• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Ketidaksesuaian Kualitas Dalam Perjanjian Jual Beli Produk Inti Sawit (Kernel) Antara Cv. Bintang Efendi Brother Medan Dengan PT. Agro Jaya Perdana Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akibat Hukum Ketidaksesuaian Kualitas Dalam Perjanjian Jual Beli Produk Inti Sawit (Kernel) Antara Cv. Bintang Efendi Brother Medan Dengan PT. Agro Jaya Perdana Medan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI

E. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Menurut Subekti, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.6

Ada beberapa penulis yang memakai perkataan persetujuan yang tentu saja tidak salah, karena peristiwa termaksud juga berupa suatu kesepakatan atau pertemuan kehendak antara dua orang atau lebih untuk

melaksanakan sesuatu dan perkataan persetujuan memang lebih sesuai dengan perkataan Belanda overeenkomst yang dipakai oleh BW, tetapi karena perjanjian oleh masyarakat sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan rangkaian janji-janji yang pemenuhannya dijamin oleh hukum.7

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan, pembentukan organisasi usaha dan juga menyangkut juga tenaga kerja.8

Mengenai batasan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, Para sarjana hukum

perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313

KUHPerdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan.9 Tidak

lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup

hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun istimewa

sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga Buku ke III KUHPerdata secara langsung

tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak

ada unsur persetujuan.10

Berdasarkan pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud

pengertian perjanjian, antara lain “hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut Hukum Kekayaan antara

dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu

prestasi”.

6

R. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1979. hal. 1.

7 R. Subekti. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional. Bandung: Alumni, 1984. hal. 11.

8 Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perjanjian¸ Bandung: Alumni, 1986, hal. 93. 9

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 45.

(2)

Perjanjian (verbintennis) adalah hubungan hukum ( rechtbetrekking) yang oleh hukum itu sendiri diatur

dan disahkan cara perhubungannya. Maka perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan

(person) adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan

sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga,

dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam

hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Suatu perjanjian yang mengikat (perikatan) minimal harus ada salah

satu pihak yang mempunyai kewajiban karena bila tidak ada pihak yang mempunyai kewajiban, maka dikatakan

tidak ada perjanjian yang mengikat.

Hubungan hukum yang terjadi, baik karena perjanjian maupun karena hukum, dinamakan perikatan karena

hubungan hukum tersebut mengikat, yaitu kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan itu dapat

dipaksakan ,secara hukum. Jadi, suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat dipaksakan (unenforceable)

adalah bukan perikatan.11

Berdasarkan hal tersebut maka satu pihak memperoleh hak dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban

(plicht) menyerahkan atau menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari verbintenis. Tanpa

prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi

hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur.

Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.

Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan

hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh

prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan

prestasi.

12

11 Notaris Nurul Muslimah Kurniati, “Kontrak Dan Perikatan”, Melalui

http://notarisnurulmuslimahkurniati.blogspot.com/2009/04/kontrak-dan-perikatan.html, Diakses tanggal 20 Maret 2015, Pukul 21.30 WIB.

(3)

Hukum kebendaan dikatakan bersifat tertutup, dan karenanya tidak boleh ditambah, diubah, dikurangi atau

dimodifikasi oleh orang perorangan atas kehendak mereka sendiri, hukum kebendaan, seringkali juga disebut

sebagai hukum yang memaksa 13

a. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi mempunyai droit de suite. .

Berdasarkan uraian di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan

sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang-undang. Vermogenrecht (hukum kekayaan) yang bersifat pribadi

dalam perjanjian verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan hukum .

Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya

mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda atau kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi

tertentu (bepaalde persoon).

Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda(zakenrecht) dengan hukum perjanjian.

b. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati hak seseorang atas benda tadi, in

violable et sacre.

c. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas benda tersebut.

Hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak

relatif “. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang

pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu

tindakan hukum. Jadi hubungan hukum (recht berrekking) dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara

orang-orang tertentu saja.14

13 Ibid, hal.21

Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang pengertian hukum benda yang diatur

dalam BW dalam Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “inviolable et sacre” dan memiliki droit de suite,

tidak mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960

sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, Buku II KUHPerdata tidak dinyatakan berlaku lagi.

14Universitas Sumatera Utara ,“Tinjauan Umum Tentang

(4)

Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi ditekankan pada faktor hak. Tetapi

dititik beratkan pada segi penggunaan dan fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33

ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.

Uraian di atas, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas

prestasi baru ada pada persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas perbuatan

hukum.

Ada beberapa pengecualian:

a. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu (bepaalde persoon), verbintenis

bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.

b. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata, dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis.

Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada

Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).15

Perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang

telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi

kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan pelaksanaan kewajiban atau prestasi yang mereka

perjanjikan. Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan

untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan tetapi tidak seluruhnya

verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.

Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat

tanpa hak memaksa. Jadi natuurlijk verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan

demikian, perjanjian dapat dibedakan antara:16

a. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai

akibat hukum yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

b. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti natuurlijke verbintenis.

15

Ibid.

(5)

Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi

kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi

tidak dapat dipaksakan.

c. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum

menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta uang paksa.

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai

anggota suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-anggota

masyarakat. Ini berarti bahwa unsur hukum baru dapat dianggap ada, apabila suatu tingkah laku

seseorang sedikit banyak menyinggung atau mempengaruhi tingkah laku dengan kepentingan

orang lain.

Wirjono Prodjodikoro, berpendapat: “Bahwa dalam hal gangguan oleh pihak ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun juga, adalah sifat lain dari hak benda yaitu sifat absolut. Sedangkan dalam hukum perjanjian seseorang yang berhak, dapat dibilang mempunyai hak tak mutlak yaitu hanya dapat melaksanakan haknya terhadap seorang tertentu yakni orang pihak lain yang turut membikin perjanjian itu ”.17

Suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda, hukum perdata membedakan hak

terhadap benda dan hak terhadap orang. Meskipun suatu perjanjian adalah mengenai suatu

benda, perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum antara orang dengan orang, lebih

tegasnya antara orang tertentu dengan orang lain tertentu. Artinya, hukum perdata tetap

memandang suatu perjanjian sebagai hubungan hukum, di mana seorang tertentu, berdasarkan

atas suatu janji berkewajiban untuk melakukan suatu hal, dan orang lain tertentu berhak

menuntut pelaksanaan kewajiban itu. Misalnya, A dan B membuat perjanjian jual beli, yaitu A

adalah penjual dan B adalah pembeli, dan barang yang dibeli adalah sebuah lemari tertentu yang

berada di dalam rumah A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan

(6)

kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut jatuh ke tangan

seorang ketiga (C). Dalam hal ini B hanya berhak menegur A supaya lemari diserahkan

kepadanya, dan B tidak dapat langsung menegur C supaya lemari tersebut diserahkan kepadanya.

Sifat hukum perjanjian ini berbeda dengan sifat hukum kebendaan. Pada hukum benda,

hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan benda. Sedangkan pada hukum perjanjian,

hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan orang berdasarkan perjanjian yang dibuat

orang-orang tersebut.

Sifat hukum perjanjian, yakni sifat perorangan, maka para pihak dapat dengan bebas

menentukan isi dari perjanjian yang mereka buat, asal saja tidak melanggar ketertiban umum dan

kesusilaan, yang artinya hukum perjanjian itu menganut sistem terbuka.

Pasal-pasal dari hukum perjanjian ini merupakan hukum pelengkap, yaitu pasal-pasal itu

dapat dikesampingkan apabila dikehendaki, oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka

diperbolehkan mengatur sendiri sesuatu soal, namun tidak boleh melanggar ketertiban umum dan

kesusilaan.

KUHPerdata, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang mengatakan bahwa :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”.

Uraian di atas juga dikenal asas kebebasan berkontrak. Hukum tidak pernah berhubungan

dan tidak perlu mengetahui apa yang melatar belakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan

cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang

(7)

undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 18

Undang-undang tidak memberikan rumusan mengenai maksud kepatutan dan kesusilaan.

Oleh karena itu, tidak ada ketepatan batasan pengertian istilah tersebut. Berdasarkan arti kata

tersebut, kiranya dapat digambarkan kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut,

pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh

masing-masing pihak yang berjanji. Dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, perlu

diperhatikan juga kebiasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata.

Dikarenakan hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum yang selalu terjadi dalam kehidupan

bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai

perbedaan satu sama lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu mempunyai coraknya

yang tersendiri pula. Corak yang berbeda dalam bentuk perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian.

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi

dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat dengan penafsiran pasal dari KUHPerdata terdapat bentuk atau

jenis yang berbeda tentunya.

Sehubungan dengan pengertian perjanjian maka pelaksanaan perjanjian harus didasarkan pada itikad baik.

Itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah bahwa pelaksaan perjanjian harus berjalan

dengan mengidahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Artinya, pelaksanaan perjanjian tersebut harus berada

diatas rel yang benar, yaitu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

19

Tidak setiap kebiasaan mempunyai kekuatan hukum atau mengikat. Kebiasaan

merupakan hukum kebiasaan apabila kebiasaan itu dianggap mengikat. Dalam hal ini perilaku itu

harus diulang yang berlangsung untuk beberapa waktu lamanya. Untuk dapat menjadi hukum

kebiasaan maka suatu perilaku itu harus berlangsung dalam waktu lama, berulang-ulang (longa

et inveterata consuetude) dan harus menimbulkan keyakinan umum (opinio necessitates) bahwa

18 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2003, hal. 47.

(8)

perilaku yang diulang itu memang patut secara objektif dilakukan, bahwa dengan melakukan

perilaku itu berkeyakinan melakukan suatu kewajiban hukum (die normatieve kraft des

faktischen = kekuatan normatif dari perilaku yang diulang).20

Asas itikad baik dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata,

yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik menurut

Pasal tersebut adalah bahwa pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan

norma-norma kepatutan dan kesusilaan.21

Mengenai apa yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan, undang-undang tidak

memberikan rumusannya. Oleh karena itu, tidak ada ketetapan batasan mengenai pengertian

istilah tersebut. Namun, jika dilihat arti katanya, kepatutan artinya kepantasan, kelayakan,

kesesuaian, kecocokan. Sedangkan kesusilaan artinya kesopanan; keadaban. Berdasarkan arti

kedua kata tersebut, kiranya dapat digambarkan kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang

patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab, sebagaimana samasama dikehendaki oleh

masing-masing pihak yang membuat perjanjian.22

Sebagaimana dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti juga

bahwa harus ditafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatutan. Dalam KUH Perdata

kepatutan (asas kepatutan) dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa

perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi

juga untuk segala sesuatu yang menurut kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.23

Pada umumnya, itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata) dan kepatutan (Pasal

1339) KUH Perdata disebutkan secara senafas dan Hoge Raad (H.R.) dalam putusan tanggal 11

20Ibid, hal. 101. 21

Ibid.

22

Ibid.

(9)

Januari 1924 telah sependapat bahwa apabila hakim setelah menguji dengan kepantasan dari

suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan maka berarti perjanjian itu bertentangan dengan

ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan perjanjian terjadi

hubungan yang erat antara keadilan. Kepatutan dan kesusilaan dengan itikad baik.

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, jika terjadi selisih pendapat tentang

pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik (kepatutan dan kesusilaan), maka hakim diberi

wewenang oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan perjanjian, apakah

ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutan dan kesusilaan itu. Hal ini berarti bahwa

hakim berwenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut kata-katanya, apabila

pelaksanaan perjanjian menurut kata-katanya akan bertentangan dengan itikad baik (apabila

pelaksanaan menurut norma-norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil). Hal ini

bisa dimengerti karena tujuan hukum adalah menjamin kepastian (ketertiban) dan menciptakan

keadilan.24

Hakim berwenang mencegah suatu pelaksanaan perjanjian yang tidak asli, yaitu tidak

sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan.

Keadilan dalam hukum itu menghendaki adanya kepastian, yaitu apa yang diperjanjikan

harus dipenuhi karena janji itu mengikat sebagaimana undang-undang (Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata). Sedangkan yang harus dipenuhi tersebut sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan (Pasal

1338 ayat (3) KUH Perdata, asas keadilan).

25

24

R. Subekti, Op. Cit, hal. 40

25Muhammad Abdul Kadir, Op. Cit, hal. 100.

Di negeri Belanda, bahwa hakim dengan memakai

alasan itikad baik itu dapat mengurangi atau menambah kewajiban-kewajiban yang termaktub

dalam suatu perjanjian, adalah suatu hal yang sudah diterima oleh Hoge Raad. Namun, menurut

(10)

menghapuskan sama sekali kewajiban-kewajiban yang secara tegas disanggupi dalam suatu

perjanjian.26

Lebih lanjut, putusan Hoge Raad yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik

yang dapat disajikan disini adalah Kasus Sarong Arrest yang berkaitan dengan turunnya nilai

uang Jerman setelah Perang Dunia Pertama. Kasus Sarong Arrest bermula pada tahun 1918 suatu

firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar f

100.000,-. Karena keadaan memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat

menyerahkan pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan

prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia

memenuhi prestasi tetapi dengan harga yang lebih tinggi, karena apabila harga tetap sama ia

akan menderita kerugian, yang berdasarkan itikad baik antara para pihak tidak dapat dituntut Pendirian Hoge Raad yang sempit tersebut nampak sekali dalam putusan tanggal 8

Januari 1986 (majalah Nederlandse Jurisprudentie 1926, 203) dimana seorang pemilik pabrik

tenun di Jerman dihukum harus melever suatu partai tekstil, meskipun setelah pelaksanaan

perjanjian itu tertunda selama beberapa tahun akibat pecahnya perang dunia pertama dimana

keadaan telah begitu berubah, sehingga disebabkan karena naiknya biaya-biaya produksi,

pelaksanaan hukum itu membawa kerugian yang sangat besar bagi pemilik pabrik tenun tersebut.

Adapun pertimbangan putusan Hoge Raad adalah sebagai berikut:

“…bahwa peraturan yang menentukan pengluasan dan penambahan perikatan-perikatan yang

timbul dari suatu perjanjian, hingga sampai diluar lingkungan ketentuan-ketentuan yang

dituliskan dengan tegas, tidak bertujuan yang sebaliknya yaitu untuk menghilangkan kekuatan

dari apa yang secara tegas ditetapkan dan dengan demikian menghapuskan perikatan-erikatan

yang timbul dari perjanjian…”

(11)

darinya.27

Dalam putusan tersebut, oleh Mahkamah Agung dipertimbangkan bahwa adalah pantas

dan sesuai dengan rasa keadilan apabila dalam hal menggadai tanah kedua belah pihak memikul

masing-masing separuh dari risiko kemungkinan perubahan harga nilai tukar rupiah, diukur dari

perbedaan emas pada waktu menebus tanah tersebut. Sawah yang sebelum perang digadaikan

dengan Rp 50,- oleh Mahkamah Agung ditetapkan harus ditebus dengan 15 x Rp 50,- atau Rp

750,- karena harga emas sudah naik mencapai 30 kali lipat.

Pembelaan yang ia (penjual) ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dikesampingkan

oleh Hoge Raad dalam arrest tersebut. Menurut putusan Hoge Raad tidak mungkin satu pihak

dari suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpedoman

pada itikad baik untuk mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan Hoge Raad masih

memberi harapan tentang hal ini dengan memformulasikan, mengubah inti perjanjian atau

mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang lebih ringan,

jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan. Putusan

Hoge Raad ini selalu berpedoman pada saat dibuatnya kontrak oleh para pihak.

Apabila pihak pemesan sarung sebanyak yang dipesan maka penjual harus melaksanakan

isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

baik.

Di Indonesia, kita bisa merujuk pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

tanggal 11 Mei 1955. Putusan tersebut merupakan putusan yang dapat kita banggakan sebagai

putusan yang sangat baik dalam pemakaian “itikad baik” dalam pelaksanaan suatu perjanjian.

28

Dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, perlu diperhatikan juga kebiasaan. Hal

27

Ibid, hal. 42.

(12)

ini ditentukan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi: “Suatu perjanjian tidak hanya

mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau

undang-undang.”

Kebiasaan (costum) adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang

dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan

itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan

kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbulah

suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.29

Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan

titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa

kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya asas Setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan-aturan undang-undang dan adat kebiasaan

di suatu tempat disamping kepatutan. Dengan demikian kebiasaan sebagai sumber hukum

disamping undang-undang. Oleh karena itu, kebiasaan ikut menentukan hak dan kewajiban

pihak-pihak dalam perjanjian. Namun, adat kebiasaan tidak boleh menyimpang atau

menyingkirkan undang-undang.

Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwaDalam Hukum Perdata yang berlaku di

Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

(13)

konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia membuat adanya asas kebebasan

berkontrak.

Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat

dapat dibatalkan.

Asas ini memberikan informasi bahwa suatu perjanjian pada dasarnya sudah ada sejak

tercapainya kata sepakat diantara para pihak dalam perjanjian tersebut. Asas konsensualisme

yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti kemauan para pihak untuk saling

mengikatkan diri dan kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu akan

dipenuhi.

Asas konsensualitas merupakan suatu puncak pengikatan manusia yang tersirat dalam

pepatah: een man een man, een word een word. Selanjutnya dikatakan olehnya bahwa ungkapan

“orang harus dapat dipegang ucapannya” merupakan tuntutan kesusilaan, akan tetapi Pasal 1320

KUH Perdata menjadi landasan hukum untuk penegakannya. Tidak dipenuhinya syarat

konsensualisme dalam perjanjian menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak

memenuhi syarat subyektif.30

Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Konsensualisme mengandung arti

bahwa perjanjian itu terjadi karena adanya kata sepakat atau kehendak yang bebas dari para

pihak yang membuat perjanjian mengenai isi atau pokok perjanjian.

31

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa :”Semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Di dalam pasal

tersebut dijumpai asas Konsensualisme yang terdapat pada kata “…perjanjian yang dibuat secara

30

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 107.

(14)

sah…”, yang menunjuk pada Pasal 1320 KUH Perdata, terutama pada ayat (1) yaitu mereka

sepakat mengikatkan dirinya.

Asas konsensualisme berarti perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat dari

para pihak yang mengadakan perjanjian untuk saling mengikatkan dirinya. Pada perjanjian yang

bersifat obligatoir, kesepakatan yang dibuat telah mengikat para pihak. Asas konsensualisme ini

kemudian berpengaruh pada bentuk perjanjian yaitu dengan adanya Konsensualisme, perjanjian

itu lahir atau terbentuk pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak sehingga tidak

diperlukan lagi bentuk formalitas lain. Akibatnya perjanjian yang terjadi karena kata sepakat

tersebut, merupakan perjanjian yang bebas sehingga dapat lisan maupun tertulis.

F. Pengertian Perjanjian Jual Beli

Untuk mengetahui pengertian perjanjian jual beli ada baiknya dilihat Pasal 1457

KUHPerdata yang menentukan “jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual

berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak sebagai

pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga".

Wirjono Prodjodikoro mengatakan “jual beli adalah suatu persetujuan dimana suatu pihak mengikat diri untuk berwajib menyerahkan suatu barang, dan pihak lain berwajib membayar harga, yang dimufakati mereka berdua".32

Volmar sebagaimana dikutip oleh Suryodiningrat mengatakan “jual beli adalah pihak yang satu penjual (verkopen) mengikat diri kepada pihak lainnya pembeli (loper) untuk memindah tangankan suatu benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran dari orang yang disebut terakhir, sejumlah tertentu, berwujud uang".33

Menurut R.M. Suryodiningrat mengemukakan “jual beli itu ialah perjanjian, dimana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda/barang kepada pihak

32

R. Wirjono Prodjodikoro. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Bandung: Sumur, 1991. hal. 17.

(15)

lainnya (pembeli) yang mengikat dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual.34

1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli

Berdasarkan pengertian yang diberikan Pasal 1457 KU Perdata di atas, perjanjian jual

beli sekaligus membebankan dua kewajiban :

2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjualan.35

G. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli

Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian dengan

mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk meyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang

lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan rumusan tersebut, maka dalam

suatu transaksi jual beli terkandung suatu perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban bagi

para pihak.

Para pihak yang mengadakan perjanjian disebut kreditur dan debitur, dalam hal ini,

kreditur berhak atas prestasi dan debitur berkewajiban memenuhi prestasi. Debitur mempunyai

kewajiban untuk membayar utang, kewajiban debitur tersebut dapat pula disebut dengan schuld.

Disamping schuld debitur juga mempunyai kewajiban yang lain yaitu untuk menjamin pelunasan

utang debitur kepada kreditur dengan menggunakan harta kekayaan guna membayar utang

tersebut, atau disebut juga haftung. Pihak-pihak dalam perjanjian jual beli menurut KUHPerdata

terdiri dari:

1. Penjual

34Ibid., hal. 15.

35

(16)

KUHPerdata mengatur hak dan kewajiban penjual yaitu sebagai berikut:

a. Penjual wajib menyatakan dengan tegas keinginannya dalam perjanjian, artinya apabila

terdapat klausul dalam perjanjian yang tidak jelas dan dapat diartikan kedalam berbagai

pengertian, maka harus ditafsirkan kedalam pengertian yang merugikan penjual.

b. Penjual wajib menyerahkan barang dan juga menanggungnya. Penyerahan barang ini

diartikan sebagai suatu pengalihan kekuasaan atas barang yang telah dijual tersebut dari

tangan penjual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan pembeli. Di dalam penyerahan

barang ketentuan yang harus di perhatikan oleh penjual, antara lain:

1) Penyerahan barang ini dilakukan ditempat dimana barang berada pada waktu

penjualan terjadi, kecuali di perjanjikan lain.

2) Barang yang diserahkan harus dalam keadaan utuh seperti yang telah dinyatakan

dalam perjanjian atau pada saat penjualan.

3) Penjual wajib menyerahkan segala sesuatu yang menjadi perlengkapan untuk

menggunakan barang yang telah di jualnya tersebut.

4) Penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya sebelum pembeli membayar

harganya.

5) Penjual wajib menjamin pembeli untuk dapat memiliki barang itu dengan aman dan

tentram, serta bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi yang dapat

dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian ( Pasal 1491, 1504, 1506, 1508, 1509

dan 1510 BW, akan tetapi penjual tidak diwajibkan menanggung cacat yang kelihatan

oleh pembeli.

(17)

barang yang telah diperjualbelikan tersebut harus disita atau harus diambil dari

pembeli karena suatu sengketa, yang disebabkan tidak ada pemberitahuan terlebih

dahulu pada saat mengadakan perjanjian jual beli.

7) Penjual diwajibkan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang merupakan

akibat langsung dari pembuatnya sehingga merugikan pembeli, walaupun didalam

perjanjian ditentukan bahwa penjual tidak menanggung segala risiko dalam jual beli

tersebut.

8) Penjual wajib menggunakan biaya penyerahan barang artinya apabila dalam

perjanjian ditentukan bahwa penyerahan dilakukan di gudang milik pembeli, maka

biaya pengangkutan dari tempat penjual menuju gudang milik pembeli ditanggung

oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan dari gudang milik pembeli menuju

ketempat pembeli ditanggung oleh pembeli.

9) Penjual wajib mengembalikan harga barang dan biaya menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku, pembeli berhak membatalkan atau meniadakan pembelian

dengan syarat tuntutan tersebut harus dilakukan paling lambat dalam waktu 1 (satu)

tahun setelah penyerahan barang.

10) Penjual berhak menuntut pembayaran harga pada waktu dan tempat yang telah

penyerahan bersama dalam perjanjian, pada tempat penenyerahan barang dilakukan.

11) Penjual berhak atas pembayaran bunga dari harga pembelian, jika ternyata barang

yang telah dijualnya menghasilkan pendapatan bagi pembeli.

12) Penjual berhak menahan barangnya atau tidak menyerahkan kepada pembeli jika

pembeli belum membayar harganya.

(18)

atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan dalam undang-undang

ini, bahkan untuk membebaskan penjual dari tanggungan apapun.

14) Dalam hal barang yang telah dijual dalam keadaan menjadi pokok-pokok sengketa

dan harus dilelangkan, sedangkan harga lelang lebih mahal dari harga yang telah

dibayar oleh pembeli sehingga menguntungkan pembeli, maka penjual berhak

memperoleh uang sisa dari hasil pelelangan tersebut.

15) Jika pembeli tidak membayar harga pembelian maka penjual dapat menuntut

pembatalan pembelian .

16) Penjual berhak membeli kembali barang yang telah dijualnya apabila telah

diperjanjikan tersebut.

2. Pembeli

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, pembeli memiliki hak

dan kewajiban diantaranya:

a. Pembeli mempunyai kewajiban utama yaitu membayar harga pembelian pada waktu dan

tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian.

b. Jika tempat pembayaran tidak ditentukan, pembeli berkewajiban untuk membayar harga

barangnya ditempat penyerahan barang dilakukan.

c. Pembeli diwajibkan menanggung biaya pengambilan barang, artinya apabila dalam

perjanjian ditentukan bahwa penyerahan dilakukan di gudang milik pembeli, maka biaya

pengambilan barang dari gudang menuju tempat pembeli ditanggung oleh pembeli,

sedangkan biaya pengiriman dari tempat penjual menuju gudang milik pembeli

(19)

d. Walaupun tidak diperjanjikan dengan tegas, pembeli diwajibkan membayar bunga dari

harga pembelian apabila barang yang dibelinya tersebut menghasilkan pendapatan.

e. Barang yang harus diserahkan kepada pembeli adalah dalam keadaan utuh seperti pada

saat penjualan atau saat perjanjian diadakan dan sejak penyerahan barang, segala yang

dihasilkan dari barang tersebut menjadi hak pembeli.

f. Pembeli berhak mendapatkan jaminan untuk dapat memiliki barang itu dengan aman dan

tentram. Serta jaminan terhadap cacat yang tersembunyi dan sebagainya, yang dapat

dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian.

g. Pembeli berhak menuntut pembatalan pembelian, jika penyerahan barang tidak dapat

dilaksanakan karena akibat kelalaian penjual.

h. Baik penjual maupun pembeli berhak membuat persetujuan yang isinya memperluas atau

mengurangi kewajiban yang telah ditentukan dalam KUHPerdata tersebut, bahkan untuk

membebaskan penjual dari tanggungan apapun, namun demikian hal ini dibatasi oleh

ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 huruf c Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen yaitu membayar sesuai dengan nilai tukar yang

disepakati

i. Jika barang yang telah dibeli oleh pembeli di ambil oleh orang lain karena suatu hal,

maka berdasarkan Pasal 1456 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

1) Pembeli dapat menuntut pengembalian uang harga pembelian dari penjual.

2) Pembeli dapat menuntut pengembalian hasil yang diperoleh pembeli dari barang

tersebut kepada penjual, apabila barang tersebut di ambil oleh orang lain beserta

hasil-hasil yang diperolehnya.

(20)

mengurus sengketa.

4) Pembeli juga dapat menuntut penggantian biaya kerugian dan bunga serta biaya

perkara mengenai pembelian dan penyerahan dalam perjanjian jual beli tersebut.

Dari beberapa diuraikan di atas mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam jual beli,

maka perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik yang mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain mengikatkan

dirinya untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Dalam perjanjian jual beli ini biasanya

kewajiban pembeli merupakan hak dari penjual.

Menurut Subekti, penjual mempunyai dua kewajiban pokok yaitu, pertama menyerahkan

barangnya serta mungkin pembeli untuk dapat memiliki barang itu dengan tentram, dan kedua

bertanggung jawab terhadap cacat yang tersembunyi, kemudian kewajiban pembeli adalah

untuk membayar harga pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.36

36

R. Subekti, Op.Cit, hal. 89.

Berdasarkan Pasal 1480 KUHPerdata menyebutkan bahwa jika penyerahan karena kelalaian

penjual tidak dapat dilaksanakan, maka pembeli dapat menuntut pembatalan pembelian,

selanjutnya menurut ketentuan dalam Pasal 1266 KUHPerdata dan Pasal 1267 KUHPerdata,

apabila barang tersebut sudah diserahkan, maka pembeli dapat menuntut penjual untuk

bertanggung jawab jika ada pihak lain yang membantah hak milik penjual atas barang, yang

(21)

H. Syarat Sahnya Perjanjian Jual Beli

Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata

merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu

jenis dari perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa syarat dari sahnya perjanjian

adalah :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau

konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak

antara para pihak dalam perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan

kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. Sepakat juga dinamakan suatu perizinan,

terjadi oleh karena kedua belah pihak sama-sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu

perjanjian yang diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak menghendaki sesuatu yang sama

secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan:

1) Bahasa yang sempurna dan tertulis

2) Bahasa yang sempurna secara lisan

3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.

Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak

sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya.

4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya

5) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.37

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya kesepakatan dapat

terjadi secara tertulis dan tidak tertulis. Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis

biasanya dilakukan dengan akta otentik maupun akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan

(22)

adalah akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta

(notaris). Sedangkan akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang

berwenang. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, kata sepakat tidak didasarkan atas kemauan

bebas atau tidak sempurna apabila didasarkan:

1) Kekhilafan (dwaling)

2) Paksaan (geveld)

3) Penipuan (bedrog)

Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada dan mengikat bagi kedua

belah pihak serta dapat dilaksanakan.

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam

hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat

menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang

yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai dengan Pasal 1330

KUHPerdata. Pasal 1330 berbunyi sebagai berikut:

1) Orang yang belum dewasa

2) Orang yang dibawah pengampuan

3) Seorang istri. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran

Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan

tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan

perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.

(23)

sudah kawin atau sudah pernah kawin.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian. Objek perjanjian harus jelas dan

ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa barang maupun jasa namun juga dapat berupa

tidak berbuat sesuatu. Objek Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri atas:

1) Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.

2) Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis

suatu lukisan yang dipesan.

3) Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan,

perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.

Prestasi dalam suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat:

1) Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan

jenisnya. Misalnya: A menyerahkan beras kepada B 1 kwintal.

2) Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan.

Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan. Misalnya Concurrentie

Beding (syarat untuk tidak bersaingan). Contoh: A membeli pabrik sepatu dari B dengan

syarat bahwa B tidak boleh mendirikan pabrik yang memproduksi sepatu pula. Karena A

menderita kerugian, maka pabrik sepatu diganti dengan produk lain. Dalam hal ini B boleh

mendirikan pabrik sepatu lagi, karena antara A dan B sekarang tidak ada kepentingan lagi.

3) Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

4) Prestasi harus mungkin dilaksanakan.

(24)

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak dijelaskan pengertian sebab

yang halal. Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek

perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan

objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu

dapat diminta pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak

cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas. Sedangkan apabila syarat ketiga

dan keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum

artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak

Referensi

Dokumen terkait

41 Ganis Lukmandaru Universitas Gadjah Mada. 42 Irfan Dwidya Prijambada Universitas

Pada penelitian ini didapatkan nilai koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan IL-8 serum adalah r = 0,327 ; p < 0,011 yang berarti terdapat korelasi yang

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah

[r]

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 11 petugas di CSSD dapat disimpulkan bahwa petugas CSSD yang telah melakukan cuci tangan sesuai standar 6 langkah POS

Hubungan kemampuan siswa mentransformasi cerita pendek ke dalam film berorientasi pendidikan karakter siswa pada kelas eksperimen, diperoleh koefisien korelasi

Deasy Christia Sera, 111314253007, Efektifitas Peer-Assisted Learning Srategies (PALS) Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pada Anak Kelas III Sekolah Dasar,

tahap pra lapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap pelaksanaan, tahap analisis data, dan tahap pelaporan. Hasil penelitian: 1) Jenis kesulitan belajar pada mata