terhadap kreditur akibat
adanya perjanjian atau undang-undang. Sedangkan kreditur sebagaimana diatur dalam Pasal
1 ayat (2) UUKPKPU adalah orang yang mempunyai piutang yang dapat ditagih terhadap
debitur akibat adanya perjanjian atau undang-undang.
Secara umum kreditur dalam perkara kepailitan terdiri dari kreditur konkuren,
separatis, preferen dan sindikasi. Hal ini disebutkan pada penjelasan Pasal 2 ayat (1)
UUKPKPU. Kreditur konkuren (unsecured creditor) adalah kreditur-kreditur yang memiliki kedudukan sama dan harus berbagi secara proporsional (paripasu) atas penjualan harta debitur.178 Kreditur konkuren ini adalah kreditur biasa yang tidak memiliki hak istimewa dan tidak memegang hak jaminan kebendaan. Sehingga apabila terdapat kreditur
separatis dan preferen dalam perkara kepailitan maka pembagian atas pembayaran utang
debitur dapat diterima kreditur konkuren setelah dibagikan kepada kreditur separatis dan
preferen.
Kreditur separatis (secured creditor) adalah kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.179 Hak jaminan kebendaan tersebut dapat berupa hak jaminan benda bergerak yang meliputi gadai dan fidusia serta hak jaminan benda tidak bergerak yang meliputi hak
178
Sentosa Sembiring, Op. Cit., hal. 18
tanggungan, fidusia rumah susun, hipotek kapal laut dan pesawat udara.180 Dengan adanya hak jaminan kebendaan tersebut, tagihan kreditur separatis tidak termasuk dalam boedel
pailit. Oleh karena itu kreditur separatis dapat mengeksekusi hak mereka seolah-olah tidak
terjadi kepailitan.181 Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa :
''Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58, setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan''
Selanjutnya, kreditur yang didahulukan dari kreditur lainnya untuk memperoleh
pelunasan utang debitur adalah kreditur preferen.182 Kreditur preferen mendapat hak istimewa yang diberikan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 dan
1149 KUHPerdata. Namun kedudukan kreditur preferen tidak lebih tinggi dari pada
kedudukan kreditur separatis sebagaimana diatur dalam Pasal 1134 KUHPerdata. Pasal
1134 KUHPerdata mengatur bahwa kreditur pemegang hak jaminan harus didahulukan
daripada kreditur pemegang hak istimewa dalam hal memperoleh pelunasan dari hasil
penjualan harta kekayaan debitur jika tidak dengan tegas ditentukan lain oleh
undang-undang.
Dalam hukum kepailitan juga dikenal yang namanya kreditur sindikasi. Kreditur
sindikasi terjadi dalam keadaan debitur menerima bantuan pinjaman dari sekelompok
180
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), hal. 8-9
181
J. Djohansjah, Kreditur Preferen Dan Separatis Serta Tentang Penjaminan Utang, Makalah disampaikan pada lokakarya terbatas ''Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan'' Selasa dan Rabu, 11-12 Juni 2002, (Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum, 2003), hal. 58
kreditur yang membuat secured agreement.183 Pada UUK, jika terdapat kreditur sindikasi maka yang dapat mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitur ke pengadilan hanya
salah satu kreditur yang ditunjuk menjadi agen dari kreditur lainnya. Namun dengan adanya
UUKPKPU jika terdapat kreditur sindikasi maka masing-masing anggota yang tergabung
dalam kreditur sindikasi dapat mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitur ke
pengadilan.184
Dalam perkara kepailitan, kreditur-kreditur sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas dapat berkedudukan sebagai kreditur pemohon pailit dan juga dapat berkedudukan
sebagai kreditur lain, yaitu kreditur yang bukan merupakan kreditur yang mengajukan
permohonan pailit. Kreditur lain dalam perkara kepailitan berperan untuk memenuhi
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa syarat yang
harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan pailit yaitu adanya utang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih serta adanya dua atau lebih kreditur lain. Maka dalam hal tersebut,
kreditur lain merupakan unsur dari syarat-syarat mengajukan permohonan pailit yang harus
dipenuhi oleh pihak pemohon pailit.
Kreditur lain merupakan kreditur yang memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam perkara kepailitan. Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU menyebutkan bahwa permohonan
pailit hanya dapat dikabulkan apabila terbukti secara sederhana telah terpenuhi ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa permohonan pailit
183
A. Hakim Garuda Nuusantara, Kewenangan Kreditur Sindikasi, Ibid, hal. 39
184
yang diajukan oleh pemohon pailit baik yang diajukan oleh debitur itu sendiri maupun
krediturnya tidak dapat dikabulkan oleh hakim apabila hanya terdapat satu kreditur dan
tidak terdapat kreditur lain. Adanya kreditur lain merupakan inti dari penyelesaian masalah
utang-piutang melalui lembaga kepailitan. Apabila tidak ada kreditur lain sehingga hanya
ada satu kreditur maka penyelesaian masalah utang-piutang tidak memerlukan lembaga
kepailitan. Penyelesaian utang-piutang melalui kepailitan berbentuk sitaan umum yaitu
penyelesaian yang akan menyita seluruh harta kekayaan debitur untuk dibagi-bagikan
kepada para krediturnya dengan adil sesuai dengan porsinya masing-masing.
Dalam perkembangan perkara kepailitan, adakalanya kreditur lain tidak sejalan
dengan tujuan pemohon pailit dan menolak kepailitan debitur. Umumnya, alasan kreditur
lain keberatan dengan kepailitan debitur karena usaha debitur masih memiliki potensi untuk
berkembang. Tingkat kemampuan debitur dalam mengembalikan utang-utangnya akan
lebih baik apabila usahanya tetap berjalan. Dengan demikian kreditur lain lebih memilih
untuk mempertahankan kelangsungan usaha debitur daripada mempailitkan debitur.
2. Kedudukan Kreditur Lain Dalam Mengajukan Upaya Hukum Dalam Perkara
Kepailitan
Peraturan kepailitan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perbaikan.
Perbaikan tersebut bertujuan agar peraturan kepailitan dapat memenuhi kebutuhan dunia
usaha dalam menyelesaian masalah utang-piutang dengan cepat, efektif dan adil. Akhirnya
luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun proses penyelesaian
utang-piutang.185
Ketentuan khusus dari UUKPKPU yang diatur dalam Pasal 11 ayat (3) merupakan
salah satu bentuk konkrit dari perbaikan yang dilakukan dalam peraturan kepailitan di
Indonesia. Apalagi UUKPKPU merupakan peraturan kepailitan yang menjunjung asas
keseimbangan dan asas keadilan. Asas keseimbangan dalam UUKPKPU memiliki tujuan
agar ketentuan yang terdapat dalam UUKPKPU di satu pihak dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur dan di lain
pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.186 Asas keadilan dalam UUKPKPU bertujuan agar ketentuan dalam UUKPKU dapat memenuhi rasa keadilan bagi
semua pihak yang berkepentingan dan dapat mencegah terjadinya kesewenang-wenangan
pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap
debitur dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya.187
Oleh karena itu, dengan lahirnya UUKPKPU yang berlandaskan pada asas
keseimbangan dan keadilan diharapkan penyelesaian perkara utang-piutang melalui
lembaga kepailitan dapat memberikan manfaaat dan perlindungan yang adil bagi debitur
dan para krediturnya. Sehingga UUKPKPU dapat mencapai tiga tujuan hukum kepailitan,
yaitu :188
185
Rahayu Hartini, Op. Cit., hal. 70
186
Penjelasan UUKPKPU
187
Penjelasan UUKPKPU
188
a. Memberikan perlindungan kepada kreditur terhadap kreditur lainnya
b. Melindungi kreditur dari debitur yang tidak jujur
c. Melindungi debitur yang jujur dari para krediturnya
UUKPKPU telah berupaya untuk tidak hanya sebatas memberikan perlindungan
terhadap kepentingan mereka yang berperkara yaitu kreditur pemohon pailit dan debitur,
tetapi juga kepentingan kreditur lain. Hal ini diwujudkan dalam ketentuan upaya hukum
kasasi yang dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan para pihak pada persidangan
tingkat pertama. Ketentuan tersebut merupakan upaya UUKPKPU memberikan
perlindungan hukum yang seimbang dan adil terhadap kepentingan kreditur lain atas
putusan permohonan kepailitan debitur yang diajukan pihak pemohon pailit.
Ketentuan upaya hukum kasasi oleh kreditur lain bertujuan untuk melindungi
kreditur lain dari kreditur pemohon pailit yang mempunyai piutang lebih kecil daripada
piutang kreditur lain.189 Hal ini juga bertujuan untuk melindungi kelangsungan usaha debitur apabila aset debitur pailit jauh lebih besar dari nilai piutang kreditur pemohon pailit.
Oleh karena itu, kreditur lain dapat memohon kepada Hakim Mahkamah Agung melalui
upaya hukum kasasi agar putusan hakim pengadilan niaga yang telah mempailitkan debitur
tersebut dibatalkan. Pembatalan putusan pailit bertujuan untuk menghindari kerugian usaha
yang akan dialami debitur, karena kerugian yang akan dialami debitur juga akan berdampak
pada pelunasan utang-utang debitur kepada kreditur lain.
kepailitan, Medan 7 Desember 2001, kerjasama antara FH-UI, Pasca Sarjana USU dan University of South Carolina, Dalam Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia, Op. Cit., hal. 401
189
Sehubungan dengan kedudukan kreditur lain dalam mengajukan upaya hukum
kasasi pada perkara kepailitan maka perlu diperhatikan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata.
Pada prinsipnya Pasal 1132 KUHPerdata mengisyaratkan bahwa semua kreditur memiliki
hak yang sama atas harta kekayaan debitur. Harta kekayaan debitur adalah jaminan atas
utang debitur kepada semua krediturnya. Sehingga harta kekayaan debitur tidak dapat
dikuasai hanya oleh sebagian kreditur.
Sejalan dengan pemahaman atas ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata
tersebut maka dalam hukum kepailitan dikenal sebuah prinsip yang disebut dengan paritas creditorium.190 Prinsip paritas creditorium menentukan bahwa para kreditur baik separatis, preferen maupun konkuren memiliki hak yang sama terhadap seluruh harta kekayaan
debitur. Apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yang
mengharuskan adanya dua atau lebih kreditur lain dalam perkara kepailitan maka antara
dua atau lebih kreditur lain tersebut memiliki hak yang sama atas seluruh harta kekayaan
debitur. Dengan demikian, kedudukan antara kreditur pemohon pailit dengan kreditur lain
dalam hukum kepailitan adalah setara, karena pada dasarnya hukum kepailitan menganut
prinsip paritas creditorium.
Dalam perkara kepailitan pihak pemohon pailit tidak hanya kreditur tapi debitur
juga dapat mengajukan permohonan pailit atas dirinya sendiri. Sehingga kedudukan
kreditur lain terhadap debitur yang mengajukan permohonan pailit atas dirinya sendiri perlu
memperhatikan asas keseimbangan dan keadilan yang menjadi dasar dari UUKPKPU,
sebagaimana dituangkan dalam penjelasan UUKPKU.
190
Kedua asas tersebut memiliki makna bahwa ketentuan tentang kepailitan dalam
UUKPKPU dibuat untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak yang berkepentingan
secara seimbang, yaitu keseimbangan kepentingan antara debitur dengan dua atau lebih
kreditur lainnya. Maka pada satu sisi ketentuan dalam UUKPKPU dibuat untuk mencegah
penyalahgunaan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur.191 Dengan demikian, kedudukan kreditur lain dalam mengajukan upaya hukum kasasi terhadap kedudukan
debitur yang mengajukan pailit untuk dirinya sendiri juga adalah setara. Karena ketentuan
upaya hukum kasasi dapat diajukan oleh kreditur lain dapat mencegah penyalahgunaan
lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur.
Dengan demikian, kreditur lain memiliki kedudukan yang sama dengan pihak
pemohon pailit, baik kreditur pemohon pailit maupun debitur pemohon pailit atas dirinya
sendiri. Dengan adanya ketentuan upaya hukum kasasi ini, kreditur lain dapat membela dan
mempertahankan kepentingannya atas harta kekayaan debitur dihadapan pengadilan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU yang mengatakan bahwa kreditur
lain yang keberatan dengan putusan atas permohonan kepailitan debitur dapat mengajukan
keberatan melalui upaya hukum kasasi.
Kedudukan yang setara antara kreditur lain dan pihak pemohon pailit yaitu kreditur
pemohon pailit dan debitur pemohon pailit atas dirinya sendiri dalam ketentuan upaya
hukum kasasi oleh kreditur lain sesuai dengan konsep keadilan yang disampaikan oleh John
Rawls. Ketentuan upaya hukum kasasi yang dapat langsung digunakan oleh kreditur lain
dalam perkara kepailitan merupakan bentuk jaminan keadilan yang ingin diberikan oleh
191
UUKPKPU kepada semua pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan meskipun kreditur
lain bukanlah para pihak pada persidangan tingkat pertama. Ketentuan tersebut akan
memberikan kesetaraan kesempatan bagi kreditur lain untuk memperoleh keadilan
meskipun kedudukannya dalam perkara kepailitan berbeda dengan pihak pemohon pailit,
yang mana pihak pemohon pailit berkedudukan sebagai para pihak pada persidangan
BAB IV
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG DALAM UPAYA HUKUM KASASI YANG
DIAJUKAN KREDITUR LAIN PADA PERKARA KEPAILITAN
Peraturan kepailitan dibentuk sebagai sarana untuk menjamin kepastian hukum
penyelesaian masalah utang-piutang yang adil antara debitur dengan para krediturnya.
Namun kepastian hukum atas tujuan tersebut dapat tercapai, bukan hanya dibutuhkan
ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan tetapi juga dibutuhkan perwujudan
dari peraturan hukum tersebut dalam praktik hukum, yaitu penegakan peraturan hukum
melalui lembaga peradilan.
Sejalan dengan teori keadilan yang disampaikan oleh John Rawls yaitu keadilan
berpedoman pada keadilan yang terdapat pada peraturan hukum dan lembaga
pelaksananya.192 Maka hal yang sama juga berlaku bagi hukum kepailitan dalam memberi keadilan bagi kreditur lain dalam mengajukan upaya hukum kasasi. Keadilan yang
seimbang bagi kedudukan kreditur lain dengan pihak pemohon pailit dalam perkara
kepailitan dapat tercapai dengan adanya aturan tentang upaya hukum kasasi yang dapat
diajukan oleh kreditur lain sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU dan
juga harus ada jaminan penegakan hukum dari lembaga pelaksananya yaitu lembaga
peradilan di tingkat pengadilan niaga dan Mahkamah Agung.
192
Pelaksanaan kepastian hukum atas tegaknya asas keadilan yang seimbang bagi
kreditur lain dalam mengajukan upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan akan dilihat
penerapannya dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 27K/N/1999, Putusan
Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor
331K/Pdt.Sus/2012.
A. Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 27 K/N/1999
Kasus ini terjadi pada tahun 1999 antara Ssangyong Engineering Construction
(SEC) dengan PT. Citra Jimbaran Indah Hotel (CJIH). SEC adalah suatu badan hukum
yang didirikan dan tunduk pada hukum Negara Korea Selatan dengan kantor perwakilannya
berada di Gedung Bursa Efek Jakarta. CJIH adalah suatu badan hukum yang didirikan dan
tunduk pada hukum Negara Republik Indonesia yang beralamat di Kompleks Delta
Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta.
Hubungan hukum antara CJIH dan SEC berawal dari kesepakatan diantara mereka
dalam perjanjian konstruksi yang dibuat pada tanggal 28 Oktober 1991. Berdasarkan
perjanjian tersebut CJIH menunjuk SEC sebagai perusahaan konstruksi untuk
melaksanakan pembangunan sebuah hotel atau suatu komplek (resort) hotel di pulau Bali yang dikenal dengan nama ''Bali Inter Continental Resort'' dan beralamat di Jalan Uluwatu
Nomor 45 Jimbaran, Bali. Proyek pembangunan hotel tersebut bernilai US$ 75,558,774.50
dan nilai tersebut sudah termasuk dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPn). Namun akhir dari
permohonan pailit atas CJIH ke pengadilan niaga. Kreditur lain yang keberatan dengan
permohonan pailit CJIH yang diajukan oleh SEC adalah PT. BBD dan PT. BNI Tbk yang
berkedudukan sebagai kreditur separatis yang memiliki usaha pada bidang perbankan.
1. Duduk Perkara
Pada tanggal 29 Juni 1999, SEC mendaftarkan permohonan pailit terhadap CJIH ke
Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan register
perkara Nomor 41/PAILIT/1999/PN.NIAGA/JKT.PST. SEC menilai CJIH tidak membayar
lunas nilai proyek yang timbul dari perjanjian konstruksi tanggal 28 Oktober 1991. Padahal
SEC telah menyelesaikan pembangunan seluruh hotel. Hal ini dibuktikan dengan
dikeluarkannya sertifikat penyelesaian oleh CJIH pada tanggal 3 November 1994. Sertifikat
tersebut menyatakan bahwa segala kewajiban SEC kepada CJIH sehubungan dengan
pembangunan hotel telah dinyatakan selesai dan diterima dengan baik pada tanggal 25
Oktober 1994. Dengan demikian CJIH memiliki kewajiban untuk melunasi seluruh
pembayaran jasa konstruksi kepada SEC.
Namun CJIH tidak melunasi seluruh kewajiban pembayaran sehingga masih
terdapat sisa kewajiban pembayaran yang terutang dan harus dibayar kepada SEC sejumlah
US$ 3,920,371.00. Sejak tahun 1995 hingga tahun 1998, SEC telah berupaya menagih sisa
kewajiban pembayaran terutang yang belum dibayar oleh CJIH. SEC juga telah menegur
dan/atau memberikan somasi kepada CJIH sebanyak tiga kali.
Pada tahun 1998 SEC memberikan keringanan kepada CJIH untuk melunasi sisa
keringanan pembayaran tersebut dituangkan dalam Payment Agreement. Payment Agreement memberi keringanan kepada CJIH berupa :
a. Sisa kewajiban pembayaran terutang berikut bunga sejumlah US$ 7,362,610.84
diberi keringanan dengan penghapusan bunga sehingga jumlah sisa kewajiban
pembayaran terutang yang masih harus dibayar adalah sebesar US$ 3,920,371.00
b. Sisa kewajiban pembayaran terutang harus dibayar dalam sebelas kali angsuran.
Apabila CJIH tidak melaksanakan pembayaran sebagaimana yang telah diatur
dalam Payment Agreement maka penghapusan bunga tidak berlaku sehingga nilai terutang yang harus dibayar oleh CJIH adalah US$ 7,362,610.84
Namun CJIH hanya membayar sebanyak lima kali angsuran sebesar US$
1,500,000.00. Oleh karena itu CJIH memiliki kewajiban yang harus dilunasi senilai :
Utang tanpa pemotongan bunga US$ 7,362,610.84
Pembayaran lima kali angsuran US$ 1,500,000.00 -
Sisa utang US$ 5,862,610.84
Bunga 6% per tahun US$ 117,252.22
Maka total sisa utang yang harus dibayar CJIH kepada SEC menjadi senilai
US$5,979,863.06. Hal ini dikarenakan CJIH tidak melaksanakan pembayaran sebagaimana
yang telah diatur dalam Payment Agreement maka penghapusan bunga tidak berlaku sehingga nilai terutang yang harus dibayar oleh CJIH adalah tetap berjumlah US$
7,362,610.84 yang kemudian dikurangi total angsuran yang telah dibayar oleh CJIH dan
Pada tanggal 18 Juni 1999, akhirnya SEC mengirimkan surat peringatan terakhir
kepada CJIH sebelum mendaftarkan permohonan kepailitan ke pengadilan niaga. SEC
menilai telah memberi kelonggaran kepada CJIH untuk melunasi seluruh kewajibannya dan
telah berkali-kali memberikan surat peringatan. Maka jalan terakhir yang diambil oleh SEC
adalah mengajukan permohonan kepailitan ke pengadilan niaga.
SEC menilai permohonan pailit yang diajukannya atas CJIH ke pengadilan niaga
telah memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUK yaitu :
a. Terpenuhinya syarat tidak membayar sedikitnya satu utang berupa sisa kewajiban pembayaran terutang sejumlah USD$ 5,979,863.06 yang belum dilunasi CJIH
b. Terpenuhinya syarat telah jatuh waktu dan dapat ditagih ditandai dengan tidak dilunasinya pembayaran secara angsuran sebagaimana yang telah disepakati dalam
Payment Agreement
c. Terpenuhinya syarat mempunyai dua atau lebih kreditur dengan adanya utang-utang CJIH kepada pihak lain yaitu PT. BBD dan PT. BNI Tbk
Berdasarkan hal-hal tersebut, SEC memohon kepada Pengadilan Niaga Jakarta pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyatakan CJIH dalam keadaan pailit. Kemudian
Pengadilan Niaga Jakarta menimbang bahwa dalam konsideran UUK dijelaskan bahwa
UUK dimaksudkan untuk menyelesaikan utang-piutang perusahaan. Oleh karena itu utang
dalam konteks kepailitan haruslah diartikan pada utang yang bersumber pada hubungan
hukum pinjam meminjam uang dan tidak meliputi bentuk wanprestasi lain yang tidak
bersumber pada konstruksi hukum pinjam meminjam uang.
Sedangkan utang yang timbul antara SEC dan CJIH berasal dari hubungan hukum
perjanjian konstruksi tanggal 28 Oktober 1991. Perjanjian konstruksi ini kemudian
untuk membayar harga pembangunan hotel tersebut kepada SEC sebagai kreditur. Dan hal
ini tidak termasuk utang yang bersumber pada hubungan hukum pinjam meminjam uang.
Maka berdasarkan pertimbangan hukumnya, pada tanggal 26 Juli 1999 Pengadilan Niaga
Jakarta mengucapkan hasil putusan dalam rapat permusyawaratan tanggal 23 Juli 1999
yaitu menolak permohonan pailit SEC atas CJIH.
2. Dasar Permohonan Upaya Hukum Kasasi
Pada tanggal 2 Agustus 1999, SEC mengajukan upaya hukum kasasi karena
keberatan dengan putusan Pengadilan Niaga Jakarta yang menolak memberikan putusan
pailit kepada CJIH. SEC berpendapat bahwa Pengadilan Niaga Jakarta telah keliru dalam
memberikan pendapatnya yang menyatakan bahwa hubungan hukum yang timbul antara
CJIH dengan SEC adalah hubungan hukum perjanjian konstruksi dan bukan hubungan
hukum pinjam meminjam uang. Sehingga utang yang timbul bukan utang yang dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) UUK.
Padahal antara CJIH dan SEC telah terikat pada suatu perjanjian yang berisi prestasi
yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Meskipun perjanjian tersebut melahirkan
hubungan hukum dalam bentuk pemborongan pekerjaan jasa konstruksi hotel, namun CJIH
sebagai pemilik pekerjaan tidak memenuhi prestasinya yaitu kewajiban membayar
sejumlah uang sesuai dengan yang diperjanjikan. Padahal SEC telah melaksanakan
prestasinya yaitu pemborongan pekerjaan jasa konstruksi hotel. Oleh karena itu kewajiban
CJIH untuk membayar hasil kerja pemborongan pekerjaan jasa konstruksi hotel yang telah
3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung
Mahkamah Agung pada tingkat kasasi ini memberi pertimbangan bahwa utang
dalam pengertian umum adalah janji absolut untuk membayar sejumlah utang tertentu pada
waktu yang ditentukan atau dapat juga diartikan sebagai suatu kewajiban seseorang untuk
membayar sejumlah uang kepada orang lain. Dan jika dikaitkan dengan pengertian dalam
hukum kontrak maka utang adalah setiap kewajiban untuk membayar sejumlah uang tanpa
mempersoalkan apakah kewajiban itu timbul karena perjanjian pinjam meminjam uang
secara tunai atau yang lainnya. Tetapi menekankan kepada segala bentuk kewajiban
pembayaran uang oleh salah satu pihak kepada pihak lain.
Dengan demikian kewajiban CJIH membayar sejumlah uang kepada SEC sebagai
sisa pembayaran pekerjaan pembangunan hotel atas dasar perjanjian konstruksi tanggal 28
Oktober 1991 adalah utang yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK. Maka pada
tanggal 14 September 1999 Mahkamah Agung memutuskan untuk membatalkan putusan
Pengadilan Niaga Jakarta dan menyatakan CJIH dalam keadaan pailit karena telah
terpenuhinya syarat-syarat yaitu terdapat utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
serta adanya dua kreditur atau lebih yaitu PT BBD dan PT BNI Tbk.
Pada tanggal 8 Oktober 1999 CJIH mengajukan upaya hukum peninjauan kembali
karena keberatan dengan putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi yang telah
berkekuatan hukum tetap. Adapun alasan CJIH mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali adalah :
a. Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung telah membuat kesalahan berat karena
waktu tiga puluh hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Dengan
demikian Majelis Hakim Mahkamah Agung tidak mengindahkan kerangka waktu
yang telah diatur dalam Pasal 10 ayat (3) UUK. Dan putusan diberikan kepada para
pihak telah lewat dari kerangka waktu yang seharusnya yaitu dalam waktu 2 x 24
jam sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (5) UUK. Oleh karena itu, putusan
Majelis Hakim Kasasi tersebut harus dinyatakan batal demi hukum
b. Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung telah keliru menafsirkan pengertian utang
secara luas dengan menafsirkan utang adalah tidak hanya janji absolut untuk
membayar sejumlah uang tertentu pada waktu yang ditentukan tetapi juga sebagai
kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada orang lain. Dan penggunaan
Pasal 237 ayat (2) UUK tentang gaji serta biaya lain yang timbul dalam hubungan
kerja menjadi utang sebagai acuan penafsiran utang adalah penafsiran yang salah
yang akhirnya menyesatkan arti utang itu sendiri, sehingga harus dinyatakan tidak
dapat diterima
c. Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung telah salah menghubungkan bukti
sehingga CJIH memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit. Padahal bukti pernyataan
CJIH tentang utangnya kepada PT. BBD dan PT. BNI Tbk tertanggal 23 Februari
1999 serta pengumuman daftar debitur PT. BNI pada surat kabar Bisnis Indonesia
tanggal 1 Juni 1999 bertujuan untuk memenuhi syarat Pasal 1 ayat (1) UUK.
Sedangkan bukti telah terjadi restrukturisasi utang antara CJIH dengan PT. BBD
dan PT. BNI Tbk bertujuan untuk membuktikan bahwa CJIH adalah debitur yang
PT. BNI Tbk dalam hal ini berkedudukan sebagai kreditur lain yang keberatan
terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh SEC
Majelis Hakim Kasasi dinilai tidak memperhatikan kepentingan para pihak dengan
seimbang. Padahal penjelasan umum UUK telah memberikan penjelasan bahwa masalah
ketidakmampuan dunia usaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka kepada
kreditur telah melahirkan akibat yang berantai. Sehingga tidak hanya memberi pengaruh
terhadap kelangsungan usaha dan segi-segi ekonomi tetapi juga memberi pengaruh
terhadap masalah ketenagakerjaan dan aspek-aspek sosial lainnya. Hal-hal ini jauh lebih
perlu untuk diselesaikan dan diperhatikan secara adil. Sehingga penyelesaian masalah
kepailitan harus memperhatikan kepentingan debitur ataupun kepentingan para kreditur
secara seimbang.
Oleh karena itu Majelis Hakim Kasasi dinilai sama sekali tidak mempertimbangkan
kepentingan para kreditur lain yaitu PT. BBD dan PT. BNI Tbk. Padahal PT. BBD dan PT.
BNI Tbk telah mengajukan keberatan atas permohonan pailit terhadap CJIH. Selain itu, PT.
BBD dan PT. BNI Tbk mempunyai piutang yang lebih besar daripada piutang SEC yaitu
berjumlah lebih kurang Rp 610.000.000.000.
Selanjutnya Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali ini berpendapat
bahwa alasan keberatan pertama dan kedua yang diajukan oleh CJIH tidak dapat
dibenarkan. Mahkamah Agung berpendapat tidak terdapat kesalahan berat terkait
penerapan hukum pada Majelis Hakim Kasasi dan pengertian utang yang menjadi
Namun Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali membenarkan alasan
keberatan ketiga yang diajukan oleh CJIH. Dengan pertimbangan bahwa bunyi penjelasan
umum UUK tidak dapat diabaikan sehingga penyelesaian masalah kepailitan harus
dilakukan secara adil dalam arti memperhatikan kepentingan debitur atau kepentingan para
kreditur secara seimbang.
Keberatan atas kepailitan CJIH yang disampaikan oleh kreditur lain yaitu PT. BBD
dan PT. BNI Tbk seharusnya juga diperhatikan oleh Hakim Kasasi. Apalagi antara PT.
BBD dan PT. BNI Tbk dengan CJIH telah dilakukan restrukturisasi utang. Hal ini
menunjukkan PT. BBD dan PT. BNI Tbk masih percaya dengan fundamental usaha CJIH.
Sehingga PT. BBD dan PT. BNI Tbk lebih memilih untuk mempertahankan kelangsungan
usaha CJIH. Selain itu, PT. BBD dan PT. BNI Tbk memiliki piutang kepada CJIH lebih
kurang Rp 610.000.000.000 dan jumlah tersebut adalah jumlah yang jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan piutang SEC yang berjumlah US$ 5,979,863,06. Mahkamah
Agung juga berpendapat bahwa berdasarkan perjanjian konstruksi antara CJIH dengan
SEC, diketahui bahwa kewajiban CJIH semula adalah US$ 75,558,774.50, sedangkan sisa
utang yang belum dibayar adalah US$ 5,979,863.06. Hal ini menunjukkan CJIH telah
memenuhi sebagian besar kewajibannya dan selayaknya diberi kesempatan melunasi sisa
kewajibannya secara wajar.
Selain itu, CJIH mempunyai usaha hotel berbintang lima di Bali yang saat terjadi
krisis ekonomi, relatif tidak terpengaruh dan sebaliknya menuai keuntungan dari selisih
nilai tukar antara rupiah dengan dollar Amerika Serikat. Sehingga potensi dan prospek
mempunyai potensi dan prospek sehingga dapat berkembang, seharusnya diberi
kesempatan untuk hidup dan berkembang. Oleh karena itu penjatuhan pailit merupakan
ultimum remedium dan CJIH bukan merupakan a debitor is hopelessly in debt.
Akhirnya pada tanggal 1 November 1999 atas dasar pertimbangan-pertimbangan
tersebut Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali CJIH serta
membatalkan putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi dan putusan Pengadilan Niaga
Jakarta . Dengan demikian kepailitan CJIH dibatalkan dan dapat kembali memiliki
kewenangan penuh untuk mengatur harta kekayaannya.
B. Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007
Kasus ini terjadi antara para karyawan PT. Dirgantara Indonesia Persero (PT. DI)
yang telah diberhentikan (eks karyawan PT. DI) dengan PT. DI. Eks karyawan PT. DI
menuntut kompensasi pensiun yang menjadi kewajiban PT. DI yang belum dipenuhi oleh
PT. DI. Akhirnya eks karyawan PT. DI mengajukan permohonan pailit terhadap PT. DI ke
Pengadilan Niaga Jakarta. Sehingga pada kasus ini PT. DI berkedudukan sebagai debitur
yang memiliki utang kepada eks karyawan PT. DI. Kreditur lain dalam perkara ini adalah
PT. Perusahaan Pengelolaan Aset Persero (PT. PPA) yang berkedudukan sebagai kreditur
1. Duduk Perkara
Pada tahun 2004, eks karyawan PT. DI yaitu Heryono, Nugroho dan Sayudi
(selanjutnya disebut Heryono dkk) adalah termasuk dari 6.561 orang karyawan PT. DI yang
diputuskan hubungan kerjanya oleh PT. DI. Kemudian Putusan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat (Putusan P4P) Nomor 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal
29 Januari 2004 memutuskan PT. DI wajib untuk memberikan kompensasi pensiun
berdasarkan besarnya upah karyawan terakhir beserta jaminan hari tua. Namun Heryono
dkk belum menerima kompensasi pensiun yang menjadi kewajiban PT. DI tersebut.
Pada tanggal 5 Oktober 2004 Departemen Tenaga kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia telah menegur PT. DI dengan surat No.B.169/DJPPK/IX/2004 untuk membayar
dana pensiun dalam waktu paling lambat 30 hari setelah menerima surat tersebut. Dan
tanggal 14 Juni 2005 Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah mengeluarkan
peringatan dengan penetapan No.079/2005.EKS. Namun PT. DI masih belum memenuhi
kewajibannya hingga akhirnya Heryono dkk mengajukan permohonan ke Pengadilan Niaga
Jakarta untuk memberikan putusan pailit terhadap PT. DI.
Heryono dkk berpendapat syarat untuk mengajukan pailit terhadap PT. DI telah
terpenuhi karena telah terbukti adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih yaitu
utang kompensasi dana pensiun yang telah diberi peringatan untuk dibayar namun belum
dipenuhi oleh PT. DI. Perhitungan kompensasi dana pensiun yang menjadi kewajiban PT.
DI yaitu Heryono sebesar Rp 83.347.862,82, Nugroho sebesar Rp 69.258.079,22 dan
Bukti harus ada syarat dua atau lebih kreditur lain juga telah terpenuhi dengan
adanya Heryono dkk sebagai kreditur yang mengajukan permohonan pailit dan para
karyawan lainnya yang telah diberhentikan dan juga belum menerima kompensasi dana
pensiun yang berjumlah 3.500 orang dengan total piutang lebih kurang Rp
200.000.000.000.
Pada tanggal 4 September 2007, Pengadilan Niaga Jakarta memberikan putusan
Nomor : 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst yang isinya berbunyi mengabulkan permohonan
Heryono dkk dan menyatakan PT. DI dalam keadaan pailit. Hakim berpendapat bahwa
Heryono dkk memiliki kapasitas hukum untuk mengajukan permohonan pailit atas PT. DI
karena PT. DI tidak termasuk dalam kategori sebagai BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham
sebagaimana yang dimaksudkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) UUKPKPU.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yaitu adanya utang yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih serta adanya dua atau lebih kreditur lainnya juga telah terpenuhi. Adanya
utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih ini dibuktikan dengan adanya Putusan P4P
yang berisi kewajiban PT. DI untuk membayar kompensasi pensiun eks karyawannya.
Kompensasi pensiun yang belum dibayar adalah bentuk utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih. Syarat adanya dua atau lebih kreditur lain juga telah terpenuhi. Hal ini
dibuktikan dengan adanya Heryono dkk yang jumlahnya lebih dari dua kreditur.
Hakim berpendapat bahwa bukti dari syarat permohonan pailit telah terbukti secara
sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU yang mengatur bahwa