BAB V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan
Pada akhirnya kerjasama maritim antara Indonesia dan China pun menjadi
tidak dapat berjalan dengan baik apabila kedua negara tidak memiliki titik temu yang jelas berkaitan dengan peririsan atau tumpang tindih yang terjadi akibat klaim sepihak Pemerintah China berdasarkan 9 Dash Line tersebut. Karena sampai saat ini, Indonesia masih menolak untuk mengakui klaim 9 Dash Line
yang tidak sesuai hukum laut internasional dan sehubungan dengan hal tersebut
maka Pemerintah Indonesia juga akan terus menindak dengan tegas setiap kapal dari China maupun dari negara manapun yang masuk dengan illegal dan mencuri
di laut yang berada di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia di Laut Natuna. Di lain pihak, sampai saat ini Pemerintah China pun bersikukuh bahwa nelayannya
berada dalam traditional fishing ground sehingga sah-sah saja untuk beraktifitas di utara Natuna. Dengan keadaan yang masih belum terselesaikan ini, mustahil bagi kedua negara untuk membentuk sebuah kerjasama maritim yang dapat saling menguntungkan. Penempatan armada militer di wilayah Laut China Selatan dalam skala besar juga secara tidak langsung akan menimbulkan ancaman bagi negara-negara di sekitar Laut China Selatan yang mana salah satunya adalah Indonesia.
Meskipun Indonesia tidak termasuk negara claimant, namun tetap saja penempatan armada laut dalam jumlah besar di wilayah yang sebenarnya bukan
miliknya jika mengacu pada UNCLOS 1982 adalah sebuah ancaman bagi keamanan Indonesia. Pemerintah Indonesia patut untuk merasa khawatir, karena
dalam beberapa kasus yang terjadi di Laut Natuna, nampak pula kehadiran coast-guard bersenjata Pemerintah China mengawal nelayan-nelayannya dan hal tersebut jelas merupakan bentuk ancaman nyata bagi kedaulatan negara.
kongkrit sudah dilaksanakan dan dicanangkan dalam rangka mencegah
insiden-insiden serupa terulang lagi di wilayah yang termasuk dalam kawasan Laut China Selatan tersebut. Hal ini sudah tepat mengingat ASEAN sebagai organisasi
regional yang menaungi negara-negara dikawasan Asia Tenggara pun tidak dapat berbuat banyak dalam hal yang berkaitan dengan masalah di Laut China Selatan ini, hal ini diakibatkan sulitnya membangun persatuan ASEAN yang sudah terlanjur terpecah oleh kepentingan masing-masing negaranya dalam menyikapi hubungannya dengan Republik Rakyat China. Dalam hal ini, Indonesia pun akan menjadi salah satu negara yang sulit untuk bersikap lebih tegas karena saat ini
Pemerintah China memberikan banyak bantuan ekonomi bagi Indonesia dan berbagai proyek yang sedang di kerjakan Pemerintah Indonesia maka dari itu
masalah di laut seringkali dikesampingkan demi keberlanjutan kerjasama yang sudah terjalin. Namun hal itu pula yang menjadikan posisi Indonesia dan China
menjadi stalemate di dalam menyikapi masalah di perairan Natuna ini. Disatu sisi kedua negara memiliki keadaan saling membutuhkan satu sama lain. Pemerintah Indonesia membutuhkan China sebagai pemberi modal untuk peningkatan perekonomian dan pembangunan infrastruktur, sedangkan Pemerintah China membutuhkan Indonesia sebagai pasar yang sangat potensial bagi para Investornya. Presiden Joko Widodo bersama rombongan menteri bertemu dengan
1.000 investor China dalam rangka forum G-20 di Shanghai untuk menawarkan para Investor negeri tirai bamboo tersebut untuk berinvestasi di Indonesia.1
Namun disisi yang lain, sampai saat ini kedua negara jelas mempertahankan klaimnya masing-masing mengenai batas wilayahnya. Mengingat hubungan saling
ketergantungan kedua negara tersebut, nampaknya tidak terdapat keuntungan bagi Indonesia dan Republik Rakyat China untuk meningkatkan eskalasi konflik ketingkat yang lebih memburuk lagi, namun sebaliknya nampaknya kerjasama
yang berupaya mensinergikan Poros Maritim Dunia dengan Jalur Sutra Maritim abad 21 akan berjalan ditempat karena sampai saat ini, kedua negara baik
1
Indonesia maupun Republik Rakyat China masih bersikukuh terhadap klaimnya
masing- masing dan tidak berhasil menemukan jalan keluar terbaik.
Untuk saat ini, Pemerintah Indonesia harus pintar-pintar mendayung diantara dua kekuatan besar yang hadir di Laut China Selatan yaitu Republik Rakyat China dan Amerika Serikat disaat ketegangan di Laut China Selatan terus
meningkat seperti saat ini. Jika Pemerintah Indonesia salah mengambil sikap berkaitan dengan persinggungan yang terjadi di Laut Natuna ini, bukan tidak
mungkin Indonesia akan terjebak dalam proxy dan dimanfaatkan oleh negara-negara besar tersebut untuk kepentingan negara-negaranya. Peningkatan kekuatan militer
di Laut Natuna memang sebuah langkah strategis yang baik dalam rangka penegakan kedaulatan wilayah Indonesia, namun penting bagi Indonesia untuk tetap mematuhi koridor-koridor hukum internasional dalam setiap tindakan
penegakan kedaulatan terhadap kapal asing, agar tidak sampai memperkeruh keadaan yang sudah terjadi di Laut China Selatan. Kerjasama maritim dengan
China untuk saat ini memang masih sebuah keniscayaan bagi Indonesia, namun bukan tidak mungkin kedepan hal tersebut akan terlaksana. Maka dari itu, sampai
momentum yang tepat itu tiba, Indonesia sebaiknya berfokus pada kerjasama-kerjasama sektor lain yang bisa mengembangkan potensi alam dan perekonomian Indonesia kearah yang lebih baik lagi. Menjaga status quo dengan Republik Rakyat China memang bukan merupakan solusi yang baik bagi wibawa Pemerintah Indonesia, namun menjadi sangat penting karena untuk saat ini, kekuatan perekonomian dunia berada di negara Republik Rakyat China. Maka
dari itu, demi kepentingan nasional yang lebih besar, hubungan dengan China mesti tetap dipelihara sambil tidak lupa terus meningkatkan kemampuan
pertahanan nasional dan kewaspadaan terhadap berbagai dinamika yang mungkin akan terjadi kedepannya di Laut Natuna.
Penegakan kedaulatan memang sebuah hal penting, namun kepentingan
jajarannya di Laut Natuna paling tidak sudah memberikan pesan nyata bahwa
Pemerintah Indonesia tidak akan tinggal diam atas berbagai provokasi yang terjadi di Laut Natuna dan semestinya pesan tersebut akan menjadi pertimbangan pula
bagi Pemerintah China yang memiliki kepentingan yang cukup besar di Indonesia berkaitan dengan pangsa pasar produk-produk dari negaranya. Apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia demi menjaga wibawa dan martabat negara Indonesia di mata Internasional sudah cukup baik, sekarang tinggal bagaimana mengelola status quo yang sudah terbangun tersebut agar tensi ketegangan yang ada tidak sampai meningkat.Dengan keadaan stalemate antara Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah China di Laut Natuna ini, tentunya akan berdampak buruk bagi kerjasama maritim yang telah dirintis kedua negara. Namun, demi
kepentingan yang lebih besar dari hubungan kedua negara tentunya akan menjadi bijak bagi Pemerintah China untuk tidak melanjutkan provokasinya di Laut
Natuna dengan memasukkan nelayan-nelayannya ke wilayah tersebut atas dasar
5.2. Saran
Demi menjaga kestabilan kawasan dan tetap terjaganya perdamaian dunia, Pemerintah Indonesia sudah selayaknya mendorong negara-negara di dunia internasional untuk menaati hukum internasional yang sudah ditaati bersama. Apa yang dilakukan oleh Republik Rakyat China pada saat ini di Laut China Selatan
yang pada akhirnya berimbas pula terhadap kedaulatan Indonesia di Natuna sesungguhnya hanya merupakan pengulangan dari pelanggaran-pelanggaran
terhadap hukum internasional yang sudah pernah dilakukan banyak negara-negara besar sebelumnya. Jika hal ini terus terjadi maka lama kelamaan hukum
internasional akan kehilangan fungsinya dan hanya akan menjadi kesepakatan seremonial tanpa adanya kemampuan untuk mencegah dunia internasional menjadi anarkis. Pemerintah Indonesia sebaiknya mengupayakan agar
kedepannya dibuat sebuah aturan mengenai skema mengenai sanksi yang jelas dan mengikat terhadap negara-negara yang melanggar hukum internasional agar
kejadian-kejadian semacam ini tidak sampai terulang lagi.
Selanjutnya, Pemerintah Indonesia untuk saat ini harus mengambil sikap yang tegas dan mendesak Pemerintah China untuk menghargai Zona Ekonomi
Ekslusif negara lainnya, karena Republik Rakyat China merupakan salah satu
negara yang meratifikasi UNCLOS 98. Maka dari itu, dengan melanggar hukum laut internasional sama saja Pemerintah China telah melanggar konstitusi nasional negaranya. Kerjasama maritim antara dua gagasan besar di laut yaitu Poros Maritim Dunia dan Jalur Sutra Maritim abad 21 merupakan hal yang luar biasa apabila dapat direalisasikan dengan baik. China yang pertumbuhan ekonomi
sedang tumbuh pesat dapat berinvestasi di Indonesia yang memiliki garis pantai terbesar kedua di dunia dengan potensi lautnya yang luar biasa, sedangkan
Indonesia dapat membangun infrastrukturnya dengan baik apabila mendapat pendanaan yang memadai dari China. Maka dari itu, sengketa yang terjadi
Belajar dari peristiwa yang terjadi di Laut Natuna dimana kapal nelayan
China ternyata dikawal oleh Coast-Guard China yang berukuran lebih besar dan lebih canggih dari kapal Angkatan Laut Indonesia, sudah saatnya bagi Indonesia
untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya. Peningkatan kemampuan pertahanan merupakan hal yang penting dalam rangka penegakan kedaulatan, dan saat ini menjadi semakin masuk akal jika melihat perkembangan militer Republik Rakyat China yang semakin pesat dan sikapnya yang tidak bersahabat dengan negara-negara yang tidak sepandangan dengannya. Dengan wilayah Laut yang kuat, maka dibutuhkan juga kemampuan pertahanan laut yang mumpuni baik
secara kualitas maupun kuantitas. Wacana pembangunan Armada Laut Ketiga merupakan langkah nyata yang cukup baik dalam rangka penegakan kedaulatan
kedepannya.
Kerjasama maritim dengan China untuk saat ini sebaiknya ditunda sampai Pemerintah China menghentikan sikap agressifnya di Laut China Selatan dan Laut
Natuna. Tanpa kepatuhan Pemerintah China terhadap UNCLOS 1982 yang notabene merupakan Hukum Laut Internasional maka tidak terdapat payung
hukum internasional yang dapat memberikan jaminan keamanan kepada Indonesia. Dan perlu di ingat bahwa perjanjian internasional yang ditandatangi banyak negara termasuk negaranya seperti UNCLOS 1982 saja bisa dilanggar dengan begitu mudahnya oleh China, lantas bagaimana dengan kesepakatan laut yang hanya bersifat bilateral. Meskipun begitu, bukan berarti Pemerintah Indonesia harus bersikap bermusuhan dengan Pemerintah China. Peningkatan
kemampuan pertahanan penting dalam rangka penegakan kedaulatan wilayah, namun masalah persengketaan di Natuna sebaiknya dan sebisa mungkin
diselesaikan secara diplomatis antar Pemerintahan dan Kementrian-kementrian terkait, mengingat adanya hubungan yang saling membutuhkan antar kedua
negara. Penelitian selanjutnya dapat melanjutkan penelitian ini dengan mengambil fokus mengenai dampak kebijakan Joko Widodo yang tegas terhadap klaim RRC di Natuna bagi kesuksesan dan keberlangsungan investasi asal China di Indonesia.