• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemerasan dengan Menggunakan Senjata Tajam yang Dilakukan Secara Bersama-Sama (Studi Kasus Nomor 266 Pid.B 2014 Pn.Sbg)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemerasan dengan Menggunakan Senjata Tajam yang Dilakukan Secara Bersama-Sama (Studi Kasus Nomor 266 Pid.B 2014 Pn.Sbg)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum

(rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan,

keadilan, serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensinya adalah

hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.1 Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan

ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum

bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku (act, behaviour)

dan karena itu pula hukum berupa norma.2 Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat

sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut (ibi ius ibi societas).

Kemajuan di bidang hukum ditandai dengan usaha untuk memperbaharui

hukum itu sendiri, kerena hukum sebagai salah satu tiang utama untuk menjamin

ketertiban dalam masyarakat, diharapkan mampu mengantisipasi dan mengatasi

segala tantangan, kebutuhan serta kendala yang menyangkut perubahan-

perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Meskipun seringkali secara faktual,

hukum berjalan lebih lamban daripada perkembangan dan perubahan berbagai hal

di masyarakat.

1

Penjelasan atas pasal 1 ayat 3Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2

(2)

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan

sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar

larangan tersebut‟‟.3

Istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai

berikut :

1. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatan (perbuatan manusia, yaitu suatu

kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya,

larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya

itu ditujukan pada orangnya.

2. Antara larangan ( yang ditujukan pada perbuatan ) dengan ancaman pidana

(yang ditujukan pada orangnya ) ada hubungan yang erat. Oleh karena itu

perbuatan ( yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi,

melanggar larangan ) dengan orang yang melakukanperbuatan tadi erat pula.

Seperti yang telah dikemukakan diatas, didalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, tindak pidana pemerasan diatur dalam pasal 368 KUHP, yang

rumusannya sebagai berikut :

(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau dengan ancaman untukmenyerahkan sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang tersebut atau kepunyaan orang ketiga, atau untuk membuat orang melakukan pemerasan , dipidana dengan pidana penjara selama –lamanya Sembilan tahun.

(2) Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 365 ayat (2), ayat (3), dam ayat (4), juga berlaku bagi kejahatan ini.

3

(3)

Tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam KUHP sebenarnya

terdiri dari dua macam tindak pidana, yaitu tindak pidana pemerasan (afpersing)

dan tindak pidana pengancaman (afdreiging). Kedua macam tindak pidana

tersebut mempunyai sifat yang sama, yaitu suatu perbuatan bertujuan memeras

orang lain. Justru karena sifatnya yang sama itulah kedua tindak pidana ini

biasanya disebut dengan nama sama, yaitu ”Pemerasan‟‟ serta diatur dalam bab

yang sama yaitu Bab XXIII KUHP.

Sekalipun demikian, tidak salah kiranya apabila orang menyebut , bahwa

kedua tindak pidana tersebut mempunyai sebutan sendiri , yaitu pemerasan untuk

tindak pidana yang diatur dalam pasal 368 KUHP dan pengancaman untuk tindak

pidana yang diatur dalam pasal 369 KUHP. Oleh karena memang , dalam KUHP

sendiri pun juga menggunakan kedua nama tersebut untuk menunjuk pada tindak

pidana yang diatur dalam pasal 368 dan 369 KUHP.4

Tindak pidana pencurian dengan tindak pidana pemerasan contohnya .

Perbedaan antara tindak pidana pencurian dan pemerasan atau afpersing itu

terutama terletak pada kenyataan bahwa unsur mengambil tidak terdapat dalam

tindak pidana pemerasan . Benda yang menjadi obyek tindak pidana pemerasan

itu dapat berada di tangan pelakunya, bukan karena diambil melainkan karena

adanya penyerahan yang dipaksakan oleh orang yang menguasai benda tersebut

kepada pelaku. Akan tetapi , antara kedua tindak pidana itu juga terdapat suatu

kesamaan , yaitu bahwa kedua-duanya merupakan kejahatan-kejahatan yang

ditujukan pada harta kekayaan orang lain.

4

(4)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya,

penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi

ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain:

1. Apakah dakwaan jaksa penuntut umum terhadap tindak pidana pemerasan

dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan secara bersama-sama

dalam putusan Pengadilan Negeri Sibolga nomor 266/Pid.B/2014/PN.Sbg

sudah tepat?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana

pemerasan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan secara

bersama-sama (Analisis kasus putusan Pengadilan Negeri Sibolga nomor

266/Pid.B/2014/PN.Sbg)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan utama dalam penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi

syarat guna mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Selain itu, yang menjadi tujuan dari pembahasan skripsi ini dapat

diuraikan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui kesesuaian dakwaan jaksa penuntut umum terhadap

tindak pidana pemerasaan yang dilakukan dengan menggunakan senjata

tajam yang dilakukan secara bersama-sama dalam putusan Pengadilan

(5)

b. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap tindak

pidana pemerasan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan

secara bersama-sama (Analisis kasus putusan Pengadilan Negeri Sibolga

nomor 266/Pid.B/2014/PN.Sbg)?

2. Manfaat penelitian

a. Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat digunakan untuk memberikan

gambaran dan uraian yang komprehensif mengenai tindak pidana

pemerasan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan secara

bersama-sama, serta menambah wawasan ilmiah baik dalam bidang ini

maupun dalam bidang terkait lainnya.

b. Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi masukan

dan tambahan materi bagi para pembacanya baik umum maupun para

akademisi ataupun sebagai bahan referensi bagi para mahasiswa yang

ingin membahas tentang tindak pidana pemerasan dengan menggunakan

senjata tajam yang dilakukan secara bersama-sama.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat

Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai

“Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemerasan Dengan

Menggunakan Senjata Tajam Yang Dilakukan Secara Bersama-sama (Studi

(6)

Penulisan skripsi ini dimulai dari mengumpulkan bahan-bahan yang

berkaitan dengan Pemerasan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan, baik

melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan atau media cetak maupun

media elektronik. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini adalah ide

penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara alamiah dan akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam

perundang-undangan negara kita. Dalam hampir seluruh perundangperundang-undangan kita

menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang

dapat diancam dengan suatu pidana tertentu.5

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang di kenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”6

Vos merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu adalah kelakuan

manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.7 Martiman Prodjomidjojo memberi pendapat bahwa delik itu mengandung perbuatan

yang mengandung perlawanan hak yang dilakukan dengan salah dosa oleh

seorang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut

5

Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2002. hlm. 67.

6

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Edisi 2), USU Press, 2013, hlm. 73.

7

(7)

dipertanggung jawabkan.8 Sedangkan arti delict itu sendiri dalam Kamus

sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Perkataan

feit itu sendiri dalam Bahasa Belanda berarti sebagian dari kenyataan,

sedangkan starfbaar berarti dapat dihukum, hingga secara harafiah perkataan

starfbaar feit dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang

dapat dihukum yang sudah barang tentu tidak tepat karena kita ketahui bahwa

yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,

perbuatan, maupun tindakan.11

Adami Chazawi telah menginvertarisir sejumlah istilah yang pernah

digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai

literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit, yaitu sebagai berikut.

8

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990, hlm. 60.

9

R.Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm. 35.

10

Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Titel Asli: Leerboek van Het Nederlandse Strafrecht) Diterjemahkan oleh PAF Lamintang, Bandung, Pioner Jaya, 1992, hlm 127.

11

(8)

a. Tindak Pidana ,dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita.Dalam hampir seluruh peraturan perundang-perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana,seperti dalam UU No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.UU No.20 Tahun 2001, dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah , ini,misalnya seperti Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro,S.H.;

b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum , misalnya : Mr.R.

Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana Mr.Drs.H.J van

Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia,

Prof.A.Zainal Abidin, S.H dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUD‟S 1950;

c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam literatur ,misalnya prof.Drs.E.Utrecht,S.H, walaupu juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana).Prof.A.Zainal Abidin dalam buku beliau “Hukum

Pidana I” Prof.Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana.

d. Pelanggaran pidana, dapat di jumpai dalam buku Mr .M.H.Tirtaamidjaja yang berjudul pokok-pokok Hukum Pidana;

e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M.Karni dalam

buku beliau “ Ringkasan tentang Hukum Pidana Begitu juga Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”.

f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk Undan-Undang di dalam UU No.12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (pasal 3)

Dari berbagai pengertian di atas dapat kita simpulkan bawasannya tindak

pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat

bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Dimana tindakan yang

dilakukannya tersebut adalah tindakan yang melawan atau melanggar

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga tindakan tersebut dapat

diancam dengan suatu pidana yang bermaksud memberi efek jera, baik bagi

(9)

2. Pengertian Pertimbangan Jaksa

Dalam Pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa

yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan me-laksanakan

penetapan hakim. Selain itu dalam Pasal 1 Undang-Undang Pokok Kejaksaan

(UU No. 15 tahun 1961) menyatakan, Kejaksaan R.I. selanjutnya disebut

Kejaksaan, ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai

penuntut umum. Menurut Pasal 14 KUHAP, penuntut umum mempunyai

wewenang:

a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau

pembantu penyidik;

b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyiclikan dengan

memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat (4), dengan memberi

petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dari penyidik;

c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan

lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan

oleh penyidik;

d. membuat surat dakwaan;

e. melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu

perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa

maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. melakukan penuntutan;

(10)

i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai

penuntut umum menurut undang-undang;

j. melaksanakan penetapan hakim.

Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa, yang dimak-sud

dengan "tindakan lain" ialah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti

dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik,

penuntut umum, dan pengadilan. Setelah penuntut umum menerima, hasil

penyidikan dari penyidik, ia segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu

tujuh hari wajib memberitahukan kepada, penyidik apakah hasil penyidikan itu

sudah lengkap atau belum. Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap,

penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk

tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas

hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan

kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum (Pasal 138 KUHAP).

Adapun yang dimaksud dengan "meneliti" di sini adalah tindakan penuntut

umum dalam mempersiapkan penuntutan (pra penuntutan) apakah orang dan atau

benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai, telah memenuhi syarat

pembuktian yang dilakukan dalam rangka, pemberian petunjuk kepada penyidik.

Setelah penuntut umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari

penyidik, maka segera ditentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi

persyaratan untuk dapat atau tidak diadakan penuntutan.

Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dari

(11)

surat dakwaan. Dan apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan

penyidik tidak cukup bukti-buktinya, peristiwa tersebut bukan merupakan tindak

pidana dan perkaranya ditutup demi hukum.

3. Pengertian Tindak Pidana yang Dilakukan Secara Bersama- Sama

Kejahatan tidak melulu dilakukan oleh oleh seorang pelaku saja, namun

dapat juga dilakukan oleh dua orang atau lebih orang yang dilakukan secara

bersama-sama atau bersekutu dan masing-masing pelaku diikat oleh suatu ikatan

kerjasama. Berbagai macam istilah atau penyebutan yang ditentukan oleh ahli

mengenai tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama yaitu:12 a. Turut campur dalam peristiwa pidana(Tresna)

b. Turut berbuat delik (Karni)

c. Turut serta (Utrecht)

d. Deelneming (Belanda),

e. Compicity (Inggris),

f. Teilnahme/Tatermehrhaei (Jerman),

g. Participation (Prancis)

Adapun kata penyertaan yang bersinonim dengan deelneming aan

strafbare feiten tercantum dalam titel V buku KUHP. Sedangkan arti kata

penyertaan menurut wirjono Prodjodikoro adalah turut sertanya seseorang atau

lebih pada waktu seorang lain melakukan tindak pidana. 13

Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk

turut serta/terlibatnya orang ataou orang-orang baik secara psikis maupun secara

12

Mulyati Pawennei, Hukum Pidana, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2015, hlm. 127-128. 13

(12)

fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu

tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan

tindak pidana, perbuatan mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga

tidak biasa apa yang ada dalam batin mereka terhadap tindak pidana maupun

terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada

masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya,

dimana perbuatan yang asatu menunjang perbuatan yang lainnya, yang semuanya

mengarah pada satu yakni terwujudnya tindak pidana.14

Pengertian lain dari deelneming/penyertaan adalah tindak pidana yang

dilakukan oleh lebih dari satu orang, artinya ada orang lain dalam jumlah tertentu

yang turut serta, turut campur, turut berbuat membantu melakukan agar suatu

tindak pidana itu terjadi, atau dalam kata lain, orang yang lebih dari satu orang

secara bersama-sama melakukan tindak pidana, sehingga harus dicari

pertanggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam peristiwa pidana

tersebut.15

Penyertaan atau deelneming oleh pembentuk undang-undang telah

diatur dalam Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP. Bahwa bila berbicara tentang

Pasal 55 dan Pasal 56 tidak hanya berbicara tentang penyertaan atau deelneming

semata melainkan juga berbicara tentang dader atau pelaku16. Adapun dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dirumuskan sebagai berikut:

14

P.A.F Lamintang, Dasa r-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia (Cetakan Keempat), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 583.

15

Http://pembelajaranhukumindonesia.blogspot.com/2011/09/deelneming.html?m%3D1& ei=kfoR0_3A&lc=id-ID&s=1&m=154&host=www.google.co.id&ts=1471081773&sig=AKOVD 64WowTBN1sMjFwRkfR EG6GqPnFntw, Diakses tanggal 13 Agustus 2016 Pukul 17.11 Wib.

16

(13)

Pasal 55 KUHP : ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

b. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 KUHP :

a. Dipidana sebagai pembantu kejahatan :

1) Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, dapatlah diketahui bahwa

menurut KUHP itu dibedakan dalam dua kelompok yaitu:17

a. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebabkan oleh Pasal

55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat

(mededader), adalah mereka:

1) Yang melakukan (plegen), orangnya disebut dengan pelaku atau pleger

2) Yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut dengan

penyuruh atau doen pleger

3) Yang turut serta melakukan (medeplegen), orangnya disebut dengan

pelaku turut serta atau medepleger

4) Yang sengaja menganjurkan (uitlokken), orangnya disebut dengan

penganjur atau uitlokker

17 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum…,

(14)

b. Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembantu (medeplichtige)

kejahatan, yang dibedakan menjadi dua:

1) Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan

2) Pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.

4. Pengertian Tindak Pidana Pemerasan Menurut KUHP

Bahasa Belanda, mengartikan pemerasan dengan afpersing. Yaitu:

1) Tindak pidana pemerasan.18

2) Pemerasan. Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri

sendiri atau orang lain secara tidak sah, memaksa ornag lain denagan

kekerasan dan ancaman kekerasan supaya orang itu menyerahkan

sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian saja adalah kepunyaan

orang itu atau orang ketiga, atau supaya orang itu membuat utang atau

menghapuskan suatu piutang, ia pun bersalah melakukan tindak pidana

seperti yang adapada pasal 368 KUHP yang dikualifikasikan

sebagai “afpersing”atau “pemerasan”.19

3) Dimuat dalam pasal 368 KUHP. Tindak pidana ini sangat mirip dengan

pencurian dengan kekerasan dalam pasal 365 KUHP. Bedanya

adalah bahwa dalam hal pencurian si pelaku sendiri mengambil

18

www.kamushukum.com/KH_entris.php?af_in, diakses pada tanggal 25 juli 2016 pukul 23.00 wib.

19

(15)

barang yang dicuri, sedangkan dalam hal pemerasan si korban setelah

dipaksa dengan kekerasan menyerahkan barangnya kepada si pemeras.20 4) Pemerasan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang atau

lembaga dengan melakukan perbuatan yang menakut- nakuti dengan

suatu harapan agar yang diperas menjadi takut dan menyerahkan

sejumlah sesuatu yang diminta oleh yang melakukan pemerasan, jadi ada

unsur takut dan terpaksa dari yang diperas.21

5. Pengertian Pertanggungjawaban pidana

Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban oleh orang

terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya. “Pada hakikatnya

pertanggung jawaban pidana merupakan suatu mekanisme yang dibangun

oleh hukum pidana untuk bereaksi atas kesepakatan menolak suatu perbuatan

tertentu.” Kesepakatan menolak tersebut dapat berupa aturan tertulis maupun

aturan tidak tertulis yang lahir dan berkembang dalam masyarakat.22

Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam

segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan

bahwa : I Use simple word “liability” for the situation where by one may exact

20

Wirjono Projodikoro, Tindak- Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 2008, hlm. 27.

21

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=nl&u=http://www.elfri.be/Strafrecht/afp ersing.htm&ei=AjlfSunEGI2pkAWXobyoCg&sa=X&oi=, diakses pada tanggal 25 juli 2016 pukul 23.30 wib.

22

Chairul Huda, Dari „Tiada Pidana Tanpa Kesalahan‟ menuju kepada „Tiada

(16)

legally and other is legally subjeced to the exaction.”23 Menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah

hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun

kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah sebagai suatu

kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di terima pelaku dari

seseorang yang telah di rugikan, Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing

disebut sebagai “toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal

liability,” pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan

apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau

tidak terhadap tindakan yang di lakukanya itu.24

Masalah pertanggung jawaban pidana berkaitan erat dengan dengan

unsur kesalahan. Dalam undang No. 4 Tahun 2004 jo

Undang-undang No. 49 Tahun Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 6 ayat

(2) disebutkan: “tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali pengadilan

karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat

keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah

bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.25

Ketentuan Pasal 6 ayat 2 tersebut menjelaskan bahwa unsur kesalahan

sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, yaitu, berupa penjatuhan

23

Roscoe Pound, “introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, Bandung, Mandar Maju, 2000, hlm 65.

24

S.R Sianturi, Asas-a sas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya (Cetakan Keempat), Alumni Ahaem-Peteheam, Jakarta, 1996 , hlm 245.

25

(17)

pidana. Walaupun unsur kesalahan telah diterima sebagai unsur yang

menentukan sebuah pertanggungjawaban dari pembuat tindak pidana, tetapi

dalam hal mendefinisikan kesalahan oleh para ahli masih terdapat perbedaan

pendapat, “Pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang

lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidana”.26

Untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa

unsur, yaitu:27

1) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat

2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut sebagai

bentuk kesalahan

3) Tidak ada alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan

pemaaf.

Dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan

Penerapanya, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur

mampu bertanggung jawab mencakup:28 1) Keadaan jiwanya:

a) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara

(temporair);

b) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan

sebagainya), dan

26

Chairul Huda, Op. cit, hlm. 74.

27

Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hal. 73. 28

E.Y Kanter & S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapanya,

(18)

c) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang

meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging,

melindur/slaapwandel, menganggu karena demam/koorts, nyidam

dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

2) Kemampuan jiwanya:

a) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya

b) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah

akan dilaksanakan atau tidak; dan

c) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Lebih lanjut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa:

Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan

“jiwa” (geestelijke vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan

“berfikir” (verstanddelijke vermogens), dari seseorang, walaupun dalam istilah

yang resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke

vermogens untuk terjemahan dari verstanddelijke vermogens sengaja digunakan

istilah “keadaan dan kemampuan jiwa seseorang”. 29

Pertanggungjawaban pidana

disebut sebagai “toerekenbaarheid” dimaksudkan untuk menentukan apakah

seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak

pidana (crime) yang terjadi atau tidak.30

29

Ibid, hlm 250.

30

(19)

F. Metode Penelitian

Metode penulisan yang digunakan untuk melengkapi penulisan skripsi ini

agar dapat terarah dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah antara lain :

1. Jenis penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan dalam

pembahasan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum

normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang

tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan

nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.

2. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data

sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari peraturan

perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat dan diterapkan oleh

pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa peraturan perundang-undangan

seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan informasi

atau hasil kajian tentang tindak pidana pemerasan dengan menggunakan

senjata tajam yang dilakukan secara bersama-sama dari Pengadilan Negeri

Sibolga (studi kasus No.266/Pid.B/2014/PN.SBG), buku-buku karya

ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan

(20)

c. Bahan hukum tersier yaitu petunjuk atau penjelasan mengenai bahan

hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus

hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.

3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan

dengan penyelesaian skipsi yang telah ditempuh melalui penelitian terhadap

literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang daapat

digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam

skripsi ini dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh

hakiim Pengadilan Negeri Sibolga. Tujuan penelitian kepustakaan (library

research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi

peraturan perundang-undangan,buku-buku, majalah, surat kabar maupun

bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisa data

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan ini adalah dengan cara

kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam

pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka

kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat dijawab

(21)

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus

diuraikan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka

diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per

bab yang saling berkaitan satu sama lain.

Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah

sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini mengemukakan apa yang menjadi latar belakang

penulisan skripsi, rumusan permasalahan sebagai topik yang akan

dibahas secara mendalam, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian yang digunakan

serta sistematika penulisan skripsi.

BAB II DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM TERHADAP

TINDAK PIDANA PEMERASAN DENGAN

MENGGUNAKAN SENJATA TAJAM YANG

DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DALAM

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIBOLGA NOMOR 266/PID.B/2014/PN.SBG

Dalam bab ini diuraikan mengenai kesesuaian Dakwaan Penuntut

Umum terhadap tindak pidana pemerasan yang dilakukan secara

bersama-sama. Bagian-bagian yang diuraikan yaitu ulasan secara

mendalam tentang syarat surat dakwaan, bentuk-bentuk surat

dakwaan terhadap tindak pidana pemerasan dengan menggunakan

senjata tajam yang dilakukan secara bersama-sama.

(22)

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP

TINDAK PIDANA KEKERASAN DENGAN

MENGGUNAKAN SENJATA TAJAM YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA

Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang Penerapan

sanksi terhadap tindak pidana pemerasan dengan mnggunakan

senjata tajam yang dilakukan secara bersama-sama serta analisis

kasus putusan Pengadilan Negeri Sibolga No.266 /Pid.B/ 2014/

PN.SBG.

BAB IV PENUTUP

Bab terakhir ini berisi kesimpulan dari bab-bab yang telah

dibahas sebelumnya dan saran-saran yang memungkinkan

berguna bagi orang-orang yang membacanya.

Referensi

Dokumen terkait

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

- Mampu menjelaskan dan memberikan contoh dengan sangat tepat - Mampu menjelaskan dan memberikan contoh dengan tepat - Mampu menjelaskan dan memberikan contoh dengan

Pengecekan teman sejawat yang dimaksudkan disini adalah mendiskusikan proses dan hasil penelitian dengan teman mahasiswa yang sedang atau telah mengadakan

Pada unsur latar, diidentifikasi tiga jenis latar yaitu latar tempat, waktu, dan sosial.Latar yang dilukiskan dalam kumpulan cerpen Sepotong Hati yang Baru dapat

Hasil ini sama dengan distribusi data kadar asam urat pada kelompok hipertensi tanpa DM tipe 2 yaitu p>0,05, yang berarti data juga terdistribusi dengan normal, jadi untuk

Materi pelajaran dalam penelitian ini yaitu pada pokok materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV), untuk mengetahui efektivitas terhadap kelas eksperimen yaitu

Usia lanjut yang mengalami kesulitan melakukan pergerakan fisik atau gangguan gerak, akan terjadi perbedaan dalam jumlah skor fungsi kognitifnya,

Seperti yang terjadi pada PSB Universitas Negeri Jakarta (UNJ), saat mulai didirikan pada tahun 1986 hingga tahun 1999, PSB UNJ dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan