BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI
E. Pengertian Perjanjian
Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Menurut Subekti, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.6
Ada beberapa penulis yang memakai perkataan persetujuan yang tentu saja tidak salah, karena peristiwa termaksud juga berupa suatu kesepakatan atau pertemuan kehendak antara dua orang atau lebih untuk
melaksanakan sesuatu dan perkataan persetujuan memang lebih sesuai dengan perkataan Belanda overeenkomst yang dipakai oleh BW, tetapi karena perjanjian oleh masyarakat sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan rangkaian janji-janji yang pemenuhannya dijamin oleh hukum.7
Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan, pembentukan organisasi usaha dan juga menyangkut juga tenaga kerja.8
Mengenai batasan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, Para sarjana hukum
perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313
KUHPerdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan.9 Tidak
lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup
hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun istimewa
sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga Buku ke III KUHPerdata secara langsung
tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak
ada unsur persetujuan.10
Berdasarkan pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud
pengertian perjanjian, antara lain “hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut Hukum Kekayaan antara
dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu
prestasi”.
6
R. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1979. hal. 1.
7 R. Subekti. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional. Bandung: Alumni, 1984. hal. 11.
8 Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perjanjian¸ Bandung: Alumni, 1986, hal. 93. 9
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 45.
Perjanjian (verbintennis) adalah hubungan hukum ( rechtbetrekking) yang oleh hukum itu sendiri diatur
dan disahkan cara perhubungannya. Maka perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan
(person) adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.
Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan
sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga,
dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam
hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Suatu perjanjian yang mengikat (perikatan) minimal harus ada salah
satu pihak yang mempunyai kewajiban karena bila tidak ada pihak yang mempunyai kewajiban, maka dikatakan
tidak ada perjanjian yang mengikat.
Hubungan hukum yang terjadi, baik karena perjanjian maupun karena hukum, dinamakan perikatan karena
hubungan hukum tersebut mengikat, yaitu kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan itu dapat
dipaksakan ,secara hukum. Jadi, suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat dipaksakan (unenforceable)
adalah bukan perikatan.11
Berdasarkan hal tersebut maka satu pihak memperoleh hak dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban
(plicht) menyerahkan atau menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari verbintenis. Tanpa
prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi
hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur.
Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.
Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan
hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh
prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan
prestasi.
12
11 Notaris Nurul Muslimah Kurniati, “Kontrak Dan Perikatan”, Melalui
http://notarisnurulmuslimahkurniati.blogspot.com/2009/04/kontrak-dan-perikatan.html, Diakses tanggal 20 Maret 2015, Pukul 21.30 WIB.
Hukum kebendaan dikatakan bersifat tertutup, dan karenanya tidak boleh ditambah, diubah, dikurangi atau
dimodifikasi oleh orang perorangan atas kehendak mereka sendiri, hukum kebendaan, seringkali juga disebut
sebagai hukum yang memaksa 13
a. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi mempunyai droit de suite. .
Berdasarkan uraian di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan
sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang-undang. Vermogenrecht (hukum kekayaan) yang bersifat pribadi
dalam perjanjian verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan hukum .
Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya
mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda atau kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi
tertentu (bepaalde persoon).
Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda(zakenrecht) dengan hukum perjanjian.
b. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati hak seseorang atas benda tadi, in
violable et sacre.
c. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas benda tersebut.
Hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak
relatif “. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang
pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu
tindakan hukum. Jadi hubungan hukum (recht berrekking) dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara
orang-orang tertentu saja.14
13 Ibid, hal.21
Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang pengertian hukum benda yang diatur
dalam BW dalam Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “inviolable et sacre” dan memiliki droit de suite,
tidak mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, Buku II KUHPerdata tidak dinyatakan berlaku lagi.
14Universitas Sumatera Utara ,“Tinjauan Umum Tentang
Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi ditekankan pada faktor hak. Tetapi
dititik beratkan pada segi penggunaan dan fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33
ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.
Uraian di atas, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas
prestasi baru ada pada persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas perbuatan
hukum.
Ada beberapa pengecualian:
a. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu (bepaalde persoon), verbintenis
bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.
b. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata, dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis.
Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada
Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).15
Perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang
telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi
kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan pelaksanaan kewajiban atau prestasi yang mereka
perjanjikan. Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan
untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan tetapi tidak seluruhnya
verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.
Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat
tanpa hak memaksa. Jadi natuurlijk verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan
demikian, perjanjian dapat dibedakan antara:16
a. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).
Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai
akibat hukum yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.
b. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti natuurlijke verbintenis.
15
Ibid.
Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi
kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi
tidak dapat dipaksakan.
c. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum
menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta uang paksa.
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai
anggota suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-anggota
masyarakat. Ini berarti bahwa unsur hukum baru dapat dianggap ada, apabila suatu tingkah laku
seseorang sedikit banyak menyinggung atau mempengaruhi tingkah laku dengan kepentingan
orang lain.
Wirjono Prodjodikoro, berpendapat: “Bahwa dalam hal gangguan oleh pihak ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun juga, adalah sifat lain dari hak benda yaitu sifat absolut. Sedangkan dalam hukum perjanjian seseorang yang berhak, dapat dibilang mempunyai hak tak mutlak yaitu hanya dapat melaksanakan haknya terhadap seorang tertentu yakni orang pihak lain yang turut membikin perjanjian itu ”.17
Suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda, hukum perdata membedakan hak
terhadap benda dan hak terhadap orang. Meskipun suatu perjanjian adalah mengenai suatu
benda, perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum antara orang dengan orang, lebih
tegasnya antara orang tertentu dengan orang lain tertentu. Artinya, hukum perdata tetap
memandang suatu perjanjian sebagai hubungan hukum, di mana seorang tertentu, berdasarkan
atas suatu janji berkewajiban untuk melakukan suatu hal, dan orang lain tertentu berhak
menuntut pelaksanaan kewajiban itu. Misalnya, A dan B membuat perjanjian jual beli, yaitu A
adalah penjual dan B adalah pembeli, dan barang yang dibeli adalah sebuah lemari tertentu yang
berada di dalam rumah A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan
kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut jatuh ke tangan
seorang ketiga (C). Dalam hal ini B hanya berhak menegur A supaya lemari diserahkan
kepadanya, dan B tidak dapat langsung menegur C supaya lemari tersebut diserahkan kepadanya.
Sifat hukum perjanjian ini berbeda dengan sifat hukum kebendaan. Pada hukum benda,
hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan benda. Sedangkan pada hukum perjanjian,
hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan orang berdasarkan perjanjian yang dibuat
orang-orang tersebut.
Sifat hukum perjanjian, yakni sifat perorangan, maka para pihak dapat dengan bebas
menentukan isi dari perjanjian yang mereka buat, asal saja tidak melanggar ketertiban umum dan
kesusilaan, yang artinya hukum perjanjian itu menganut sistem terbuka.
Pasal-pasal dari hukum perjanjian ini merupakan hukum pelengkap, yaitu pasal-pasal itu
dapat dikesampingkan apabila dikehendaki, oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka
diperbolehkan mengatur sendiri sesuatu soal, namun tidak boleh melanggar ketertiban umum dan
kesusilaan.
KUHPerdata, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang mengatakan bahwa :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.
Uraian di atas juga dikenal asas kebebasan berkontrak. Hukum tidak pernah berhubungan
dan tidak perlu mengetahui apa yang melatar belakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan
cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 18
Undang-undang tidak memberikan rumusan mengenai maksud kepatutan dan kesusilaan.
Oleh karena itu, tidak ada ketepatan batasan pengertian istilah tersebut. Berdasarkan arti kata
tersebut, kiranya dapat digambarkan kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut,
pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh
masing-masing pihak yang berjanji. Dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, perlu
diperhatikan juga kebiasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata.
Dikarenakan hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum yang selalu terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai
perbedaan satu sama lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu mempunyai coraknya
yang tersendiri pula. Corak yang berbeda dalam bentuk perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian.
Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi
dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat dengan penafsiran pasal dari KUHPerdata terdapat bentuk atau
jenis yang berbeda tentunya.
Sehubungan dengan pengertian perjanjian maka pelaksanaan perjanjian harus didasarkan pada itikad baik.
Itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah bahwa pelaksaan perjanjian harus berjalan
dengan mengidahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Artinya, pelaksanaan perjanjian tersebut harus berada
diatas rel yang benar, yaitu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
19
Tidak setiap kebiasaan mempunyai kekuatan hukum atau mengikat. Kebiasaan
merupakan hukum kebiasaan apabila kebiasaan itu dianggap mengikat. Dalam hal ini perilaku itu
harus diulang yang berlangsung untuk beberapa waktu lamanya. Untuk dapat menjadi hukum
kebiasaan maka suatu perilaku itu harus berlangsung dalam waktu lama, berulang-ulang (longa
et inveterata consuetude) dan harus menimbulkan keyakinan umum (opinio necessitates) bahwa
18 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003, hal. 47.
perilaku yang diulang itu memang patut secara objektif dilakukan, bahwa dengan melakukan
perilaku itu berkeyakinan melakukan suatu kewajiban hukum (die normatieve kraft des
faktischen = kekuatan normatif dari perilaku yang diulang).20
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata,
yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik menurut
Pasal tersebut adalah bahwa pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan
norma-norma kepatutan dan kesusilaan.21
Mengenai apa yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan, undang-undang tidak
memberikan rumusannya. Oleh karena itu, tidak ada ketetapan batasan mengenai pengertian
istilah tersebut. Namun, jika dilihat arti katanya, kepatutan artinya kepantasan, kelayakan,
kesesuaian, kecocokan. Sedangkan kesusilaan artinya kesopanan; keadaban. Berdasarkan arti
kedua kata tersebut, kiranya dapat digambarkan kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang
patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab, sebagaimana samasama dikehendaki oleh
masing-masing pihak yang membuat perjanjian.22
Sebagaimana dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti juga
bahwa harus ditafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatutan. Dalam KUH Perdata
kepatutan (asas kepatutan) dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.23
Pada umumnya, itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata) dan kepatutan (Pasal
1339) KUH Perdata disebutkan secara senafas dan Hoge Raad (H.R.) dalam putusan tanggal 11
20Ibid, hal. 101. 21
Ibid.
22
Ibid.
Januari 1924 telah sependapat bahwa apabila hakim setelah menguji dengan kepantasan dari
suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan maka berarti perjanjian itu bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan perjanjian terjadi
hubungan yang erat antara keadilan. Kepatutan dan kesusilaan dengan itikad baik.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, jika terjadi selisih pendapat tentang
pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik (kepatutan dan kesusilaan), maka hakim diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan perjanjian, apakah
ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutan dan kesusilaan itu. Hal ini berarti bahwa
hakim berwenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut kata-katanya, apabila
pelaksanaan perjanjian menurut kata-katanya akan bertentangan dengan itikad baik (apabila
pelaksanaan menurut norma-norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil). Hal ini
bisa dimengerti karena tujuan hukum adalah menjamin kepastian (ketertiban) dan menciptakan
keadilan.24
Hakim berwenang mencegah suatu pelaksanaan perjanjian yang tidak asli, yaitu tidak
sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan.
Keadilan dalam hukum itu menghendaki adanya kepastian, yaitu apa yang diperjanjikan
harus dipenuhi karena janji itu mengikat sebagaimana undang-undang (Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata). Sedangkan yang harus dipenuhi tersebut sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan (Pasal
1338 ayat (3) KUH Perdata, asas keadilan).
25
24
R. Subekti, Op. Cit, hal. 40
25Muhammad Abdul Kadir, Op. Cit, hal. 100.
Di negeri Belanda, bahwa hakim dengan memakai
alasan itikad baik itu dapat mengurangi atau menambah kewajiban-kewajiban yang termaktub
dalam suatu perjanjian, adalah suatu hal yang sudah diterima oleh Hoge Raad. Namun, menurut
menghapuskan sama sekali kewajiban-kewajiban yang secara tegas disanggupi dalam suatu
perjanjian.26
Lebih lanjut, putusan Hoge Raad yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik
yang dapat disajikan disini adalah Kasus Sarong Arrest yang berkaitan dengan turunnya nilai
uang Jerman setelah Perang Dunia Pertama. Kasus Sarong Arrest bermula pada tahun 1918 suatu
firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar f
100.000,-. Karena keadaan memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat
menyerahkan pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan
prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia
memenuhi prestasi tetapi dengan harga yang lebih tinggi, karena apabila harga tetap sama ia
akan menderita kerugian, yang berdasarkan itikad baik antara para pihak tidak dapat dituntut Pendirian Hoge Raad yang sempit tersebut nampak sekali dalam putusan tanggal 8
Januari 1986 (majalah Nederlandse Jurisprudentie 1926, 203) dimana seorang pemilik pabrik
tenun di Jerman dihukum harus melever suatu partai tekstil, meskipun setelah pelaksanaan
perjanjian itu tertunda selama beberapa tahun akibat pecahnya perang dunia pertama dimana
keadaan telah begitu berubah, sehingga disebabkan karena naiknya biaya-biaya produksi,
pelaksanaan hukum itu membawa kerugian yang sangat besar bagi pemilik pabrik tenun tersebut.
Adapun pertimbangan putusan Hoge Raad adalah sebagai berikut:
“…bahwa peraturan yang menentukan pengluasan dan penambahan perikatan-perikatan yang
timbul dari suatu perjanjian, hingga sampai diluar lingkungan ketentuan-ketentuan yang
dituliskan dengan tegas, tidak bertujuan yang sebaliknya yaitu untuk menghilangkan kekuatan
dari apa yang secara tegas ditetapkan dan dengan demikian menghapuskan perikatan-erikatan
yang timbul dari perjanjian…”
darinya.27
Dalam putusan tersebut, oleh Mahkamah Agung dipertimbangkan bahwa adalah pantas
dan sesuai dengan rasa keadilan apabila dalam hal menggadai tanah kedua belah pihak memikul
masing-masing separuh dari risiko kemungkinan perubahan harga nilai tukar rupiah, diukur dari
perbedaan emas pada waktu menebus tanah tersebut. Sawah yang sebelum perang digadaikan
dengan Rp 50,- oleh Mahkamah Agung ditetapkan harus ditebus dengan 15 x Rp 50,- atau Rp
750,- karena harga emas sudah naik mencapai 30 kali lipat.
Pembelaan yang ia (penjual) ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dikesampingkan
oleh Hoge Raad dalam arrest tersebut. Menurut putusan Hoge Raad tidak mungkin satu pihak
dari suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpedoman
pada itikad baik untuk mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan Hoge Raad masih
memberi harapan tentang hal ini dengan memformulasikan, mengubah inti perjanjian atau
mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang lebih ringan,
jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan. Putusan
Hoge Raad ini selalu berpedoman pada saat dibuatnya kontrak oleh para pihak.
Apabila pihak pemesan sarung sebanyak yang dipesan maka penjual harus melaksanakan
isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.
Di Indonesia, kita bisa merujuk pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tanggal 11 Mei 1955. Putusan tersebut merupakan putusan yang dapat kita banggakan sebagai
putusan yang sangat baik dalam pemakaian “itikad baik” dalam pelaksanaan suatu perjanjian.
28
Dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, perlu diperhatikan juga kebiasaan. Hal
27
Ibid, hal. 42.
ini ditentukan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi: “Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.”
Kebiasaan (costum) adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang
dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan
itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan
kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbulah
suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.29
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan
titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya asas Setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan-aturan undang-undang dan adat kebiasaan
di suatu tempat disamping kepatutan. Dengan demikian kebiasaan sebagai sumber hukum
disamping undang-undang. Oleh karena itu, kebiasaan ikut menentukan hak dan kewajiban
pihak-pihak dalam perjanjian. Namun, adat kebiasaan tidak boleh menyimpang atau
menyingkirkan undang-undang.
Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwaDalam Hukum Perdata yang berlaku di
Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia membuat adanya asas kebebasan
berkontrak.
Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat
dapat dibatalkan.
Asas ini memberikan informasi bahwa suatu perjanjian pada dasarnya sudah ada sejak
tercapainya kata sepakat diantara para pihak dalam perjanjian tersebut. Asas konsensualisme
yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti kemauan para pihak untuk saling
mengikatkan diri dan kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu akan
dipenuhi.
Asas konsensualitas merupakan suatu puncak pengikatan manusia yang tersirat dalam
pepatah: een man een man, een word een word. Selanjutnya dikatakan olehnya bahwa ungkapan
“orang harus dapat dipegang ucapannya” merupakan tuntutan kesusilaan, akan tetapi Pasal 1320
KUH Perdata menjadi landasan hukum untuk penegakannya. Tidak dipenuhinya syarat
konsensualisme dalam perjanjian menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak
memenuhi syarat subyektif.30
Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Konsensualisme mengandung arti
bahwa perjanjian itu terjadi karena adanya kata sepakat atau kehendak yang bebas dari para
pihak yang membuat perjanjian mengenai isi atau pokok perjanjian.
31
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa :”Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Di dalam pasal
tersebut dijumpai asas Konsensualisme yang terdapat pada kata “…perjanjian yang dibuat secara
30
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 107.
sah…”, yang menunjuk pada Pasal 1320 KUH Perdata, terutama pada ayat (1) yaitu mereka
sepakat mengikatkan dirinya.
Asas konsensualisme berarti perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat dari
para pihak yang mengadakan perjanjian untuk saling mengikatkan dirinya. Pada perjanjian yang
bersifat obligatoir, kesepakatan yang dibuat telah mengikat para pihak. Asas konsensualisme ini
kemudian berpengaruh pada bentuk perjanjian yaitu dengan adanya Konsensualisme, perjanjian
itu lahir atau terbentuk pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak sehingga tidak
diperlukan lagi bentuk formalitas lain. Akibatnya perjanjian yang terjadi karena kata sepakat
tersebut, merupakan perjanjian yang bebas sehingga dapat lisan maupun tertulis.
F. Pengertian Perjanjian Jual Beli
Untuk mengetahui pengertian perjanjian jual beli ada baiknya dilihat Pasal 1457
KUHPerdata yang menentukan “jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual
berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak sebagai
pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga".
Wirjono Prodjodikoro mengatakan “jual beli adalah suatu persetujuan dimana suatu pihak mengikat diri untuk berwajib menyerahkan suatu barang, dan pihak lain berwajib membayar harga, yang dimufakati mereka berdua".32
Volmar sebagaimana dikutip oleh Suryodiningrat mengatakan “jual beli adalah pihak yang satu penjual (verkopen) mengikat diri kepada pihak lainnya pembeli (loper) untuk memindah tangankan suatu benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran dari orang yang disebut terakhir, sejumlah tertentu, berwujud uang".33
Menurut R.M. Suryodiningrat mengemukakan “jual beli itu ialah perjanjian, dimana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda/barang kepada pihak
32
R. Wirjono Prodjodikoro. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Bandung: Sumur, 1991. hal. 17.
lainnya (pembeli) yang mengikat dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual.34
1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli
Berdasarkan pengertian yang diberikan Pasal 1457 KU Perdata di atas, perjanjian jual
beli sekaligus membebankan dua kewajiban :
2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjualan.35
G. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli
Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk meyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang
lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan rumusan tersebut, maka dalam
suatu transaksi jual beli terkandung suatu perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban bagi
para pihak.
Para pihak yang mengadakan perjanjian disebut kreditur dan debitur, dalam hal ini,
kreditur berhak atas prestasi dan debitur berkewajiban memenuhi prestasi. Debitur mempunyai
kewajiban untuk membayar utang, kewajiban debitur tersebut dapat pula disebut dengan schuld.
Disamping schuld debitur juga mempunyai kewajiban yang lain yaitu untuk menjamin pelunasan
utang debitur kepada kreditur dengan menggunakan harta kekayaan guna membayar utang
tersebut, atau disebut juga haftung. Pihak-pihak dalam perjanjian jual beli menurut KUHPerdata
terdiri dari:
1. Penjual
34Ibid., hal. 15.
35
KUHPerdata mengatur hak dan kewajiban penjual yaitu sebagai berikut:
a. Penjual wajib menyatakan dengan tegas keinginannya dalam perjanjian, artinya apabila
terdapat klausul dalam perjanjian yang tidak jelas dan dapat diartikan kedalam berbagai
pengertian, maka harus ditafsirkan kedalam pengertian yang merugikan penjual.
b. Penjual wajib menyerahkan barang dan juga menanggungnya. Penyerahan barang ini
diartikan sebagai suatu pengalihan kekuasaan atas barang yang telah dijual tersebut dari
tangan penjual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan pembeli. Di dalam penyerahan
barang ketentuan yang harus di perhatikan oleh penjual, antara lain:
1) Penyerahan barang ini dilakukan ditempat dimana barang berada pada waktu
penjualan terjadi, kecuali di perjanjikan lain.
2) Barang yang diserahkan harus dalam keadaan utuh seperti yang telah dinyatakan
dalam perjanjian atau pada saat penjualan.
3) Penjual wajib menyerahkan segala sesuatu yang menjadi perlengkapan untuk
menggunakan barang yang telah di jualnya tersebut.
4) Penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya sebelum pembeli membayar
harganya.
5) Penjual wajib menjamin pembeli untuk dapat memiliki barang itu dengan aman dan
tentram, serta bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi yang dapat
dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian ( Pasal 1491, 1504, 1506, 1508, 1509
dan 1510 BW, akan tetapi penjual tidak diwajibkan menanggung cacat yang kelihatan
oleh pembeli.
barang yang telah diperjualbelikan tersebut harus disita atau harus diambil dari
pembeli karena suatu sengketa, yang disebabkan tidak ada pemberitahuan terlebih
dahulu pada saat mengadakan perjanjian jual beli.
7) Penjual diwajibkan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang merupakan
akibat langsung dari pembuatnya sehingga merugikan pembeli, walaupun didalam
perjanjian ditentukan bahwa penjual tidak menanggung segala risiko dalam jual beli
tersebut.
8) Penjual wajib menggunakan biaya penyerahan barang artinya apabila dalam
perjanjian ditentukan bahwa penyerahan dilakukan di gudang milik pembeli, maka
biaya pengangkutan dari tempat penjual menuju gudang milik pembeli ditanggung
oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan dari gudang milik pembeli menuju
ketempat pembeli ditanggung oleh pembeli.
9) Penjual wajib mengembalikan harga barang dan biaya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, pembeli berhak membatalkan atau meniadakan pembelian
dengan syarat tuntutan tersebut harus dilakukan paling lambat dalam waktu 1 (satu)
tahun setelah penyerahan barang.
10) Penjual berhak menuntut pembayaran harga pada waktu dan tempat yang telah
penyerahan bersama dalam perjanjian, pada tempat penenyerahan barang dilakukan.
11) Penjual berhak atas pembayaran bunga dari harga pembelian, jika ternyata barang
yang telah dijualnya menghasilkan pendapatan bagi pembeli.
12) Penjual berhak menahan barangnya atau tidak menyerahkan kepada pembeli jika
pembeli belum membayar harganya.
atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan dalam undang-undang
ini, bahkan untuk membebaskan penjual dari tanggungan apapun.
14) Dalam hal barang yang telah dijual dalam keadaan menjadi pokok-pokok sengketa
dan harus dilelangkan, sedangkan harga lelang lebih mahal dari harga yang telah
dibayar oleh pembeli sehingga menguntungkan pembeli, maka penjual berhak
memperoleh uang sisa dari hasil pelelangan tersebut.
15) Jika pembeli tidak membayar harga pembelian maka penjual dapat menuntut
pembatalan pembelian .
16) Penjual berhak membeli kembali barang yang telah dijualnya apabila telah
diperjanjikan tersebut.
2. Pembeli
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, pembeli memiliki hak
dan kewajiban diantaranya:
a. Pembeli mempunyai kewajiban utama yaitu membayar harga pembelian pada waktu dan
tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian.
b. Jika tempat pembayaran tidak ditentukan, pembeli berkewajiban untuk membayar harga
barangnya ditempat penyerahan barang dilakukan.
c. Pembeli diwajibkan menanggung biaya pengambilan barang, artinya apabila dalam
perjanjian ditentukan bahwa penyerahan dilakukan di gudang milik pembeli, maka biaya
pengambilan barang dari gudang menuju tempat pembeli ditanggung oleh pembeli,
sedangkan biaya pengiriman dari tempat penjual menuju gudang milik pembeli
d. Walaupun tidak diperjanjikan dengan tegas, pembeli diwajibkan membayar bunga dari
harga pembelian apabila barang yang dibelinya tersebut menghasilkan pendapatan.
e. Barang yang harus diserahkan kepada pembeli adalah dalam keadaan utuh seperti pada
saat penjualan atau saat perjanjian diadakan dan sejak penyerahan barang, segala yang
dihasilkan dari barang tersebut menjadi hak pembeli.
f. Pembeli berhak mendapatkan jaminan untuk dapat memiliki barang itu dengan aman dan
tentram. Serta jaminan terhadap cacat yang tersembunyi dan sebagainya, yang dapat
dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian.
g. Pembeli berhak menuntut pembatalan pembelian, jika penyerahan barang tidak dapat
dilaksanakan karena akibat kelalaian penjual.
h. Baik penjual maupun pembeli berhak membuat persetujuan yang isinya memperluas atau
mengurangi kewajiban yang telah ditentukan dalam KUHPerdata tersebut, bahkan untuk
membebaskan penjual dari tanggungan apapun, namun demikian hal ini dibatasi oleh
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 huruf c Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yaitu membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati
i. Jika barang yang telah dibeli oleh pembeli di ambil oleh orang lain karena suatu hal,
maka berdasarkan Pasal 1456 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
1) Pembeli dapat menuntut pengembalian uang harga pembelian dari penjual.
2) Pembeli dapat menuntut pengembalian hasil yang diperoleh pembeli dari barang
tersebut kepada penjual, apabila barang tersebut di ambil oleh orang lain beserta
hasil-hasil yang diperolehnya.
mengurus sengketa.
4) Pembeli juga dapat menuntut penggantian biaya kerugian dan bunga serta biaya
perkara mengenai pembelian dan penyerahan dalam perjanjian jual beli tersebut.
Dari beberapa diuraikan di atas mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam jual beli,
maka perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik yang mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain mengikatkan
dirinya untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Dalam perjanjian jual beli ini biasanya
kewajiban pembeli merupakan hak dari penjual.
Menurut Subekti, penjual mempunyai dua kewajiban pokok yaitu, pertama menyerahkan
barangnya serta mungkin pembeli untuk dapat memiliki barang itu dengan tentram, dan kedua
bertanggung jawab terhadap cacat yang tersembunyi, kemudian kewajiban pembeli adalah
untuk membayar harga pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.36
36
R. Subekti, Op.Cit, hal. 89.
Berdasarkan Pasal 1480 KUHPerdata menyebutkan bahwa jika penyerahan karena kelalaian
penjual tidak dapat dilaksanakan, maka pembeli dapat menuntut pembatalan pembelian,
selanjutnya menurut ketentuan dalam Pasal 1266 KUHPerdata dan Pasal 1267 KUHPerdata,
apabila barang tersebut sudah diserahkan, maka pembeli dapat menuntut penjual untuk
bertanggung jawab jika ada pihak lain yang membantah hak milik penjual atas barang, yang
H. Syarat Sahnya Perjanjian Jual Beli
Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata
merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu
jenis dari perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa syarat dari sahnya perjanjian
adalah :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau
konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak
antara para pihak dalam perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan
kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. Sepakat juga dinamakan suatu perizinan,
terjadi oleh karena kedua belah pihak sama-sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu
perjanjian yang diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak menghendaki sesuatu yang sama
secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan:
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis
2) Bahasa yang sempurna secara lisan
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak
sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya.
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya
5) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.37
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya kesepakatan dapat
terjadi secara tertulis dan tidak tertulis. Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis
biasanya dilakukan dengan akta otentik maupun akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan
adalah akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta
(notaris). Sedangkan akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, kata sepakat tidak didasarkan atas kemauan
bebas atau tidak sempurna apabila didasarkan:
1) Kekhilafan (dwaling)
2) Paksaan (geveld)
3) Penipuan (bedrog)
Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada dan mengikat bagi kedua
belah pihak serta dapat dilaksanakan.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam
hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat
menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang
yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai dengan Pasal 1330
KUHPerdata. Pasal 1330 berbunyi sebagai berikut:
1) Orang yang belum dewasa
2) Orang yang dibawah pengampuan
3) Seorang istri. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran
Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan
tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan
perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
sudah kawin atau sudah pernah kawin.
c. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian. Objek perjanjian harus jelas dan
ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa barang maupun jasa namun juga dapat berupa
tidak berbuat sesuatu. Objek Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri atas:
1) Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
2) Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis
suatu lukisan yang dipesan.
3) Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan,
perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat:
1) Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan
jenisnya. Misalnya: A menyerahkan beras kepada B 1 kwintal.
2) Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan.
Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan. Misalnya Concurrentie
Beding (syarat untuk tidak bersaingan). Contoh: A membeli pabrik sepatu dari B dengan
syarat bahwa B tidak boleh mendirikan pabrik yang memproduksi sepatu pula. Karena A
menderita kerugian, maka pabrik sepatu diganti dengan produk lain. Dalam hal ini B boleh
mendirikan pabrik sepatu lagi, karena antara A dan B sekarang tidak ada kepentingan lagi.
3) Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
4) Prestasi harus mungkin dilaksanakan.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak dijelaskan pengertian sebab
yang halal. Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek
perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan
objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu
dapat diminta pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak
cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas. Sedangkan apabila syarat ketiga
dan keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum
artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak