• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Ingkar Janji Disebabkan atas Harta Pemberian Sebelum Pernikahan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01 Pdt.G 2013 PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akibat Hukum Ingkar Janji Disebabkan atas Harta Pemberian Sebelum Pernikahan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01 Pdt.G 2013 PN.Mdn)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan

suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan

wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk

mewujudkan suatu hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan

ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah

SWT.6

Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu

mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam

suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan

perkawinan.

Perkawinan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap

melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dalam pernikahan.

Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk-makhluk lainnya, yang hidup

bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara bebas

atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat

manusia, Allah memberikan tuntutan yang sesuai dengan martabat manusia.

Bentuk perkawinan ini memberi jalan yang aman pada naluri seksual

6

(2)

untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri agar ia tidak

laksana rumput yang dapat di makan oleh binatang ternak manapun dengan

seenaknya.7

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal (1)

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8 Ikatan lahir batin disini adalah bahwa

ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, akan tetapi

kedua-duanya harus terpadu erat.

Menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 yaitu Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum

perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta dicatat oleh lembaga

yang berwewenang menurut perundang-undangan yang berlaku.9

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam

kehidupan masyarakat kita. Sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita

dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak,

saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.

Dalam hukum Adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa

penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan

peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti

7

Slamet Dam Aminuddin, Fiqih Munakahat I, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal. 298

8

Redaksi New Merah Putih, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, hal.12

9

(3)

oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dengan demikian, perkawinan

menurut hukum Adat merupakan suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan

perempuan, yang membawa hubungan lebih luas, yaitu antara kelompok kerabat

laki-laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat

yang lain. Hubungan yang terjadi ini ditentukan dan diawasi oleh sistem

norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat itu.10

B. Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.

Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka sah perkawinan tersebut dan dalam

perkawinan ini akan menimbulkan kewajiban dan hak bagi suami isteri. Mereka

akan dapat meraih kehidupan dengan bahagia dalam jalinan kehidupan rumah

tangga.11

Dalam Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, dalam Pasal 1

merumuskan pengertian sebagai perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang

pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.

Ada beberapa hal dari rumusan di atas yang perlu diperhatikan:

1. Maksud dari seorang pria dengan seorang wanita adalah bahwa

perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini

10

Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 154.

11

(4)

menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh

beberapa Negara Barat.

2. Sedangkan suami isteri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah

bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga,

bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.

3. Dalam definisi tersebut disebut pula tujuan perkawinan yang membentuk

rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus

perkawinan temporal sebagai mana yang berlaku dalam perkawinan

mut’ah dan perkawinan tahlil.

4. Disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa

perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk

memenuhi perintah agama.12

Persetujuan perkawinan ini pada dasarnya tidaklah sama dengan

persetujuan yang lainnya, misalnya persetujuan jual beli, sewa menyewa dan

lain-lainnya. Menurut Wirjono Prodjojodikoro perbedaan antara persetujuan

perkawinan dan persetujuan biasa adalah persetujuan biasa semua pihak berhak

menentukan sendiri pokok perjanjian asalkan sesuai dengan peraturan dan tidak

melanggar asusila, sedangkan persetujuan perkawinan isi dari perjanjian

perkawinan sudah ditentukan oleh hukum.13

Suatu perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat bisa dibatalkan.

Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 22 menegaskan: “Perkawinan dapat

dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan

12

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Kencana, Jakarta, 2003, hal. 75-76 13

(5)

perkawinan”. Dan Pasal 27 ayat 1 menyatakan : “Seseorang suami atau isteri

dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilangsungkan di bawah

ancaman yang melanggar hukum”.14

Lebih lanjut disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 1

Tahun 1947 Pasal 6 ayat (1) tentang syarat perkawinan menyebutkan bahwa:

“Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah calon”. Jadi

perkawinan yang dilakukan tanpa persetujuan kedua calon suami dan isteri seperti

kawin di bawah umur yang didesak oleh masyarakat atas dasar hukum adat adalah

batal dan menyalahi peraturan Islam dan perundang-undangan tentang syarat

perkawinan.

Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 meliputi :15

a. Syarat-syarat materiil.

1) Syarat materiil secara umum adalah sebagai berikut :

a) Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai. Arti

persetujuan yaitu tidak seorang-pun dapat memaksa calon

mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki, tanpa

persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan dari

kedua belah pihak calon mempelai adalah syarat yang relevan

untuk membina keluarga.

14

Ibid., hal. 101 15

(6)

b) Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah

mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah

berumur 16 tahun.

c) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.

2) Syarat materiil secara khusus, yaitu :

a) Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10, yaitu larangan

perkawinan antara dua orang yaitu :

(1) Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke

atas.

(2) Hubungan darah garis keturunan ke samping.

(3) Hubungan semenda.

(4) Hubungan susuan.

(5) Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi.

(6) Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang

berlaku dilarang kawin.

(7) Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum

masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.

b) Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur

21 tahun. Yang berhak memberi izin kawin yaitu :

(1) Orang tua dari kedua belah pihak calon mempelai.

Jika kedua orang tua masih ada, maka izin diberi bersama oleh

(7)

meninggal dunia, pemberian izin perkawinan beralih kepada

orang tua perempuan yang bertindak sebagai wali. Jika orang

tua perempuan sebagai wali, maka hal ini bertentangan dengan

perkawinan yang diatur Hukum Islam karena menurut Hukum

Islam tidak boleh orang tua perempun bertindak sebagai wali.

(2) Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal

dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan

kehendaknya disebabkan :

(a). Oleh karena misalnya berada di bawah kuratele.

(b). Berada dalam keadaan tidak waras.

(c). Tempat tinggalnya tidak diketahui.

Maka izin cukup diberikan oleh orang tua yang masih hidup

atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(3) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau

kedua-duanya dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya

maka izin diperoleh dari :

(a). Wali yang memelihara calon mempelai.

(b). Keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis

keturunan ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan

dapat menyatakan kehendaknya.

(4) Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2),

(8)

ada menyatakan pendapatnya, Pengadilan dalam daerah hukum

tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan

bertindak memberi izin perkawinan. Pemberian izin dari

Pengadilan diberikan :

(a).Atas permintaan pihak yang hendak melakukan perkawinan.

(b). Setelah lebih dulu Pengadilan mendengar sendiri orang yang

disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6

ayat (2), (3) dan (4).

b. Syarat-syarat Formil.

1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada

pegawai pencatat perkawinan.

2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.

3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan

masing-masing.

4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu

perkawinan dinyatakan sah adalah :

a. Syarat Umum.

Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam

Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan

karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat

Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini

(9)

tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan

saudara sesusuan.

b. Syarat Khusus.

1) Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan.

Calon mempelai laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak

(conditio sine qua non), absolut karena tanpa calon mempelai laki-laki dan

perempuan tentu tidak akan ada perkawinan. Calon mempelai ini harus

bebas dalam menyatakan persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal

ini menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai harus sudah

mampu untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri dalam

suatu perkawinan dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah

mampu berpikir, dewasa, akil baliqh. Dengan dasar ini Islam menganut

asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan.

2) Harus ada wali nikah.

Menurut Mazhab Syafi’i berdasarkan hadist Rasul SAW yang

diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah, Rasul SAW pernah

mengatakan tidak ada kawin tanpa wali. Hanafi dan Hambali

berpandangan walaupun nikah itu tidak pakai wali, nikahnya tetap sah.

Dalam hukum adat rukun dan syarat perkawinan sama dengan yang

terdapat dalam hukum Islam, yaitu adanya calon mempelai laki-laki, calon

mempelai wanita, wali nikah, adanya saksi dandilaksanakan melalui ijab qabul.

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan di sini, adalah

(10)

dasarnya syarat-syarat perkawinan dapat diklasifikasikan ke dalam hal-hal sebagai

berikut:

a. Mas kawin (bride-price)

Mas kawin sebenarnya merupakan pemberian sejumlah harta benda dari

pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dengan variasi sebagai berikut:

a) Harta benda tersebut diberikan kepada kerabat wanita, dengan

selanjutnya menyerahkan pembagiannya kepada mereka.

b) Secara tegas menyerahkannya kepada perempuan yang

bersangkutan.

c) Menyerahkan sebagian kepada perempuan dan sebagian kepada

kaum kerabatnya.16

b. Pembalasan jasa berupa tenaga kerja (bride-service)

Bride-service biasanya merupakan syarat di dalam keadaan darurat,

misalnya, apabila suatu keluarga yang berpegang pada prinsip

patrilineal tidak mempunyai putra, akan tetapi hanya mempunyai anak

perempuan saja. Mungkin saja dalam keadaan demikian, akan diambil

seorang menantu yang kurang mampu untuk memenuhi persyaratan

mas kawin, dengan syarat bahwa pemuda tersebut harus bekerja pada

orang tua istrinya (mertua).17

c. Pertukaran gadis (bride-exchange)

16

Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 34.

17

(11)

Pada bride-exchange, biasanya laki-laki yang melamar seorang gadis

untuk dinikahi, maka baginya diharuskan mengusahakan seorang

perempuan lain atau gadis lain dari kerabat gadis yang dilamarnya agar

bersedia menikah dengan laki-laki kerabat calon isterinya.18

C. Akibat Perkawinan

Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami

istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Di dalam

Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, disebutkan

tiga akibat perkawinan, yaitu :

a. Adanya hubungan suami istri

1) Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan

rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).

2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup

bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).

3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat

2).

4) Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

5) Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.

6) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling

setia.

18

(12)

7) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai

dengan kemampuannya.

8) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

b. Hubungan orang tua dengan anak

1) Kedudukan anak

(a) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah

(Pasal 42)

(b) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.

2) Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak

(a) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya

sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal

45).

(b) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya

yang baik.

(c) Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam

garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan

bantuan anaknya (Pasal 46).

3) Kekuasaan orang tua

(a) Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada

di bawah kekuasaan orang tua.

(b) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam

(13)

(c) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam

maupun di luar pengadilan.

(d) Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan

barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18

tahun atau belum pernah kawin.

(e) Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila :

1. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak

2. Ia berkelakuan buruk sekali

(f) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban

untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.

Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah kekuasaan

yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18

tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Isi kekuasaan orang tua

adalah:

1.1. Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta

kekayaannya.

1.2. Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hukum

di dalam maupun di luar pengadilan.

Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari

pengesahannya. Kekuasaan orang tua berakhir apabila:

a.1. Anak itu dewasa

a.2. Anak itu kawin

(14)

c). Masalah harta kekayaan.

1) Timbul harta bawaan dan harta bersama.

2) Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya

terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun.

3) Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan

perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).

Sejak terjadi perkawinan, timbulah hubungan antara suami istri, hubungan

hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban antara suami istri.

D. Perjanjian Kawin

Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri

sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat

perkawinan terhadap harta benda mereka. Perjanjian mulai berlaku antara suami

dan isteri, pada saat pernikahan ditutup di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan

mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di

kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat di mana pernikahan telah

dilangsungkan.19

Orang tidak diperbolehkan menyimpang dari peraturan tentang saat mulai

berlakunya perjanjian ini. Juga tidak diperbolehkan menggantungkan perjanjian

pada suatu kejadian yang terletak di luar kekuasaan manusia, sehingga terdapat

suatu keadaan yang meragu-ragukan bagi pihak ketiga, misalnya suatu perjanjian

antara suami dan isteri akan berlaku percampuran laba rugi kecuali jikalau dari

19

(15)

perkawinan mereka dilahirkan seorang anak lelaki. Perjanjian semacam ini tidak

diperbolehkan.20

Ketentuan Pasal 181 dan Pasal 182 KUHPerdata dimaksudkan untuk

melindungi kepentingan anak-anak dari perkawinan pertama, jika ayah dan ibunya

meninggal, dan ayah atau ibunya kawin untuk kedua kalinya dan seterusnya.

Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari

Undang-Undang perkawinan tidak mengatur mengenai perjanjian kawin. Untuk

itu melalui Petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia No. MA/0807/75

memberikan pendapat untuk memperlakukan ketentuan-ketentuan yang sudah ada

sebelumnya sebagaimana diatur dalam KUHPerdata bagi yang menundukkan

peraturan tersebut, hukum adat bagi golongan Bumi Putera dan Huwelijk

Ordonnantie Christen Indonesiers bagi golongan Bumi Putera yang beragama

Kristen.

Menurut KUHPerdata maka harta kekayaan bersama yang menyeluruh

(algehele gemeenschap van goederen) adalah akibat yang normal dari suatu

perkawinan.Sedangkan pembatasan atau penutupan setiap kebersamaan harta

yang menyeluruh hanya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian kawin.

Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibuat dengan alasan:

1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada

salah satu pihak daripada pihak yang lain;

2. Kedua brlah pihak masing-masing membawa masukan

(aanbrengst)yang cukup besar;

20

(16)

3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata

salah satu jatuh (failliet), yang lain tidak tersangkut;

4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing

akan bertanggunggugat sendiri-sendiri.

Maksud pembuatan perjanjian kawin adalah untuk mengadakan

penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan tentang harta kekayaan bersama

(Pasal 119 KUHPerdata). Dengan itu para pihak bebas menentukan bentuk hukum

yang dikehendakinya atas harta kekayaan yang menjadi obyeknya.

Perjanjian kawin menurut KUHPerdata harus dibuat dengan akta notaries

(Pasal 147KUHPerdata). Hal ini dilakukan, kecuali untuk keabsahan perjanjian

kawin, juga bertujuan:

a. Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat

daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup;

b. Untuk adanya kepastian hukum;

c. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah;

d. Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas ketentuan

Pasal 149 KUHPerdata.

Selain dengan kata notaries, perjanjian kawin harus dilakukan sebelum

perkawinan (Pasal 147 KUHPerdata). Karena setelah pelangsungan perkawinan

dengan cara apapun juga, perjanjian kawin itu tidak dapat diubah (Pasal 149

KUHPerdata). Asas tidak dapat diubahnya ini menurut Soetojo Prawirohamidjojo,

adalah sistem harta benda perkawinan yang dipilih oleh suami istri pada saat

(17)

kekhawatiran, bahwa semasa perkawinan sang suami dapat memaksa istrinya

untuk mengadakan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan si istri.

Mengenai isi perjanjian kawin. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan tidak membahas, yang ada bahwa perjanjian kawin tidak

boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan. Dengan demikian,

mengenai isi perjanjian kawin diserahkan kepada pejabat-pejabat umum yang

mempunyai wewenang untuk memberikan penafsirannya.

Asas kebebasan kedua belah pihak dalam menentukan isi perjanjian

kawinnya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1) Tidak membuat janji-janji (bedingen) yang bertentangan dengan

kesusilaan dan ketertiban umum;

2) Perjanjian kawin tidak bolehmengurangi hak-hak karena kekuasaan suami,

hak-hak karena kekuasaan orang tua, hak-hak suami istri yang hidup

terlama;

3) Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas peninggalan;

4) Tidak dibuat janji-janji, bahwa salah satu pihak akan memikul hutang

lebih besar daripada bagiannya dalam aktiva;

5) Tidak dibuat janji-janji, bahwa harta perkawinan akan diatur oleh

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan ijin dan ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dalam kegiatan penelitian ini diharapkan menghasilkan luaran sebagai berikut: (1) Teridentifikasinya permasalahan

Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang mengatur perlindungan khusus terhadap anak, baik anak sebagai korban tindak pidana maupun anak sebagai

Di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dari hasil overlay kesepuluh faktor penyebab longsor diperoleh 5 (lima) kelas tingkat rawan bencana longsor, meliputi ;

YCAB ini adalah sebuah organisasi non-profit yang berfokus pada pembangunan anak muda dan bertujuan untuk memungkinkan pemuda yang kurang mampu untuk mandiri melalui gaya

Jadi akun Instagram yang mau dipromote punya aku Ig, Cuma karena saya nggak bisa datang akhirnya saya repost fotonya. Defty : Untuk caption

[r]

selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun sehingga dapat