• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Sa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Sa"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Surabaya, 18 Januari 2014

Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana ISBN XXXX-YYYY

KAJIAN TEORI DAN EKSPERIMEN

DARK MATTER

DARI PERSPEKTIF

KOSMOLOGI DAN SUPERSIMETRI

Rifky Nia Sarantie1,2), Moh. Luqman Hakim1), Hafsemi Rapsanjani1), Febdian Rusydi2)

1)Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya, Jl. Ketintang Kampus Ketintang Gedung

K.9 Surabaya – 60231.

2)

Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Jl. Mulyorejo Kampus C Surabaya – 60115.

e-mail: rifkynias@gmail.com

Abstract

The fact that invisible matters still dominate the Universe. It is a serious problem for our understanding of the Universe. Especially the dark matter, which is consider as a real invisible matter that raise gravitational-related problems, such as large scale structure and gravity lens. Dark matter becomes the top priority issue in astrophysics community recently in order to perfect our physical model to be more close to the real Universe. Some huge experiments have been studying the dark matter, such as Large Hadron Collider in CERN, Energetic Gamma Ray Emission Telescope in outer space by NASA, and Xenon 10 in Italy. In theoretical point of view, particle physics is being used to pursue the particle candidate of dark matter's constituent. For this purpose, Minimal Supersymmetric Standard Model (MSSM), a model according to the Standard Model, predicts neutralino as the candidate. This study is to review the dark matter from cosmology, where General Relativity theory plays an important role, and to calculate the probability of finding neutralino in Xenonl0 experiment. The study result shows that physics needs the hypothetical matter of Dark Matter to understand fully of the Universe and neutralino could be the right candidate of the constituent matter of Dark Matter. If it is true and has detected, it will be a great triumph both for particle physics that owns the neutralino in their MSSM and for cosmology that owns dark matter.

Keywords:general relativity, dark matter, cosmology, XenonlO, MSSM

Abstrak

Fakta bahwa invisible matter mendominasi komposisi alam semesta adalah sebuah masalah yang serius untuk memahami Alam Semesta. Khususnya dark matter, yang dipertimbangkan sebagai materi yang sesungguhnya dari invisible matter yang memunculkan masalah-masalah yang berkaitan dengan gravitasi, seperti struktur besar Alam Semesta dan lensa gravitasi. Beberapa eksperimen raksasa yang mempelajari dark matter seperti Large Hadron Collider di CERN, Energetic Gamma Ray Emission Telescope dalam ruang terbuka oleh NASA, dan Xenon10 di Italia. Dalam kacamata teoritis, fisika partikel dapat digunakan untuk menentukan partikel kandidat penyusun dark matter mengacu pda Minimal Supersymetric Standard Model (MSSM), sebuah model di luar Standard Model, untuk memprediksi neutralino sebagai partikel kandidat penyusun dark matter. Kajian ini adalah untuk mengkaji ulang (review) dark matter dari perspektif kosmologi, yang mana teori Relativitas Umum berperan penting, dan untuk menghitung probabilitas menemukan neutralino dalam eksperimen Xenon10. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa fisika membutukan hipotesis dark matter untuk memahami alam semesta seca ra utuh dan neutralino dapat menjadi partikel kandidat penyusun dark matter. Jika neutralino benar-benar terdeteksi, itu akan menjadi keberhasilan baik untuk fisika partikel yang menyumbangkan partikel neutralino dalam MSSM maupun untuk kosmologi yang memiliki dark matter.

Kata Kunci: relativitas umum Einstein, dark matter, kosmologi, Xenon10, MSSM

PENDAHULUAN

Dark matter adalah sebuah hipotesis materi yang dibutuhkanuntuk melengkapi materi yang hilang di Alam semesta kita. Dark matter tidak memancarkan cahaya dan juga tidak berinteraksi dengan cahaya (refleksi atau absorbsi) karena tidak berinteraksi di bawah pengaruh elektromagnetik. Oleh karena itu, keberadaan dark matter tidak dapat dideteksi langsung oleh detektor yang ada saat ini yang bekerja berdasarkan interaksi elektromagnetik.

Metode pengamatan tak-langsung menjadi pilihan utama dalam penyelidikan dark matter, misalnya membandingkan massa sebuah galaksi yang didapat dari spektroskopi massa bintang dengan pengukuran kecepatan objek di pinggir galaksi tersebut. Metode ini dikenal dengan konvensional M/L (mass-light ratio). Dark matter kemudian menjadi salah satu misteri dalam fisika yang sampai sekarang belum tuntas terpecahkan.

(2)

pergerakan sebuah galaksi terluar dari kluster Coma yang jauh dan massif (D.Perkins, 2005). Zwicky kemudian memperkirakan massa dari tiap galaksi pada kluster tersebut berdasarkan luminositasnya, dan menjumlahkan massa tiap galaksi tersebut untuk mendapatkan total massa kluster galaksi tersebut. Dalam perhitungannya, Zwicky tidak mendapatkan hasil perhitungan yang sesuai dengan hasil pengamatan. Zwicky mendapatkan kecepatan orbit dari lapisan terluar kluster yang teramati lebih cepat dari kecepatan orbit dari hasil perhitungan.

Pada saat yang bersamaan secara terpisah, astronom Belanda, Jan Oort mempelajari pergerakan rotasi galaksi-galaksi di sebuah kluster lokal. Jan Oort mendukung hasil pengamatan Zwicky dengan menyatakan bahwa massa galaksi-galaksi di sebuah kluster lokal tiga kali lebih massif daripada yang diperoleh dari intensitas cahaya masing-masing galaksi. Salah satu solusi dari ketidaksesuaian ini adalah bahwa ada massa yang tidak terhitung karena tidak terdetesi oleh pengamatan mereka. Massa yang tidak teridentifikasi inilah yang diperkirakan sebagai dark matter.

Selain membuat model matematis untuk dark matter agar dapat masuk dalam Standard Model fisika yang sudah ada, dilakukan juga pencarian dark matter di Alam Semesta. Beberapa eksperimen yang didedikasikan untuk pencarian dark matter di antaranya adalah ANTARES di Laut Mediterania, EGRET (bagian dari proyek WMAP NASA), XENON10 di Italia, dan Large Hadron Collider (LHC) di CERN. Masing-masing eksperimen memiliki teknik dan detektor berbeda, tapi memiliki satu tujuan yaitu menangkap partikel penyusun dark matter langsung atau tidak langsung. Eksperimen XENON10, misalnya, dalam berita utama majalah Nature volume 448 (19 Juli 2007) meyakini Weakly Interacting Massive Particle (WIMP) sebagai partikel penyusun dark matter dan menggunakan likuid Xenon sebagai detektornya. WIMP sendiri sampai sekarang masih berupa sebuah hipotetikal partikel yang dijelaskan oleh teori supersimetri.

Hipotesis dark matter sendiri secara menakjubkan telah diungkap oleh proyek WMAP (Wilkinson Microwave Anisotropy Probe), yang merupakan suksesor proyek Cosmic Background Explorer (COBE). Proyek WMAP menguraikan komposisi Alam Semesta yang terdiri dari 74% dark energy, 22% dark matter, dan sisanya 4% adalah materi dan radiasi yang kita kenal (Bennett, 2003). Tanggal 5 November 2008, Satelit PAMELA mengklaim telah berhasil mendeteksi sisa-sisa anihilasi dark matter di Alam Semesta.

Fakta bahwa 22% komposisi Alam Semesta adalah dark matter menempatkan dark matter menjadi sebuah isu yang sangat serius. Ini terkait dengan keinginan untuk memahami Alam Semesta secara utuh. Komunitas fisika astropartikel Eropa dalam laporan ROAD MAAP penelitian tahun 2006 menempatkan dark matter sebagai riset pertama dari enam riset

unggulan yang mereka rekomendasikan. Di Indonesia belum banyak yang melakukan kajian tentang dark matter. Kajian ini diharapkan dapat menjadi inisiator riset dark matter di Fisika Universitas Negeri Surabaya secara khusus dan memberikan sumbangan kepada komunitas Fisika Astropatikel di Indonesia secara umum.

METODE

Metode pengkajian dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan informasi dari beberapa literatur, buku teks, dan jurnal-jurnal ilmiah. Kemudian menentukan teori hamburan yang sesuai dengan reaksi antara WIMP (weakly Interacting Massive Particle) dengan inti atom Xenon pada eksperimen XENON10. Selanjutnya melakukan penghitungan cross section sebagai indikasi adanya WIMP yang terdeteksi dalam eksperimen XENON10. Perhitungan cross section digunakan sebagai indikasi keberadaan dark matter melalu Persamaan (7).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bukti keberadaan dark matter di Alam Semesta dapat dilihat dari fenomena-fenomena: kurva rotasi galaksi, lensa gravitasi, dan Large Scale Structure.

Teknik pengamatan astronomi modern melalui kurva rotasi galaksi yang dilakukan oleh Zwicky lebih akurat untk objek galaksi. Sebuah galaksi umumnya dapat dibagi atas bagian inti galaksi yang berbentuk bola dan bagian yang mengelilingi inti yang berbentuk cakram. Semua objek-objek astronomi seperti bintang, planet, gas dan debu kosmos yang terkonsentrasi pada kedua bagianini dengan fungsi kerapatan massa tertentu.

Gambar 1. (a) Galaksi (garis tebal hitam di tengah-tengah) dikelilingi oleh daerah yang disebut halo. (b) Penampang galaksi yang dipotong dari dipotong horizontal. R adalah jari-jari galaksi dan rm

adalah jarak objek ke titik pusat galaksi (Sumber: Hasil kajian teoritik penelitian, 2009)

(3)

orbit dari lapisan terluar dapat dihitung dengan hukum III Newton, yaitu

 

r

r

M

G

v

2

(1)

dengan

v

adalah kecepatan orbit dari matahari, r adalah jarak antara mata-hari dan pusat galaksi,

G

adalah konstanta gravitasi, dan

M

 

r

adalah distribusi massa kluster yang didefinisikan oleh:

 

r

 

dV

r

r

M

0

(2)

Berdasarkan Gambar 1(b) kita akan menentukan hubungan kecepatan orbit terhadap jarak dari lapisan terluar sebuah galaksi. Perhitungan kecepatan orbit dapat dibagi dalam dua ranah, pertama untuk objek di dalam galaksi (

r

R

) dan kedua untuk objek di daerah halo (

r

R

).

Untuk

r

R

, dengan asumsi

 

r

0 adalah konstan, kecepatan orbit dari lapisan terluar diberikan oleh:

2 0 2

3

4

r

G

v

(3)

Sedangkan untuk

r

R

, massa

M

 

r

adalah massa total galaksi, yaitu

M

 

R

, didapatkan kecepatan orbit lapisan terluar:

r

R

G

v

3

0 2

3

4

(4)

Berdasarkan Persamaan (3) dan (4) dapat diketahui bahwa

 



untuk

r

R

r

R

r

untuk

r

r

v

1

Sementara, dari pengamatan langsung dan memper-timbangkan efek Doppler didapatkan bahwa (Klapdor-Kleingrothaus, 2000)

R

r

untuk

tetap

v

(5) (3)

sehingga Persamaan (3), (4), dan (5) dapat diplot dalam satu grafik, yaitu Gambar 2.

Gambar 2. Grafik kecapatan orbit terhadap jarak untuk menghitung massa total galaksi dan halonya. Garis putus-putus pada daerah r > R adalah hasil perhitungan dari pengamatan massa dan garis bersambung adalah dari luminositas.

Kecepatan konstan yang diberikan oleh Persamaan (5) mengharuskan:

r

R

r

M

(6)

Persamaan (6) menunjukkan bahwa massa total semua objek dalam radius r (dengan r > R) sebanding dengan pertambahan r. Ini jelas tidak sesuai dengan hasil perhitungan dari kecepatan orbit. Dengan kata lain, ada massa dengan jumlah yang besar yang tidak teramati dengan teknik luminositas.

Gambar 3. Kurva galaksi NGC 3198. (Sumber: Klapdor-Kleingrothaus, 2000: 269).

Teknik ini telah dilakukan pada galaksi NGC 3198 dan hasilnya ditampilkan pada Gambar 3. Hasil perhitungan dari model matematis ditunjukkan oleh dua garis solid, yaitu perhitungan jika massa hanya ada pada galaksi dan perhitungan jika melibatkan massa halo. Sementara, garis yang dibentuk oleh plot titik-titik adalah hasil pengamatan. Gambar 3. mengindikasikan bahwa massa yang tidak terhitung oleh teknik luminositas adalah dark matter.

(4)

Gambar 4. Massa membuat dimensi ruang-waktu melengkung sehingga lin-tasan cahaya yang bergerak di dekat massa juga ikut melengkung. Akibatnya, cahayaterbelokkan dan peristiwa ini disebut lensa gravitasi. (Sumber: diambil dari situs http://www.star.ucl.ac.uk, diakses pada 5 Desember 2008)

Lensa gravitasi adalah pembelokkan cahaya oleh benda yang sangat massif. Efek lensa gravitasi sudah diramalkan oleh Einstein lewat konsep gravitasinya: bahwa massa membuat ruang-waktu melengkung dan cahaya yang bergerak dalam dimensi ruang-waktu ikut melengkung ketika mele-wati massa. Peristiwa ini diilustrasikan oleh Gambar 4. di mana lintasan cahaya terbelokkan ketika melewati sebuah benda bermassa.

Gambar 5. Fenomena lensa gravitasi yang teramati dari kluster galaksi CL0024 yang diamabil oleh Hubble Space Telescope (2007). Galaksi Abell 2218 menjadi penghalang antara pengamat dan kuasar di belakang kluster tersebut. Galaksi Abell 2218 yang sangat massif mem-buat cahaya dari kuasar terbelokkan dan terlihat efek penggandaan cahaya yang berbentuk meleng-kung mirip cincin. (Sumber: diambil dari situs http://www.nasa.gov, diakses pada 21 Juli 2009).

Lensa gravitasi mengizinkan kita untuk melihat benda di belakang benda yang lain. Sebuah galaksi adalah objek yang sangat massif yang dapat berperan seperti sebuah lensa. Efek ini diberikan oleh galaksi Abell 2218 pada kluster galaksi CL0024 yang dipotret pada tanggal 15 Mei 2007 oleh teleskop Hubble. Dari data spektroskopi, massa kluster ini seharusnya tidak sanggup menghasilkan lensa gravitasi seperti pada Gambar 5. Jika benar demikian, maka ada massa kluster atau massa galaksi dalam jumlah besar yang tidak teramati oleh teleskop. Massa tersebut diduga berasal dari dark matter yang terletak di dalam atau di belakang kluster galaksi CL0024. Dengan teknik ini, ratusan buah MACHO telah teramati bahkan di galaksi Bima Sakti.

Pengetahuan terhadap komposisi Alam semesta bergantung pada tingkat akurasi memindai langit jagad raya pada skala besar. Studi khusu tentang struktur Alam Semesta berskala besar (large scale structure) menunjukkan bahwa material di Alam Semesta tidak

terdistribusi secara random, melainkan memiliki struktur pada skala sangat besar (D.Perkins, 2005) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Struktur skala besar Alam Semesta yang dipotong pada belahan utara dan selatan galaksi. Kita berada tepat di pusat gambar. Jumlah titik putih adalah 9.325 dan setiap titiknya adalah sebuah galaksi. Terlihat ada pola yang dibuat titik-titik tersebut sebagai tanda kecenderungan bahwa massa tersebar dengan struktur tertentu. (Sumber: diambil dari situs http://www.nasa.gov, diakses pada 5 Desember 2008).

Berdasarkan prediksi teoritis dan hasil pengamatan modern mengantarkan para kosmolog kepada kesimpulan bahwa Alam Semesta tersusun dari komponen materi, radiasi, dan vakum. Informasi yang ada sekarang menunjukkan adanya selisih besar kerapatan komponen materi yang terdeteksi dengan besar kerapatan materi yang diprediksi oleh teori untuk pengukuran untuk satu galaksi atau satu kluster galaksi. (pengukuran lokal). Selisih tersebut menunjukkan adanya massa yang hilang atau tidak teramati oleh para kosmolog.

Fakta ini membuat para kosmolog membedakan materi sebagai materi tampak (visible matter) dan materi tak-tampak (invisible matter). Materi tak-tampak inilah yang kemudian disebut sebagai dark matter.

(5)

Salah satu eksperimen raksasa itu adalah XENON10. XENON10 adalah proyek eksperimen yang berlokasi di Laboratorium bawah tanah, Gunung Gran Sasso, Italia. Proyek ini menggunakan detektor likuid Xenon (LXe) dan gas Xenon dalam usaha pencarian WIMP secara eksperimen (Aprile, 2002). Prinsip pengukuran XENON10 adalah berdasarkan sinyal dari sensor (scintillation) yang dihasilkan dari penurunan energi dalam skala medium. Scintillation ini kemudian diukur menggunakan 89 Hamamatsu R8520 Photomultiplier Tubes (PMTs) (Gomes, 2007).

Gambar 7. Skema detektor XENON10. (Sumber: Gomez, 2007: 31).

Berdasarkan Gambar 7, dapat dijelaskan bahwa WIMP yang datang menghasilkan sinyal S1 kemudian ditangkap oleh detektor Lxe dan berinteraksi dengan inti atom Xenon. Interaksi yang terjadi menyebabkan inti atom Xenon mengalami recoil. Recoil inti dari interaksi menghasilkan inti Xenon dalam keadaan tereksitasi atau bisa juga terjadi peristiwa ionisasi (pasangan ion dari elektron Xe* + e-) yang terjadi di dalam likuid Xenon (Baudis, 2006). Energi foton yang dihasilkan dari interaksi inti xenon yang tereksitasi atau ionisasi dengan gas Xenon kemudian ditangkap oleh PMT (PhotoMultiplier Tube) bagian atas sebagai sinya S2. Energi yang terdeteksi kemudian dianalisis oleh PMT sebagai indikator terdeteksinya WIMP dalam eksperimen XENON10.

WIMP adalah partikel yang berinteraksi di bawah pengaruh gaya lemah. WIMP tidak berinteraksi secara elektromagnetik dan tidak berinteraksi di bawah pengaruh gaya kuat. Oleh karena itu, WIMP dapat dikategorikan sebagai dark matter.

Standard Model tidak menyediakan partikel yang memenuhi kriteria WIMP, para kosmolog melihat kemungkinan itu pada partikel SuSy (SuperSymmetry) dalam MSSM (Minimal Supersymetry Standard Model).

Pertikel SuSy secara teoritis massif. Massa partikel SuSy antara 100 GeV (batas bawah dalam akselerator partikel) dampai dengan 1000 GeV (Perkins, 2005). Partikel SuSy yang stabil ini tidak mengalami peluruhan lagi. Partikel yang tidak mengalami peluruhan lagi disebut the Lightest SuperSymetry Particle (LSP).

Salah satu partikel yang termasuk LSP adalah neutralino. Neutralinomerupakan fermion bermuatan netral yang disusun oleh kombinasi linier fotino, zino, dan dua higgsino. Neutralino juga bukan barion, sehingga partikel SuSy ini tidak berinteraksi secara elektrmagnetik dan tidak berinterksi di bawah pengaruh gaya kuat.Fisika partikel mengasumsikan neutralino hanya berinteraksi di bawah pengaruh gaya lemah. Meskipun memiliki massa kecil untuk partikel SuSy, namun dibandingkan partikel yang disediakan Standard Model massa neutralino sangat massif (setidak-tidaknya 100 kali massa proton). Dengan demikian, neutralino dapat dikategorikan sebagai WIMP, partikel kandidat yang diharapkan para kosmolog untuk memecahkan misteri dark matter.

Probabilitas terdeteksinya WIMP dapat dilihat dari cross section hamburan yang dihasilkan dari interaksi inti xenon yang tereksitasi atau ionisasi dengan gas Xenon. Cross section hamburan dari interaksi ini diberikan oleh:

3

 

0

4

1

2

24

2 2 2 2

S

m

M

J

G

m

M

N F N SD

 

(7)

dengan

G

F adalah konstanta F ermi coupling dan

 

0

S

adalah zero momentum transfer

S

 

q

,

 

q

S

adalah form factor yang bergantung spin partikel inti (nucleon),

M

adalah massa WIMP dan

N

M

adalah massa inti atom Xenon ( 131

Xe

). Sedangkan

J

adalah total momentum anguler inti atom Xenon.

Perhitungan cross section melalui Persamaan (7) akan menghasilkan grafik yang sesuai dengan bentuk grafik yang diperoleh dari hasil eksperimen.

SIMPULAN

Hipotesis dark matter dari aspek kosmologi dibutuhkan untuk memahami Alam Semesta secara utuh. Ini terkait dengan keberadaan dark matter yang besarnya 22% dari komposisi Alam Semesta. Patikel kandidat penyusun dark matter adalah neutralino (dapat dikategorikan sebagai WIMP). Hasil cross section yang diperoleh sesuai dengan hasil eksperimen.

UCAPAN TERIMA KASIH

(6)

penulisan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima kasih pula kepada orang tua penulis atas dukungan finansialnya pada penelitian ini dan Universitas Negeri Surabaya atas dukungannya dalam keikutsertaan dalam kegiatan ilmiah ini. Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Febdian Rusydi atas bimbingan dan diskusi-diskusi ilmiah yang bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Aprile, E., Baltz, E.A., Curioni, A., Giboni, K-L., Hailey, C.J., Hui, L., Kobayashi, M., Ni, K. 2002. “Xenon : A 1 Tonne Liquid Xenon Experiment for A Sensitive Dark Matter Search”. July 2002. arXiv:astro-ph/0207670v1. [diakses 8 Desember 2008]

Baudis, L. dan Ni, K. 2006. “Direct Dark Matter Searches with CDMS and Xenon”. November 2006. arXiv:astro-ph/0611124v2. [diakses 11 Desember 2008]

Bennett, C.L., Halpern, M., Hinshaw, G., Jarosik, N., Kogut, A., Limon, M., Meyer, S.S., Page, L., Spergel, D.N., Tucker, G.S., Wollack, E., Wright, E.L., Barnes, C., Greason, M.R., Hill, R.S., Komatsu, E., Nolta, M.R., Odegard, N., Peiris, H.V., Verde, L., Weiland, J.L. 2003. ”First Year Wilkinson Microwave Anisotropic Probe (WMAP) observation: Preliminary maps and basic results”. June 2003. arXiv:astro-ph/0302207v3. [diakses 2 Mei 2008].

Gomez, R.G. 2007. ”Characterization of the Xenon-10 Dark Matter Detector with Regard to Electric Field and Light Response”. Thesis, Rice University

Klapdor-Kleingrothaus. 2000. Particle Astrophysics (revised edition). Bristol: J.W. Arrowsmith Ltd.

Kutner, L.M. 2003. Astronomy a Physical Perspective: Second Edition. New York: Cambridge University Press.

Gambar

Gambar 1. (a) Galaksi (garis tebal hitam di tengah-tengah) dikelilingi oleh daerah yang disebut halo
Gambar 3. Kurva galaksi NGC 3198. (Sumber: Klapdor-Kleingrothaus, 2000: 269).
Gambar 6. Struktur skala besar Alam Semesta yang dipotong pada belahan utara dan selatan galaksi
Gambar 7. Skema detektor XENON10. (Sumber: Gomez, 2007: 31).

Referensi

Dokumen terkait

Administrasi Teknis Harga Penawaran Terkoreksi (Rp).. No Nama Penyedia

Menindaklanjuti Berita Acara Evaluasi Penawaran Pekerjaan Jasa Konsultansi Penyusunan Buku Identifikasi Karakteristik Potensi Daerah Dalam Pengembangan Pembangunan Desa

Key im- plications of the current study are that: (1) the combined effect of the seven dimensions —that is, the integrated PLI model as a whole— had a

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Fakultas Ilmu Pendidikan. ©Dwiky Rahmanur Fauzi Universitas

Hasil analisis dari menggunakan path analysis terhadap dua keluhan, yaitu keluhan paru-paru dan keluhan terhadap penyakit kulit, maka dapat disimpulkan tenaga kerja

1) Merupakan penjumlahan antara data Jeruk Siam/Keprok dengan

follows a global offshore development strategy of customer solutions using traditional code-centric Software Engineering methodologies Based on such approaches, the code is

Sedangkan karakteristik profesi keguruan adalah Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual, menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan