BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pajak
2.1.1 Definisi Pajak
Ada bermacam – macam definisi tentang pajak. Diantara lain adalah
sebagai berikut:
Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro, SH:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang – Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut S. I. Djajadiningrat:
Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum.
Menurut Mr. Dr. N. J. Feldmann:
Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma – norma yang dtetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata – mata digunakan untuk menutup pengeluaran – pengeluaran umum.
Pajak harus dibedakan dengan retribusi dan sumbangan. Dalam
retribusi, hubungan antara pembayaran dengan prestasi kembali bersifat
langsung. Retribusi memang dimaksudkan untuk memperoleh prestasi yang
pihak yang mengharapkan prestasi tersebut. Kepada mereka yang tidak
memperoleh prestasi, tidak dapat dipungut retribusi. Sumbangan hampir
menyerupai retribusi, dalam arti, hubungan antara pembayaran dan prestasi
bersifat lebih langsung. Perbedaan dengan retribusi adalah bahwa prestasinya
tadi tidak dapat diidentifikasikan kepada orang – orang tertentu. Dalam hal
sumbangan, prestasi dinikmati oleh segolongan orang. Sumbangan dapat
dipaksakan, dan seperti halnya pajak, disertai sanksi hukum.
2.1.2 Ciri – ciri yang melekat pada definisi pajak
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pajak dapat dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan
Undang – Undang serta aturan pelaksanaannya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh masyarakat.
3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun
daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran – pengeluaran
pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat
surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
2.1.3 Fungsi Pajak
Menurut Siti Resmi (2013:3), terdapat dua fungsi pajak:
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara).
keuangan Negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak – banyaknya untuk kas Negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak.
2. Fungsi Regulerend (Mengatur).
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan – tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi mengatur adalah:
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang – barang mewah.
b. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan,
dimaksudkan agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi membayar pajak yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan.
c. Tarif pajak ekspor adalah 0%, agar para pengusaha
terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga akhirnya dapat memperbesar devisa Negara.
d. Pemberlakuan Tax holiday.
2.1.4 Jenis Pajak
Menurut Siti Resmi (2013:7), jenis pajak dikelompokkan dalam 3 (tiga)
kelompok:
1. Menurut Golongannya.
a. Pajak Langsung.
Pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain. Pajak harus menjadi beban sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: pajak penghasilan yang dibayar atau ditanggung oleh pihak – pihak tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut.
b. Pajak Tidak Langsung.
Pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa. Contoh: pajak pertambahan nilai terjadi karena terdapat pertambahan nilai terhadap barang atau jasa. 2. Menurut Sifatnya.
Pajak yang pengenaannya memerhatikan pada keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan subjeknya. Contoh: pajak penghasilan.
b.Pajak Objektif.
Pajak yang pengenaannya memerhatikan pada objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memerhatikan keadaan pribadi subjek pajak maupun tempat tinggal. Contoh : pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan.
3. Menurut Lembaga Pemungutnya.
a. Pajak Negara (pajak pusat).
Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara pada umumnya. Contoh: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan.
b.Pajak Daerah.
Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing – masing. Contoh: pajak kendaraan bermotor, pajak penerangan jalan, bea balik nama kendaraan bermotor.
2.2Hak dan Kewajiban Wajib Pajak 2.2.1 Kewajiban Wajib Pajak
Kewajiban wajib pajak menurut Undang – undang Nomor 16 Tahun
2000 adalah:
a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).
b. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar.
c. Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan, mengisinya dengan benar
dan memasukkannya sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak dalam batas
waktu yang telah ditetapkan.
d. Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan.
Memperlihatkan dan/atau menunjukkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen laun yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang terutang
pajak.
Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat/ruangan
guna memperlancar pemeriksaan.
Memberikan keterangan yang diperlukan.
2.2.2 Hak – hak Wajib Pajak
Hak – hak wajib pajak menurut Undang – undang Nomor 16 Tahun
2000 adalah:
a. Mengajukan surat keberatan atau banding.
b. Menerima tanda bukti pemasukan, pembetulan, dan mengajukan
permohonan penundaan pemasukan Surat Pemberitahuan.
c. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
d. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi
serta pembetulan surat ketetapan yang salah.
e. Memberi kuasa kepada orang lain untuk melaksanakan kewajiban
2.3Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 2.3.1 Pengertian dan Fungsi NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan nomor yang
diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan
yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Berdasarkan pengertian ini maka NPWP berfungsi sebagai sarana
dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan:
Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak.
Sebagai pemenuhan kewajiban perpajakan (pembayaran pajak).
Menjaga ketertiban dan pengawan administrasi perpajakan.
Mendapatkan pelayanan dari instansi tertentu.
NPWP ini akan dicantumkan dalam setiap dokumen yang
berhubungan dengan perpajakan. NPWP terdiri dari 15 digit, terdiri dari 9 digit
pertama merupakan Kode Wajib Pajak dan 6 digit berikutnya merupakan Kode
Administrasi Perpajakan. Mulai tahun 1998, NPWP ini otomatis sama dengan
Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
2.3.2 Tata Cara Memperoleh NPWP
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak badan wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh
pendaftaran untuk memperoleh NPWP adalah di Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak.
Formulir yang harus dilampirkan pada saat pendaftaran perolehan
NPWP bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha
adalah:
a. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia, atau paspor ditambah
surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang.
b. Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari
instansi yang berwenang.
Sedangkan formulir yang harus dilampirkan pada saat pendaftaran
perolehan NPWP bagi Wajib Pajak badan adalah:
a. Fotokopi Akte Pendirian dan perubahan terakhir atau surat
keterangan penunjukan dari Kantor Pusat bagi Bentuk Usaha
Tetap.
b. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia, atau paspor ditambah
surat keterangan tempat tinggal instansi yang berwenang.
c. Surat keterangan tempat kegiatan usaha dari instansi yang
2.3.3 Penghapusan NPWP
Penghapusan NPWP dilakukan dalam hal terjadi kondisi sebagai
berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dan tidak
meninggalkan warisan.
b. Wanita kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan peghasilan.
c. Wajib Pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
d. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek
Pajak sudah selesai dibagi.
e. Bentuk usaha tetap yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya
sebagai bentuk usaha tetap.
f. Wajib Pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud dalam
hurud a dan huruf b yang tidak memenuhi syarat lain sebagai Wajib
Pajak.
Penghapusan tersebut dapat dilakukan apabila utang pajak telah
dilunasi atau hak untuk melakukan penagihan telah kadaluwarsa. Namun
demikian, NPWP dapat pula dihapuskan jika berdasarkan hasil pemeriksaan
pajak diketahui bahwa utang pajak tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi
sebab:
a. Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan
b. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi.
c. Wajib Pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud di atas
tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak.
2.4Surat Pemberitahuan (SPT)
2.4.1 Pengertian Surat Pemberitahuan
Berdasarkan Pasal 1 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007, Surat
Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan
objek pajak dan atau harta dan kewajiban menurut ketentuan peraturan
perundang – undangan perpajakan.
2.4.2 Fungsi Surat Pemberitahuan
Fungsi SPT menurut penjelasan Pasal 3 ayat 1 Undang – Undang
Nomor 16 Tahun 2000 adalah:
a. Bagi Wajib Pajak Penghasilan, SPT PPh berfungsi sebagai sarana
untuk:
1. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
2. Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau
pemungutan pihak lain dalam 1 Tahun Pajak atau Bagian
3. Melaporkan penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau
bukan objek pajak, harta dan kewajiban.
4. Melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang
pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan
lain dalam 1 (satu) Masa Pajak.
b. Bagi Pengusaha Kena Pajak, SPT PPN berfungsi sebagai sarana
untuk:
1. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Atas Penjualan
Barang Mewah yang sebenarnya terutang.
2. Melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak
Keluaran.
3. Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau
melalui pihak lain dalam 1 (satu) Masa Pajak.
4. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang
dipotong atau dipungut dan disetor.
c. Bagi Pemotong atau Pemungut Pajak, SPT berfungsi sebagai
sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak
2.4.3 Jenis Surat Pemberitahuan
SPT dapat dibedakan menjadi (1) SPT Masa dan (2) SPT Tahunan.
Yang dimaksud SPT Masa adalah SPT yang digunakan untuk melakukan
pelaporan atas pembayaran pajak pada masa tertentu (bulanan). Ada 9
(sembilan) jenis SPT Masa, meliputi SPT Masa untuk melaporkan pembayaran
bulanan: (1) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, (2) PPh Pasal 22, (3) PPh Pasal
23, (4) PPh pasal 25, (5) PPh Pasal 26, (6) PPh Pasal 4 (2), (7) PPh Pasal 15,
(8) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM) dan (9) Pemungut PPN.
Sedangkan apa yang dimaksud dengan SPT Tahunan adalah SPT yang
digunakan untuk pelaporan tahunan. Ada dua jenis SPT Tahunan, yaitu (1)
SPT Tahunan PPh WP Badan, dan (2) SPT Tahunan WP Orang Pribadi (OP).
2.4.4 Batas Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan dari masing – masing
jenis Surat Pemberitahuan, baik masa maupun tahunan menurut Siti Resmi
(2013:31) :
Wajib Pajak 14 hari setelah berakhirmya
Tabel 2.2
7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir
Pajak Penghasilan Pasal 22 - Bendaharawan
Bendaharawan Tanggal 14 bulan takwim
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
Pajak Penghasilan Pasal 22 – Bahan Bakar
Pertamina 20 hari setelah Masa Pajak
berikutnya Pajak Penghasilan Pasal
22 – Pemungutan oleh badan tertentu
Pemungut Pajak 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir
14 hari setelah Masa Pajak berakhir
2.5 Pajak Penghasilan (PPh)
Menurut Siti Resmi (2013:74), Pajak Penghasilan (PPh) adalah “pajak
yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh dalam satu tahun pajak”.
Peraturan perundangan yang mengatur PPh di Indonesia adalah UU No. 7
Tahun 1983 yang telah disempurnakan dengan UU No. 7 Tahun 1991, UU No.
10 Tahun 1994, dan UU No. 17 Tahun 2000; Peraturan Pemerintah; Keputusan
Presiden; Keputusan Menteri Keuangan; Keputusan Direktur Jenderal Pajak
maupun Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak.
2.5.1 Subjek Pajak
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 17 Tahun
2000 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), Subjek Pajak terdiri atas:
1. Orang Pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak.
2. Badan.
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan
dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension,
sosial politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap
dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment) adalah bentuk usaha
yang dipergunakan oleh Subjek Pajak luar negeri untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
Tempat kedudukan manajemen.
Pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah
kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan.
Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau
oleh orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
2.5.1.1Penggolongan Subjek Pajak
Menurut Pasal 2 Ayat 2 UU PPh Subjek Pajak dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Subjek Pajak Dalam Negeri
Menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh yang termasuk Subjek Pajak
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia.
b. Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan.
c. Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia.
d. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak.
e. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
2. Subjek Pajak Luar Negeri
Menurut Pasal 2 ayat (4) UU PPh yang termasuk dalam Subjek
Pajak Luar Negeri adalah:
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan.
b. Badan yang didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia.
2.5.1.2 Kewajiban Pajak Subjektif
Menurut Pasal 2A UU PPh beserta penjelasannya, kewajiban
pajak diatur sebagai berikut:
a. Subjek Pajak orang pribadi dalam negeri:
Dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan,
Berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan
Indonesia untuk selama – lamanya.
b. Subjek Pajak badan dalam negeri:
Dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
Berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
kedudukan di Indonesia.
c. Warisan yang belum terbagi:
Dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi
tersebut.
Berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
d. Subjek Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT:
Dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT.
Berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT.
e. Subjek Pajak orang pribadi atau badan luar negeri
non-BUT:
dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut
menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia.
berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh
2.5.1.3Tidak Termasuk Subjek Pajak
Menurut Pasal 3 UU PPh, orang atau badan yang tidak termasuk
sebagai Subjek Pajak adalah:
a. Badan perwakilan Negara asing.
b. Pejabat – pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau
pejabat – pejabat lain dari Negara asing, dan orang – orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama – sama mereka, dengan syarat:
Bukan warga Negara Indonesia.
Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut.
Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik.
c. Organisasi – organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu No. 574 Tahun
2000) dengan syarat:
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian
pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
d. Pejabat – pejabat perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu
No. 574 Tahun 2000) dengan syarat:
Bukan warga Negara Indonesia
Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan
lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
Di samping itu, menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PPh
terdapat unit Pemerintah Indonesia yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah:
a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang – undangan yang
berlaku.
b. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.
c. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran
Pemerintah Pusat atau Daerah.
d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional
Negara.
2.5.2 Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak
2.5.2.1Penghasilan yang Menjadi Objek Pajak
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh disebutkan bahwa yang
menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pension, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang –undang.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau legiatan dan
penghargaan. c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak. f. Bunga ternmasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang.
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
m.Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. n. Premi asuransi.
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
r. Imbalan bungan sebagaimana dimaksud dalam Undang –
undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
s. Surplus Bank Indonesia.
Menurut Pasal 4 ayat (2), penghasilan yang dapat dikenai pajak bersifat final adalah:
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
b. Penghasilan berupa hadiah undian.
perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
e. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
2.5.2.2Penghasilan yang Bukan Objek Pajak
Sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU PPh, jenis penghasilan
yang tidak termasuk sebagai objek pajak, sehingga tidak terutang PPh
meskipun diterima/diperoleh oleh Subjek Pajak adalah:
a. 1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak – pihak yang bersangkutan. b. Warisan.
c. Harta termasuk setoran tuani yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dati Wajib Pajak atau Pemerintah.
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang priibadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransu jiwa, asuransi dwiguna dan asurasi bea siswa.
f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang – bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham – saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi.
j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh reksadana selama lima tahun pertama sejak tanggal pendirian atau tanggal kontrak.
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha dari kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. Merupakan perusahaan kecil, menengah atau menjalankan kegiatan dalam sektor – sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. l. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga
nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
m.Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2.5.3 Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan kepada Subjek Pajak Menurut Wirawan dan Rudy (2007:5):
b. Oleh karena Pajak Penghasilan dikenakan Subjek Pajak yang memperoleh penghasilan, maka Pajak Penghasilan disebut Pajak Subjektif. Dan karena Pajak Penghasilan dibebankan langsung kepada Subjek Pajak yang menerima penghasilan dan bebannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, maka Pajak Penghasilan disebut Pajak Langsung.
c. Apabila seseorang atau badan hukum termasuk Subjek Pajak dan tidak menerima/memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak, maka Subjek pajak tersebut tidak menjadi Wajib Pajak, dan karenanya tidak wajib untuk membayar Pajak Penghasilan.
d. Apabila seseorang atau badan hukum tidak termasuk Subjek Pajak, maka orang atau badan hukum tersebut tidak mempunyai kewajiban untuk membayar Pajak Penghasilan meskipun menerima penghasilan yang menjadi objek pajak.
2.5.4 Penghitungan Pajak Penghasilan
Komponen untuk menghitung besarnya PPh yang terutang menurut
Wirawan dan Rudy (2007:6) adalah
1. Tarif Pajak Penghasilan, dan
2. Jumlah penghasilan yang menjadi dasar penghitungan pajak.
Jumlah penghasilan yang menjadi dasar perhitungan pajak tersebut
adalah jumlah penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam 1 tahun pajak.
Menurut penjelasan Pasal1 UU PPh dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
tahun pajak adalah tahun takwim (1 Januari s.d. 31 Desember), namun dapat
juga menggunakan buku yang tidak sama dengan tahun takwim dengan syarat
meliputi jangka waktu 12 bulan, contoh 1 April 2010 s.d. 31 Maret 2011
disebut tahun pajak 2010 karena bagian dari tahun 2010 (9 bulan) lebih besar
2.5.5 Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh)
Setelah diketahui besarnya PPh yang terutang, Wajib Pajak tersebut
wajib untuk melakukan pembayaran/penyetoran pajak. Sesuai ketentuan UU
PPh, pembayaran PPh yang terutang tidak dilakukan pada akhir tahun pajak
saja namun dilakukan melalui:
a. Pemotongan atau pemungutan PPh oleh pihak yang membayar
penghasilan.
Bagi pihak penerima penghasilan, pada umumnya PPh yang
dipotong pihak lain tersebut merupakan pembayaran pajak
pendahuluan/di muka (kecuali ditetapkan lain, misalnya bersifat
final), dan dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang 1 (satu)
tahun pajak. PPh yang dipotong/dipungut pihak lain diantaranya:
PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24, PPh Pasal
4 ayat (2) dan PPh Pasal 25.
Dengan adanya sistem pemotongan/pemungutan PPh dalam
pembayaran pajak, Wajib Pajak disamping menghitung, menyetor
dan melaporkan diri sendiri PPh yang terutang atas penghasilan
yang diterimanya juga mempunyai kewajiban sebagai
Pemotong/Pemungut Pajak apabila melakukan pembayaran biaya
yang merupakan penghasilan pihak lain Kewajiban Wajib Pajak
sebagai Pemotong/Pemungut pajak, antara lain:
Pemotong/pemungut PPh Pasal 22 UU PPh: apabila Wajib Pajak tertentu (termasuk bendaharawan) melakukan penjualan atau pembelian barang.
Pemotong PPh Pasal 23 UU PPh: apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran bunga, dividen, royalti (passive income), sewa harta dan jasa kepada Wajib Pajak Dalam Negeri.
Pemotong PPh Pasal 26 UU PPh: apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran penghasilan kepada Wajib Pajak Luar Negeri.
Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) UU PPh: apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran penghasilan tertentu.
Pemotong PPh Pasal 15 UU PPh: apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran penghasilan kepada Wajib Pajak Tertentu.
b. Pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri
merupakan pembayaran pendahuluan atas PPh yang terutang pada
tahun pajak yang bersangkutan. Jenis pembayaran PPh yang
dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri antara lain:
Pembayaran angsuran PPh tiap bulan (PPh Pasal 25).
Pembayaran Fiskal Luar Negeri.
PPh Pasal 29 apabila PPh terutang 1 tahun pajak lebih besar
dari PPh yang dipotong pihak lain dan pembayaran PPh
Pasal 25 serta fiskal luar negeri.
Tempat pembayaran pajak telah ditentukan yaitu Bank Persepsi
(bank yang menerima pembayaran pajak) dan di Kantor Pos &
Giro. Demikian pula jangka waktu pembayaran PPh juga telah
ditentukan oleh Undang – Undang, sehingga apabila pembayaran
ditentukan akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
keterlambatan sebesar 2% per bulan.
2.6 Pajak Penghasilan Badan
Menurut Diana dkk (2010:311) badan adalah “sekumpulan orang
dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha”.
2.6.1 Tarif PPh WP Badan Dalam Negeri dan BUT
Tarif PPh untuk wajib pajak badan dalam negeri dan BUT
sebelumnya menggunakan tarif progresif sampai tahun 2008 seperti yang
ditunjukkan dalam tabel:
Tabel 2.3 Tarif PPh Badan 2008
Penghasilan Kena Pajak Tarif
Sampai dengan Rp 50.000.000 10 %
Rp 50.000.000 s Rp 100.000.000 15 %
Di atas Rp 100.000.000 30%
Secara ekonomi, badan usaha hanya merupakan sarana berusaha
untuk memperoleh penghasilan pengusaha orang pribadi sehingga pengenaan
PPh (badan dan orang pribadi) menyebabkan pajak ganda ekonomis dan akan
menjadi berlebihan kalau dikenakan pajak progresif. Bahkan untuk mendorong
pemupukan modal yang besar agar tercapai skala ekonomi yang efisien dan
memperkuat daya saing, di beberapa negara dilakukan integrasi pemajakan
dengan modal kredit pajak badan atau dikenal dengan Imputation System.
Penerapan pajak progresif juga dapat mendorong pemecahan perusahaan besar
menjadi perusahaan kecil – kecil untuk menghindari progresivitas pajak
sehingga menyebabkan alokasi sumber daya nasional kurang optimal.
Pasal 17 ayat (1) huruf b UUPPh (UU No. 36 tahun 2008)
menyatakan bahwa wajib pajak badan dan BUT dikenakan tarif tunggal
sepadan sebesar 28%. Tarif 28% hanya berlaku tahun 2009 karena berdasarkan
Pasal 17 (2a) sejak tahun pajak 2010 diturunkan menjadi 25%. Mungkin untuk
memperkuat daya saing beban pajak dan menyediakan efisiensi beban PPh
badan, Indonesia memang menghendaki tarif PPh badan sebesar 25%.
Menurut Yustinus (2014:186) tarif PPh yang berlaku bagi PT
2 Tarif lebih rendah 5% dari tarif normal menurut pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh
Dasar hukumnya Pasal 17 ayat (2b) UU PPh, Peraturan Pemerintah Nomor 81
tahun 2007, Peraturan Menteri
Keuangan RI Nomor
238/PMK.-3/2008.
Syaratnya sebagai berikut:
2. Masing – masing pihak hanya negeri yang berbentuk perseroan
terbuka dalam waktu paling
singkat 6 bulan dalam jangka waktu 1 tahun pajak
4. Wajib pajak harus melampirkan
surat keterangan dari biro
administrasi efek pada surat
pemberitahuan tahuan PPh WP
badan dengan melampirkan
formulir X.H.1-6 sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor X.H.1 untuk setiap tahun pajak terkait
5. Surat keterangan dibuat untuk
setiap tahun pajak dengan
mencantumkan nama wajib pajak,
NPWP, tahun pajak serta
menyatakan bahwa dalam waktu paling singkat 6 bulan dalam jangka waktu 1 tahun pajak:
a.Saham wajib pajak dimiliki oleh publik paling sedikit 40% dari keseluruhan saham yang disetor b.Saham wajib pajak yang dimiliki
oleh publik dimiliki paling sediti oleh 300 pihak dan masing – masing pihak hanya memiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang disetor 3 Tarif menurut pasal 31 E UU
PPh
Wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000 mendapat fasiitas
Namun dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 46
tahun 2013, tarif pajak kembali berubah untuk wajib pajak yang memiliki
peredaran bruto di bawah Rp 4.800.000.000, yaitu dikenakan sebesar 1% dari
omset.
2.7Pajak Penghasilan Pasal 25
Menurut Siti Resmi (2013: 345), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 adalah
“angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 Undang – undang No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang – undang No. 17 Tahun 2000”. Tujuan pembayaran
angsuran setiap bulan itu sendiri dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib
Pajak dalam membayar pajak terutang.
Untuk menghitung angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulannya adalah sebesar pajak
penghasilan yang terutang menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak yang lalu dikurangi dengan (Thomas Sumarsan, 2013:323):
a. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dan 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
b. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Angsuran PPh Pasal 25 tersebut dapat dijadikan kredit pajak terhadap
pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun
pajak, yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
untuk bulan – bulan sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan
sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang
lalu.
Mengingat batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh bagi WP orang
pribadi adalah akhir bulang ketiga tahun pajak berikutnya, dan bagi WP badan
adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, maka besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk bulan – bulan sebelum SPT
Tahunan disampaikan sama dengan bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
2.8 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
Sejak 1 Juli 2013, telah dikeluarkan dan diberlakukan Peraturan
Pemerintah yang mengatur megenai Pajak Penghasilan. Ketentuan Pajak
Penghasilan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun
2013 merupakan kebijakan pemerintah yang mengatur mengenai Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, baik orang pribadi maupun
badan.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dalam PP 46, Wajib Pajak yang memenuhi
kriteria untuk Peraturan ini adalah Wajib Pajak orang pribadi atau badan tidak
termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan
peredaran yang tidak melebihi Rp 4.8 Miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Kebijakan Pemerintah dengan pemberlakuan PP ini didasari dengan
maksud:
a. Untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan
perpajakan.
b. Mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi.
c. Mengedukasi masyarakat untuk transparansi.
d. Memberikan kesempatan masyarakat untuk kontribusi dalam
penyelanggaraan Negara.
Tujuan dari pemberlakuan PP ini adalah:
a. Kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban
perpajakan
b. Meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi
masyarakat
c. Terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
Objek pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan PP
No. 46 Tahun 2013 ini adalah semua penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp
4.8 Miliar dalam 1 (satu) tahun pajak. Peredaran bruto (omzet) merupakan
jumlah peredaran bruto (omzet) semua gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik
pusat maupun cabangnya. Pajak yang terutang dan harus dibayar adalah 1%
dari jumlah peredaran bruto.
Objek pajak yang tidak dikenai PPh ini adalah:
a. Penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, seperti misalnya: dokter, advokat/pengacara, akuntan, notaris, PPAT, arsitek, pemain musik, pembawa acara, dan sebagaimana diuraikan dalam penjelasan PP tersebut
pelaksanaan dan pengawasan), PPh usaha migas, dan lain sebagainya yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah sendiri c. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
2.9 Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
penelitian terhadapat PP 46 Tahun 2013 maupun PPh Pasal 25. Diantaranya
sebagai berikut:
Tabel 2.5 Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 I Putu Gede pada pengusaha menengah kecil yang berada di lingkungan masyarakat perkotaan maupun
pedesaan yang mempunyai
peredaran usaha kurang dari Rp 4,8 Miliar setahun. Oleh karena itu sudah selayaknya PP No. 46
dijadikan instrumen untuk
menutup defisit penerimaan
pajak di tiap – tiap Kantor
terdapat pengaruh yang
signifikan Penerimaan Pajak
Penghasilan Pasal 25 Badan
tingkat pertumbuhan jumlah
Wajib Pajak terus meningkat dengan diberlakukannya PP ini. Kontribusi yang diberikan oleh
pajak UMKM terhadap
KPP Pratama Malang Selatan)
4 Yesilia Pratanca Analisis
Perbandingan Penerapan
Perencanaan Pajak
Penghasilan Badan
(Studi Kasus PP No.
46 Tahun 2013
dengan Pasal 31E ayat 1 UU No. 36 Tahun 2008)
Setiap perusahaan dapat
menghemat jumlah pembayaran pajak dengan cara menerapkan perencanaan pajak sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang
berlaku.
2.10 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan suatu hubungan atau kaitan antara
konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti.
Adapun kerangka konseptual dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Penelitian
Menghitung besarnya pajak yang dikenakan dari penghasilan, khususnya
penghasilan badan terbagi oleh 2 cara, yaitu dengan menggunakan PPH pasal Perhitungan Pajak
Penghasilan (PPh) badan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Pajak Penghasilan Pasal 25
25, dan menggunakan PP 46. PP 46 sendiri mulai berlaku sejak 31 Juli 2013,
yaitu pertengahan tahun pajak 2013. PP 46 diberlakukan untuk wajib pajak
yang mempunyai peredaran bruto tertentu, yaitu di bawah Rp 4.8 milyar
setahunnya. PPh 25 awalnya berlaku untuk semua wajib pajak, tidak
memandang berapa jumlah peredaran bruto nya. Namun setelah
dikeluarkannya peraturan baru ini, PPh 25 dikenakan kepada wajib pajak,
khususnya badan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib pajak yang
dikenakan pajak final menurut PP 46, dengan tarif menurut Pasal 17 dan Pasal
31 E Undang – Undang No. 36 Tahun 2008.
Dengan dikeluarkannya peraturan baru ini, tentu akan menimbulkan
dampak positif ataupun negatif untuk wajib pajak. Oleh karena itu dilakukan
analisis untuk mengetahui bagaimana efek dengan perubahan peraturan ini
terhadap perusahaan, penerapan masing – masing bagian, dan perbandingannya