• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Praktik Jual Rugi Dalam Industri Retail Ditinjau Dari UU No. 5 Tahun 1999

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akibat Hukum Praktik Jual Rugi Dalam Industri Retail Ditinjau Dari UU No. 5 Tahun 1999"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

akan diberikan kesimpulan dan saran.

BAB II

PRAKTEK MENJUAL RUGI DALAM INDUSTRI RETAIL DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

A. Pasar Persaingan

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan pasar

diartikan sebagai lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik

secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi

perdagangan barang dan/atau jasa.

Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan pasar adalah tempat

orang berjual beli, kekuatan penawaran dan permintaan, tempat penjual yang

ingin menukar barang dengan uang.8

Pengertian ini senada juga dengan apa yang disebut oleh para ekonom

dimana pasar adalah sebagai suatu arena yang di dalamnya pembeli dan

penjual mempertukarkan barang dan jasa.9

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 istilah pasar tidak digunakan secara

tersendiri, namun pengertian pasar tersebut meletakkan dasar untuk pengertian

pasar bersangkutan, struktur pasar, perilaku pasar, pangsa pasar dan harga

8 ฀ Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 833.

(2)

pasar.

Pasar yang paling ideal adalah pasar yang bersaing sempurna (perfect

competition market). Pasar dapat dikatakan bersifat persaingan sempurna jika

memiliki beberapa ciri :

1. Barang yang diperjual belikan homogen baik jenis maupun

kualitasnya.

2. Jumlah penjual dan pembeli sangat banyak hingga tidak ada satupun

pelaku pasar yang dapat menentukan harga secara sendiri-sendiri, baik di pihak penjual maupun di pihak pembeli. Pada kondisi seperti ini, para ekonom mengatakan bahwa harga ditentukan oleh pasar dan para penjual hanya bisa menerima harga yang ditentukan oleh pasar (price taker). Oleh karena harga ditentukan oleh pasar, berapapun jumlah barang yang dijual harganya akan tetap sama bagi pedagang tersebut sehingga pada umumnya keuntungan yang lebih banyak bagi penjual di dalam pasar persaingan sempurna dapat dicapai jika dia dapat menjual lebih banyak. Keinginan untuk menjual lebih banyak akan meningkatkan persaingan.

3. Tidak adanya hambatan masuk (barrier to entry) bagi setiap penjual

untuk masuk ke dalam pasar dan tidak ada pula hambatan untuk keluar (barrier to exit) dari pasar. Pasar seperti ini biasanya ditandai dengan kecilnya komponen biaya yang hilang jika dia harus berhenti berjualan. Salah satu alasan utama yang mendorong orang untuk masuk ke dalam pasar adalah adanya keuntungan yang diterima oleh pelaku yang ada di dalam pasar. Dengan kecilnya kemungkina biaya yang hilang jika seorang penjual keluar dari pasar, maka dorongan untuk ikut berusaha dalam bidang yang sama akan semakin besar.

4. Setiap orang, baik penjual maupun pembeli, mengetahui seluruh

informasi pasar secara sempurna.10

Sedangkan Munir Fuady menjelaskan karekteristik pasar yang

kompetitif tersebut dengan mengutip pendapat Sullivan yaitu :

1. Terdapatnya banyak pembeli dan penjual.

2. Idak satupun perusahaan sangat besar sehingga tindak tanduk dari

hanya satu perusahaan tersebut dapat mempengaruhi harga di pasar.

3. Produk di pasar cukup homogen, dimana setiap produk sanggup

10 ฀ Ibid., hal. 23.

(3)

menjadi substitusi bagi yang lain.

4. Tidak terdapat penghalangan untuk memasuki pasar (barrier to

entry).

5. Kemampuan untuk meningkatkan produksi tidak ada rintangan.

6. Produsen dan konsumen mempunyai informasi yang lengkap

mengenai faktor-faktor yang relevan dengan pasar.

7. Keputusan yang diambil oleh produsen dan konsumen bersifat

individual dan tidak terkoordinasi antar sesama produsen maupun konsumen.11

Istilah pasar sebagaimana dijelaskan di atas akan sangat menentukan

apakah telah terjadi praktek monooli dalam suatu pasar dimana suatu

perusahaan dianggap memiliki market power (kekuatan pasar), maka akan

tergantung sekali kepada penentuan daripada definisi pasar itu sendiri.

Perjanjian pembagian wilayah dapat dikategorikan berdasarkan produk

yang diperdagangkan dan jangkauan geografis dari pasar tersebut. Pasar

produk menggambarkan barang dan jasa yang diperjual belikan sedangkan

pasar geografis menggambarkan lokasi produksi dari produsen atau penjual.

Tetapi seberapa besar jangkauan pasar suatu produk, baik dilihat dari produk

yang diperjual belikan maupun dari lokasi yang memproduksinya merupakan

hal yang tidak mudah untuk ditetapkan, terutama dalam menentukan apakah di

satu pasar tertentu telah terjadi praktek monopoli atau persaingan usaha tidak

sehat. “Dalam ilmu ekonomi maka sebagai langkah pertama adalah definisi

dari relevant market (pasar bersangkutan) adalah faktor yang esensial untuk

(4)

menentukan suatu pasar”.12

1. Jangkauan atau daerah pemasaran.

Istilah pasar bersangkutan merupakan istilah sentral semua tata hukum

anti monopoli dan berasal dari hukum anti monopoli Amerika Serikat.

Pengertian yang umum dari pasar dibatasi dalam pasar bersangkutan.

Pembatasan tersebut berkaitan dengan :

2. Kelompok pelaku usaha.

3. Barang dan/atau jasa tertentu, yaitu barang dan/atau yang sama atau

sejenis, atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut.13

Pembatasan tersebut penting karena transaksi sebagaimana disebut

dalam pengertian pasar hanya mungkin terjadi dalam kelompok pelaku usaha

tertentu, atas barang dan/atau jasa tertentu, dalam jangkauan atau daerah

pemasaran yang tertentu pula. Akan tetapi, dalam ketentuan tersebut tidak

diatur baik siapa maupun dasar yang menentukan barang dan/atau jasa adalah

sama sejenis atau merupakan substitusi.

Pengertian pasar bersangkutan dijelaskan melalui suatu produk atau

suatu kelompok produk dan suatu area geografis. Untuk menentukan apakah

suatu monopoli hipotesis akan berada dalam posisi yang menentukan untuk

penguasaan pasar, perlu untuk mengevaluasi kecenderungan respon

12 ฀

Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 34-35.

(5)

permintaan dari konsumen atas suatu kenaikan harga. Suatu kenaikan harga

dapat dibuat tidak menguntung-kan oleh konsumen dengan beralih ke produk

lain atau beralih ke produk yang sama yang diproduksi oleh perusahaan dari

tempat lain. Sifat dan ukuran dua tipe respon permintaan ini menentukan

lingkup pasar produk dan pasar geografis.

Pasar berangkutan menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 diartikan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau

daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang, dan/atau jasa yang

sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut. Dengan

demikian terdapat dua kriteria pokok untuk pasar bersangkutan di dalam

ketentuan tersebut yaitu :

1. Jangkauan atau daerah pemasaran tertentu.

2. Barang dan jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang

dan/atau jasa tersebut.

Mendefinisikan pasar bersangkutan secara sederhana berarti

mengiden-tifikasi produk atau jasa tertentu atau kelas produk yang dihasilkan atau jasa

yang diberikan oleh pelaku bisnis di dalam wilayah geografis tertentu. Dengan

demikian maka dapat dikatakan juga bahwa pasar bersangkutan sebagai area

dari dari persaingan yang efektif, yang di dalamnya tergugat menjalankan

usaha.

Frans Jurgen Sacker dan Jens Thomas Fuller sebagaimana dikutip oleh

Sih Yuliana menjelaskan cara mengidentifikasi pasar yang dibedakan antara

(6)

pasar pasokan (supply market) dengan pasar permintaan (demand market).

Cara mengidentifikasi pasar tersebut dilakukan dari segi faktual dan geografis,

di samping itu dijelaskan pula mengenai identifikasi pasar dari segi waktu.14

B. Hukum Monopoli dan Persaingan Usaha

Pembatasan pasar baik menurut pasar patokan maupun pasar permintaan perlu

dilakukan untuk dapat menilai penguasaan pasar dari segi pemasok dan dari

segi pembeli menurut hukum persaingan usaha. Namun demikian pengaturan

dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 hanya

mengasumsikan adanya pasar pasokan, sehingga tidak dapat digunakan untuk

mendefinisikan pasar permintaan.

Ada juga yang menjelaskan pasar bersangkutan secara kasus per kasus.

Pendekatan ini mencakup dimensi produk dan geografis dari pasar

bersangkutan. Metode penentuan pasar semacam ini dapat digunakan untuk

menentukan apakah terdapat pesaing aktual yang mampu menghambat

perilaku dari perusahaan yang dipersoalkan dan untuk mengkaji tingkat

kompetisi nyata di pasar.

Kegiatan ekonomi atau bisnis dapat menimbulkan adanya suatu

persaingan usaha antara pelaku usaha yang satu dengan lainnya dan hal

tersebut merupakan hal yang biasa terjadi. Persaingan usaha yang sehat akan

berakibat positif bagi para pengusaha yang saling bersaing atau berkompetisi

karena dapat menimbulkan upaya-upaya peningkatan efiseinsi, produktivitas

(7)

dan kualitas produk yang dihasil-kan. Konsumen juga mendapatkan manfaat

dari adanya persaingan yang sehat karena dapat menimbulkan penurunan harga

dan kualitas produk tetap terjamin. Sebaliknya apabila persaingan yang terjadi

tidak sehat, akan dapat merusak perekonomian negara yang merugikan

masyarakat.15

Undang-Undang Anti Monopoli yang terdiri dari 11 Bab dan 53 pasal

ini, Monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk penguasaan atas produksi dan

atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu

pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dalam Black’s Law

Dictionary, Monopoli diartikan sebagai a privilege or peculiar advantage

vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right

(or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a

particular article, or control the sale of the whole supply of a particular

commodity.

Kebutuhan akan suatu perangkat hukum yang mengatur persaingan

usaha antar pelaku usaha tidak dapat ditawar-tawar lagi. Untuk maksud

tersebut pada tanggal 5 MAret 1999 telah diundangkan Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat.

16

15 ฀

Abdul R. Saliman, dan kawan-kawan, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan

Contoh Kasus, Prenada media, Jakarta, 2004, hal. 170.

16 ฀ Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 12-13.

Berbeda dari definisi yang diberikan dalam undang-undang

(8)

Dictionary penekanan lebih diberikan pada adanya suatu “hak istimewa”

(privilege) yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya

juga akan menciptakan penguasaan pasar.

Munir Fuady menjelaskan bahwa :

Dengan praktek monopoli dimaksudkan adalah sebagai suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh 1 (satu) atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.17

2. Willful acquisition or maintenance of that power”.

Selanjutnya dalam Black’s Law Dictionary dikatakan “Monopoly as

prohibited by Section 2 of the Sherman Antitrust Act, has two elements :

1. Possesion of monofoly power in relevant market;

18

Hal ini memberikan konsekwensi dimungkinkan dan diperkenankannya

monopoli yang terjadi secara alamiah, tanpa adanya kehendak dari pelaku

usaha tersebut untuk melakukan monopoli. Uraian di atas menekankan Point 1 (kesatu) di atas menjelaskan monopoli dilarang karena

menguasai pasar, dan 2 point (kedua) menjelaskan usaha-usaha memelihara

kekuasaan pasar tersebut. Kedua hal di atas menerangkan monopolis yang

dilarang dalam Sherman Act adalah monopoli yang bertujuan untuk

menghilangkan kemampuan untuk melakukan persaingan dan atau untuk tetap

mempertahankannya.

17 ฀

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 213

(9)

proses terjadinya monopolisasi dan bukan pada monopoli yang ada. Ada

beberapa argumen yang dapat dikemukakan dengan proses terjadinya

monopoli secara alamiah.

Hal-hal tersebut atara lain meliputi hal-hal berikut di bawah ini :19

1. Monopoli terjadi sebagai akibat dari suatu “superior skill”, yang salah

satunya dapat terwujud dari pemberian hak paten secara eksklusif oleh

negara, berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku

kepada pelaku usaha tertentu atas hasil riset dan pengembangan atas

teknologi tertentu. Selain itu ada juga yang dikenal dengan istilah “trade

secret”, yang meskipun tidak memperoleh eksklusifitas “pengakuan” oleh

negara, namun dengan teknologi “rahasia” nya mampu membuat suatu

produk superior.

2. Monopoli terjadi karena pemberian negara. Di Indonesia hal ini sangat

jelas dapat dilihat dari pelaksanaan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan pasal

33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang dikutip kembali alam Pasal

51 undang-undang ini.

3. Monopoli merupakan suatu “historical accident”. Dikatakan sebagai

“historical accident” oleh karena monopoli tersebut terjadi karena tidak

senga-ja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh

berbagai faktor terkait dimana monopoli tersebut terjadi. Dalam hal ini

penilaian mengenai pasar bersangkutan yang memugkinkan terjadinya

(10)

monopoli menjadi sangat relevan.

Selain definisi dari Monopoli, dalam undang-undang juga diberikan

pengertian dari praktek monopoli, yaitu suatu pemusatan kekuatan ekonomi

oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi

dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan

persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Dari definisi yang diberikan di atas dapat kita ketahui bahwa pada

dasarnya ada 4 hal penting yang dapat kita kemukakan tentang praktek

monopoli ini yaitu :

1. Adanya pemusatan kekuatan ekonomi;

2. Pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha

ekonomi;

3. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha

tidak sehat; dan

4. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum.20

Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu

pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat

menentukan harga barang dan atau jasa, dan persaingan usaha tidak sehat

adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan

produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan

20 ฀ Elyta Ras Ginting, HukumAnti Monopoli Indonesia, Analisis Perbandingan

(11)

cara tidak jujur atau melawan hukum atau meghambat persaingan usaha.

Satu hal yang cukup menarik dari undang-undang ini adalah bahwa

selama suatu pemusatan kekuatan ekonomi tidak menyebabkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat (sebagaimana didefinisikan), maka hal itu tidak

dapat dikatakan telah terjadi suatu praktek monopoli, yang melanggar atau

bertentangan dengan undang-undang ini, meskipun monopoli itu sendiri secara

nyata-nyata telah terjadi (dalam bentuk penguasaan produksi dan/ atau

pemasaran barang dan/atau jasa tertentu). Jadi jelaslah bahwa monopoli itu

sendiri tidak dilarang, yang dilarang adalah praktek monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat.

Dari pengertian yang diberikan di atas jelas dapat kita lihat bahwa salah

satu prasyarat pokok dapat dikatakan telah terjadi suatu pemusatan kekuatan

ekonomi adalah telah terjadinya penguasaan nyata dari suatu pasar

bersangkutan sehingga harga dari barang atau jasa yang diperdagangkan tidak

lagi mengikuti hukum ekonomi mengenai permintaan dan penjualan,

melainkan semata-mata ditentukan oleh satu atau lebih pelaku ekonomi yang

menguasai pasar tersebut.

C. Praktek Menjual Rugi Dalam Industri Retail Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Proses menjual rugi pada dasarnya dapat dilakukan oleh kegiatan usaha

(12)

Prosesnya dilakukan dengan menjual di bawah harga rata-rata atau menjual di

bahwa harga biaya produksi dan pada waktu tertentu dikembalikan lagi ke

normal setelah para pesaing produk yang sama tidak ada lagi di pasaran.

Dengan demikian ada tempo atau waktu yang diambil dari jarak menjual rugi

lalu kembali kepada normal.

Sedangkan Ningrum Natasya Sirait membagi empat macam proses

kegiatan menjual ke pasar sebagai tindakan menjual rugi yaitu:21

1. Teori yang dikemukakan Philip Areeda dan Donald Turner “Cost Based

school” atau dijelaskan diterapkannya pendekatan ekonomi dalam

memutuskan kasus menjual rugi. Alasannya adalah menjual rugi tidak akan

berarti apapun bila tidak timbul adanya kehilangan keuntungan dalam

waktu dengan tujuan akan mendapatkan keuntungan kembali kelak. Areeda

dan Turner mengusulkan agar tanggungjawab seorang monopolis dalam

menjual rugi harus diputuskan berdasarkan perhitungan secara khusus

terhadap biaya produksi. Menurut mereka, harga monopoli harus dilihat

sebagai tindakan menjual rugi hanya bila harga penjualan adalah di bawah

harga marginal ketika output ditambah satu. Begitupun karena data

mengenai biaya marginal sukar didapat, Areeda Turner berpendapat bahwa

harga adalah harga menjual rugi bila harga jual merupakan harga di bawah

antisipasi harga rata-rata. Sejak pendekatan ini diperkenalkan, peradilan

21 ฀

Ningrum Natasya Sirait, Menjual Rugi (Predatory Pricing) Dalam Hukum Persaingan

dan Pengaturannya dalam UU No. 5 /1999, Jurnal Hukum Bisnis Volume 23 No. 1 Tahun 2004,

(13)

mulai banyak melakukan pendekatan analisis ekonomi dalam kasus

menjual rugi. Bahkan dapat dikatakan bahwa analisis ekonomi merupakan

komponen utama dalam pembuktian menjual rugi dengan menggunakan

berbagai pengujian berdasarkan biaya (cost) sebagaimana yang

diperkenalkan oleh Areeda dan Turner.

2. Teori proses yang kedua adalah apa yang disebit dengan “struktural filter

schol” yang menggunakan aturan perhitungan biaya hanya bila struktur

pasar menunjukkan bahwa tindakan menjual rugi akan mengakibatkan

proses persaingan terganggu. Pendekatan ini bertumpu pada kondisi

dimana kesempatan masuk ke pasar menghambat kemampuan pelaku yang

menjual rugi untuk melakukan recoupment investasinya dengan cara

menetapkan harga di bawah produksi.

3. Proses yang ketiga disebut dengan istilah no rule, yang menetapkan bahwa

menjual rugi adalah tindakan yang jarang terjadi sehingga sebenarnya

hukum persaingan tidak perlu mengaturnya. Pertimbangannya adalah

bahwa pelaku yang menjual rugi tidak akan mampu bertahan, demikian

juga akan selalu ada pemain baru masuk ke pasar, sehingga strategi ini

tidak akan mampu bertahan lama. Kalau perilaku ini diatur oleh Hukum

Persaingan, maka dikhawatirkan justru akan mengganggu strategi yang pro

persaingan dan konsumen akan dirugikan.

4. Proses yang keempat disebut dengan game theoritic, yang memandang

(14)

kondisi dan menolak perhitungan analisis harga untuk mengidentifikasikan

perilaku yang melanggar hukum. Pendekatan ini berdasarkan analisis

bahwa perusahaan yang ada menggunakan informasi yang ada untuk

mengancam pesaing yang baru masuk untuk keluar dari pasar ataupun

mengurangi output.

Perdebatan pendapat para ahli hukum persaingan juga menyinggung

apakah perilaku pemotongan harga termasuk dalam pelanggaran. Frank

Easterbrook kemudian menolak pengujian biaya versi Areeda dan Turner dan

mengatakan bahwa pemotongan harga harus dinyatakan sebagai tindakan yang

dibenarkan atau perse legal. Bork dan Easterbrook sama-sama setuju terhadap

pendapat Areeda dan Turner bahwa menjual rugi kecil kemungkinannya dapat

dibuktikan karena kerugian yang dilakukan semasa menjual di bawah harga

seharusnya akan didapat kembali melalui keuntungan dari harga monopoli

ketika pesaing sudah ke luar dari pasar. Namun keduanya menyimpulkan

bahwa upaya untuk menghentikan tindakan menjual rugi adalah tidak berguna

karena berdasarkan analisis cost dan benefit, secara realita walaupun memiliki

kemampuan keuangan yang kuat, tindakan ini sulit untuk dilaksanakan.

Berdasarkan pendekatan di atas, dalam beberapa putusannya,

pengadilan melihat beberapa pertimbangan yaitu:

1. Hubungan antara harga monopoli dan biaya akan memberikan petunjuk

yang membantu mengevaluasi terjadinya menjual rugi dengan asumsi

(15)

pada faktor misalnya apakah hambatan masuk pasar memungkinkan pelaku

melakukan recoupment sesudah pesaing keluar dari pasar.

2. Pendekatan kedua fokus pada syarat struktural pasar untuk melihat

kemungkinan suksesnya menjual rugi.

3. Evaluasi mengenai pembuktian maksud.

Ilmu ekonomi pasar yang paling ideal adalah pasar yang bersaing

sempurna (perfect competition market). Pasar dapat dikatakan bersifat

persaingan sempurna jika memiliki ciri-ciri:

1. Barang yang diperjualbelikan homogen baik jenis maupun kualitasnya.

2. Jumlah penjual dan pembeli sangat banyak hingga tidak ada satu pun

pelaku pasar yang dapat menentukan harga secara sendiri-sendiri, baik di

pihak penjual maupun di pihak pembeli. Pada kondisi seperti ini, para ahli

ekonomi mengatakan bahwa harga ditentukan oleh pasar dan para penjual

hanya bisa menerima harga yang ditentukan oleh pasar (price taker). Oleh

karena harga ditentukan oleh pasar, berapapun jumlah barang yang

dijual harganya akan tetap sama bagi pedagang tersebut sehingga pada

umumnya keuntungan yang lebih banyak bagi penjual di dalam pasar

persaingan sempurna dapat dicapai jika dia dapat menjual lebih banyak.

Keinginan untuk menjual lebih banyak akan meningkatkan persaingan.

3. Tidak adanya hambatan masuk (barrier to entry) bagi setiap penjual untuk

masuk ke dalam pasar dan tidak ada pula hambatan untuk keluar (barrier

(16)

komponen biaya yang hilang jika dia harus berhenti berjualan. Salah satu

alasan utama yang mendorong orang untuk masuk ke dalam pasar adalah

adanya keuntungan yang diterima oleh para pelaku yang ada di dalam

pasar. Dengan kecilnya kemungkinan biaya yang hilang jika seorang

penjual keluar dari pasar, maka dorongan untuk ikut berusaha dalam

bidang yang sama akan semakin besar.

4. Setiap orang, baik penjual maupun pembeli mengetahui seluruh informasi

pasar secara sempurna.

Ada beberapa hal yang mungkin sangat sulit dicapai oleh setiap pasar

untuk mencapai kondisi pasar persaingan sempurna, terutama ciri pertama dan

keempat sebagaimana dijelaskan di atas. Sangat jarang dijumpai pasar yang

memiliki barang dan/atau jasa yang homogen. Demikian pula sangat langka

dimilikinya informasi yang sempurna oleh penjual dan pembeli. Ini adalah

jenis pasar yang ideal dalam prakteknya untuk dicapai.

Uraian di atas juga menjelaskan tentang keadaan-keadaan dihajatkan

dalam suatu pasar. Jadi ada suatu dilema jika kegiatan pasar tidak difungsikan

dari kegiatan persaingan yang sempurna, dimana produk yang diperjual

belikan hanya dipasok oleh satu orang pemasok atau dalam kegiatan pasar

telah terjadi kegiatan monopoli. Padahal untuk memunculkan pasar yang

sempurna maka diperlukan adanya beberapa pemasok yang melakukan

kegiatan jual beli secara baik sehingga tercipta persaingan yang sehat.

(17)

yang baik itu juga dipahami dari keadaan pasar dari sisi geografis. Pasar

geografis ini diindikasikan dalam suatu batasan wilayah, seperti kota, atau

negara. Dalam mengisi kegiatan pasar geografis ini juga dibutuhkan

persaingan, sehingga tercipta pasar yang sempurna, jadi tidak hanya satu orang

yang memainkan peranan penting dalam kegiatan pasar geografis ini karena

akan memunculkan praktek monopoli.

Ada dimensi yang harus diperhitungkan dalam uraian di atas untuk

memunculkan pasar sempurna dimana pasar tidak dikuasai oleh satu jenis

produk saja atau pasar dikuasai oleh satu pelaku semata. Dengan demikian

maka pasar bersangkutan berupaya menjelaskan keadaan tersebut sehingga

tercipta keadaan pasar yang sempurna.

Keadaan ini dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 yang memberikan pengertian tentang pasar bersangkutan sebagai

pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh

pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi

dari barang dan/atau jasa tersebut.

Pasar bersangkutan berupaya mengidentifikasikan keadaan-keadaan

yang menciptakan monopoli dalam kegiatan suatu pasar sehingga dapat

menghindarinya dan menciptakan pasar yang sempurna. Cara mengidentifikasi

pasar tersebut dilakukan dari segi faktual dan geografis, di samping itu

dijelaskan pula mengenai identifikasi pasar dari segi waktu. Pembatasan pasar

(18)

dapat menilai penguasaan pasar dari segi pemasok dan segi pembeli menurut

hukum persaingan usaha. Namun demikian pengaturan dalam Pasal 1 angka 10

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 hanya mengasumsikan adanya pasar

patokan, sehingga tidak dapat digunakan untuk mendefinisikan pasar

permintaan.

Berdasarkan uraian yang dijelaskan di atas dapat dibuat dua kriteria

pokok untuk menentukan pasar bersangkutan, yaitu pasar produk/pasar faktual

dan pasar geografis.

1. Pasar produk/pasar faktual

Pasar produk adalah unsur pertama yang harus diperhitungkan untuk

me-nentukan pasar bersangkutan. Ketentuan hukum persaingan di Indonesia

menentukan bahwa yang penting dalam penentuan pasar produk adalah

sejauhmana produk bersangkutan dapat disubstitusikan oleh produk lain.

Produk dengan karakter yang dapat diperbandingkan dalam pengertian harga

dan kegunaannya adalah bagian dari pasar produk yang sama.

Suatu pasar produk yang bersangkutan mencakup semua produk

dan/atau jasa yang dianggap sebagai produk dan/atau jasa yang dapat saling

dipertukarkan atau disubstitusikan oleh konsumen karena karekteristik produk,

harga dan tujuan penggunaannya.

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pasar faktual

adalah pasar dimana terdapat barang dan atau jasa yang sama atau sejenis,

(19)

siapa yang menentukan apakah barang dan/atau jasa tersebut adalah sama atau

sejenis, dan tidak pula mengatur kriteria untuk menentukan barang dan/atau

jasa tersebut adalah sama atau sejenis.

Praktek persaingan usaha menjelaskan bahwa terdapat dua pengujian

yang erat kaitannya satu sama lain dan saling melengkapi untuk

mengidentifikasi pasar produk yang bersangkutan yaitu kegunaan yang saling

dapat dipertukarkan dan elastisitas silang dari permintaan.

Untuk pemisahan pasar dari segi faktual, konsep yang terpenting adalah

konsep substitusi yang menentukan pasar bersangkutan dari segi faktual

dengan cara menetapkan barang dan/atau jasa mana yang dapat disubstitusi

barang dan/atau jasa lain. Dalam pasar bersangkutan faktual hanya terdapat

barang dan/atau jasa yang dapat saling mensubstitusi. Sebagai bagian dari

konsep tersebut terdapat berbagai model untuk menentukan hubungan

substitusi. Model tersebut antara lain adalah konsep rencana ekonomi yang

mendefinisikan hubungan antar pesaing dan dengan demikian pasar

bersangkutan faktual, atas dasar pengetahuan yang dikuasai pemasok bahwa

pemasaran barangnya tidak hanya ditentukan oleh parameter kegiatannya

sendiri, melainkan juga oleh parameter-parameter pemasok lain. Berkaitan

dengan konsep kekosongan sunstitusi, pasar bersangkutan faktual terhenti oleh

adanya kekosongan substitusi, karena hanya apabila terdapat rangkaian

substitusi, maka barang-barang tersebut dapat dalam pasar bersangkutan

(20)

Pendekatan yang dapat dilakukan untuk menganalisis pasar produk

adalah analisis substitusi yang dapat diukur dari :

a. Tingkat fungsional dari perdagangan, termasuk hubungan grosir dan retail

melalui rantai nilai yang komplek dan berlapis.

b. Substitusibilitas permintaan, hambatan bagi konsumen untuk beralih ke

produk atau pemasok lain.

c. Lingkup waktu analisis, biasanya satu tahun namun dapat pula 18 bulan

atau dua tahun.

d. Substitusi rantai, produk A dan C mungkin tidak saling bersubstitusi,

namun produk B dapat mensubstitusi keduanya, sehingga meletakkan A

dan C ke dalam satu pasar yang sama. Misalnya broadband cable TV

adalah substitusi untuk baik telephone maupun broadcast TV.

Analisis terhadap Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,

dapat dijelaskan kriteria substitusi dapat dianalisis sebagai berikut :

a. Dapat ditentukan secara absolut sifat barang dan/atau jasa yang sama atau

sejenis. Petunjuk pertama adalah sifat fisik yang sama dari barang dan/atau

jasa, berkaitan dengan tujuan pemakaian yang sama sehingga dapat saling

dipertukarkan. Di samping itu sifat-sifat eksternal seperti citra merek atau

hasil pengujian barang dan/atau jasa bersangkutan yang dapat

mempengaruhi perilaku pembeli. Dua barang dan/atau jasa yang memiliki

sifat fisik yang sama dapat berada di dalam dua pasar yang berlainan

(21)

merek yang khusus sehingga pembeli lebih suka pada barang dan/atau jasa

tertentu, dan tidak membeli barang dan/atau jasa yang citranya biasanya

saja.

b. Berdasarkan sifat barang dan/atau jasa, pembeli perlu mengganggap bahwa

barang dan atau jasa tersebut dapat diganti barang dan/atau jasa lain. Yang

pen-

ting adalah penggunaan konkrit oleh pembeli dan bukan tujuan penggunaan

potensial yang hipotetis.

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 barang substitusi tidak

dapat disejajarkan dengan barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis, tetapi

dapat menggantikan kegunaan barang dan/atau jasa tertentu. Oleh sebab itu,

barang substitusi terdapat dalam pasar faktual yang sama, tetapi hanya berlaku

apabila barang dan/atau jasa yang berlainan tersebut dari segi kegunaan

utamanya dapat dipertukarkan. Apabila dua jenis barang dan/atau jasa dapat

dipertukarkan untuk kegunaan marjinal, maka barang tersebut tidak dianggap

berada di pasar faktual yang sama.

Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam mengidentifikasikan

pasar produk adalah harga. Harga berperan penting bagi konsumen ketika

membeli barang dan/atau jasa tertentu. Harga berkaitan erat dengan kegunaan

barang, karena konsumen harus mempertimbangkan antara kegunaan barang

dengan harga yang perlu dibayar. Meskipun Pasal 1 angka 10 Undang-Undang

(22)

mengidentifikasi pasar, harga dapat juga berperan. Hal ini terjadi apabila ada

barang yang kegunaannya sama, sedangkan harganya berbeda-beda. Perbedaan

harga besar antara barang-barang yang dapat dipertukarkan menurut sifat

produk, akan dialo-kasikan di pasar berbeda-beda. Batas terendah perbedaan

harga antara pasar yang berbeda-beda tidak boleh ditentukan terlalu rendah.

Apabila perbedaan harga mencapai 100% maka barang-barang bersangkutan

dianggap terdapat dalam pasar yang berbeda.

Meskipun Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

mengasumsikan adanya pasar pasokan, pembatasan pasar permintaan juga

perlu karena pasal 13 tentang oligopsoni dan Pasal 18 tentang monopsoni

dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 membahas praktek pihak

permintaan yang membatasi persaingan usaha.

2. Pasar geografis

Pasar geografis sebagai unsur kedua yang perlu diperhitungkan untuk

menentukan pasar yang bersangkutan. Pasar geografis dapat diartikan secara

luas sebagai area yang di dalamnya penjual produk atau jasa tertentu

menjalankan usaha. Pasar geografis dapat pula diartikan sebagai suatu pasar

yang di dalamnya penual produk atau jasa tertentu dapat menjalankan usaha

tanpa hambatan yang serius. Pasar geografis dapat saja dibatasi, misalnya

suatu kota kecil, atau dapat pula keseluruhan pasar internasional. Di antaranya

adalah mungkin untuk mempertimbangkan alternatif lain, seperti sejumlah

(23)

Pasar geografis juga diindikasikan mencakup area yang di dalamnya

perusahaan yang dipersoalkan terlibat dalam suplai produk dan/atau jasa yang

di dalamnya kondisi persaingan cukup homogen.

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyebutkan

jangkauan atau daerah pemasaran. Ini adalah pasar bersangkutan dari segi

geografis. Dengan identifikasi demikian, akan dapat ditentukan pasar-pasar

dengan jangkauan berbeda-beda, pasar lokal, pasar regional, pasar nasional,

pasar supranasional atau pasar dunia.

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyebutkan

daerah pemasaran. Daerah pemasaran adalah wilayah dimana pemasok barang

dan/atau jasa sedang mengalami persaingan. Dalam prakteknya tidak sulit

untuk menentukan kriteria tersebut, tetapi untuk mengidentifikasi pasar

geografis tidak dapat digunakan secara terpisah dari faktor-faktor lain yang

membatasi lebih lanjut daerah pemasaran. Selain itu struktur distribusi yang

sudah mantap kedudukannya dapat merupakan indikasi adanya pasar yang

sudah tertutup, karena struktur pemasaran tersebut merupakan hambatan

masuk pasar bagi pelaku usaha yang belum terintegrasi.

Praktek di Indonesia mengidentifikasi pasar geografis, biaya

transportasi berperan penting, karena dari biaya tersebut dapat dijelaskan

jangkauan wilayah barang dan/atau jasa bersangkutan dapat dipasok secara

ekonomis. Ketentuan hukum persaingan menentukan bahwa ketika

(24)

penting.

Hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah pasokan barang dan/atau

jasa yang terikat tempat. Barang dan/atau jasa tertentu hanya dapat dipasok di

daerah yang sempit. Hal ini terutama berlaku untuk jasa yang berkaitan dengan

kenyataan benda tidak bergerak. Karena itu dalam praktiknya di Indonesia jasa

pelabuhan dibatasi pada kawasan fasilitas pelabuhan bersangkutan sebagai

pasar geografis. Sama halnya dengan jasa yang disediakan oleh pengelola

bandar udara.

Unsur selanjutnya yang menentukan pasar geografis adalah kebiasaan

permintaan tertentu. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak

mencantumkan hal ini secara eksplisit, namun dapat dikatakan dari materinya,

karena daerah pemasaran tertentu tergantung kepada permintaan yang terbatas

pada daerah tertentu. Preferensi pembeli lokal yang diakibatkan berbagai

sebab, dapat menimbulkan struktur permintaan yang berbeda-beda.

BAB III

(25)

A. Industri Retail

Retail adalah penjualan dari sejumlah kecil komoditas kepada

konsumen. Retail berasal dari bahasa Perancis yaitu Retailer yang berarti

Memotong menjadi kecil kecil. Sedangkan menurut Gilbert Retail adalah

Semua usaha bisnis yang secara langsung mengarahkan kemampuan

pemasarannya untuk memuaskan konsumen akhir berdasarkan organisasi

penjualan barang dan jasa sebagai inti dari Distribusi. Dalam kamus Bahasa

Inggris Indonesia, Retail bisa juga di artikan sebagai Eceran. Pengertian

Retailing adalah semua aktivitas yang mengikut sertakan pemasaran barang

dan jasa secara langsung kepada pelanggan. Pengertian Retailer adalah semua

organisasi bisnis yang memperoleh lebuh dari setengah hasil penjualannya dari

retailing. 22

Bisnis ritel merupakan aktivitas bisnis yang melibatkan penjualan

barang dan jasa secara langsung kepada konsumen akhir. Pada

perkembangannya, kini bisnis ritel di Indonesia mulai bertransformasi dari

bisnis ritel tradisional menuju bisnis ritel modern. Perkembangan bisnis ritel

modern di Indonesia sudah semakin menjamur di hampir seluruh wilayah

Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya toko retailer modern yang

membuka cabang di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), bisnis ritel

atau usaha eceran di Indonesia mulai berkembang pada kisaran tahun 1980 an

(26)

seiring dengan mulai dikembangkannya perekonomian Indonesia. Hal ini

timbul sebagai akibat dari pertumbuhan yang terjadi pada masyarakat kelas

menengah, yang menyebabkan timbulnya permintaan terhadap supermarket

dan departement store (convenience store) di wilayah perkotaan. 23

Trend inilah yang kemudian diperkirakan akan berlanjut di masa-masa

yang akan datang. Hal lain yang mendorong perkembangan bisnis ritel di

Indonesia adalah adanya perubahan gaya hidup masyarakat kelas menengah ke

atas, terutama di kawasan perkotaan yang cenderung lebih memilih berbelanja

di pusat perbelanjaan modern. Perubahan pola belanja yang terjadi pada

masyarakat perkotaan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan berbelanja saja

namun juga sekedar jalan-jalan dan mencari hiburan. Berkembangnya usaha di

industri ritel ini juga diikuti dengan persaingan yang semakin ketat antara

sejumlah peritel baik lokal maupun peritel asing yang marak bermunculan di

Indonesia.

Industri ritel di Indonesia saat ini semakin berkembang dengan semakin

banyaknya pembangunan gerai-gerai baru di berbagai tempat. Kegairahan para

pengusaha ritel untuk berlomba-lomba menanamkan investasi dalam

pembangunan gerai-gerai baru tidaklah sulit untuk dipahami. Dengan

pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 3% sejak tahun 2000 dan makin

22 ฀

Dian1.blogspot.com, "Pengertian Usaha Retail", Melalui http://dian1.blogspot.com/

2011/11/pengertian-usaha-riteil.html, Diakses tanggal 6 Juli 2014.

(27)

terkendalinya laju inflasi, bisa menjadi alasan mereka bahwa ekonomi

Indonesia bisa menguat kembali di masa mendatang.

Ramainya industri ritel Indonesia ditandai dengan pembukaan

gerai-gerai baru yang dilakukan oleh pengecer asing seperti Makro (Belanda),

Carrefour (Perancis), dan Giant (Malaysia, yang kemudian juga digandeng

oleh PT Hero Supermarket Tbk), yang tersebar di kotakota besar seperti

Jakarta, Makassar, Semarang, Bandung, Yogyakarta, dan lain sebagainya.

B. Model dan Macam Industri Retail

Penggolongan bisnis ritel di Indonesia dapat dikategorikan berdasarkan

sifatnya, yaitu ritel yang bersifat tradisional atau konvensional dan yang

bersifat modern. Ritel yang bersifat tradisional adalah sejumlah pengecer atau

pedagang eceran yang berukuran kecil dan sederhana, misalnya toko-toko

kelontong, pengecer atau pedagang eceran yang berada di pinggir jalan,

pedagang eceran yang berada di pasar tradisional, dan lain sebagainya.

Kelompok bisnis ritel ini memiliki modal yang sedikit dengan fasilitas

yang sederhana. Ritel modern adalah sejumlah pedagang eceran atau pengecer

berukuran besar, misalnya dengan jumlah gerai yang cukup banyak dan

memiliki fasilitas toko yang sangat lengkap dan modern. Hasil survey menurut

AC Nielsen lima pengecer terbesar yang termasuk dalam kategori ritel modern

di Indonesia berdasarkan nilai penjualan adalah Matahari, Ramayana, Makro,

(28)

supermarket (swalayan), hypermarket, minimarket, departement store, dan lain

sebagainya.

Bisnis ritel dapat pula dibagi menjadi tiga kelompok usaha perdagangan

eceran yaitu:

1. Grosir (pedagang besar) atau hypermarket. Kelompok ini umumnya hanya

ada di kota-kota besar dan jumlahnya sedikit. Di Indonesia yang termasuk

dalam kelompok ini adalah:

a. PT Alfa Retailindo dengan nama gerai Alfa.

b. PT Makro Indonesia dengan nama gerai Makro.

c. PT Carrefour Indonesia dengan nama gerai Carrefour.

d. PT Goro Batara Sakti dengan nama gerai Goro.

e. PT Hero Supermarket dengan nama gerai Giant.

f. PT Matahari Putra Prima dengan nama gerai Matahari.

2. Pengecer besar atau menengah dengan jumlah gerai sekitar 500 gerai.

3. Minimarket modern. Pelaku kelompok ini tidak banyak namun mengalami

perkembangan pesat.24

Menurut Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen

Perdagangan Republik Indonesia, jenis-jenis perdagangan eceran terdiri dari:

1. Pasar tradisional, adalah tempat transaksi barang atau jasa antara penjual

dan pembeli, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Memperjualbelikan barang/jasa kebutuhan sehari-hari secara eceran

24 ฀ Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri-Departemen Perdagangan, Kebijakan

(29)

b. Melibatkan banyak pedagang eceran berskala kecil

c. Bangunan dan fasilitas pasarnya relatif sederhana

d. Pemilikan dan pengelolaannya umumnya oleh pemerintah daerah.

2. Supermarket (swalayan/rumah belanja), adalah pasar modern tempat

penjualan barang-barang eceran yang berskala besar dengan pelayanan

yang bersifat self service. Kepemilikannya bisa dimiliki oleh satu orang

atau lebih. Komoditi inti yang dijual adalah barang-barang rumah tangga,

makanan, minuman, dan lain-lain.

3. Departement Store (Toko Serba Ada), adalah pasar modern tempat

penjualan barang-barang eceran yang berskala besar. Komoditi inti yang

dijual adalah jenis-jenis fashion, seperti pakaian, sepatu, tas, kosmestik,

perhiasan, dan lain-lain. Pelayanan dibantu oleh pramuniaga dan adapula

yang self service.

4. Pasar Grosir, adalah tempat transaksi barang atau jasa antara penjual dan

pembeli secara partai besar, untuk kemudian diperdagangkan kembali.

5. Pasar Grosir tradisional, adalah pasar grosir dengan jumlah pedagang

grosir relatif banyak, seperti Pasar Tanah Abang Jakarta, Pasar Cipulir,

Pasar Mangga Dua Jakarta, dan lain sebagainya.

6. Pasar Grosir Modern, adalah pasar grosir dengan pelayanan yang bersifat

self service, seperti Pasar Grosir Makro, Alfa, dan lain-lain.

7. Pusat perbelanjaan/pusat perdagangan (mall/plaza/shopping center), adalah

(30)

gedung perbelanjaan. Dalam pusat perbelanjaan terdapat departement store,

supermarket, dan toko-toko lain dengan berbagai macam produk.

Contohnya: Galeria Mall, Blok M Plaza, dan lain-lain. 8. Toko bebas pajak

(duty free shop), adalah tempat melakukan kegiatan usaha perdagangan

barang yang memperdagangkan barang-barang tanpa dikenakan pajak

sehingga dapat dibeli dengan harga yang murah namun tidak semua orang

dapat berbelanja di tempat tersebut. Biasanya pembeli harus menjadi

anggota terlebih dahulu dan diprioritaskan untuk orang asing. Toko ini

berbentuk badan hukum.

9. Pasar percontohan, merupakan suatu tempat berupa pasar fisik yang berada

di daerah yang perekonomiannya relatif terbelakang dan diharapkan dapat

berkembang mandiri serta mampu mendorong berkembangnya potensi

ekonomi daerah sekitarnya, Jenis barang yang diperjualbelikan adalah

barang-barang kebutuhan sehari-hari serta barang-barang hasil produksi

pertanian dan kerajinan masyarakat setempat.

10. Pertokoan, adalah suatu wilayah yang terdapat bangunan toko-toko

sepanjang jalan raya dan ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai

pertokoan.

11. Pasar induk, adalah pasar tempat transaksi barang atau jasa antara penjual

(31)

kembali ke pasar-pasar lainnya, seperti Pasar Induk Kramat Jati Jakarta dan

Pasar Induk Beras Cipinang.25

C. Penyebab Terjadinya Praktek Jual Rugi Dalam Industri Retail

Penyebab utama terjadinya praktek jual rugi dalam industri retail adalah

untuk mengalahkan dan mematikan usaha retail saingan para pelaku penjual

rugi. Penyebab tersebut adalah penyebab utama sehingga apabila konsumen

mengalihkan pembelian suatu produk kepada penjual yang menjual rugi pada

waktu yang sedemikian maka diharapkan pihak saingan dari penjual yang

sama akan merasa dirugikan karena pembelinya tidak ada lagi, sehingga kalah

bersaing.

Selain faktor persaingan tersebut maka menjual rugi juga dibuat

sedemikian rupa untuk menarik kembali. Artinya menjual rugi dilakukan

perusahaan untuk barang tertentu dan terhadap barang tertentu lainnya

diberikan harga standard. Dengan kondisi tersebut maka pembeli akan tertarik

membeli produk yang dijual rugi. Tetapi sebaliknya konsumen tanpa sadar

membeli produk lain yang harganya adalah harga standard. Dengan kebijakan

pemasaran yang sedemikian perusahaan diharapkan mendapatkan keuntungan.

Predatory pricing atau jual rugi adalah salah satu bentuk strategi yang

dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga dibawah

biaya produksi (average cost atau marginal cost). Adapun tujuan utama dari

predatory pricing untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan

(32)

juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke

dalam pasar yang sama. Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha pesaing

keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, maka

selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan

keuntungan yang mungkin didapatkan. Untuk dapat melakukan perbuatan

tersebut, maka pelaku usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang

besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang

diderita selama masa predator. Terdapat dua syarat pendahuluan sebelum

melakukan predatori yaitu; pertama, pelaku usaha yakin bahwa pesaingnya

akan mati lebih dulu dari pada dia. Kedua, keuntungan setelah predatori akan

melebihi kerugian selama masa predatori.

Menurut R. Sheyam Khemani, Predatory pricing biasanya dilarang

bukan dikarenakan menetapkan harga yang terlalu rendah terhadap produk

yang dijualnya sekarang, tetapi dikarenakan di masa yang akan datang pelaku

usaha akan berusaha untuk mengurangi produksinya dan menaikan harga. Oleh

karena itu apabila pelaku usaha yang melakukan praktek predatory pricing,

namun tidak mengurangi produksinya dan juga tidak menaikan harga, maka

mungkin tidak akan terjadi predatory pricing yang bertentangan dengan

hukum.Pasal 7 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha

(33)

harga di bawah harga pasar (predatory pricing) yang dapat mengakibatkan

terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 26

Oleh karena ketentuan yang mengatur mengenai predatory pricing

dirumuskan secara rule of reason, maka sesungguhnya dapat dikatakan

sebenarnya pelaku usaha tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku

usaha pesaingnya untuk menetapkan harga dibawah harga pasar, asalkan tidak

mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau pelaku usaha

tersebut mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima.

Salah satu kasus predatory pricing adalah yang terjadi adalah antara

William Inglis & Son Co. vs. ITT Continetal Baking Co. Kasus ini diajukan

oleh Inglis yang mendalilkan bahwa Continental berusaha menghilangkan

persaingan dengan jalan menjual rugi roti dengan private label miliknya

dibawah biaya tidak tetap rata-rata, sehingga menyebabkan Inglis bankrut.

Sebaliknya Continental mendalilkan bahwa dia hanya melakukan kompetisi

secara ketat. Harganya adalah dapat dibenarkan mengingat kelebihan kapasitas

dalam industri. Putusan pengadilan menyatakan bahwa Continental tidak

melanggar Hukum Persaingan. Ninth Circuit (Pengadilan Banding)

menyatakan bahwa apabila harga dari terlapor adalah dibawah harga total

rata-rata, tetapi diatas biaya tidak tetap rata-rata-rata, maka pelapor/ penggugat

mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa harga dari terlapor adalah

predator. Namun apabila penggugat membuktikan bahwa harga Terlapor

26 ฀ Tipers, "Contoh Kasus Predatory Pricing", Melalui http://teentiper.blogspot.com/

(34)

adalah dibawah harga tidak tetap rata-rata, maka Terlapor mempunyai

kewajiban untuk membuktikan bahwa harganya tersebut adalah masuk akal

terlepas dari akibatnya terhadap pesaing.

Predatory pricing ini tidaklah selalu bertentangan dengan hukum.

Harus dibedakan dengan persaingan sempurna atau persaingan yang sangat

ketat, karena bisa saja dianggap predatori tapi sebenarnya adalah persaingan

yang sangat kompetitif.

Strategi predatory pricing hanya bisa berlaku jika perusahaan pesaing

baru sulit muncul dan pesaing yang sudah mati sulit bangkit lagi dalam

industri tersebut. Jika tidak, ini adalah strategi “bunuh diri”: kalau pesaing baru

mudah muncul, atau pesaing lama mudah bangkit lagi, sang predator perlu

terus menerapkan harga jual-rugi. Semakin lama jual-rugi” dilakukan, semakin

dekatlah perusahaan pada kebangkrutan.

Secara garis besar teknik ini dilaksanakan dalam tiga tahap:

1. Perusahaan A memberikan harga yang rendah atas produk/jasa yang dia

produksi dengan tujuan memperoleh sebanyak mungkin konsumen

sehingga perusahaan pesaingnya (B,C, D) akan tertekan. meskipun

sebenarnya perusahaan A merugi.

2. Ketika perusahaan pesaing (B, C, D) sudah tidak mungkin lagi dapat

menggarap pasar karena pangsa pasar yang tersisa sudah sangat sedikit,

maka dalam pasar tersebut tinggal satu perusahaan saja yang sangat

(35)

3. Ketika sudah tidak ada lagi pesaing yang berarti (signifikan) maka

perusahaan A akan menaikan harga barang/jasa, sehingga dapat menutup

kerugian yang dialami pada tahap 1.27

Kebijakan pricing seperti itu tentu akan merugikan dunia usaha dan

tentu saja konsumen. kerugian yang ditimbulkan adalah sebagai berikut:

a. Dominasi pasar oleh satu/lebih pelaku usaha akan mengakibatkan

berkurangnya kesempatan pelaku usaha lain untuk masuk kedalam pasar,

sehingga secara makro akan menghambat investasi

b. Konsumen tidak memiliki cukup pilihan atas barang/jasa yang ditawarkan

dalam suatu pasar

c. Pelaku usaha yang dominan akan menentukan harga secara

sewenang-wenang/tidak wajar.

Referensi

Dokumen terkait

The adoption of cattle and palm oil integrated system for Plasma farmers in South Sumatera were influenced by income factor, consumption, number of family

problem, the study is called a correlational study.” Desain penelitian ini untuk memberikan bukti empiris mengenai pengaruh sistem informasi akuntansi yang terintegrasi dengan

Baja 13Cr3Mo3Ni setelah proses tempering menunjukkan struktur mikro yang terbentuk terdiri dari fasa martensit lath , austenit sisa, ferit delta dan karbida logam,

Selain itu, sektor pariwisata saat ini juga menjadi salah satu sektor unggulan bagi pemerintah Republik Indonesia dalam mendapatkan pendapatan negara “

bantu agar kiyai ada yang membantu dan selesainya tidak membutuhkan waktu yang lama, dan kyai maupun santri bisa mempunyai waktu istirahat yang cukup, memberi sanksi

Model pembelajaran Picture and Picture merupakan model pembelajaran inovatif yang menyajikan informasi, menyajikan materi, memperlihatkan gambar sehingga sistematik,

Ij a “ha ih; Yaitu pa a ujtahid pada satu asa itu sepakat atas huku te hadap suatu kejadia dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran frekuensi karakter umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, bobot 100 butir, dan bobot biji per tanaman pada populasi F 2