BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan
suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan
wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah
SWT.6
Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu
mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam
suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan
perkawinan.
Perkawinan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap
melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dalam pernikahan.
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk-makhluk lainnya, yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara bebas
atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat
manusia, Allah memberikan tuntutan yang sesuai dengan martabat manusia.
Bentuk perkawinan ini memberi jalan yang aman pada naluri seksual
6
untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri agar ia tidak
laksana rumput yang dapat di makan oleh binatang ternak manapun dengan
seenaknya.7
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal (1)
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8 Ikatan lahir batin disini adalah bahwa
ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, akan tetapi
kedua-duanya harus terpadu erat.
Menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 yaitu Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum
perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta dicatat oleh lembaga
yang berwewenang menurut perundang-undangan yang berlaku.9
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat kita. Sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita
dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak,
saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Dalam hukum Adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa
penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan
peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti
7
Slamet Dam Aminuddin, Fiqih Munakahat I, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal. 298
8
Redaksi New Merah Putih, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, hal.12
9
oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dengan demikian, perkawinan
menurut hukum Adat merupakan suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan
perempuan, yang membawa hubungan lebih luas, yaitu antara kelompok kerabat
laki-laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain. Hubungan yang terjadi ini ditentukan dan diawasi oleh sistem
norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat itu.10
B. Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka sah perkawinan tersebut dan dalam
perkawinan ini akan menimbulkan kewajiban dan hak bagi suami isteri. Mereka
akan dapat meraih kehidupan dengan bahagia dalam jalinan kehidupan rumah
tangga.11
Dalam Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, dalam Pasal 1
merumuskan pengertian sebagai perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Ada beberapa hal dari rumusan di atas yang perlu diperhatikan:
1. Maksud dari seorang pria dengan seorang wanita adalah bahwa
perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini
10
Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 154.
11
menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh
beberapa Negara Barat.
2. Sedangkan suami isteri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah
bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga,
bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
3. Dalam definisi tersebut disebut pula tujuan perkawinan yang membentuk
rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus
perkawinan temporal sebagai mana yang berlaku dalam perkawinan
mut’ah dan perkawinan tahlil.
4. Disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa
perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk
memenuhi perintah agama.12
Persetujuan perkawinan ini pada dasarnya tidaklah sama dengan
persetujuan yang lainnya, misalnya persetujuan jual beli, sewa menyewa dan
lain-lainnya. Menurut Wirjono Prodjojodikoro perbedaan antara persetujuan
perkawinan dan persetujuan biasa adalah persetujuan biasa semua pihak berhak
menentukan sendiri pokok perjanjian asalkan sesuai dengan peraturan dan tidak
melanggar asusila, sedangkan persetujuan perkawinan isi dari perjanjian
perkawinan sudah ditentukan oleh hukum.13
Suatu perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat bisa dibatalkan.
Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 22 menegaskan: “Perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
12
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Kencana, Jakarta, 2003, hal. 75-76 13
perkawinan”. Dan Pasal 27 ayat 1 menyatakan : “Seseorang suami atau isteri
dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilangsungkan di bawah
ancaman yang melanggar hukum”.14
Lebih lanjut disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 1
Tahun 1947 Pasal 6 ayat (1) tentang syarat perkawinan menyebutkan bahwa:
“Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah calon”. Jadi
perkawinan yang dilakukan tanpa persetujuan kedua calon suami dan isteri seperti
kawin di bawah umur yang didesak oleh masyarakat atas dasar hukum adat adalah
batal dan menyalahi peraturan Islam dan perundang-undangan tentang syarat
perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 meliputi :15
a. Syarat-syarat materiil.
1) Syarat materiil secara umum adalah sebagai berikut :
a) Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai. Arti
persetujuan yaitu tidak seorang-pun dapat memaksa calon
mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki, tanpa
persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan dari
kedua belah pihak calon mempelai adalah syarat yang relevan
untuk membina keluarga.
14
Ibid., hal. 101 15
b) Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah
mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah
berumur 16 tahun.
c) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.
2) Syarat materiil secara khusus, yaitu :
a) Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10, yaitu larangan
perkawinan antara dua orang yaitu :
(1) Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke
atas.
(2) Hubungan darah garis keturunan ke samping.
(3) Hubungan semenda.
(4) Hubungan susuan.
(5) Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi.
(6) Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang
berlaku dilarang kawin.
(7) Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum
masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.
b) Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur
21 tahun. Yang berhak memberi izin kawin yaitu :
(1) Orang tua dari kedua belah pihak calon mempelai.
Jika kedua orang tua masih ada, maka izin diberi bersama oleh
meninggal dunia, pemberian izin perkawinan beralih kepada
orang tua perempuan yang bertindak sebagai wali. Jika orang
tua perempuan sebagai wali, maka hal ini bertentangan dengan
perkawinan yang diatur Hukum Islam karena menurut Hukum
Islam tidak boleh orang tua perempun bertindak sebagai wali.
(2) Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya disebabkan :
(a). Oleh karena misalnya berada di bawah kuratele.
(b). Berada dalam keadaan tidak waras.
(c). Tempat tinggalnya tidak diketahui.
Maka izin cukup diberikan oleh orang tua yang masih hidup
atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(3) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau
kedua-duanya dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya
maka izin diperoleh dari :
(a). Wali yang memelihara calon mempelai.
(b). Keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan
dapat menyatakan kehendaknya.
(4) Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2),
ada menyatakan pendapatnya, Pengadilan dalam daerah hukum
tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan
bertindak memberi izin perkawinan. Pemberian izin dari
Pengadilan diberikan :
(a).Atas permintaan pihak yang hendak melakukan perkawinan.
(b). Setelah lebih dulu Pengadilan mendengar sendiri orang yang
disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6
ayat (2), (3) dan (4).
b. Syarat-syarat Formil.
1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada
pegawai pencatat perkawinan.
2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.
3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan
masing-masing.
4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
perkawinan dinyatakan sah adalah :
a. Syarat Umum.
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan
karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat
Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini
tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan
saudara sesusuan.
b. Syarat Khusus.
1) Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan.
Calon mempelai laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak
(conditio sine qua non), absolut karena tanpa calon mempelai laki-laki dan
perempuan tentu tidak akan ada perkawinan. Calon mempelai ini harus
bebas dalam menyatakan persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal
ini menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai harus sudah
mampu untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri dalam
suatu perkawinan dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah
mampu berpikir, dewasa, akil baliqh. Dengan dasar ini Islam menganut
asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan.
2) Harus ada wali nikah.
Menurut Mazhab Syafi’i berdasarkan hadist Rasul SAW yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah, Rasul SAW pernah
mengatakan tidak ada kawin tanpa wali. Hanafi dan Hambali
berpandangan walaupun nikah itu tidak pakai wali, nikahnya tetap sah.
Dalam hukum adat rukun dan syarat perkawinan sama dengan yang
terdapat dalam hukum Islam, yaitu adanya calon mempelai laki-laki, calon
mempelai wanita, wali nikah, adanya saksi dandilaksanakan melalui ijab qabul.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan di sini, adalah
dasarnya syarat-syarat perkawinan dapat diklasifikasikan ke dalam hal-hal sebagai
berikut:
a. Mas kawin (bride-price)
Mas kawin sebenarnya merupakan pemberian sejumlah harta benda dari
pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dengan variasi sebagai berikut:
a) Harta benda tersebut diberikan kepada kerabat wanita, dengan
selanjutnya menyerahkan pembagiannya kepada mereka.
b) Secara tegas menyerahkannya kepada perempuan yang
bersangkutan.
c) Menyerahkan sebagian kepada perempuan dan sebagian kepada
kaum kerabatnya.16
b. Pembalasan jasa berupa tenaga kerja (bride-service)
Bride-service biasanya merupakan syarat di dalam keadaan darurat,
misalnya, apabila suatu keluarga yang berpegang pada prinsip
patrilineal tidak mempunyai putra, akan tetapi hanya mempunyai anak
perempuan saja. Mungkin saja dalam keadaan demikian, akan diambil
seorang menantu yang kurang mampu untuk memenuhi persyaratan
mas kawin, dengan syarat bahwa pemuda tersebut harus bekerja pada
orang tua istrinya (mertua).17
c. Pertukaran gadis (bride-exchange)
16
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 34.
17
Pada bride-exchange, biasanya laki-laki yang melamar seorang gadis
untuk dinikahi, maka baginya diharuskan mengusahakan seorang
perempuan lain atau gadis lain dari kerabat gadis yang dilamarnya agar
bersedia menikah dengan laki-laki kerabat calon isterinya.18
C. Akibat Perkawinan
Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami
istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, disebutkan
tiga akibat perkawinan, yaitu :
a. Adanya hubungan suami istri
1) Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan
rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat
2).
4) Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
5) Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
6) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling
setia.
18
7) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai
dengan kemampuannya.
8) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
b. Hubungan orang tua dengan anak
1) Kedudukan anak
(a) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah
(Pasal 42)
(b) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
2) Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
(a) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya
sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal
45).
(b) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya
yang baik.
(c) Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam
garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan
bantuan anaknya (Pasal 46).
3) Kekuasaan orang tua
(a) Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada
di bawah kekuasaan orang tua.
(b) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam
(c) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam
maupun di luar pengadilan.
(d) Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18
tahun atau belum pernah kawin.
(e) Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila :
1. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak
2. Ia berkelakuan buruk sekali
(f) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban
untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah kekuasaan
yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Isi kekuasaan orang tua
adalah:
1.1. Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta
kekayaannya.
1.2. Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hukum
di dalam maupun di luar pengadilan.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari
pengesahannya. Kekuasaan orang tua berakhir apabila:
a.1. Anak itu dewasa
a.2. Anak itu kawin
c). Masalah harta kekayaan.
1) Timbul harta bawaan dan harta bersama.
2) Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya
terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun.
3) Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).
Sejak terjadi perkawinan, timbulah hubungan antara suami istri, hubungan
hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban antara suami istri.
D. Perjanjian Kawin
Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri
sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat
perkawinan terhadap harta benda mereka. Perjanjian mulai berlaku antara suami
dan isteri, pada saat pernikahan ditutup di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan
mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di
kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat di mana pernikahan telah
dilangsungkan.19
Orang tidak diperbolehkan menyimpang dari peraturan tentang saat mulai
berlakunya perjanjian ini. Juga tidak diperbolehkan menggantungkan perjanjian
pada suatu kejadian yang terletak di luar kekuasaan manusia, sehingga terdapat
suatu keadaan yang meragu-ragukan bagi pihak ketiga, misalnya suatu perjanjian
antara suami dan isteri akan berlaku percampuran laba rugi kecuali jikalau dari
19
perkawinan mereka dilahirkan seorang anak lelaki. Perjanjian semacam ini tidak
diperbolehkan.20
Ketentuan Pasal 181 dan Pasal 182 KUHPerdata dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan anak-anak dari perkawinan pertama, jika ayah dan ibunya
meninggal, dan ayah atau ibunya kawin untuk kedua kalinya dan seterusnya.
Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari
Undang-Undang perkawinan tidak mengatur mengenai perjanjian kawin. Untuk
itu melalui Petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia No. MA/0807/75
memberikan pendapat untuk memperlakukan ketentuan-ketentuan yang sudah ada
sebelumnya sebagaimana diatur dalam KUHPerdata bagi yang menundukkan
peraturan tersebut, hukum adat bagi golongan Bumi Putera dan Huwelijk
Ordonnantie Christen Indonesiers bagi golongan Bumi Putera yang beragama
Kristen.
Menurut KUHPerdata maka harta kekayaan bersama yang menyeluruh
(algehele gemeenschap van goederen) adalah akibat yang normal dari suatu
perkawinan.Sedangkan pembatasan atau penutupan setiap kebersamaan harta
yang menyeluruh hanya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian kawin.
Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibuat dengan alasan:
1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada
salah satu pihak daripada pihak yang lain;
2. Kedua brlah pihak masing-masing membawa masukan
(aanbrengst)yang cukup besar;
20
3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata
salah satu jatuh (failliet), yang lain tidak tersangkut;
4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing
akan bertanggunggugat sendiri-sendiri.
Maksud pembuatan perjanjian kawin adalah untuk mengadakan
penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan tentang harta kekayaan bersama
(Pasal 119 KUHPerdata). Dengan itu para pihak bebas menentukan bentuk hukum
yang dikehendakinya atas harta kekayaan yang menjadi obyeknya.
Perjanjian kawin menurut KUHPerdata harus dibuat dengan akta notaries
(Pasal 147KUHPerdata). Hal ini dilakukan, kecuali untuk keabsahan perjanjian
kawin, juga bertujuan:
a. Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat
daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup;
b. Untuk adanya kepastian hukum;
c. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah;
d. Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas ketentuan
Pasal 149 KUHPerdata.
Selain dengan kata notaries, perjanjian kawin harus dilakukan sebelum
perkawinan (Pasal 147 KUHPerdata). Karena setelah pelangsungan perkawinan
dengan cara apapun juga, perjanjian kawin itu tidak dapat diubah (Pasal 149
KUHPerdata). Asas tidak dapat diubahnya ini menurut Soetojo Prawirohamidjojo,
adalah sistem harta benda perkawinan yang dipilih oleh suami istri pada saat
kekhawatiran, bahwa semasa perkawinan sang suami dapat memaksa istrinya
untuk mengadakan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan si istri.
Mengenai isi perjanjian kawin. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tidak membahas, yang ada bahwa perjanjian kawin tidak
boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan. Dengan demikian,
mengenai isi perjanjian kawin diserahkan kepada pejabat-pejabat umum yang
mempunyai wewenang untuk memberikan penafsirannya.
Asas kebebasan kedua belah pihak dalam menentukan isi perjanjian
kawinnya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Tidak membuat janji-janji (bedingen) yang bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum;
2) Perjanjian kawin tidak bolehmengurangi hak-hak karena kekuasaan suami,
hak-hak karena kekuasaan orang tua, hak-hak suami istri yang hidup
terlama;
3) Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas peninggalan;
4) Tidak dibuat janji-janji, bahwa salah satu pihak akan memikul hutang
lebih besar daripada bagiannya dalam aktiva;
5) Tidak dibuat janji-janji, bahwa harta perkawinan akan diatur oleh