BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia
menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan,
keadilan, serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensinya adalah
hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.1 Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan
ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum
bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku (act, behaviour)
dan karena itu pula hukum berupa norma.2 Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat
sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut (ibi ius ibi societas).
Kemajuan di bidang hukum ditandai dengan usaha untuk memperbaharui
hukum itu sendiri, kerena hukum sebagai salah satu tiang utama untuk menjamin
ketertiban dalam masyarakat, diharapkan mampu mengantisipasi dan mengatasi
segala tantangan, kebutuhan serta kendala yang menyangkut perubahan-
perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Meskipun seringkali secara faktual,
hukum berjalan lebih lamban daripada perkembangan dan perubahan berbagai hal
di masyarakat.
1
Penjelasan atas pasal 1 ayat 3Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan
sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut‟‟.3
Istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai
berikut :
1. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatan (perbuatan manusia, yaitu suatu
kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya,
larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya
itu ditujukan pada orangnya.
2. Antara larangan ( yang ditujukan pada perbuatan ) dengan ancaman pidana
(yang ditujukan pada orangnya ) ada hubungan yang erat. Oleh karena itu
perbuatan ( yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi,
melanggar larangan ) dengan orang yang melakukanperbuatan tadi erat pula.
Seperti yang telah dikemukakan diatas, didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, tindak pidana pemerasan diatur dalam pasal 368 KUHP, yang
rumusannya sebagai berikut :
(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau dengan ancaman untukmenyerahkan sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang tersebut atau kepunyaan orang ketiga, atau untuk membuat orang melakukan pemerasan , dipidana dengan pidana penjara selama –lamanya Sembilan tahun.
(2) Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 365 ayat (2), ayat (3), dam ayat (4), juga berlaku bagi kejahatan ini.
3
Tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam KUHP sebenarnya
terdiri dari dua macam tindak pidana, yaitu tindak pidana pemerasan (afpersing)
dan tindak pidana pengancaman (afdreiging). Kedua macam tindak pidana
tersebut mempunyai sifat yang sama, yaitu suatu perbuatan bertujuan memeras
orang lain. Justru karena sifatnya yang sama itulah kedua tindak pidana ini
biasanya disebut dengan nama sama, yaitu ”Pemerasan‟‟ serta diatur dalam bab
yang sama yaitu Bab XXIII KUHP.
Sekalipun demikian, tidak salah kiranya apabila orang menyebut , bahwa
kedua tindak pidana tersebut mempunyai sebutan sendiri , yaitu pemerasan untuk
tindak pidana yang diatur dalam pasal 368 KUHP dan pengancaman untuk tindak
pidana yang diatur dalam pasal 369 KUHP. Oleh karena memang , dalam KUHP
sendiri pun juga menggunakan kedua nama tersebut untuk menunjuk pada tindak
pidana yang diatur dalam pasal 368 dan 369 KUHP.4
Tindak pidana pencurian dengan tindak pidana pemerasan contohnya .
Perbedaan antara tindak pidana pencurian dan pemerasan atau afpersing itu
terutama terletak pada kenyataan bahwa unsur mengambil tidak terdapat dalam
tindak pidana pemerasan . Benda yang menjadi obyek tindak pidana pemerasan
itu dapat berada di tangan pelakunya, bukan karena diambil melainkan karena
adanya penyerahan yang dipaksakan oleh orang yang menguasai benda tersebut
kepada pelaku. Akan tetapi , antara kedua tindak pidana itu juga terdapat suatu
kesamaan , yaitu bahwa kedua-duanya merupakan kejahatan-kejahatan yang
ditujukan pada harta kekayaan orang lain.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya,
penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi
ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain:
1. Apakah dakwaan jaksa penuntut umum terhadap tindak pidana pemerasan
dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan secara bersama-sama
dalam putusan Pengadilan Negeri Sibolga nomor 266/Pid.B/2014/PN.Sbg
sudah tepat?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana
pemerasan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan secara
bersama-sama (Analisis kasus putusan Pengadilan Negeri Sibolga nomor
266/Pid.B/2014/PN.Sbg)?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan utama dalam penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi
syarat guna mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara. Selain itu, yang menjadi tujuan dari pembahasan skripsi ini dapat
diuraikan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui kesesuaian dakwaan jaksa penuntut umum terhadap
tindak pidana pemerasaan yang dilakukan dengan menggunakan senjata
tajam yang dilakukan secara bersama-sama dalam putusan Pengadilan
b. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap tindak
pidana pemerasan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan
secara bersama-sama (Analisis kasus putusan Pengadilan Negeri Sibolga
nomor 266/Pid.B/2014/PN.Sbg)?
2. Manfaat penelitian
a. Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat digunakan untuk memberikan
gambaran dan uraian yang komprehensif mengenai tindak pidana
pemerasan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan secara
bersama-sama, serta menambah wawasan ilmiah baik dalam bidang ini
maupun dalam bidang terkait lainnya.
b. Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi masukan
dan tambahan materi bagi para pembacanya baik umum maupun para
akademisi ataupun sebagai bahan referensi bagi para mahasiswa yang
ingin membahas tentang tindak pidana pemerasan dengan menggunakan
senjata tajam yang dilakukan secara bersama-sama.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat
Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai
“Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemerasan Dengan
Menggunakan Senjata Tajam Yang Dilakukan Secara Bersama-sama (Studi
Penulisan skripsi ini dimulai dari mengumpulkan bahan-bahan yang
berkaitan dengan Pemerasan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan, baik
melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan atau media cetak maupun
media elektronik. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini adalah ide
penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara alamiah dan akademik.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam
perundang-undangan negara kita. Dalam hampir seluruh perundangperundang-undangan kita
menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang
dapat diancam dengan suatu pidana tertentu.5
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang di kenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”6
Vos merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu adalah kelakuan
manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.7 Martiman Prodjomidjojo memberi pendapat bahwa delik itu mengandung perbuatan
yang mengandung perlawanan hak yang dilakukan dengan salah dosa oleh
seorang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut
5
Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2002. hlm. 67.
6
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Edisi 2), USU Press, 2013, hlm. 73.
7
dipertanggung jawabkan.8 Sedangkan arti delict itu sendiri dalam Kamus
sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Perkataan
feit itu sendiri dalam Bahasa Belanda berarti sebagian dari kenyataan,
sedangkan starfbaar berarti dapat dihukum, hingga secara harafiah perkataan
starfbaar feit dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang
dapat dihukum yang sudah barang tentu tidak tepat karena kita ketahui bahwa
yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,
perbuatan, maupun tindakan.11
Adami Chazawi telah menginvertarisir sejumlah istilah yang pernah
digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai
literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit, yaitu sebagai berikut.
8
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990, hlm. 60.
9
R.Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm. 35.
10
Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Titel Asli: Leerboek van Het Nederlandse Strafrecht) Diterjemahkan oleh PAF Lamintang, Bandung, Pioner Jaya, 1992, hlm 127.
11
a. Tindak Pidana ,dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita.Dalam hampir seluruh peraturan perundang-perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana,seperti dalam UU No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.UU No.20 Tahun 2001, dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah , ini,misalnya seperti Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro,S.H.;
b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum , misalnya : Mr.R.
Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana Mr.Drs.H.J van
Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia,
Prof.A.Zainal Abidin, S.H dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUD‟S 1950;
c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam literatur ,misalnya prof.Drs.E.Utrecht,S.H, walaupu juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana).Prof.A.Zainal Abidin dalam buku beliau “Hukum
Pidana I” Prof.Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana.
d. Pelanggaran pidana, dapat di jumpai dalam buku Mr .M.H.Tirtaamidjaja yang berjudul pokok-pokok Hukum Pidana;
e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M.Karni dalam
buku beliau “ Ringkasan tentang Hukum Pidana Begitu juga Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”.
f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk Undan-Undang di dalam UU No.12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (pasal 3)
Dari berbagai pengertian di atas dapat kita simpulkan bawasannya tindak
pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat
bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Dimana tindakan yang
dilakukannya tersebut adalah tindakan yang melawan atau melanggar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga tindakan tersebut dapat
diancam dengan suatu pidana yang bermaksud memberi efek jera, baik bagi
2. Pengertian Pertimbangan Jaksa
Dalam Pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa
yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan me-laksanakan
penetapan hakim. Selain itu dalam Pasal 1 Undang-Undang Pokok Kejaksaan
(UU No. 15 tahun 1961) menyatakan, Kejaksaan R.I. selanjutnya disebut
Kejaksaan, ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai
penuntut umum. Menurut Pasal 14 KUHAP, penuntut umum mempunyai
wewenang:
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
pembantu penyidik;
b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyiclikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat (4), dengan memberi
petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan
oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut undang-undang;
j. melaksanakan penetapan hakim.
Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa, yang dimak-sud
dengan "tindakan lain" ialah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti
dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik,
penuntut umum, dan pengadilan. Setelah penuntut umum menerima, hasil
penyidikan dari penyidik, ia segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu
tujuh hari wajib memberitahukan kepada, penyidik apakah hasil penyidikan itu
sudah lengkap atau belum. Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap,
penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk
tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas
hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan
kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum (Pasal 138 KUHAP).
Adapun yang dimaksud dengan "meneliti" di sini adalah tindakan penuntut
umum dalam mempersiapkan penuntutan (pra penuntutan) apakah orang dan atau
benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai, telah memenuhi syarat
pembuktian yang dilakukan dalam rangka, pemberian petunjuk kepada penyidik.
Setelah penuntut umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari
penyidik, maka segera ditentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi
persyaratan untuk dapat atau tidak diadakan penuntutan.
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dari
surat dakwaan. Dan apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan
penyidik tidak cukup bukti-buktinya, peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana dan perkaranya ditutup demi hukum.
3. Pengertian Tindak Pidana yang Dilakukan Secara Bersama- Sama
Kejahatan tidak melulu dilakukan oleh oleh seorang pelaku saja, namun
dapat juga dilakukan oleh dua orang atau lebih orang yang dilakukan secara
bersama-sama atau bersekutu dan masing-masing pelaku diikat oleh suatu ikatan
kerjasama. Berbagai macam istilah atau penyebutan yang ditentukan oleh ahli
mengenai tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama yaitu:12 a. Turut campur dalam peristiwa pidana(Tresna)
b. Turut berbuat delik (Karni)
c. Turut serta (Utrecht)
d. Deelneming (Belanda),
e. Compicity (Inggris),
f. Teilnahme/Tatermehrhaei (Jerman),
g. Participation (Prancis)
Adapun kata penyertaan yang bersinonim dengan deelneming aan
strafbare feiten tercantum dalam titel V buku KUHP. Sedangkan arti kata
penyertaan menurut wirjono Prodjodikoro adalah turut sertanya seseorang atau
lebih pada waktu seorang lain melakukan tindak pidana. 13
Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk
turut serta/terlibatnya orang ataou orang-orang baik secara psikis maupun secara
12
Mulyati Pawennei, Hukum Pidana, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2015, hlm. 127-128. 13
fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu
tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan
tindak pidana, perbuatan mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga
tidak biasa apa yang ada dalam batin mereka terhadap tindak pidana maupun
terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada
masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya,
dimana perbuatan yang asatu menunjang perbuatan yang lainnya, yang semuanya
mengarah pada satu yakni terwujudnya tindak pidana.14
Pengertian lain dari deelneming/penyertaan adalah tindak pidana yang
dilakukan oleh lebih dari satu orang, artinya ada orang lain dalam jumlah tertentu
yang turut serta, turut campur, turut berbuat membantu melakukan agar suatu
tindak pidana itu terjadi, atau dalam kata lain, orang yang lebih dari satu orang
secara bersama-sama melakukan tindak pidana, sehingga harus dicari
pertanggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam peristiwa pidana
tersebut.15
Penyertaan atau deelneming oleh pembentuk undang-undang telah
diatur dalam Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP. Bahwa bila berbicara tentang
Pasal 55 dan Pasal 56 tidak hanya berbicara tentang penyertaan atau deelneming
semata melainkan juga berbicara tentang dader atau pelaku16. Adapun dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dirumuskan sebagai berikut:
14
P.A.F Lamintang, Dasa r-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia (Cetakan Keempat), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 583.
15
Http://pembelajaranhukumindonesia.blogspot.com/2011/09/deelneming.html?m%3D1& ei=kfoR0_3A&lc=id-ID&s=1&m=154&host=www.google.co.id&ts=1471081773&sig=AKOVD 64WowTBN1sMjFwRkfR EG6GqPnFntw, Diakses tanggal 13 Agustus 2016 Pukul 17.11 Wib.
16
Pasal 55 KUHP : ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
b. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 KUHP :
a. Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
1) Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, dapatlah diketahui bahwa
menurut KUHP itu dibedakan dalam dua kelompok yaitu:17
a. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebabkan oleh Pasal
55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat
(mededader), adalah mereka:
1) Yang melakukan (plegen), orangnya disebut dengan pelaku atau pleger
2) Yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut dengan
penyuruh atau doen pleger
3) Yang turut serta melakukan (medeplegen), orangnya disebut dengan
pelaku turut serta atau medepleger
4) Yang sengaja menganjurkan (uitlokken), orangnya disebut dengan
penganjur atau uitlokker
17 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum…,
b. Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembantu (medeplichtige)
kejahatan, yang dibedakan menjadi dua:
1) Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan
2) Pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
4. Pengertian Tindak Pidana Pemerasan Menurut KUHP
Bahasa Belanda, mengartikan pemerasan dengan afpersing. Yaitu:
1) Tindak pidana pemerasan.18
2) Pemerasan. Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara tidak sah, memaksa ornag lain denagan
kekerasan dan ancaman kekerasan supaya orang itu menyerahkan
sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian saja adalah kepunyaan
orang itu atau orang ketiga, atau supaya orang itu membuat utang atau
menghapuskan suatu piutang, ia pun bersalah melakukan tindak pidana
seperti yang adapada pasal 368 KUHP yang dikualifikasikan
sebagai “afpersing”atau “pemerasan”.19
3) Dimuat dalam pasal 368 KUHP. Tindak pidana ini sangat mirip dengan
pencurian dengan kekerasan dalam pasal 365 KUHP. Bedanya
adalah bahwa dalam hal pencurian si pelaku sendiri mengambil
18
www.kamushukum.com/KH_entris.php?af_in, diakses pada tanggal 25 juli 2016 pukul 23.00 wib.
19
barang yang dicuri, sedangkan dalam hal pemerasan si korban setelah
dipaksa dengan kekerasan menyerahkan barangnya kepada si pemeras.20 4) Pemerasan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang atau
lembaga dengan melakukan perbuatan yang menakut- nakuti dengan
suatu harapan agar yang diperas menjadi takut dan menyerahkan
sejumlah sesuatu yang diminta oleh yang melakukan pemerasan, jadi ada
unsur takut dan terpaksa dari yang diperas.21
5. Pengertian Pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban oleh orang
terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya. “Pada hakikatnya
pertanggung jawaban pidana merupakan suatu mekanisme yang dibangun
oleh hukum pidana untuk bereaksi atas kesepakatan menolak suatu perbuatan
tertentu.” Kesepakatan menolak tersebut dapat berupa aturan tertulis maupun
aturan tidak tertulis yang lahir dan berkembang dalam masyarakat.22
Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam
segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan
bahwa : I Use simple word “liability” for the situation where by one may exact
20
Wirjono Projodikoro, Tindak- Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 2008, hlm. 27.
21
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=nl&u=http://www.elfri.be/Strafrecht/afp ersing.htm&ei=AjlfSunEGI2pkAWXobyoCg&sa=X&oi=, diakses pada tanggal 25 juli 2016 pukul 23.30 wib.
22
Chairul Huda, Dari „Tiada Pidana Tanpa Kesalahan‟ menuju kepada „Tiada
legally and other is legally subjeced to the exaction.”23 Menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah
hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun
kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah sebagai suatu
kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di terima pelaku dari
seseorang yang telah di rugikan, Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing
disebut sebagai “toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal
liability,” pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan
apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau
tidak terhadap tindakan yang di lakukanya itu.24
Masalah pertanggung jawaban pidana berkaitan erat dengan dengan
unsur kesalahan. Dalam undang No. 4 Tahun 2004 jo
Undang-undang No. 49 Tahun Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 6 ayat
(2) disebutkan: “tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali pengadilan
karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat
keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah
bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.25
Ketentuan Pasal 6 ayat 2 tersebut menjelaskan bahwa unsur kesalahan
sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, yaitu, berupa penjatuhan
23
Roscoe Pound, “introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, Bandung, Mandar Maju, 2000, hlm 65.
24
S.R Sianturi, Asas-a sas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya (Cetakan Keempat), Alumni Ahaem-Peteheam, Jakarta, 1996 , hlm 245.
25
pidana. Walaupun unsur kesalahan telah diterima sebagai unsur yang
menentukan sebuah pertanggungjawaban dari pembuat tindak pidana, tetapi
dalam hal mendefinisikan kesalahan oleh para ahli masih terdapat perbedaan
pendapat, “Pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang
lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidana”.26
Untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa
unsur, yaitu:27
1) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat
2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut sebagai
bentuk kesalahan
3) Tidak ada alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan
pemaaf.
Dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapanya, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur
mampu bertanggung jawab mencakup:28 1) Keadaan jiwanya:
a) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara
(temporair);
b) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan
sebagainya), dan
26
Chairul Huda, Op. cit, hlm. 74.
27
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hal. 73. 28
E.Y Kanter & S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapanya,
c) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang
meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging,
melindur/slaapwandel, menganggu karena demam/koorts, nyidam
dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
2) Kemampuan jiwanya:
a) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya
b) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah
akan dilaksanakan atau tidak; dan
c) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Lebih lanjut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa:
Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan
“jiwa” (geestelijke vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan
“berfikir” (verstanddelijke vermogens), dari seseorang, walaupun dalam istilah
yang resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke
vermogens untuk terjemahan dari verstanddelijke vermogens sengaja digunakan
istilah “keadaan dan kemampuan jiwa seseorang”. 29
Pertanggungjawaban pidana
disebut sebagai “toerekenbaarheid” dimaksudkan untuk menentukan apakah
seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak
pidana (crime) yang terjadi atau tidak.30
29
Ibid, hlm 250.
30
F. Metode Penelitian
Metode penulisan yang digunakan untuk melengkapi penulisan skripsi ini
agar dapat terarah dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah antara lain :
1. Jenis penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan dalam
pembahasan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang
tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan
nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.
2. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat dan diterapkan oleh
pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa peraturan perundang-undangan
seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan informasi
atau hasil kajian tentang tindak pidana pemerasan dengan menggunakan
senjata tajam yang dilakukan secara bersama-sama dari Pengadilan Negeri
Sibolga (studi kasus No.266/Pid.B/2014/PN.SBG), buku-buku karya
ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan
c. Bahan hukum tersier yaitu petunjuk atau penjelasan mengenai bahan
hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus
hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.
3. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan
dengan penyelesaian skipsi yang telah ditempuh melalui penelitian terhadap
literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang daapat
digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam
skripsi ini dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh
hakiim Pengadilan Negeri Sibolga. Tujuan penelitian kepustakaan (library
research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi
peraturan perundang-undangan,buku-buku, majalah, surat kabar maupun
bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
4. Analisa data
Analisis data yang dilakukan dalam penulisan ini adalah dengan cara
kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam
pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka
kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat dijawab
G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus
diuraikan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka
diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per
bab yang saling berkaitan satu sama lain.
Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini mengemukakan apa yang menjadi latar belakang
penulisan skripsi, rumusan permasalahan sebagai topik yang akan
dibahas secara mendalam, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian yang digunakan
serta sistematika penulisan skripsi.
BAB II DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM TERHADAP
TINDAK PIDANA PEMERASAN DENGAN
MENGGUNAKAN SENJATA TAJAM YANG
DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DALAM
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIBOLGA NOMOR 266/PID.B/2014/PN.SBG
Dalam bab ini diuraikan mengenai kesesuaian Dakwaan Penuntut
Umum terhadap tindak pidana pemerasan yang dilakukan secara
bersama-sama. Bagian-bagian yang diuraikan yaitu ulasan secara
mendalam tentang syarat surat dakwaan, bentuk-bentuk surat
dakwaan terhadap tindak pidana pemerasan dengan menggunakan
senjata tajam yang dilakukan secara bersama-sama.
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
TINDAK PIDANA KEKERASAN DENGAN
MENGGUNAKAN SENJATA TAJAM YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA
Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang Penerapan
sanksi terhadap tindak pidana pemerasan dengan mnggunakan
senjata tajam yang dilakukan secara bersama-sama serta analisis
kasus putusan Pengadilan Negeri Sibolga No.266 /Pid.B/ 2014/
PN.SBG.
BAB IV PENUTUP
Bab terakhir ini berisi kesimpulan dari bab-bab yang telah
dibahas sebelumnya dan saran-saran yang memungkinkan
berguna bagi orang-orang yang membacanya.