BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aterosklerosis 2.1.1 Definisi
Aterosklerosis adalah sebuah respon kompleks inflamasi
fibroproliferatif terhadap retensi lipoprotein yang bersifat aterogenik di
lapisan intima arteri. Aterosklerosis adalah penyakit yang bersifat kronis
dan merupakan penyebab utama penyakit jantung koroner dan penyakit-
kardiovaskular. Secara asal kata, aterosklerosis berasal dari bahasa
Yunani, yaitu athere yang bermakna bubur dan skleros yang bermakna keras (Falk, et al., 2006; Ross, 2006; Ross, 2009).
Dari asal kata tersebut, dapat disimpulkan bahwa aterosklerosis
yaitu terbentuknya bercak seperti bubur yang terdiri dari penumpukan
lemak kolesterol pada lapisan intima lumen pembuluh darah. Keadaan ini
mengakibatkan terjadinya penebalan pada dinding pembuluh darah dan
hilangnya elastisitas arteri, disertai perubahan degenerasi lapisan media
dan intima (Falk, et al., 2006).
Aterosklerosis adalah penyakit inflamasi pembuluh darah yang
kronik, yang menyebabkan munculnya plak aterom yaitu sebuah lesi fokal
yang terletak pada intima pembuluh darah baik yang besar maupun
sedang. Retensi subendotel LDL dan oksidatifnya menyebabkan awal
inflamasi darah. Ox-LDL mengaktivasi sel endotel dengan merangsang
ekspresi molekul adhesi yang memperantarai perputaran dan
perlengketan lekosit darah (monosit dan sel T). Setelah perlengketan ke
endotel, lekosit bermigrasi ke intima. Monosit kemudian berubah menjadi
makrofag yang meningkatkan aktivasi reseptor scavenger sehingga
menyebabkan terjadinya akumulasi lemak dan pembentukan sel sabun.
Aktivasi makrofag menyebabkan lepasnya sitokin proinflamasi, reactive oxygen species (ROS), enzim proteolitik yang terlibat pada degenerasi matriks dan akhirnya menyebabkan tidak stabilnya plak aterosklerosis
(Pirillo, et al., 2013, Libby, 2012, Hansson, et al., 2006).
Aterosklerosis tidak sama dengan arteriosklerosis. Arteriosklerosis
mempunyai makna yang luas, meliputi seluruh penyakit yang dapat
menyebabkan pengerasan terhadap arteri, seperti aterosklerosis, stenosis
kembali setelah angioplasti, dan penyakit pembuluh darah perifer. Seperti
telah diketahui, bahwa lesi aterosklerosis yaitu lapisan lemak (fatty streaks) telah dijumpai di aorta selama masa perkembangan janin, terutama pada janin ibu yang memiliki kadar kolesterol yang tinggi. Hal
inilah yang mungkin mendasari banyak kejadian infark miokard yang
terjadi pada individu tanpa memiliki gejala iskemik terlebih dahulu. Oleh
karena itu, usaha jangka panjang dibutuhkan untuk mencegah penyakit ini
dan konsekuensi penyakit ini yang sangat berbahaya (Falk, et al., 2006,
Packard & Libby, 2008).
Pemahaman terhadap patofisiologi aterosklerosis selalu berasal
teori kolesterol. Usia, kolesterol, dan konsentrasi LDL kolesterol
merupakan petunjuk terhadap risiko untuk terjadinya gangguan
kardiovaskular pada masa yang datang. Beberapa individu lebih mudah
untuk terjadinya aterosklerosis (misalnya, pria lebih sering dibandingkan
dengan wanita) (Falk, et al., 2006, Packard & Libby, 2008)
Infark miokard akut (IMA) disebabkan oleh ruptur plak
aterosklerosis yang memicu trombosis akut sehingga menyebabkan oklusi
total arteri coronaria. Ehara, dkk., melaporkan bahwa kadar OxLDL
plasma pada pasien dengan IMA meningkat kira-kira 3,5 kali dibandingkan
dengan subyek kontrol (Ehara, et al., 2007).
Kolesterol LDL merupakan faktor risiko utama terjadinya
aterosklerosis. Namun, kontroversi tetap terjadi tentang bagaimana
mekanisme konsentrasi LDL yang tinggi dapat memicu terjadinya
aterosklerosis dan komplikasinya. Kemungkinan terbesar, yang didukung
oleh hasil laboratorium dan data klinis, menunjukkan bahwa LDL yang
dimodifikasi oleh oksidasi atau glikasi mencetuskan respons inflamasi
pada dinding arteri, sehingga merangsang banyak proses biologi yang
berperan pada permulaan kejadian aterosklerosis, perkembangan, dan
komplikasinya. Pada saat ini telah diketahui bahwa OxLDL terlibat pada
penyakit aterosklerosis melalui pembentukan sel sabun. Walaupun begitu,
inflamasi yang terjadi pada sel yang terlibat pada terjadinya aterosklerosis
seperti merokok, resistensi insulin/diabetes mellitus, dan hipertensi
(Packard & Libby, 2008; Itabe & Takano, 2000).
2.1.3 Permulaan dan perkembangan lesi aterosklerosis
Inflamasi yang bersifat kronis mempunyai peran penting pada awal
terjadinya aterosklerosis dan proses inflamasi dapat terjadi pada setiap
tingkatan penyakit ini. Lapisan lemak yang ada tidak memiliki gejala tapi
dapat berkembang menjadi lesi yang kompleks. Lapisan lemak
meningkatkan isi lipoprotein dalam intima, yang kemudian bergabung
dengan komponen dan matriks ekstraselular seperti proteoglikan. Hal ini
menyebabkan lipoprotein tertahan di intima, terisolasi anti oksidan plasma,
sehingga mengubahnya menjadi teroksidasi. Oksidasi ini memodifikasi
partikel LDL yang terdiri dari bahan campuran yang belum lengkap,
karena baik lipid atau protein dapat menjalani modifikasi. Zat seperti
partikel lipoprotein yang termodifikasi dapat menyebabkan respons
inflamasi lokal (Packard & Libby, 2008; Shoenfeld, et al., 2004; Shoenfeld, et al., 2004; Ross, 2006; Ross, 2008; Ross, 2009).
Lesi lebih lanjut dapat menyebabkan penyempitan lumen dan
menimbulkan gejala klinis. Sel otot polos sudah dijumpai pada intima
manusia pada saat awal aterogenesis, di bawah lapisan lemak yang
sedang berkembang. LDL yang sudah teroksidasi dijumpai pada plak
aterosklerosis tapi tidak dijumpai pada intima yang abnormal (Falk, et al.,
2.1.4 Faktor Risiko
Aterosklerosis adalah hasil interaksi gen lingkungan yang
kompleks. Inflamasi kronis diyakini merupakan faktor patogen terjadinya
aterosklerosis pada manusia. Faktor gen sendiri dapat menyebabkan
simtomatik aterosklerosis tapi sangat jarang. Kebanyakan, latar belakang
genetik menimbulkan respons individu terhadap faktor gen aterogenik dan
kelemahan dinding pembuluh darah terhadap rangsangan aterogenik tapi
faktor lingkungan sangat jelas mempengaruhi kecepatan perkembangan
penyakit (perkembangan plak) dan oleh karena itu menentukan kapan
penyakit jantung koroner terjadi (Falk, et al., 2006; Virella & Virella, 2013;
Libby, 2012).
Baik sistem imun yang bersifat innate maupun adaptive memiliki peran yang penting pada saat awal ataupun memicu untuk terjadinya
proses inflamasi yang berhubungan dengan aterosklerosis. Sistem imun
dipicu oleh interaksi antara lipoprotein yang telah dimodifikasi dengan
reseptor scavenger sehingga dapat menyebabkan inflamasi vaskular
(Lundberg & Hansson, 2010; Andersson, et al., 2010; Virella & Virella,
2010).
Faktor risiko untuk terjadinya aterosklerosis dibagi menjadi (Falk, et
al., 2006, Grundy, et al., 2004): a. Yang dapat dimodifikasi, seperti:
Diabetes atau gangguan toleransi glukosa; Dislipidemia : Kolesterol total
meningkat, kadar kolesterol LDL meningkat, kadar kolesterol HDL
menurun; merokok; dan hipertensi. b. Yang tidak dapat dimodifikasi,
hiperkolesterolemia; memiliki kerabat dekat yang mempunyai beberapa
komplikasi aterosklerosis (seperti PJK atau strok).
Diabetes adalah keadaan di mana kadar gula darah puasa 126
mg/dl. Risiko untuk seluruh bentuk penyakit kardiovaskular, termasuk
penyakit jantung koroner meningkat pada DM tipe-1 maupun DM tipe-2.
Angka kematian pada penderita diabetes yang mengalami penyakit
jantung koroner lebih tinggi dibanding dengan yang non diabetes.
(Miettinen, et al., 2007).
Dari semua faktor risiko di atas, kadar kolesterol LDL yang tinggi
merupakan penyebab utama untuk terjadinya aterosklerosis (Falk, et al.,
2006).
Peran kolesterol LDL pada proses aterogenesis juga didukung oleh
kelainan genetik yang menyebabkan kadar kolesterol LDL serum
meningkat secara nyata walaupun faktor risiko lain untuk PJK tidak
dijumpai. Contoh kelainan genetik tersebut adalah bentuk homozigot dan
heterozigot familial hiperkolesterolemia (National Cholesterol Education Program, 2002).
Data epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat antara kadar
kolesterol HDL yang rendah dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas akibat penyakit jantung koroner. Kadar kolesterol HDL yang
tinggi menurunkan risiko PJK. Data epidemiologi mendapati bahwa
penurunan 1% kadar kolesterol HDL berhubungan dengan peningkatan
risiko yang independen terhadap terjadinya PJK (National Cholesterol Education Program, 2002).
Ada beberapa faktor yang memberikan peran terhadap terjadinya
dislipidemia, seperti : kegemukan, merokok, aktivitas fisik yang santai dan
DM tipe 2 (National Cholesterol Education Program, 2002).
Merokok memberikan peran yang besar terhadap risiko untuk
terjadinya PJK dan bentuk lain penyakit kardiovaskular. Hubungan antara
merokok dengan risiko PJK bersifat dose dependent dan dijumpai baik pada pria maupun wanita. Penghentian merokok menurunkan risiko
terjadinya PJK dan penurunan risiko tersebut dimulai sejak bulan pertama
setelah berhenti merokok (Pyorala, et al., 2004).
Beberapa studi mendapatkan hubungan yang kuat antara tekanan
darah tinggi dengan risiko terjadinya PJK. Hubungan ini dijumpai baik
pada pria maupun wanita dengan usia yang muda maupun tua.
Penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi menurunkan risiko
berkembangnya PJK. Hal ini juga dijumpai pada orang tua dengan
hipertensi sistolik terisolasi (Hoogen, et al., 2004).
Risiko PJK meningkat bertahap seiring dengan bertambahnya usia
baik pada pria maupun wanita. Hal ini terjadi oleh karena usia merupakan
refleksi akumulasi progresif aterosklerosis, yang berhubungan dengan
pemaparan yang berlangsung secara terus menerus pada faktor risiko
aterogenik baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui (Wilson, et
Peningkatan risiko yang berhubungan dengan usia menjadi lebih
bermakna pada pria yang berusia 45 tahun ke atas dan wanita setelah
menopause. Pria memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadinya PJK
dibandingkan dengan wanita pada usia berapapun. Alasan terjadinya
perbedaan ini belum dapat dimengerti sepenuhnya. Alasan yang dapat
dijelaskan adalah pada pasien pria dijumpai peningkatan kolesterol LDL
dan tekanan darah serta penurunan kolesterol HDL (Wilson, et al., 2008).
PJK cenderung terjadi secara familial dan riwayat keluarga
menderita PJK merupakan faktor risiko terjadinya PJK. Risiko PJK
dilaporkan berkisar 2-12 kali lebih tinggi pada generasi pertama
dibandingkan dengan populasi umum. Beberapa studi mendapatkan
bahwa risiko tersebut terjadi secara independen terhadap faktor risiko lain
(National Cholesterol Education Program, 2002).
Risiko aterosklerosis meningkat empat kali lipat bila dijumpai dua
faktor risiko. Dislipidemia, hipertensi, dan merokok secara bersamaan
meningkatkan risiko untuk terjadinya ateroskerosis sampai tujuh kali
(Grundy, et al., 2004).
Berdasarkan faktor risiko diatas, ATP-III mengklasifikasikan
kedalam 3 kategori risiko, yaitu: a. Risiko tinggi: penderita penyakit jantung
koroner atau penderita dengan manifestasi klinis bentuk penyakit
aterosklerosis non koroner seperti penyakit arteri perifer, aneurisma aorta
abdominalis dan penyakit arteri karotis (seperti transient ischaemic attack
atau strok atau lebih 50% sumbatan di arteri karotis), diabetes mellitus. b.
memiliki 0-1 faktor risiko. (National Cholesterol Education Program,
2002).
Seperti telah dijelaskan, kejadian awal pada aterosklerosis adalah
perubahan LDL menjadi bentuk yang teroksidasi (OxLDL) oleh beberapa
faktor seperti radikal dan lipooksigenasi, sehingga menyebabkan
terpecahnya asam lemak yang tidak tersaturasi ke dalam partikel LDL.
OxLDL bersifat proinflamasi dan proaterogenik dan berhubungan dengan
permulaan, perkembangan, dan destabilisasi lesi aterosklerosis. OxLDL
meningkatkan ekspresi enzim proinflamasi sehingga menyebabkan
masuknya monosit ke dinding pembuluh darah dan disfungsi sel endotel
vaskular. OxLDL merubah makrofag ke sel busa (foam cells) yang merupakan plak aterosklerosis. Plak yang pecah menyebabkan komplikasi
akut yang menakutkan pada aterosklerosis. Pada banyak kasus, lesi yang
berbahaya akibat trombosis akut pada arteri koroner tidak menyebabkan
penyempitan arteri secara kritis, membuat identifikasi menggunakan
metode angiografi standar tidak menjadi prioritas. Malahan sekarang ini
didapatkan bahwa aktivasi proses inflamasi dibandingkan dengan derajat
stenosis lebih sering menjadi penyebab pecahnya plak dan mencetuskan
trombosis sehingga menyebabkan iskemia jaringan (Packard & Libby,
2008; Tsimikas, et al., 2004).
Perkembangan antibodi monoklonal yang berikatan dengan epitop
spesifik oksidasi telah menunjukkan perkembangan pengukuran yang
sensitif dan spesifik untuk mengukur kadar OxLDL dalam sirkulasi
2.1.5. Peran Kolesterol LDL
Penelitian epidemiologi telah menunjukkan bahwa kadar kolesterol
total serum berhubungan dengan risiko aterosklerosis. Hubungan ini telah
diamati pada banyak populasi di seluruh dunia. Karena kadar kolesterol
LDL serum berhubungan dengan kadar kolesterol total pada populasi,
maka hubungan antara aterosklerosis dengan kadar kolesterol LDL serum
yang meningkat juga sama. Risiko untuk terjadinya aterosklerosis semakin
meningkat dengan peningkatan konsentrasi LDL kolesterol (Gambar 1)
(Grundy, et al., 2004; Tomkin & Owens, 2012).
Gambar 1. Hubungan garis lurus antara kadar kolesterol LDL dan
risiko relatif penyakit jantung koroner (Grundy, et al., 2004).
Gambar 1 menunjukkan setiap perubahan 30 mg/dl LDL kolesterol,
risiko relatif untuk terjadinya penyakit jantung koroner berubah kira-kira
Hubungan ini memiliki 2 implikasi penting, yaitu: a. Mereka yang
memiliki kadar kolesterol LDL rendah yang mempunyai risiko absolut
sama untuk berkembangnya aterosklerosis dengan mereka yang memiliki
kadar kolesterol LDL tinggi (oleh karena faktor risiko lain), maka akan
memiliki keuntungan yang sama dengan penurunan kadar kolesterol LDL.
b. Mereka yang memiliki kadar kolesterol LDL rendah yang memiliki risiko
absolut lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki kadar
kolesterol LDL tinggi, maka keuntungan yang didapat dengan menurunkan
kadar kolesterol LDL lebih sedikit pada mereka yang kadar kolesterol
LDL-nya rendah. (Grundy, et al., 2004).
Hasil Heart Protection Study (2002) juga menemukan bukti yang kuat untuk mendukung hubungan antara kadar kolesterol LDL dan risiko
penyakit jantung koroner. Heart Protection Study menyimpulkan bahwa penurunan kadar kolesterol LDL dari awal berapapun nilainya
menurunkan risiko pada pasien yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya
aterosklerosis (Heart Protection Study Collaborative Group, 2002).
2.1.6 LOX-1 sebagai Reseptor OxLDL
OxLDL bekerja melalui ikatan dengan beberapa reseptor
scavenger seperti SR-A, SR-BI, CD36, dan lectin like oxidized low density lipoprotein receptor (LOX-1). LOX-1 telah diidentifikasi merupakan reseptor Ox-LDL terbesar di sel endotel, meskipun makrofag dan sel otot
polos juga mengekspresikan LOX-1 bersamaan dengan reseptor
LDL yang teroksidasi (OxLDL) diyakini mempunyai peran yang
penting di dalam permulaan terjadinya aterosklerosis. Salah satu faktor
penting yang mempercepat proses aterogenesis adalah sistem imun yang
mempengaruhi proses aterosklerosis pada dinding arteri. OxLDL sendiri
dikenal oleh respon imun baik yang innate maupun yang adaptive. OxLDL memiliki beberapa reseptor seperti SR-AI/II, SR-BI, CD 36, makrosialan,
dan CD 68. Pada tahun 1997, lectin-like oxidized LDL receptor-1 (LOX-1, OLR-1) telah diidentifikasi dari sel endotel aorta sapi. LOX-1 diekspresikan
dan berikatan dengan OxLDL pada jaringan perifer, termasuk sel endotel
arteri yang besar, makrofag, dan sel otot polos. Ikatan OxLDL ke LOX-1
menginduksi beberapa kejadian selular pada sel endotel seperti aktivasi
faktor transkripsi NF-ҝB, upregulasi monosit chemoattractant protein–1
dan reduksi nitric oxide intraselular, yang memicu terjadinya gangguan
kardiovaskuler atau mempercepat perkembangan aterosklerosis
(Hayashida, et al., 2005; Sämpi, et al., 2008; Hansson, 2005; Binder, et al., 2002; Hansson & Libby, 2006; Hörkkö, et al., 2005).
Beberapa studi menunjukkan bahwa OxLDL memiliki peran yang
penting pada patogenesis aterosklerosis. OxLDL juga diketahui bersifat
imunogenik yang membentuk antibodi spesifik yaitu anti OxLDL. Tidak
seluruh OxLDL dijumpai pada peredaran darah karena segera digeser
oleh sistem retikuloendotelial. OxLDL yang berada di peredaran darah
akan menggambarkan minimally modified LDL (Zhang, et al., 2005;
Witztum & Steinberg, 2001; Witztum & Steinberg, 2004; Tsimikas &
Metode untuk mengevaluasi risiko berkembangnya aterosklerosis
atau untuk menilai status pasien pada saat ini sudah tersedia. Di antara
metode yang bersifat invasiv, skor Framingham adalah yang tersering
digunakan. Metode langsung yang lain adalah pengukuran ketebalan
carotid intima media dan telah sering digunakan pada studi yang bersifat
observasi (Ronchini, et al., 2013; Barbaro, 2006; Iglesias, et al., 2004). LDL yang teroksidasi terlibat pada tahap dini aterogenesis, seperti
cedera endotel, ekspresi molekul adhesi, dan retensi serta rekrutmen
lekosit, sebagaimana pembentukan sel sabun dan trombus (Navarra, et
al., 2010, Berliner & Heinecke, 2006).
Aktivasi LOX-1 oleh OxLDL meningkatkan kadar reactive oxygen species (ROS) melalui aksi oksidase NADPH. Pada sel otot vaskular, OxLDL menginduksi terjadinya apoptosis melalui pembentukan ROS.
ROS adalah molekul yang mengandung oksigen dan mempunyai
reaktivitas yang lebih tinggi daripada molekul oksigen, misalnya O2- dan
H2O2. ROS dalam konsentrasi rendah dapat mengaktivasi jalur transduksi
signal dan dapat merubah ekspresi gen yang berkaitan dengan
pertumbuhan dan diferensiasi. Sedangkan pada konsentrasi tinggi, ROS
mempunyai efek merusak sel. ROS diproduksi sebagai hasil metabolisme
normal tubuh di mitokondria dan lingkungan. Apabila disertai dengan
kemampuan antioksidan yang kurang maka dapat menimbulkan
kerusakan atau oxidative stress. Akibatnya dapat terjadi kerusakan pada
disruption, dan kerusakan mitokondria. Kadar ROS menurun dengan adanya pertahanan oleh antioksidan tetapi meningkat oleh transisi metal
atau logam seperti besi atau tembaga, dan oleh agen eksogen seperti
radiasi dan ozon (Oberley, 2002; Reiss, et al., 2009).
Menurunnya sebahagian metabolisme molekul oksigen (O2) disebut
sebagai “Reactive Oxygen Species” (ROS) disebabkan oleh reaksi yang
tinggi terhadap molekul O2. ROS dibentuk di intraselular melalui beberapa
proses, misalnya hasil metabolisme aerobik yang normal dan sebagai
second messenger pada berbagai jalur transduksi signal (signal transduction pathway). ROS dapat juga dihasilkan dari bahan eksogen ekstraselular, atau dapat juga dihasilkan sebagai akibat terpaparnya sel
terhadap lingkungan tertentu (Droge, 2008; Tezel, 2007).
Mekanisme pertahanan antioksidan tidak selamanya adekuat
melindungi sel dari ROS, jika ROS melebihi kemampuan antioksidan sel
untuk mencegah terjadinya oxidative injury maka menyebabkan terjadinya
“oxidative stress” yang dapat menyebabkan bermacam penyakit dalam
tubuh manusia. Oxidative stress dapat didefinisikan sebagai peningkatan ROS pada intraselular melebihi nilai fisiologi (Ferreira, et al., 2009).
Oxidative stress merangsang ekspresi protein kinase seperti fokal adhesi kinase dan Intercellular adhesion molecule (ICAM) – 1. Invasi dinding arteri oleh monosit dan limfosit T adalah salah satu kejadian awal
perkembangan lesi aterosklerosis. Monosit, makrofag, dan sel otot polos
superoxide dismutase (SOD) yang meningkatkan konsentrasi hidrogen peroksida. Proses ini berhubungan dengan apoptosis makrofag yang
berlebihan dan berperan dalam pembentukan lesi aterosklerosis (Droge,
2008).
Pada sel endotel, OxLDL yang diinduksi oleh produksi ROS bersifat
tergantung kepada waktu dan dosis (dose and time dependent) dan diperantarai oleh LOX-1. Ikatan OxLDL ke LOX-1 menghasilkan aktivasi
NF-ҝB. Tidak bekerjanya LOX-1 meniadakan OxLDL yang diperantarai
oleh aktivasi NF-ҝB pada sel endotel. ROS, yang bekerja sebagai second messenger, sebaliknya meningkatkan ekspresi LOX-1. Kadar OxLDL juga
berhubungan dengan small dense LDL dan sindroma metabolik (Reiss, et
al., 2009; Holvoet, et al., 2003; Tanaga, et al., 2002; Holvoet, et al.,
2004).
Aktivasi NF-ҝB meningkatkan migrasi dan aktivasi neutrofil,
trombosit, limfosit, dan sel NK ke tempat inflamasi melalui produksi
Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF), Granulocyte Colony Stimulating Factor (G-CSF), Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF), tissue factor, Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1), Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1), dan Endothelial Leucocytes Adhesion Molecule-1 (ELAM-1). Selain itu, dihasilkan juga sitokin proinflamasi yakni TNF-α dan IL-1 yang berperan penting dalam
merusak sel endotel. Kerusakan endotel yang terjadi mengaktifkan proses
pembentukan trombus pada daerah lesi, hal ini menyebabkan terjadinya
Reseptor LOX-1 diregulasi oleh banyak faktor yang merupakan
bagian proses aterosklerosis termasuk komponen sistem imun, sel yang
terletak pada dinding arteri, zat yang bersifat oksidatif, dan proses
intraselular. Gambar 2 memberikan ilustrasi kompleksitas ekspresi LOX-1
pada jalur yang berperan pada proses aterogenesis (Dunn, et al., 2008,
Mehta, et al., 2006).
Gambar 2. Partisipasi LOX-1 dan OxLDL pada terbentuknya lesi aterosklerosis (Dunn, et al., 2008).
Gambar 2 ini menerangkan bahwa kejadian awal pada
aterosklerosis adalah perubahan LDL menjadi bentuk yang teroksidasi
(OxLDL) oleh beberapa faktor seperti radikal, lipooksigenasi, sehingga
menyebabkan terpecahnya asam lemak yang tidak tersaturasi kedalam
partikel LDL. OxLDL yang berikatan dengan reseptor LOX-1 menstimulasi
ekspresi endotel dan sekresi enzim proaterogenik seperti MMPs, di
dan M-CSF merangsang perkembangan plak. Keadaan proinflamasi ini
meningkatkan ekspresi vascular adhesion molecule seperti ICAM-1, P-selectin, E-P-selectin, PECAM-1 dan VCAM-1. Hal ini menyebabkan infiltrasi
monosit ke dinding pembuluh darah. Monosit yang bermigrasi dalam
pembuluh darah berdiferensiasi ke makrofag. Lekosit ini juga
mengekspresikan reseptor scavenger yang memediasi uptake OxLDL.
Akumulasi lipid makrofag menyebabkan terbentuknya sel sabun sehingga
menyebabkan kematian sel & munculnya daerah nekrosis yang kaya
lemak. Sitokin dapat menstimulasi proliferasi dan migrasi sel otot polos
untuk menutupi daerah yang nekrosis sehingga terbentuklah lesi fibrous.
Modifikasi lebih lanjut lesi ini menyebabkan kalsifikasi atau rupture plak sehingga terjadilah aterotrombosis (Dunn, et al., 2008; Gaut, et al., 2007).
Telah didapat bukti bahwa stres oksidatif memiliki peran terhadap
neuropatologi beberapa kelainan meurodegeneratif seperti penyakit
Alzheimer, Parkinson, dan Huntington. Stres oksidatif juga berimplikasi
terhadap kehilangan neuron yang berhubungan dengan penurunan daya
kognitif, iskemik serebral, dan kejang (Schroeter, et al., 2004; Halliwell,
2005; Behl, 2008; Zhang, et al., 2000; Alexi, et al, 2010; Coyle &
Puttfarcken, 2006).
Beberapa studi telah mendapatkan bahwa keadaan proaterogenik
seperti hipertensi, dislipidemia, dan diabetes dapat meningkatkan LOX-1.
Chen, dkk., pada tahun 2007, mendapati bahwa ekspresi LOX-1
meningkat pada endotel vaskular tikus yang menderita diabetes. Sebagai
oleh faktor aterogenik yang berhubungan dengan diabetes pada manusia,
termasuk glukosa yang tinggi, OxLDL, advance glycation end products
(AGE), dan C-reactive protein (CRP). Hal ini menjadi sangat penting oleh karena telah diketahui bahwa penyakit arteri koroner merupakan
penyebab utama kematian pada diabetes tipe 2 (Reiss, et al., 2009, Chen,
et al., 2007, Renie, et al., 2007).
LOX-1 diekspresikan pada seluruh tipe sel yang terlibat pada lesi
aterosklerosis, seperti sel endotel, makrofag, dan sel otot polos. LOX-1
berbeda dengan makrofag berbagai reseptor scavenger yang lain karena
berperan pada proses aterosklerosis melalui mekanisme penanda yang
dimediasi reseptor (Novelli, et al., 2007; Kume, et al., 2007; Ohki, et al.,
2005).
Pada lesi awal aterosklerosis, kadar LOX-1 meningkat baik pada
intima maupun endotel yang mengelilingi lesi, sehingga membuktikan
bahwa LOX-1 terlibat pada permulaan dan pembentukan plak
aterosklerosis (Chen, et al., 2010). Mehta, dkk., pada tahun 2007
melakukan penelitian terhadap LOX-1 pada model tikus memberikan bukti
yang kuat bahwa ekspresi LOX-1 menyebabkan predisposisi terhadap
perkembangan plak aterosklerosis (Mehta, et al., 2007). Interaksi antara
OxLDL dan LOX-1 mempercepat pembentukan plak aterosklerosis dan
perkembangannya (Dunn, et al., 2008).
Mango, dkk., (2003), menyampaikan bahwa saat ini ada 7
polimorfisme yang telah dapat diidentifikasi pada gen LOX-1. Ketujuh
IVS4+27 G>C. Intron 4 IVS4-73 C>T, Intron 4 IVS4-14 A>G, Intron 5
IVS5-70 A>G, Intron 5 IVS5-27 G>T (Mango, et al., 2003).
Kurnaz, dkk., (2009), mendapati bahwa polimorfisme K167N
merupakan faktor risiko yang independen terjadinya penyakit arteri
koroner dibandingkan dengan faktor risiko kardiovaskular lain (Kurnaz, et
al., 2009). Kemudian pada tahun 2011, Kurnaz, dkk., mendapati
polimorfisme gen 3‟UTR188C/T sebagai predisposisi berkembangnya
hipertrofi ventrikel kiri pada penyakit arteri koroner (Kurnaz, et al., 2011).
2.2 Buncis
Produk natural merupakan sumber utama perkembangan obat
baru. Antara tahun 1981–2002, 5% dari 1.031 obat baru yang telah
disetujui oleh USFDA adalah produk natural dan 23% lainnya merupakan
molekul yang terkandung didalamnya produk natural (Lee, et al., 2010).
Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku proses
pembuatan ekstrak baik sebagai bahan obat ataupun produk. Simplisia
adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga kecuali berupa bahan yang
dikeringkan. Simplisia yang digunakan sebagai bahan baku harus
memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi
Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia) untuk menghasilkan
simplisia yang terstandarisasi.
Klasifikasi tanaman buncis menurut USDA 2008 adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae; Subkingdom : Tracheobionta; Divisi :
Magnoliophyta; Kelas : Magnoliopsida; Subkelas : Rosidae; Ordo :
Fabales; Suku : Fabaceae; Genus : Phaseolus; Species : Phaseolus vulgaris L
Jenis tanaman ini luas dibudidayakan di seluruh dunia sehingga
mencakup berbagai bentuk budidaya. Pembagian secara taksonomik
biasanya berdasarkan kelompok budidaya bukan berdasarkan aspek
botani. Berikut adalah 12 species Phaseolus: a. Phaseolus acutifolius A.
Gray – tepary bean : tumbuh di Baratdaya AS dan Meksiko. b. Phaseolus
angustissimus A. Gray – slimleaf bean : tumbuh di Amerika. c. Phaseolus coccineus L. – scarlet runner : tumbuh di Spanyol, Guatemala dan Meksiko. d. Phaseolus filiformis Benth – slimjim bean : tumbuh di Baratdaya AS dan Meksiko utara. e. Phaseolus lunatus L. – sicua bean : tumbuh di Argentina dan Amerika. f. Phaseolus macholatus Scheek – spotted bean : tumbuh di Brazil. g. Phaseolus parvulus Greene – pinus
altos mountain bean : tumbuh di Tenggara Arizona. h. Phaseolus
pedicellatus Benth – sonoran bean : tumbuh di Meksiko dan Kolumbia. i.
Phaseolus polymorphus S. Watson – variable bean : tumbuh di Amerika Utara dan Meksiko. j. Phaseolus polystachios (L.) Britton, Sterns & Poggenb. – thicket bean : tumbuh di Amerika Serikat. k. Phaseolus ritensis
M.E. Jones – santa rita mountain bean : tumbuh di Amerika Serikat. l.
2.2.2. Daerah Tumbuh
Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman sayuran yang banyak dibudidayakan di dunia. Tanaman ini bukan tanaman asli
Indonesia melainkan tempat asal primernya adalah Meksiko Selatan dan
Amerika Tengah, sedangkan daerah sekunder adalah Peru, Equador, dan
Bolivia, dan menyebar ke negara Eropa sampai ke Indonesia (Maesen
dan Sadikin, 1992).
Produktivitas dan pertumbuhan buncis dipengaruhi oleh berbagai
faktor kondisi iklim lingkungan tumbuh. Umumnya tanaman buncis
ditanam di dataran tinggi 1000 – 1500 m di atas permukaan laut dengan
iklim kering (Nainggolan, 2001) dan sudah diuji di dataran medium 300–
760 m diatas permukaan laut di Tapanuli Selatan (Bangun, dkk., 2007)
dan bisa juga ditanam di dataran rendah di bawah 300 m di atas
permukaan laut (Cahyono, 2007) dan pernah ditanam 200 – 300 m di atas
permukaan laut ternyata hasilnya memuaskan. Ketiga medium tersebut
tergantung jenis varietas dan tipe pertumbuhannya. Agar optimum
pertumbuhan dan hasil tanaman buncis rata–rata suhu udara yang
dibutuhkan 20-25OC, kelembaban udara 50-60% (Cahyono, 2007) dan
rata-rata 250-450 mm/bulan (Sentra Informasi Iptek, 2008). Jenis tanah
yang sesuai untuk tanaman buncis adalah tanah andosol dan regosol
yang terdapat di daerah pegunungan, menghendaki pH tanah 5,5-6,0,
gembur dengan tekstur tanah liat, liat berpasir dan lempung berliat dengan
suhu tanah rata–rata 18-30OC (Sentra Informasi Iptek, 2008).
Buncis bentuknya semak atau perdu terdiri dari dua tipe
pertumbuhan yaitu tipe merambat (indeterminate) mencapai tinggi
tanaman ± 2 m (Cahyono, 2007) bahkan dapat mencapai 2,4 m (Ashari,
1995) dan lebih 25 buku pembungaan (Rubatzky, 1997) dan tipe
tegak/pendek (determinate) dengan tinggi tanaman antara 30 – 50 cm (Cahyono, 2007) dengan jumlah buku sedikit dan pembungaannya
terbentuk di ujung batang utama (Rubatzky, 1997).
Bunga tanaman buncis tergolong bunga sempurna atau berkelamin
dua (hermaprodit), ukurannya kecil, bentuk bulat panjang (silindris) berukuran ± 1 cm (Cahyono, 2007) dan tumbuh dari cabang yang masih
muda atau pucuk muda berwarna putih, merah jambu dan ungu (Tindall,
1983). Bunga menyerbuk sendiri dengan bantuan angin dan serangga
(Rubatzky, 1997). Polong bentuknya ada yang pipih lebar memanjang ±
20 cm, bulat lurus dan pendek ± 12 cm dan bulat panjang ± 15 cm.
Susunan polong bersegmen dengan jumlah biji 5-14/polong. Ukuran dan
warna polong bervariasi tergantung kepada jenis varietas. Biji berukuran
agak besar, bentuknya bulat lonjong dan pada bagian tengah melengkung
(cekung), berat 100 biji 16-40,6 gram berwarna hitam (Cahyono, 2007 dan
Sentra Informasi Iptek, 2008). Bagian komponen pertumbuhan dan
produksi tanaman buncis sangat bervariasi sesuai dengan kondisi masing
varietas. Buncis dapat dipanen saat berumur 7-8 pekan setelah tanam
(Cahyono, 2007).
Tanaman buncis memiliki berbagai kandungan kimia seperti: folat,
serat, alkaloid, flavonoida, saponin, triterpenoida, steroida, stigmasterin,
trigonelin, arginin, asam amino, asparagin, kholina, tanin, fasin, zat pati,
vitamin A, vitamin C dan mineral (tembaga, magnesium, besi, kalium,
kalsium) (Sentra Informasi Iptek, 2008; Kabagambe, et al., 2005).
2.2.5. Khasiat dan Kegunaan
Buncis, yang termasuk kedalam golongan kacang-kacangan,
adalah makanan yang kaya akan sumber nutrisi. Efek protektif dan
terapeutik zat yang terkandung dalam buncis telah banyak diselidiki. Efek
tersebut antara lain adalah: penurunan kadar kolesterol serum,
memperbaiki banyak aspek pada diabetes, dan memberikan keuntungan
metabolik pada kontrol berat badan (Anderson, et al., 2009).
Mackay, dkk., (2002), melakukan penelitian dengan penambahan
80 gram buncis dalam diet sehari selama 6 pekan, didapat terjadinya
peningkatan kolesterol HDL dibandingkan dengan yang tidak ditambah
buncis dalam dietnya (Mackay, et al., 2002).
Berikut adalah beberapa efek baik kandungan buncis:
2.2.5.1 Folat
Kadar asam folat yang rendah berhubungan dengan peningkatan
risiko penyakit arteri koroner dan serebro vaskular. Sebagai tambahan,
mutasi 5,10-methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR), yang
menyebabkan berkurangnya pembentukan 5-methyltetrahydrofolate
penyakit vaskular, yang juga sangat tergantung pada kadar folat.
Pemberian asam folat telah menunjukkan dapat memperbaiki fungsi
endotel pada hiperhomosisteinemia. Studi lain juga mendapatkan bahwa
pemberian bentuk aktif folat intra arteri juga dapat memperbaiki gangguan
pada fungsi endotel pada pasien dengan peningkatan risiko untuk
aterosklerosis tetapi memiliki kadar folat serum dan homosistein yang
normal (Verhaar, et al., 2009).
Folat diduga terlibat pada regenerasi endogen tetrahydrobiopterin
(BH4) yang merupakan ko faktor penting untuk pembentukan NO. Selain
itu, efek antioksidan folat dapat memberikan efek yang bermanfaat fungsi
endotel. Efek antioksidan folat dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung, seperti perbaikan sistem pertahanan antioksidan selular
(Verhaar, et al., 2009).
2.2.5.2 Serat
Diet yang mengandung serat memiliki efek protektif yang besar
terhadap aterosklerosis. Data epidemiologis menunjukkan bahwa intake
karbohidrat kompleks dan serat yang terdapat dalam makanan
berhubungan terbalik dengan kejadian penyakit arteri koroner. Makanan
yang mengandung serat juga memperlambat perkembangan
aterosklerosis pada model binatang. Brown, dkk., (2009), yang melakukan
meta analisis terhadap 67 penelitian tentang efek serat terhadap kadar
kolesterol darah, mendapati bahwa intake serat berhubungan bermakna dengan penurunan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL (Anderson, et
Intake serat sebanyak 3 gram perhari dapat menurunkan kadar kolesterol kira-kira 5 mg/dl. Bila dilakukan estimasi studi klinis tentang
pengobatan kolesterol, maka didapatkan bahwa penurunan kolesterol
sebanyak 5 mg/dl menurunkan insiden penyakit arteri koroner kira-kira 4%
(Brown, et al., 2009).
2.2.5.3 Flavonoid
Flavonoid termasuk ke dalam grup zat alami dengan struktur fenol
yang bervariasi dan ditemukan pada buah, tanaman, butir padi, kulit kayu,
akar, tangkai bunga, bunga, teh, dan anggur. Lebih 4000 variasi flavonoid
telah ditemukan, yang kebanyakan berperan dalam pemberian warna
pada bunga, buah, dan daun (Nijveldt, et al., 2001).
Flavonoid telah diketahui mempunyai efek antioksidan sehingga
memiliki peran yang besar dalam sistem vaskular. Radikal–radikal bebas
dapat mengoksidasi LDL, yang kemudian dapat membuat cedera pada
dinding endotel dan selanjutnya berperan pada proses aterosklerosis.
Arai, dkk., (2000) mendapatkan hubungan yang terbalik antara intake
flavonoid dan konsentrasi kolesterol plasma total (Hertog, et al., 2003).
Flavonoid adalah senyawa hidroksilasi fenol berupa unit C3-C6
dalam mata rantai cincin aromatik. Flavonoid lebih dikenal karena memiliki
efek anti oksidan yang dapat melindungi tubuh dari reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan membran sel. Mekanisme pertahanan anti oksidan di tubuh melibatkan beberapa
enzim seperti superoxide dismutase, catalase, dan glutatione peroksidase.
dan deplesi senyawa scavenging endogen. Flavonoid memiliki efek adiktif dari senyawa scavenging endogen (Nijveldt, et al., 2001, Halliwell, 2006).
Karena memiliki efek anti oksidan, flavonoid memiliki efek pada
sistem vaskular. Beberapa studi telah mendapati bahwa flavonoid dapat
melindungi dari penyakit jantung koroner. Hertog dkk mendapati bahwa
flavonoid yang dikonsumsi dari makanan sehari dapat menurunkan risiko
kematian dari penyakit jantung koroner pada pasien berusia tua (Hertog,
et al., 2003).
Beberapa studi pada manusia dan hewan telah mendapati bahwa
flavonoid memiliki peran yang penting dalam pencegahan gangguan
kognitif yang berhubungan dengan usia, penurunan motorik, mood, dan
pencegahan terhadap stres oksidatif seperti iskemik serebral (Joseph, et
al., 2009; Joseph, et al., 2007; Cantutui-Castelvetri, et al., 2010; Cockle, et
al., 2008; Bastianetto, et al., 2010; Inanami, et al., 2007). Mekanisme pasti
bagaimana flavonoid bekerja sebagai neuroprotektif in vivo belum
diketahui sepenuhnya (Schroeter, et al., 2004).
Selain efek antisklerosis, flavonoid juga memiliki efek anti inflamasi,
anti tumor, anti trombogenik, anti osteoporosis, dan anti viral (Gambar 3).
Gambar 3. Hipotesis tentang Mekanisme Kerja Flavonoid dan Efeknya terhadap Penyakit (Nijveldt, et al., 2001)
2.2.5.4 Saponin
Malinow, dkk., telah melakukan penelitian dengan pemberian
saponin pada monyet dan didapatkan penurunan kadar kolesterol serum.
Hal ini terjadi oleh karena penurunan absorpsi kolesterol pada usus,
peningkatan ekskresi steroid endogen dan eksogen melalui fekal
(Malinow, et al., 2004).
2.2.5.5 Vitamin A
Pemberian suplemen vitamin A dapat menurunkan kadar kolesterol
total pada tikus. Jeyakumar, dkk., (2007), yang melakukan penelitian
tersebut mendapatkan bahwa penurunan tersebut berhubungan dengan
ekspresi berlebih SR-BI m RNA. SR-BI merupakan scavenger receptor
Stimulasi &
2.4 Kerangka Konsep
Intervensi buncis
Kontrol
LDL dan Ox LDL
Diagram 2. Bagan kerangka konseptual Konfonding
2.5 Hipotesa Penelitian:
2.5.1 Hipotesa mayor
Pemberian ekstrak buncis dapat mempengaruhi kadar LDL dan
OxLDL plasma pada subyek pembawa polimorfisme gen LOX-1
3‟UTR188C/T.
2.5.2 Hipotesa minor
a. Terdapat perbedaan rerata antara kadar LDL dan OxLDL plasma
dengan subyek pembawa polimorfisme gen LOX-1 3‟UTR188C/T.
b. Terdapat perbedaan perubahan rerata kadar LDL dan OxLDL