TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Tinjauan Pustaka a) Definisi Fraktur
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan,
baik yang bersifat total maupun sebagian. Secara ringkas dan umum, fraktur
adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan lunak di sekitar tulang
akan menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap atau tidak lengkap (Helmi,
2012).
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi
mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau perimpilan korteks;
biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang bergeser (Apley & Solomon,
2012).
Fraktur cruris adalah terputusnya hubungan tibia dan fibula. Secara klinis
bisa berupa fraktur terbuka bila disertai kerusakan pada jaringan lunak (otot, kulit,
pembuluh darah) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan antara fragmen
tulang yang patah dengan udara luar dan fraktur tertutup (Helmi, 2013).
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
a) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit di atasnya. b) Cedera tidak langsung berarti pukulan
langsung berada jauh dari lokasi benturan. c) Fraktur yang disebabkan kontraksi
keras yang mendadak dari otot yang kuat.
2) Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai
keadaan berikut:
a) Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif. b) Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi sebagai
akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif,
lambat dan sakit nyeri. c)Rakhitis: suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
defesiensi vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya
disebabkan oleh defesiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan
absorbsi vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
d) Secara spontan: disebabkan oleh stress tulang yang terus-menerus (Suriadi,
2012).
a) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. b) Setelah
terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstermitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot. c)
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci). d)Saat
ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
e)Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera (Priyanta, 2010).
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi
(permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung
pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-X pasien. Biasanya pasien
mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut (Priyanta, 2010).
a) Delayed union, Non-union atau mal-union tulang dapat terjadi, yang
menimbulkan deformitas atau hilangnya fungsi. Delayed union merupakan
kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang
untuk sembuh atau tersambung dengan baik. Ini disebabkan karena penurunan
suplai darah ke tulang. Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah
selang waktu 3-5 bulan. Non-union, disebut non-union apabila fraktur tidak
sembuh dalam waktu antara 6-8 bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehinngga
terdapat pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa infeksi
tetapi dapat juga terjadi bersama infeksi yang disebut sebagai infected
pseudoartrosis. Mal-union adalah keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya,
tetapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, pemendekan
atau menyilang, misalnya pada fraktur radius-ulna. b) Sindrom kompartemen
ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang
dissebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan
pembengkakan interstisial yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang
menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps.
Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan kematian saraf
yang mempersarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu
mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom
kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas yang memiliki restiksi volume
yang ketat seperti lengan. Resiko terjadinya sindrom kompartemen paling besar
apabila terjadi trauma otot dengan patah tulang karena pembengkakan yang terjadi
terlalu ketat dapat menyebabkan peningkatan tekanan di kompartemen
ekstremitas,dan hilangnya fungsi secara permanen atau hilangnya ekstremitas
dapat terjadi. Gips harus segera dilepas dan kadang-kadang kulit ekstremitas harus
dirobek. Untuk memeriksa sindrom kompartemen, hal berikut ini dievaluasi
sering pada tulang yang cedera atau digips: nyeri, pucat, parestesia, dan paralisis.
Denyut nadi mungkin teraba atau mungkin tidak. c) Embolus lemak dapat timbul
setelah patah tulang, terutama tulang panjang. Embolus lemak dapat timbul akibat
pajanan sumsum tulang, atau dapat terjadi akibat aktivasi sistem saraf simpatis
yang menimulkan stimulasi mobilisasi asam lemak bebas setelah trauma. Embolus
lemak yang timbul setelsh patah tulang panjang sering tersangkut disirkulasi paru
dan dapat menimbulkan gawat napas dan gagal napas (Helmi, 2013).
2.5. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan pada pasien dengan fraktur tibia secara umum, yaitu:
a)Profilaksis antibiotik. b) Debridemen dan fasiotomi. Pada kondisi akut dengan
pembengkakan hebat dilakukan fasiotomi untuk menghindari sindrom
kompartemen. c)Stabilisasi. Dilakukan pemasangan fiksasi interna atau fiksasi
eksterna.d) Penundaan penutupan. e) Penundaan rehabilitasi.
Antibiotik dimulai dengan segera. Dilakukan debridemen pada luka dan
luka dibersihkan seluruhnya. Cedera tingkat I Gustilo dapat ditutup dengan sangat
baikdan kemudian diterapi seperti pada cedera tertutup. Luka yang lebih berat
dibiarkan terbuka dan diperiksa setelah 3 hari. Jika perlu, selanjutnya dilakukan
Intervensi pada pasien fraktur tertutup secara ringkas, meliputi hal-hal
sebagai berikut:
a).Prioritas yang pertama adalah menilai tingkat kerusakan jaringan lunak.
Meskipun fraktur itu tertutup, fraktur berat dengan kontusio jaringan lunak yang
luas dapat membutuhkan fiksasi luar dini dan peninggian tungkai. Bila ada
ancaman sindrom kompartemen,fasiotomi perlu segera dilakukan. b) Pemasangan
gips sirkuler, c) Terapi bedah dengan pemasangan fiksasi interna, d) Terapi bedah
dengan pemasangan fiksasi eksterna (Helmi, 2013).
2.6. Luka
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit (Taylor, 2011).
luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ
tubuh lain (Kozie, 2010). Ketika luka timbul, beberapa akan muncul :
a)Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, b) Respon stres simpatis,
c) Perdarahan dan pembekuan darah, d) Kontaminasi bakteri, e)Kematian sel.
2.7. Perawatan Luka
Perawatan luka adalah pengkajian luka yang konfrehensif agar dapat
menentukan keputusan klinis yang sesuai dengan kebutuhan pasien. Peningkatan
pengetahuan dan keterampilan klinis diperlukan untuk penunjang perawatan luka
Perawatan luka akan tergantung pada jenis luka, berat ringannya luka,ada
tidaknya perdarahan dan risiko yang dapat menimbulkan infeksi. Prinsip
perawatan umum pada luka tipe umum, yaitu:
a) Mencuci tangan dengan menggunakan sabun atau larutan antiseptik, b) Segera
pantau luka kemungkinan ada benda asing dalam luka, c) Bersihkan luka dengan
antiseptik atau sabun antiseptik, bila lukanya dalam, bersihkan dengan normal
salin dari pusat luka ke arah keluar, setelah luka dibersihkan kemudian lakukan
irigasi luka dengan normal salin, d) Keringkan luka dengan kasa steril yang
lembut, e) Berikan antibiotik atau obat antiseptik yang sesuai, f)Tutup luka
dengan kasa steril dan paten, g) Tinggikan posisi area luka bila ada perdarahan
dan immobilisasi (Suriadi, 2012).
1. Fase penyembuhan luka
a) Fase inflamatory
Fase inflamatory dimulai setelah pembedahan dan berakhir pada hari ke
3-4 pasca operasi. Dua tahap dalam fase ini adalah hemostasis dan pagositosis.
Sebagai tekanan yang besar, luka menimbulkan lokal adaptasi sindrom. Sebagai
hasil adanya suatu konstriksi pembuluh darah, berakibat pembekuan darah untuk
menutupi luka. Diikuti vasodilatasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke
daerah luka yang dibatasinoleh sel darah putih untuk menyerang luka dan
menghancurkan bakteri dan debris.lebih kurang 24 jam setelah luka sebagian
besar sel fagosit (makrofag) masuk ke daerah luka dan mengeluarkn faktor
angiogenesis yang merangsang pembentukkan anak epitel pada akhir pembuluh
b)Proliferative
Dimulai pada hari ke 3 atau 4 dan berakhir pada hari ke 21. Fibroblast
secara cepat mensintesis kolagen subtansi dasar. Dua subtansi ini membentuk
lapis-lapis perbaikan luka. Sebuah lapisan tipis dari sel epitel terbentuk melintasi
luka dan aliran darah ada didalamnya, sekarang pembuluh kapiler melintasi luka
(kapilarisasi tumbuh).jaringan baru ini disebut granurasi jaringan,adanya
pembuluh darah, kemerahan dan mudah berdarah
c) Fase maturasi
Fase akhir penyembuhan, dimulai dari hari ke-21 dan dapat berlanjut
selama 1-2 tahun setelah luka. Kolagen yang ditimbun dalam luka diubah,
membuat penyembuhan luka lebih kuat dan lebih jaringan. Kolagen baru
menyatu, menekan pembuluh darah dalam penyembuhan luka, sehingga bekas
luka menjadi rata, tipis dan garis putih (Taylor, 2011).
Fase penyembuahan luka menurut Suriadi (2012) dibagi menjadi 4 (empat)
fase, yaitu :
a) Fase koagulasi
Pada fase koagulasi merupakan awal proses penyembuhan luka dengan
melibatkan platelet. Awal pengeluaran platelet akan menyebabkan vasokonstriksi
dan terjadi koagulasi. Proses ini adalah sebagai hemostasis dan mencegah
perdarahan yang lebih luas. Pada tahapan ini terjadi adhesi, agregasi, dan
degranulasi, pada sirkulasi platelet di dalam pembentukan gumpalan fibrin.
Kemudian suatu plethora mediator dan cytokin dilepaskan seperti transforming
endothelial growth factor (VEGF), platelet-activating factor (PAF), dan insulinike
growth factor-1 (IGF-1), yang akan mempengaruhi edema jaringan dan awal
inflamasi. VEGF, suatu faktor permeabilitas vaskuler, akan mempengaruhi
extravasasi protein plasma untuk menciptakan suatu struktur sebagai penyokong
yang tidak hanya mengaktifkan sel enditelial tetapi juga leukosit dan sel epitelial.
b) Fase inflamasi
Fase inflamasi mulainya dalam bebrapa menit setelah luka dan kemudian
dapat berlangsung sampai beberapa hari. Selama fase ini, sel-sel inflammatory
terkait dalam luka dan aktif melakukan pergerakan dengan lekosites
(polymorphonuclear leukocytes atau neutrophil). Yang pertama kali muncul
dalam luka adalah neutrophil, karena densitasnya lebih tinggi dalam bloodstrem.
Kemudian neutrophil akan mempagosit bakteri dan masuk ke matriks fibrin dalam
persiapan untuk jaringan baru. Kemudian dalam waktu yang singkat mensekresi
mediator vasodilatasi dan cytokin yang mengaktifkan fibroblast dan keratinocytes
dan mengikat macrophag ke dalam luka. Kemudian macrophag menpagosit
pathogen, dan sekresi cytokin, dan growth factor seperti fibroblast growth factors
(FGF), epidermal growth factors (EGF), vascular endothelial growth factors
(VEGF), tumor necrosis factors (TNF-alpa), interferon gamma (IFN-gamma), dan
interleukin-1 (IL-1), kimia ini juga akan merangsang infiltrasi, proliferasi dan
migrasi fibroblast dan sel endotelial (dalam hal ini, angiogenesis). Angiogenesis
adalah suatu proses dimana pembuluh-pembuluh kapiler darah yang baru mulai
tumbuh dalam luka setelah injury dan sangat penting perannya dalam fase
dengan superoxide yang merupakan senyawa penting dalam retensi terhadap
infeksi maupun pemberian isyarat oxidative dalam menstimulasi produksi growth
factor lebih lanjut. Dalam proses inflammatory adalah suatu perlawanan terhadap
infeksi dan sebagai jembatan antara jaringan yang mengalami injury dan untuk
pertumbuhan sel-sel baru.
c. Fase proliferasi
Apabila tidak ada infeksi dan kontaminasi pada fase inflamasi, maka akan
cepat terjadi fase proliferasi. Pada fase proliferasi ini terjadi proses granulasi dan
kontraksi. Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi dalam
luka, pada fase ini macrophag dan lymphocytes masih ikut berperan, tipe sel
predominan mengalami proliferasi dan migrasi termasuk sel epitelial, fibroblast,
dan sel endotelial. Proses ini tergantung pada metabolik, konsentrasi oksigen dan
faktor pertumbuhan. Dalam beberapa jam setelah injury, terjadi epitelialisasi
dimana epidermal yang mencakup sebagian besar keratinocytes mulai bermigrasi
dan mengalami stratifikasi dan deferensiasi untuk menyusun kembali fungsi
barrier epidermis. Pada proses ini diketahui sebagai epitelialisasi, juga
meningkatkan produksi extraseluler matrik (promotes-extracelluler matrix atau
disingkat ECM), growth factor, sitokin dan angiogenesis melalui pelepasan faktor
pertumbuhan seperti keratinocyte growth factor (KGF). Pada fase proliferasi
fibroblast adalah merupakan elemen sintetik utama dalam proses perbaikan dan
berperan dalam produksi struktur protein yang digunakan selama rekonstruksi
jaringan. Secara khusus fibroblast menghasilkan sejumlah kolagen yang banyak.
angiogenesis yaitu suatu proses dimana kapiler-kapiler pembuluh darah yang baru
tumbuh atau pembentukan jaringan baru (granulation tissue). Secara klinis akan
tampak kemerahan pada luka.
Kemudian pada fase kontraksi luka, kontrkasi disini adalah berfungsi
dalam memfasilitasi penutupan luka. Menurut Hunt dan Dunphy (1969) kontraksi
adalah merupakan peristiwa fisiologi yang menyebabkan terjadinya penutupan
luka pada luka terbuka. Kontaksi terjadi bersamaan dengan sintesis kolagen. Hasil
dari kontraksi akan tampak dimana ukuran luka akan tampak semakin mengecil
atau menyatu.
d. Fase remodeling atau maturasi
Pada fase remodeling yaitu banyak terdapat komponen matrik. Komponen
hyaluronic acid, proteoglycan, dan kolagen yang berdeposit selama perbaikan
untuk memudahkan perekatan pada migrasi seluler dan menyokong jaringan.
Serabut-serabut kolagen meningkat secara bertahap dan bertambah tebal
kemudian disokong oleh proteinase untuk perbaikan sepanjang garis luka.
Kolagen menjadi unsur yang utama pada matrik. Sebarut kolagen menyebar
dengan saling terikat dan menyatu dan berangsur-angsur menyokong pemulihan
jaringan. Remodeling kolagen selama pembentukan skar tergantung pada sintesis
2.8. Nutrisi dalam Perawatan Luka
Nutrisi sangat berperan dalam proses penyembuhan luka. Kita ketahui
bahwa status nutrisi pada seseorang adalah faktor utama yang mempengaruhi
proses pertumbuhan dan mempertahankan jaringan tubuh agar tetap sehat.
Seseorang yang mengalami injury atau luka berarti terjadi gangguan
kontinuitas dan struktur pada jaringan tubuh. Dengan demikian diperlukan
perbaikan untuk menjaga agar struktur dan fungsi jaringan tubuh yang mengalami
gangguan dapat kembali seimbang atau tidak mengalami komplikasi lain.
Pada proses perbaikan jaringan akibat luka akan mengalami beberapa proses
yaitu inflamasi, fibroblast dan maturasi atau remodeling. Pada proses ini sangat
dibutuhkan nutrisi yang adekuat. Kebutuhan nutrisi yang bibutuhkan, yaitu:
a).Protein, Hasil penelitian membuktikan bahwa gangguan proliferasi fibroblast,
neoangiogenesis, sintesis kolagen dan remodeling pada luka dikarenakan adanya
kekurangan protein. Selain itu, juga mempengaruhi mekanisme kekebalan, fungsi
leukosit seperti pagositosis. b) Karbohidrat, Karbohidrat dibutuhkan untuk suplai
energi seluler. c)Vitamin A, Vitamin A diperlukan untuk sintesis kolagen dan
epitelialisasi. d) Vitamin C, Vitamin C berguna untuk sintesis kolagen dan
meningkatkan retensi terhadap infeksi. e) Vitamin K, Vitamin K untuk sintesis
protrombin dan beberapa faktor pembekuan darah yang diperlukan untuk
mencegah perdarahan yang berlebihan pada luka. f) Zat besi, Zat besi berguna
dalam sintesis kolagen, sintesis hemoglobin dan mencegah iskemik pada jaringan.
sel-sel darah merah. h) Zinc, Pada jaringan membantu sintesis protein dan pada
luka berperan dalam sintesis kolagen (Hartono, 2011).
2.9. Fisiologis Penyembuhan Luka
2.10.1.Proses penyembuhan luka menurut Alimul ada 4 tahap, yaitu:
1. Inflamasi Akut Terhadap Cedera (0-3)
a) Hemostasis
Vasokonstriksi sementara dari pembuluh darah yang rusak terjadi pada
saat sumbatan trombosit dibentuk dan diperkuat juga oleh serabut fibrin untuk
membentuk sebuah bekukan.
b) Respons jaringan yang rusak
Jaringan yang rusak dan melepaskan histamin dan mediator lain, sehingga
menyebabkan vasodilitasi dari pembuluh darah sekeliling yang masih utuh
sehingga meningkatnya penyediaan darah dari daerah tersebut, sehingga menjadi
merah dan hangat. Permeabilitas kapiler-kapiler darah meningkat dan cairan yang
kaya akan protein akan mengalir ke dalam spasium interstisial, menyebabkan
edema lokal dan mungkin hilangnya fungsi diatas sendi tersebut. Leukosit
polimorfonuklear (polimorf) dan makrofag mengadakan migrasi ke luar dari
kapiler dan masuk kedalam daerah yang rusak sebagai reaksi terhadap agens
kemotaktik yang akan dipacu oleh adanya cedera.
Fase ini merupakan bagian yang esensial dari proses penyembuhan dan
tidak ada upaya yang dapat menghentikan proses ini, kecuali jika proses ini terjadi
(misalnya luka bakar pada leher). Meski demikian, jika hal tersebut diperpanjang
oleh adanya jaringan yang mengalami devitalisasi secara teru menerus,adanya
benda asin, pengelupasan jaringan yang luas, trauma kambuhan, atau oleh
penggunaan yang tidak bijaksana preparat tropikal untuk luka, seperti antiseptik,
antibiotik, atau krim asam, sehingga penyembuhan di perlambat dan kekuatan
regangan luka menjadi tetap rendah. Sejumlah besar sel tertarik ketempat tersebut
untuk bersaing mendapatkan gizi yang tersedia. Inflamasi yang terlalu banyak
dapat menyebabkan granulasi berlebihan pada fase III dan dapat menyebabkan
jaringan parut hipertofik. Ketidaknyamanan karena edema dan denyutan pada
tempat luka juga jadi berkepanjangan.
c) Fase Destruktif (1-6 hari)
Pembersihan terhadap jaringan mati atau yang mengalami devitalisasi dan
bakteri oleh polimorf dan makrofag. Polimorf menelan dan menghancurkan
bakteri. Tingkat aktivitas polimorf yang tinggi hidupnya singkat saja dan
penyembuhan dapat berjalan terus tanpa keberadaab sel tersebut. Meski demikian,
penyembuhan berhenti bila mikrofag megalami deaktivasi. Sel-sel tersebut tidak
hanya mampu menghancurkan bakteri dan mengeluarkan jaringan yang
mengalami devitalisasi serta fibrin yang berlebihan, tetapi juga mampu
merangsang pembentukan fibroplas, yang melakukan sintesa struktur protein
kolagen dan menghasilkan sebuah faktor yang dapat merangsang angiogenesis.
Polimorf dan makrofag mudah dipengaruhi oleh turunnya suhu pada
tempat luka, sebagaimana yang dapat terjadi bilamana sebuah luka yang basah
Aktivitas mereka dapat juga dihambat oleh agens kimia, hipoksia, dan juga
perluasan limbah metabolik yang disebabkan karena buruknya perfusi jaringan.
d) Fase Proliferatif (3-24 hari)
Fibrolas meletakkan sustansi dasar dan serabut-serabutkolagen serta
pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka. Begitu kolagen diletakkan, maka
terjadi peningkatan yang cepat pada kekuatan regangan luka. Kapiler-kapiler
dibentuk oleh tunas endotelial suatu proses yang disebut angiogenesis. Bekuan
fibrin yang dihasilkan pada fase I dikeluarkan begitu kapiler baru menyediakan
enzim yang diperlukan. Tanda-tanda inflamasi mulai berkurang. Jaringan yang
dibentuk dari gedung kapiler baru, yang menopang kolagen dan substansi dasar,
disebut jaringan granulasi karena penampakannya granuler. Warnanya merah
terang.
Gelung kapiler baru jumlahnya sangat banyak dan rapuh serta mudah
sekali rusak karena penanganan yang kasar,misalnya menarik balutan yang
melekat. Vitamin C penting untuk sintesis kolagen. Tanpa vitamin C, sintesis
kolagen berhenti, kapiler darah baru rusak dan mengalami perdarahan, serta
penyembuhan luka terhenti. Faktor sistemik lain yang dapat memperlambat
penyembuhan pada stadium ini termasuk defisiensi besi, hipoproteinemia, serta
hipoksia. Fase proliferatif terus berlangsung secara lebih lambat seiring dengan
bertambahnya usia.
e) Fase Maturasi (24-365 hari)
Epitelialisasi, kontraksi, dan reorganisasi jaringan ikat: Dalam setiap
sisa-sisa folikel rambut, serta glandula sebasea dan glandula sudorifera, membelah
dan memulai bermigrasi diatas jaringan granula baru. Karena jaringan tersebut
hanya dapat bergerak diatas jaringan yang hidup, maka mereka lewat dibawah
eskar atau dermis yang mengering. Apabila jaringan tersebut bertemu dengan
sel-sel epitel lain yang juga mengalami migrasi, maka mitosis berhenti, akibat
inhibibisi kontak. Kontraksi luka disebabkan karena miofibrolas kontraktil yang
membantu menyatukan tepi-tepi luka. Terdapat suatu penurunan progresif dalam
vaskularitas jaringan parut, yang berubah dalam penampilanya dari merah
kehitaman menjadi putih. Serabut-serabut kolagen mengadakan reorganisasi dan
kekuatan regangan luka meningkat.
Luka masih sangat rentan terhadap luka trauma mekanis (hanya 50%kekuatan
regangan normal dari kulit diperoleh kembali dalam tiga bulan pertama).
Epitelialisasi terjadi sampai tiga kali lebih cepat di lingkungan yang lembab
(dibawah balutan oklusif atau balutan semipermeabel) daripada dilingkungan
yang kering. Kontraksi luka biasanya merupakan suatu fenomena yang sangat
membantu, yakni menurunkan daerah permukaan luka dan meninggalkan jaringan
parut yang relatif kecil, tetapi kontraksi berlanjut dengan buruk pada daerah
tertentu, seperti diatas tibia, dan dapat menyebabkan distorsi penampilan pada
cedera wajah. Kadang, jaringan fibrosa pada dermis menjadi sangat hipertofi,
kemerahan,dan menonjol, yang pada kasus ekstrim menyebabkan jaringan parut
2.10.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka 1. Proses penyembuhan luka dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:
a). Vaskularisasi, mempengaruhi luka karena luka membutuhkan peredaran darah
yang baik untuk pertumbuhan atau perbaikan sel. b) Anemia, memperlambat
proses penyembuhan luka mengingat perbaikan sel membutuhkan kadar protein
yang cukup. Oleh sebab itu, orang yang mengalami kekurangan kadar hemoglobin
dalam darah akan mengalami proses penyembuhan yang lebih lama. c) Usia,
kecepatan perbaikan sel berlangsung sejalan dengan pertumbuhan atau
kematangan usia seseorang. Namun selanjutnya, proses penuan dapat menurunkan
sistem perbaikan sel sehingga dapat memperlambat proses penyembuhan luka.
d) Penyakit lain, mempengaruhi proses penyembuhan luka. Adanya penyakit
seperti diabetes militus dan ginjal dapat memperlambat proses penyembuhan luka
(Alimul,2009).
2.11.Komplikasi penyembuhan luka
1. Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan, dehischense dan
eviscerasi (Taylor,2010).
a) Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat terauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam
2-7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulen,
peningkatan drainase, nyeri, kemerahan, dan bengkak disekeliling luka,
b) Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku
dalam garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing
(seperti drain). Hipovolemi mungkin tidak cepat ada tanda.
c) Dehiscense dan eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius.
Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah
keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan,
kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan,
muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka.
Dehiscence luka dapat terjadi 4-5 hari setelah operasi sebelum kolagen meluas di
daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup
dengan balutan steril yang benar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan
untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.
2.12.Faktor-Faktor yang Memperlambat Penyembuhan
2.13.1. Faktor-faktor lokal yang merugikan pada tempat luka (Morison, 2012).
a) Kurangnya suplai darah dan pengaruh hipoksia
Luka dengan suplai darah yang buruk sembuh dengan lambat. Jika
faktor-faktor yang esensial untuk penyembuhan, seperti oksigen, asam amino, vitamin
dan mineral, sangat lambat mencapai luka karena lemahnya vaskularisasi, maka
penyembuhan luka tersebut akan terhambat, meskipun pada pasien-pasien yang
nutrisinya baik. Beberapa area tubuh, seperti wajah, mempunyai suplai darah yang
seperti kulit diatas tibia, merupakan daerah yang buruk suplai darahnya, sehingga
trauma yang minimal sekalipun, dapat menyebabkan ulkus tungkai yang sulit
ditangani pada beberapa pasien. Tepian luka yang sedang tumbuh merupakan
suatu daerah yang aktivitas metaboliknya sangat tinggi. Dalam hal ini, hipoksia
menghalangi mitosis dalam sel-sel epitel dan fibrolast yang bermigrasi, sintesa
kolagen, dan kemampuan makrofag untuk menghancurkan bakteri yang tercerna.
Meskipun demikian, bilamana tekanan parsial oksigen pada tempat luka rendah,
maka makrofag memproduksi suatu faktor yang dapat merangsang angiogenesis.
Dengan merasangsang pertumbuhan kapilr-kapiler darah yang baru, maka
masalah lokal hipoksia dapat diatasi.
b) Dehidrasi
Jika luka terbuka dibiarkan terkena udara, maka lapisan permukaannya
akan mengering. Sel-sel epitel pada tepi luka bergerak ke bawah, di bawah lapisan
tersebut, sampai sel-sel tersebut mencapai kondisi lembab yang memungkinkan
mitosis dan migrasi sel-sel untuk menembus permukaan yang rusak. Waktu yang
panjang akibat membiarkan luka itu mengering mengakibatkan lebih banyak
jaringan yang hilang dan menimbulkan jaringan parut, yang akhirnya dapat
menghambat penyembuhan. Jika sebuah luka dipertahankan tetap lembab di
bawah pembalut semipermeabel atau pembalut oklusif, maka penyembuhan dapat
terjadi jauh lebih cepat. Tetapi pada beberapa kasus, pemajanan lika pada udara
c) Eksudat berlebihan.
Terdapat suatu keseimbangan yang sangat halus antara kebutuhan akan
lingkungan luka yang lembab, dan kebutuhan untuk mengeluarkan eksudat
berlebihan yang dapat mengakibatkan terlepasnya jaringan. Eksotoksin dan sel-sel
debris yang berada di dalam eksudat dapat memperlambat penyembuhan dengan
cara mengabadikan respons inflamasi.
d) Turunnya temperatur
Aktivitas fagositik dan aktivitas mitosis secara khusus mudah terpengaruh
terhadap penurunan temperatur pada tempat luka. Kira-kira dibawah 280C,
aktivitas leukosit dapat turun sampai nol. Apabila luka basah dibiarkan terbuka
lama pada saat mengganti balutan, atau saat menunggu pemeriksaan dokter, maka
temperatur permukaan dapat menurun sampai paling rendah 120C. Pemulihan
jaringan ke suhu tubuh dan aktivitas mitos sempurna, dapat memakan waktu
sampai 3 jam.
e) Jaringan nekrotik, krusta yaang berlebihan, dan benda asing
Adanya jaringan nekrotik dan krusta yang berlebihan di tempat luka dapat
memperlambat penyembuhan dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi klinis.
Demikian juga, adanya segala bentuk benda asing, termasuk bahan-bahan jahitan
dan drain luka. Oleh karena itulah maka sangat penting untuk mengeluarkan
kontaminan organik maupun anorganik secepat mungkin tetapi dengan trauma
f) Hematoma
Dimana sebuah luka telah ditutup secara bedah, baik dengan jahitan
primer, graft kulit, ataupun dengan pemindahan flap jaringan, maka penyebab
penting dari terlambatnya penyembuhan adalah terjadinya hematoma.
g) Trauma dapat berulang
Pada sebuah luka terbuka, trauma mekanis dengan mudah merusak
jaringan granulasi yang penuh dengan pembuluh darah dan mudah pecah,
epitelium yang baru saja terbentuk dan dapat menyebabkan luka sehingga
kembali ke keadaan fese penyembuhan tertentu yaitu fase respons inflamasi akut.
Trauma berulang dapat disebabkan oleh berbagai hal. Jika seorang pasien
penderita dekubitus ditempatkan dengan bagian yang sakit diatas tempat tidur atau
di sebuah kursi, maka kemudian tenaga tekanan yang terjadi, robekan, dan
gesekan, dapat meyebabkan kerusakan lapisan kulit diatasnya, yang tak dapat
dihindarkan sehingga dapat merusak penyembuhan jaringan yang masih sangat
lunak, sehingga luka justru akan bertambah besar. Trauma juga dapat disebabkan
oleh pelepasan balutan yang kurang hati-hati. Bahkan pada saat dilakukan
perawatan yang baik sekalipun, beberapa trauma terhadap luka luka masih sangat
mungkin terjadi jika digunakan kasa yang ditempelkan langung pada permukaan
luka, sehingga lengkung kapiler darah tumbuh melalui rajutan serat kapas yang
ada pada kapas dan dapat terobek pada saat balutan itu dilepaskan. Banyak
balutan yang seharusnya hanya memiliki daya rendah, dapat merekat erat pada
eksudat dan luka itu mengering. Perdarahan luka saat pelepasan balutan adalah
tanda trauma yang jelas.
2.13.2.Faktor-faktor patofisiologi umum
a) Penurunan suplai oksigen
Oksigen memaainkan peranan penting di dalam pembentukan kolagen,
kapiler-kapiler baru, dan perbaikan epitel, serta pengendalian infeksi. Jumlah
oksigen yang dikirimkan untuk sebuah luka tergantung pada tekanan parsial
oksigen di dalam darah, tingkat perfusi jaringan, dan volume darah total.
Penurunan pasokan oksigen terhadap luka dapat disebabkan oleh:
b) Gangguan respirasi.
Penurunan efisiensi pertukaran gas dalam paru-paru, karena penyebab
apapun, dapat menyebabkan penurunan tekanan parsial oksigen (pO2) di dalam
darah dan akhirnya terjadi penurunan ketersediaan oksigen untuk jaringan.
c) Gangguan kardiovaskuler.
Hal ini dapat mengurangi tingkat perfusi jaringan. Hal tersebut secara
khusus bermakna pada saat sirkulasi perifer terganggu, seperti pada diabetes
melitus dimana terdapat mikroangiopati serta pada artitis reumatoid dimana
terdapat artritis, atau dimana terdapat kerusakan katup pada vena-vena profunda
dan vena yang mengalami perforasi sehingga menyebabkan hipertensi vena kronik
d) Anemia.
Apapun penyebabnya, di dalam anemia terdapat penurunan kapasitas
darah yang mengangkut oksigen. Secara khusus, hal tersebut sangat penting
apabila dihubungkan dengan hipovolemia akibat perdarahan.
e) Hemoragi.
Untuk mempertahan tekanan darah dan suplai darah yang adekuat ke
jantung, otak, dan organ-organ vital lainnya, maka vasokonstriksi perifer dapat
mengiringi perdarahan besar. Tingkat penutupan perifer akan bergantung pada
beratnya kehilangan darah. Turunnya suplai darah perifer dapat menyebabkan
terlambatnya penyembuhan sampai volume darah dipulihkan kembali. Secara
normal, hal tersebut merupakan suatu fenomena sesaat saja, tetapi nekrosis
jaringan sudah dapat terjadi selama waktu itu.
f) Malnutrisi
Baik luka tersebut merupakan luka traumatis, luka akibat tindakan salah
satu dari penyebab terbanyak terlambatnya penyembuhan adalah malnutrisi.
Beberapa studi mengenai insidens malnutrisi pada pasien-pasien lansia yang
dirawat di rumah sakit, orang-orang dengan kecacatan mental, dan mereka dengan
penyakit mental menunjukkan bahwa defisiensi vitamin dan mineral bukanlah hal
yang tidak mungkin pada kelompok yang rentan ini, tetapi masalah status nutrisi
yang buruk tidak saja terjadi pada pasien-pasien dengan perawatan di rumah sakit
yang lama.Kebutuhan protein dan kalori pasien hampir pasti menjadi lebih tinggi
Asam amino diperlukan untuk sintesis protein yang berperan di dalam
respons imun. Pada stadium awal setelah luka yang besar, berbagai sistem
endokrin dan sistem saraf mengadakan reaksi terhadap cedera yang kemudian
memicu proses-proses katabolik yang merusak jaringa tubuhnya sendiri untuk
menyediakan bahan-bahan yang diperlukan bagi proses perbaikan yang sifatnya
segera. Pasien-pasien dengan luka bakar atau trauma berat, dapat menderita
pelisutan otot yang dramatis dan kehilangan berat badan yang cepat, hanya dalam
bebrapa hari saja. Penggantian protein, kalori, elektrolit, dan cairan merupakan
komponen pengobatan awal yang sangat vital. Bahkan pada luka terbuka yang
kronik, seperti dekubitus, protein dalam jumlah yang signifikan dapat juga hilang
dalam eksudat. Defisiensi protein tidak hanya memperlambat penyembuhan,
tetapi juga mengakibatkan luka tersebut sembuh dengan kekuatan regangan yang
menyusun.
Hal ini dapat menyebabkan terjadinya dehiscnce pada pasien gemuk
dengan luka laparotomi atau menyebabkan cepat hancurnya dekubitus yang baru
saja sembuh hanya akibat trauma kecil saja. Masukan dan absorpsi yang cukup
vitamin dan mineral tertentu yang cukup juga diperlukan untuk penyembuhan
yang optimal. Vitamin C diperlukan untuk sintesa kolagen. Radang urat saraf
(Scurvy) diaggap sebagai suatu fenomena yang tidak bisa saat ini, tetapi
kebanyakan lansia memperlihatkan tanda-tanda dini defisiensi vitamin C, baik
karena kemiskinan, kesulitan untuk pergi berbelanja atau kesulitan di dalam
makan buah-buahan dan sayuran segar karena pemasangan gigi palsu yang tidak
g) Penurunan daya tahan terhadap infeksi
Penurunan daya tahan terhadap infeksi, seperti pada pasien-pasien dengan
gangguan imun, diabetes, atau infeksi kronis, akan memperlambat penyembuhan
karena berkurangnya efisiensi sistem imun. Infeksi kronis juga mengakibatkan
katabolisme dan habisnya timbunan protein, yang merupakan sumber-sumber
endogen infeksi luka yang pernah ada.
h) Pengaruh fisiologis dari proses penuaan
Terdapat perbedaan yang signifikan di dalam struktur dan karakteristik
kulit sepanjang rentang kehidupan yang disertai dengan perubahan fisiologis
normal berkaitan dengan usia yang terjadi pada sistem tubuh lainnya, yang dapat
mempengaruhi predisposisi terhadap cedera dan efisiensi mekanisme
penyembuhan luka. Kulit utuh pada orang dewasa muda yang sehat merupakan
suatu barrier yang baik terhadap trauma mekanis dan juga infeksi, begitu juga
dengan efisiensi imun, sistem kardiovaskular, dan sistem respirasi, yang
memungkinkan penyembuhan luka terjadi lebih cepat. Sistem tubuh yang berbeda
“tumbuh” dengan kecepatan yang berbeda pula, tetapi lebih dari usia 30 tahun
mulai terjadi penurunan yang signifikan dalam beberapa fungsinya, seperti
penurunan efisiensi jantung, kapasitas vital, dan juga penurunan efisiensi sistem
imun, yang masing-masing masalah tersebut ikut mendukung terjadinya
kelambatan penyembuhan seiring dengan bertambahnya usia. Terdapat juga
perubahan-perubahan signifikan dan normal, yang berhubungan dengan usia,
terjadi pada kulit dan cenderung menyebabkan cedera seperti dekubitus dan
dengan bertambahnya usia meliputi penurunan dalan frekuensi penggantian sel
epidermis, respons inflamasi terhadap cedera, persepsi sensoris, proteksi mekanis,
dan fungsi barrier kulit.
2.13.3.Faktor-faktor psikososial
Pasien dalam keadaan cemas, efisiensi sistem imun pesien tersebut jauh
menurun dan secara fisiologis paien kurang mampu menghadapi setiap gangguan
patologis.
a) Pengaruh yang merugikan dari terapi lain
Obat-obat sitotoksik, radioterapi, dan terapi steroid dalam beberapa keadaan,
dapat memperlambat penyembuhan luka. Obat-obat sitotoksik seperti vinkristin
mempunyai pengaruh yang sangat kentara pada penyembuhan luka karena obat
tersebut menggangu proliferasi sel. Terapi steroid jangka panjang juga dapat
memperlambat penyembuhan, tetatpi hanya selama fase inflamasi dan fase
proliferatif, yaitu dengan cara menekan multiplikasi fibroblas dan sistem kolagen.
Obat-obaat anti inflamasi non-steroid tampaknya mempunyai pengaruh yang tidak
begitu penting terhadap penyembuhan luka dalam dosis terapeutik normal.
b) Penatalaksanaan luka yang tidak tepat
Gagal mengidentifikasi penyebab yang mendasari sebuah luka atau gagl
untuk melakukan identifikasi masalah lokal di tempat luka, penggunaan antiseptik
yang tidak bijaksana, penggunaan antibiotik topikal yang kurang tepat, dan
ramuan obat perawatan luka lainnya, serta teknik pembalutan luka yang kurang
Menurut Moya J. Morison (2012) banyak faktor yang dapat
mempengaruhi penyembuhan luka. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi ke dalam
faktor yang ada hubungan dengan pasien (intrinsik) seperti kondisi-kondisi yang
kurang menguntungkan pada tempat luka, dan faktor dari luar (ekstrinsik), seperti
pengolahan luka yang kurang tepat dan efek-efek terapi lainnya yang tidak
menguntungkan. faktor-faktor yang memperlambat penyembuhan meliputi :
2.13.4.Faktor-faktor Intrinsik :
Faktor-faktor lokal yang merugikan pada tempat luka, faktor-faktor lokal
merugikan di tempat luka yang dapat memperlambat penyembuhan miliputi
hipoksia, dehidrasi, eksudat yang berlebihan, turunnya temperatur, jaringan
nekrotik, krusta yang berlebihan adanya benda asing dan trauma yang berulanf.
a) Faktor-faktor Patofisiologi Umum:
Sejumlah kondisi medis berhubungan dengan buruknya penyembuhan
luka. Mekanisme pengaruh kondisi-kondisi tersebut terhadap penyembuhan luka,
sering kali kompleks, tetapi beberapa kelambatan penyembuhan luka terjadi
akibat kurang tersedianya subtansi-subtansi yang diperlukan untuk proses
penyembuhan luka, seperti oksigen, asam amino, vitamin dan mineral
2.13.5.Faktor ekstrinsik
a) Obat-obat Sitotoksik, sepert vinkristin mempunyai pengaruh yang sangat
kentara pada penyembuhan luka karena obat tersebut mengganggu proliferasi sel.
b) Terapi Steroid Jangka Panjang, dapat memperlambat penyembuhan tetapi
hanya selama fase inflamasi dan fase proliferansi, yaitu dengan cara menekan
tampaknya mempunyai pengaruh yang tidak begitu penting terhadap
penyembuhan luka dalam dosis terapeutik normal. c) Radioterapi, apabila
digunakan dalam pengobatan penyakit keganasan dapat menghasilkn kerusakan
lokal, dapat memperlambat penyembuhan, dan juga dapat
menyebabkankelemahan yang berkepanjangan di dalam jaringan, khususnya pada
jaringan kulit. d) Penatalaksanaan luka yang tidak tepat. e) Gagal mengkaji secara
akurat dan gagal untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dapat
menyebabkan terlambatnya penyembuhan. f) Teknik pembalutan luka yang
kurang hati-hati. g) Pemilihan produk-produk perawatan luka yang kurang sesuai
atau justru berbahaya. h) Mengganti tatacara pembalutan sebelum mempunyai
cukup waktu untuk menjadi balutan tersebut efektif. i) Gagal membuat gambaran
penyembuhan dan gagal mengevaluasi efektifitas program pengobatan. j)
Perilaku negatif terhadap penyembuhan.
2.14. Riset Fenomenologi.
Menurut Davis (1979), Riset fenomenologi mengamanatkan peneliti untuk
akrab dengan peserta riset dan lingkungan nya. Maka akan ada beberapa harapan
tentang apa yang akan ditemukan dalam mempelajari serta dan pengalamannya.
Peserta menghasilkan realita pengalaman tanpa hipotesa atau firasat sebelumnya
yang ditetapkan untuk mengarahkan apa yang harus ditemukan.
Menurut Omery (1983), dalam riset fenomenologi ini peneliti bertindak
sebagai papan tulis yang bersih, bersedia untuk menulis suatu bab baru tentang
pengetahuan yang dicari
Fenomenologi adalah cabang filosofi yang menkankansubyektivitas
pengalaman manusia. Sewaktu digunakan sebagai dasar filosofis dalam riset,
fenomenologi mengamanatkan bahwa data ilmiah dihasilkan dengan mempelajari
informasi yang diharapkan dari perspektif peserta riset (Brockopp dan Tolsma,
1999).
Pendekatan.
Peneliti yang menggunakan pendekatan riset fenomenologi menaruh
perhatian terhadap totalitas pengalaman manusia. Hal ini meliputi semua nuansa
pengalaman yang diberikan.
Langkah-langkah dalam proses riset fenomenologi.
Riset fenomenologi didasakan pada filsafat fenomenologi yang mencoba
untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu atau sejumlah situasi.
Jika situasi ini dijadikan lingkungan riset, beberapa lankah-langkah dalam proses
riset jenis ini harus dilakukan.
Peserta riset harus menyampaikan suatu atau serangkaian pengalamannya kepada
peneliti.
a) Peneliti tersebut berupaya menterjemahkan pengalaman yang disampaikan
tersebut kedalam pemahaman pengalaman peserta. b) Peneliti kemudian memecah
pengalaman ini menjadi konsep mendasar yang menjadi tema pengalaman
tersebut. c) Peneliti kemudian menyampaikan pemahannya kepada khalayak
dalam bentuk tulisan sehingga khalayak ini dapat menghubungkan pengalaman
Karena secara potensial sejumlah besar data yang akan dikumpulkan dan
dianalisa, risetfenomenologi biasanya berdasarkan pada sejumlah kecil individu.
Perhatikan bahwa riset jenis inididasarkan pada pengalaman orang lain dan
biasanya membutuhkan pelatihan khusus sebelum penelitian dapat membuat