• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Penggunaan Antibakteri pada Pasien Diare Di Ruang Perawatan Anak RSUD Kota Langsa Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Penggunaan Antibakteri pada Pasien Diare Di Ruang Perawatan Anak RSUD Kota Langsa Tahun 2014"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diare

2.1.1. Definisi Diare

Diare adalah buang air besar yang sering dan cair, biasanya paling tidak tiga kali dalam 24 jam. Namun, lebih penting konsistensi tinja dari pada jumlah. Seringkali, buang air besar yang berbentuk cair bukanlah diare. Hanya bayi yang diberi ASI sering buang air besar, buang air besar yang “pucat” juga bukan diare (WHO, 2005).

Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan/tanpa darah/atau lendir (Suraatmaja, 2007). Hippocrates mendefinisikan diare sebagai pengeluaran tinja yang tidak normal dan cair. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Anak dikatakan diare bila frekuensinya lebih dari 3 kali (Hassan dan Alatas, 2005). Diare merupakan buang air besar dengan konsistensi lebih encer/cair dari biasanya, ≥3 kali per hari, dapat/tidak disertai dengan lendir/darah yang timbul secara mendadak atau berlangsung kurang dari 2 minggu (Garna, dkk 2005).

2.1.2.Klasifikasi Diare

(2)

a. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari, sedangkanmenurut World Gastroenterology Organization Global Guidelines (2005) diare akut di definisikan sebagai bentuk tinjayang cair

dan lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang dari 14 hari, dan akan mereda tanpa terapi yang spesifik jika dehidrasi tidak terjadi.

b. Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari. 2. Mekanisme patofisiologi

a. Osmolalitas intraluminal yang meninggi, disebut diare sekretorik. b. Sekresi cairan dan elektrolit meninggi.

c. Malabsorbsi asam empedu.

d. Defek sistem pertukaran anion atau transport elektrolit aktif di enterosit. e. Motilitas dan waktu transport usus abnormal.

f. Gangguan permeabilitas usus.

g. Inflamasi dinding usus disebut diare inflamatorik. h. Infeksi dinding usus.

3. Ada tidaknya infeksi

a. Diare spesifik, yaitu diare yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau parasit.

b. Diare non spesifik, yaitu diare yang disebabkan oleh makanan, minuman, stres dan lainnya.

2.1.3.Etiologi Diare

Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare

(3)

bulan-2 tahun. Sebagian besar pasien yang dirawat inap di rumah sakit akibat infeksi rotavirus. Salmonella, Shigella dan Campylobacter merupakan bakteri pathogen yang juga paling sering menyebabkan diare. Mikroorganisme Giardia lambliadan Cryptosporodium merupakan parasit yang paling sering menimbulkan diare

infeksi akut. Selain Rotavirus, telah ditemukan juga virus baru yaitu Norwalk virus. Virus ini lebih banyak pada kasus orang dewasa dibandingkan anak- anak

(Suharyono, 2008). 2.1.4.Patogenesis

Mekanisme yang menyebabkan timbulnya diare adalah gangguan osmotik, gangguan sekresi, dan gangguan motilitas usus. Pada diare akut, mikroorganisme masuk ke dalam saluran cerna, kemudian mikroorganisme tersebut berkembang biak. Setelah berhasil melewati asam lambung, mikroorganisme membentuk toksin (endotoksin), lalu terjadi rangsangan pada mukosa usus yang menyebabkan terjadinya hiperperistaltik dan sekresi cairan tubuh yang mengakibatkan terjadinya diare (Suraatmaja, 2007).

Pada diare kronis, jasad renik masuk ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung. Jasad renik tersebut berkembang biak di dalam usus halus dan mengeluarkan toksin (toksin diaregenik) sehingga mengakibatkan hipersekresi dan selanjutnya akan menimbulkan diare (Hasan dan Alatas, 2005). 2.1.5. Faktor Risiko

(4)

sesudah buang air besar serta tidak membuang tinja dengan benar. Tidak memberi ASI secara penuh 4-6 bulan pertama kehidupan bayi mempunyai risiko untuk menderita diare lebih besar, ini akibat kurangnya pengetahuan masyarakat khususnya ibu tentang diare (Adisasmito, 2007).

Diare merupakan penyebab utama malnutrisi. Setiap episode diare dapat menyebabkan kehilangan berat badan. Semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan semakin berat diare yang dideritanya (Suharyono,2008). Ada 2 masalah yang berbahaya dari diare yaitu kematian dan malnutrisi. Diare dapat menyebabkan malnutrisi dan membuat lebih buruk lagi karena pada diare tubuh akan kehilangan nutrisi, anak- anak dengan diare mungkin merasa tidak lapar serta ibu tidak memberi makan pada anak ketika mengalami diare (WHO, 2005). 2.1.6. Penatalaksanaan

Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun program LINTAS DIARE yaitu:

1. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah 2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut 3. Teruskan pemberian ASI dan Makanan 4. Antibiotik Selektif

(5)

2.1.7. Pemberian Antibiotik Hanya Atas Indikasi

Antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotik hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera (Kemenkes RI, 2011)

2.2 Antibakteri

2.2.1 Definisi Antibakteri

Antibakteri ialah suatu bahan kimia yang dikeluarkan oleh jasad renik atau hasil sintesis atau semisintetis yang mempunyai struktur yang sama dan zat ini dapat merintangi atau memusnahkan jasad renik lainnya (Wijaya, 2010). Istilah antibiotik sering digunakan dalam arti luas dan dengan demikian tidak terbatas pada hanya obat-obatan antibakteri yang dihasilkan fungi dan kuman melainkan juga untuk obat-obat sintetis seperti sulfonamid, INH, nalidiksat dan fliorkuinon. Istilah tersebut juga digunakan pada zat-zat sintetis lainnya dengan kerja antibakteri, yaitu obat-obat tuberkulosis dan metronidazole (Tan dan Rahardja, 2010).

2.2.2 Klasifikasi Antibakteri

a. Berdasarkan mekanisme kerja antibakteri

1. Menghambat metabolisme sel bakteri. Contohnya adalah sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon.

2. Menghambat sintesis dinding sel bakteri. Contohnya adalah penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan sikloserin.

(6)

4. Menghambat sintesis protein sel bakteri. Contohnya adalah golongan aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol.

5. Menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri. Contohnya adalah rifampisin dan golongan kuinolon (Setiabudy, 2007).

b. Berdasarkan daya kerja

1. Zat-zat bakterisid, yang pada dosis biasa berkhasiat mematikan kuman. Contohnya adalah penisilin, sefalosporin, polipeptida, rifampisin, kuinolon, aminoglikosid, nitrofurantoin, INH, kotrimoksazol, dan polipeptida.

2. Zat-zat bakteriostatik, yang pada dosis biasa terutama berkhasiat menghentikan pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Contohnya adalah kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida dan linkomisin (Tan dan Rahardja, 2010).

c. Berdasarkan luas aktivitas

1. Antibakterinarrow-spectrum (spektrum sempit). Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya Penisilin G dan Penisilin-V, eritromisin, klindamisin yang hanya bekerja terhadap kuman gram positif sedangkan streptomisin, gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiksat yang aktif khusus hanya pada kuman gram-negatif.

(7)

2.3 Prinsip Penggunaan Antibakteri a. Antibakteri TerapiEmpiris

Penggunaanantibakteri

untukterapiempirisadalahpenggunaanantibakteripadakasusinfeksiyangbelumdiketa huijenisbakteripenyebabnya.Tujuanpemberianantibakteri

untukterapiempirisadalaheradikasiataupenghambatanpertumbuhanbakteriyangdidu gamenjadipenyebabinfeksi,sebelumdiperolehhasilpemeriksaanmikrobiologi.

Diindikasikan jika ditemukansindromklinisyangmengarahpadaketerlibatanbakteritertentuyangpalings

eringmenjadipenyebabinfeksi.Dasarpemilihanjenisdandosisantibakteri: 1)

Dataepidemiologidanpolaresistensibakteriyangtersediadikomunitasataudir umahsakitsetempat.

2)Kondisiklinispasien. 3)Ketersediaanantibakteri.

4) Kemampuanantibakteri untukmenembuskedalamjaringan atau organyangterinfeksi.

5)

Untukinfeksiberatyangdidugadisebabkanolehpolimikrobadapatdigunakana ntibakteri kombinasi.

Rutepemberianantibakteri

(8)

Lamapemberianantibakteriempirisdiberikanuntukjangkawaktu48-72jam.Selanjutnyaharusdilakukanevaluasiberdasarkandatamikrobiologisdankondi siklinispasiensertadatapenunjanglainnya (Kemenkes RI, 2011).

b. Antibakteri untukTerapiDefinitif

Penggunaan antibakteri untukterapidefinitifadalahpenggunaan antibakteri padakasusinfeksiyangsudahdiketahuijenisbakteri penyebab dan pola resistensinya.

Tujuanpemberian antibakteri untukterapidefinitifadalaheradikasiataupenghambatanpertumbuhanbakteriyangme

njadipenyebabinfeksi,berdasarkanhasilpemeriksaanmikrobiologi. Diindikasikan sesuaidenganhasilmikrobiologiyangmenjadipenyebabinfeksi.Dasarpemilihanjenis dandosis antibakteri:

1)Efikasiklinikdankeamananberdasarkanhasilujiklinik. 2)Sensitivitas.

3)Biaya.

4)Kondisiklinispasien.

5)Diutamakan antibakteri linipertama/spektrumsempit. 6)Ketersediaan antibakteri (sesuaiformulariumrumahsakit).

7)SesuaidenganPedomanDiagnosisdanTerapi(PDT)setempatyangterkini. 8)Palingkecilmemunculkanrisikoterjadibakteriresisten.

Rute pemberian antibakteri

(9)

antibakteri

definitifberdasarkanpadaefikasiklinisuntukeradikasibakterisesuaidiagnosisawalyan gtelahdikonfirmasi.Selanjutnyaharusdilakukanevaluasiberdasarkandatamikrobiolo gisdankondisiklinispasiensertadatapenunjanglainnya (Kemenkes RI, 2011). 2.4Rasionalitas Penggunaan Antibakteri

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), setiap obat yang diresepkanpada pasien haruslah memenuhi kriteria obat yang rasional. Pemakaian obat secara rasional berarti hanya menggunakan obat-obatan yang telah terbukti keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinik.Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria pemakaian obat secara rasional meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat penderita, tepat dosis dan cara pemakaian, serta waspada efek samping. Kriteria penggunaan obat yang rasional menurut International Network Rational use of Drug, 1999 (INRUD) adalah : a. Tepat indikasi

b. Tepat obat

c. Tepat dosis, durasi dan cara pemberian d. Tepat pasien

e. Tepat informasi pada pasien f. Tepat evaluasi atau monitoring

Penggunaan antimikroba yang tepat membutuhkan pemahaman tentang karakteristik obat, faktor tuan rumah dan patogen, yang semuanya berdampak pada pemilihan agen antibakteri dan dosisnya.

(10)

Indikasi pemakaian obat secara khusus adalah indikasi medik bahwa intervensi dengan obat (antibakteri) memang diperlukan dan telah diketahui memberikan manfaat terapetik. Pada banyak keadaan, ketidakrasionalan pemakaian obat terjadi oleh karena keperluan intervensi farmakoterapi dan kemanfaatannya tidak jelas, seperti efek klinik yang paling berperan terhadap manfaat terapetik. Hal ini akan menentukan evaluasi terhadap hasil terapi (Wilianti, 2009).

2.4.2. Tepat obat

Pemilihan jenis obat harus memenuhi beberapa segi pertimbangan, yakni : a. Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti.

b. Obat (antibakteri) memiliki efektifitas yang telah terbukti.

c. Jenis antibakteri sesuai dengan sensitivitas dari dugaan kuman penyebabberdasarkan terapi empirik (educated guess) atau sesuai dengan hasil uji sensitifitas terhadap kuman penyebab jika uji sensitifitas dilakukan.

d. Derajat penyakit pasien: pasien dengan penyakit berat butuh obat yang bisa cepat mencapai kadar obat dalam plasma dan cepat mengeradikasi kuman penyebab infeksi sehingga cepat meredakan penderitaan pasien.

e. Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan imbang dengan manfaat yang akan diperoleh. Risiko pengobatan mencakup toksisitas obat, efek samping, dan interaksi dengan obat lain.

f. Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat dengan manfaat dan keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh pasien (affordable).

g. Jenis obat yang paling mudah didapat (available).

(11)

i. Sedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat. Banyak ketidakrasionalan terjadi oleh karena pemilihan obat-obat dengan manfaat dan keamanan yang tidak jelas atau pemilihan obat yang mahal padahal alternatif yang sama dengan harga lebih murah juga tersedia (Wilianti, 2009).

2.4.3. Tepat pasien

Ketepatan pasien serta penilaiannya mencakup pertimbangan apakah ada kontraindikasi atau adakah kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis secara individual (Wilianti, 2009).

2.4.4. Tepat dosis obat

Cara pemakaian obat memerlukan pertimbangan farmakokinetika, yakni: cara pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian dan lama pemberian, sampai ke pemilihan cara pemakaian yang paling mudah diikuti oleh pasien dan paling aman serta efektif untuk pasien (Wilianti, 2009).

2.4.5. Waspada efek samping obat

Waspada terhadap efek samping obat mencakup penilaian apakah ada keadaan yang merupakan faktor konsitusi terjadinya efek samping obat pada penderita. Jika kemudian terjadi efek samping tertentu, bagaimana menentukan dan menanganinya (Wilianti, 2009).

2.5 Penggunaan Obat yang Tidak Rasional

Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh pasien lebih besar dibanding manfaatnya.Dampak negatif dapat berupa :

(12)

b. Dampak ekonomi seperti biaya tak terjangkau karena penggunaan obat yang tidak rasional dan waktu perawatan yang lebih lama.

c. Dampak sosial seperti ketergantungan pasien terhadap intervensi obat (Binfar dan Alkes, 2010).

Kriteria penggunaan obat yang tidak rasional. Penggunaan obatyang tidak rasional bila:

a. Peresepan berlebih (over prescribing).

Pemberian obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan. Contoh: pemberian antibakteri pada diare non spesifik (yang umumnya disebabkan oleh virus).

b. Peresepan kurang (under prescribing).

Pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baikdalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidakdiresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit yangdiderita juga termasuk dalam kategori ini.

c. Peresepan majemuk (multiple prescribing).

Pemberian beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.

d. Peresepan salah (incorrect prescribing).

Referensi

Dokumen terkait

[r]

menghubungi berupa ucapan terimakasih, waktu response yang dibutuhkan untuk menjawab pengunjung, dan tautan terkait yang berhubungan dengan pertanyaan yang diajukan oleh

(3) Daerah sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atau menteri yang terkait dengan bidang sumber daya air atau pemerintah daerah sesuai dengan

 Harapan dari kegiatan e-ASPIRASI ini agar website satker di lingkungan Kementerian Kesehatan dapat menjadi lebih baik dengan perbaikan yang dilakukan berdasarkan

1 Halaman broken link dimodifikasi (cek dengan mengetik http://depkes.go.id/error) agar menampilkan pemberitahuan kepada pengunjung kesalahan mereka sekaligus disediakan

(1) Pada saat keadaan darurat bencana, Kepala BNPB atau kepala BPBD, sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencananya, meminta kepada instansi/lembaga terkait untuk mengirimkan sumber

SARI WARNA ASLI UNIT I KARANGANYAR, Program Studi Manajemen Administrasi, Program Diploma III, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, 2016. Grey

[r]