• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hubungan Gaya Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Kepuasan Kerja Terhadap Tingkat Turnover Karyawan Studi Empiris: PT AXA Mandiri Financial Service (Regional 1 Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hubungan Gaya Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Kepuasan Kerja Terhadap Tingkat Turnover Karyawan Studi Empiris: PT AXA Mandiri Financial Service (Regional 1 Kota Medan)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan di setiap perusahaan tidak selamanya sama. Seorang

pemimpin terkadang memiliki masalah yang kompleks terhadap karyawan

didalam perusahaan karna gaya kepemimpinannya yang cenderung tidak

mendapat respon positif dari karyawannya. Tidak bisa dipungkiri setiap individu

manusia memiliki kelebihan dan kekurangan dalam memimpin. Menurut Sujak

(2000) kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi, menggerakkan, dan

mengarahkan suatu tindakan pada diri seseorang atau sekelompok orang, untuk

mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu.

Gibson, James L (2000) menerangkan bahwa kepemimpinan adalah

konsep yang lebih sempit daripada manajemen. Manajer dalam organisasi formal

bertanggung jawab dan dipercaya dalam melaksanakan fungsi manajemen.

Pemimpin kadang terdapat pada kelompok informal, sehingga tidak selalu

bertanggung jawab atas fungsi-fungsi manajemen. Seorang manajer yang ingin

berhasil maka dituntut untuk memiliki kepemimpinan yang efektif.

Bagaimana usaha seorang pemimpin untuk mempengaruhi orang lain atau

agar bawahan mengikuti apa yang diperintahkan akan sangat tergantung dari

gaya kepemimpinan yang digunakan. Namun demikian, tidak ada gaya

kepemimpinan yang efektif berlaku umum untuk segala situasi (Gibson, James L,

(2)

1. Pendekatan sifat-sifat (traits) yang berdasar pada kualitas yang diperlukan

untuk menjadi pimpinan.

2. Pendekatan mempelajari perilaku (behaviors) yang diperlukan untuk mejadi

seorang pemimpin yang efektif.

3. Pendekatan situasional (contigency) yang berdasar pada faktor-faktor

situasional, untuk menentukan seberapa besar efektifitas situasi gaya

kepemimpinan tertentu.

Pendekatan dasar terhadap kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi

dua, yaitu :

1. Pendekatan sifat (Trait Approach).

Stodgill menyampaikan lima macam pendekatan sifat kepemimpinan

seseorang, yaitu :

• Sifat fisik : tinggi, besar, kesehatan, penampilan fisik, dan lain-lain.

• Sifat intelegensia dan kemampuan : kemampuan untuk mempersatukan,

berpikir konseptual, pembuatan rencana, dan lain-lain.

• Kepribadian : toleransi untuk berbuat baik terhadap orang lain.

• Hubungan dengan tugasnya : hasil kegiatan, inisiatif, dorongan dan

lain-lain.

• Sifat sosial: kerjasama, kemampuan administrasi, keterampilan

interpersonal, dan lain-lain.

2. Pendekatan penggunaan wewenang.

Berdasarkan pendekatan ini, terdapat 3 macam kategori pemimpin, yaitu :

a. Pemimpin yang Otokratis. Pemimpin ini bersifat memerintah secara

(3)

bawahan untuk mengemukakan pendapat dan saran.

b. Pemimpin yang tidak perduli. Pemimpin ini bersifat tidak perduli

terhadap tanggung jawab dan kewajibannya sebagai atasan dan

cenderung tidak memperhatikan bawahan dan kinerja karyawan.

c. Pemimpin yang Demokratis. Pemimpin ini memiliki sifat perduli

terhadap karyawan, menerima aspirasi karyawan baik individu maupun

kelompok sebagai sarana penunjang untuk membangun sikap positif

kepemimpinan (Syamsi, 2006)

Rivai (2004) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah proses

mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya

dengan pekerjaan para anggota kelompok. Rivai juga mengemukakan bahwa

kepemimpinan mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para

pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran,

memelihara hubungan kerja sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan

kerja sama dari orang-orang diluar kelompok atau organisasi. Ada tiga implikasi

penting yang terkandung dalam hal ini diantaranya adalah :

1. Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun

pengikut.

2. Kepeminpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara pemimpin

dan anggota kelompok secara seimbang, karena anggota kelompok bukanlah

tanpa daya.

3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang

berbeda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai

(4)

Menurut Thoha (2001), pemimpin yang efektif dalam menerapkan gaya

tertentu dalam kepemimpinannya terlebih dahulu harus memahami siapa bawahan

yang dipimpinnya,mengerti kekuatan dan kelemahan bawahannya, dan mengerti

bagaimana cara memanfaatkan kekuatan bawahan untuk mengimbangi kelemahan

yang mereka miliki. Istilah gaya adalah cara yang dipergunakan pimpinan

dalam mempengaruhi para pengikutnya.

Siagian (2007) berpendapat bahwa peranan para pemimpin dalam

organisasi sangat sentral dalam pencapaian tujuan dari berbagai sasaran yang

ditetapkan sebelumnya. Siagian juga mengatakan bahwa perilaku kepemimpinan

memiliki kecenderungan kepada dua hal yaitu konsiderasi (hubungan dengan

bawahan) dan struktur inisiasi (hasil yang dicapai). Kecenderungan

kepemimpinan menggambarkan hubungan yang akrab dengan bawahan misalnya

bersikap ramah, membantu dan membela kepentingan bawahan, bersedia

menerima konsultasi bawahan dan memberikan kesejahteraan.

Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu

kelompok ke arah tercapainya suatu tujuan. Definisi kepemimpinan secara luas

meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi

perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki

kelompok dan budayanya (Robbins, 2006).

2.2 Teori Budaya Organisasi

Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak akan terlepas dari

lingkungannya. Kepribadian seseorang akan dibentuk pula oleh lingkungannya. Agar

(5)

didukung oleh suatu norma yang diakui kebenarannya dan dipatuhi sebagai pedoman

dalam bertindak. Ada begitu banyak definisi mengenai budaya yang pada

hakekatnya tidak jauh berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya.

Pada dasarnya manusia atau seseorang yang berada dalam kehidupan

organisasi berusaha untuk menentukan dan membentuk sesuatu yang dapat

mengakomodasi kepentingan semua pihak, agar dalam menjalankan aktivitasnya tidak

berbenturan dengan berbagai sikap dan perilaku dari masing- masing individu. Hal

yang dimaksud adalah budaya dimana individu berada, seperti nilai, keyakinan,

anggapan, harapan dan sebagainya.

Setiap organisasi baik itu swasta maupun pemerintah akan berupaya dan

berorientasi pada tujuan jangka panjang yaitu berkembangnya organisasi yang

diindikasikan dengan meningkatnya pendapatan, sejalan pula dengan

meningkatnya kesejahteraan para pegawainya. Namun prakteknya untuk

mencapai tujuan organisasi sering menghadapi kendala, yang salah satu

faktornya adalah ketidakpuasan kerja dari para pegawainya. Sebagai akibatnya

dapat berpengaruh kepada kinerja pegawai maupun kinerja organisasi secara

keseluruhan.

Robbins (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga kekuatan yang

merupakan bagian yang sangat penting dalam mempertahankan suatu budaya,

yaitu :

1. Praktik Seleksi

Tujuan utama dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan

mempekerjakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan,

(6)

di dalam suatu organisasi. Proses seleksi memberikan informasi kepada

para pelamar mengenai organisasi itu. Para calon belajar mengenai

organisasi yang akan dimasuki, dan jika mereka merasakan suatu konflik

antara nilai mereka dengan nilai organisasi maka mereka dapat menyeleksi

diri keluar dari kumpulan pelamar. Oleh karena itu, seleksi menjadi jalan

dua arah dengan memungkinkan pemberi kerja atau pelamar untuk

memutuskan kehendak hati mereka jika terdapat kecocokan. Dengan cara

ini proses seleksi mendukung suatu budaya organisasi dengan menyeleksi

keluar individu-individu yang mungkin menyerang atau menghancurkan

nilai-nilai intinya.

2. Manajemen Puncak

Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya

organisasi. Lewat apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka

berperilaku, eksekutif senior menegakkan norma-norma yang mengalir

kebawah sepanjang organisasi, misalnya apakah pengambilan resiko yang

diinginkan, berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan oleh para

manajer kepada bawahan mereka, pakaian apakah yang pantas dan

tindakan apakah yang akan dihargai dalam kenaikan upah, promosi dan

ganjaran lain.

3. Sosialisasi

Tidak peduli betapa baik yang telah dilakukan suatu organisasi dalam

perekrutan dan seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya diindoktrinasi

dalam budaya organisasi itu. Yang paling penting apakah para karyawan

(7)

Brahmasari (2004) mengemukakan bahwa budaya perusahaan (corporate

culture) merupakan aplikasi dari budaya organisasi (organizational culture) terhadap

badan usaha atau perusahaan. Kedua istilah ini sering dipergunakan untuk maksud

yang sama secara bergantian. Budaya organisasi sebagai suatu konsep dapat menjadi

suatu sarana untuk mengukur kesesuaian dari tujuan organisasi, strategi dan organisasi

tugas, serta dampak yang dihasilkan. Tanpa ukuran yang valid dan reliabel dari aspek

kritis budaya organisasi, maka pernyataan tentang dampak budaya pada kinerja

akan terus berdasarkan pada spekulasi, observasi personal dan studi kasus.

Menurut Koesmono (2005), bahwa budaya dapat didefinisikan sebagai

berbagai interaksi dari ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok- kelompok

orang dalam lingkungannya. Sedangkan Tika (2006) berpendapat bahwa dalam

pembentukan budaya organisasi ada dua hal penting yang harus diperhatikan yaitu

unsur-unsur pembentuk budaya organisasi dan proses pembentukan budaya organisasi

itu sendiri.

Schein dalam Darma (2004) menyatakan bahwa budaya organisasi dapat

diartikan sebagai pola asumsi dasar yang ditemukan, diteliti atau dikembangkan

oleh berbagai kelompok yang ada dalam organisasi. Definisi Schein ini

mengilutrasikan bahwa budaya mencakup asumsi dasar yang dipelajari oleh

anggota organiasi yang kemudian dikembangkan di dalam organisasi tersebut.

Robbins (2003) menyatakan bahwa budaya merupakan suatu sistem makna

bersama yang dianut oleh anggota–anggota organisasi yang membedakan

organisasi itu dari organisasi–organisasi lain. Ada beberapa manfaat budaya

(8)

1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas. Artinya budaya

menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.

2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota–anggota organisasi.

Dengan budaya organisasi yang kuat, anggota organisasi akan memiliki

identitas yang merupakan ciri khas organisasi.

3. Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan

individu. Nilai–nilai yang sudah disepakati bersama, akan dijadikan tolak

ukur tindakan dari setiap individu, dan akan mengesampingkan kepentingan

sendiri.

4. Menjaga stabilitas organisasi. Kesatuan komponen–komponen organisasi

yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat

kondisi organisasi relatif stabil.

Keempat fungsi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat

membentuk perilaku dan tindakan karyawan dalam menjalankan aktivitasnya

di dalam organisasi, sehingga nilai–nilai yang ada dalam budaya organisasi

perlu ditanamkan sejak dini pada setiap individu. Menurut Robbins (2008) ada

sepuluh karakteristik utama yang menjadi ciri budaya organisasi, antara lain:

1. Inisiatif individu, merupakan tingkat tanggung jawab, kebebasan dan

indipendensi yang dipunyai oleh individu.

2. Toleransi terhadap tindakan berisiko, yaitu sejauh mana para anggota

organisasi dianjurkan untuk bertindak agresif dan inovatif dalam mengambil

risiko.

3. Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas

(9)

4. Integrasi, yaitu sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk

bekerja dengan cara yang terkoordinasi.

5. Dukungan dari manajemen, yaitu sejauh mana tingkat para pemimpin

memberikan komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap

bawahannya.

6. Kontrol, merupakan jumlah pengaturan dan pengawasan langsung yang

dipakai untuk mengevaluasi dan mengendalikan perilaku anggota organisasi.

7. Identitas, yaitu sejauh mana tingkatan para anggota mengidentifikasikan

dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya dari pada dengan

kelompok kerja tertentu/dengan keahlian profesinya.

8. Sistem imbalan, yaitu sejauh mana tingkat alokasi imbalan (kenaikan

gaji atau promosi jabatan) didasarkan atas kriteria prestasi sebagai

kebutuhan senioritas.

9. Toleransi terhadap konflik, yaitu sejauh mana tingkat para anggota

organisasi didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka.

10. Pola komunikasi, yaitu sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh

hirarki kewenangan yang formal.

2.3. Teori Kepuasan Kerja

Robbins (2003) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap umum

individu pada pekerjaannya, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima

seorang pekerja dengan banyaknya yang pekerja yakini seharusnya diterima.

Sementara Luthans (2006), berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah

(10)

memberikan manfaat bagi organisasi, yang berarti apa yang diperoleh dalam

bekerja sudah memenuhi apa yang dianggap penting.

Ada 3 dimensi tentang kepuasan kerja menurut Luthans (2006) adalah

sebagai berikut :

a. Kepuasan kerja adalah merupakan suatu emosi yang merupakan respon

terhadap situasi kerja sehingga kepuasan kerja tidak dapat dilihat namun bisa

dirasakan dan akan tercermin dalam sikap.

b. Kepuasaan kerja dalam hasil yang sesuai atau bahkan melebihi yang

diharapkan, seperti seseorang yang bekerja sebaik yang mampu dilakukan dan

bersikap mendapat imbalan yang sepadan.

c. Kepuasan kerja biasanya dinyatakan dalam sikap, seperti semakin loyal dalam

perusahaan, bekerja dengan baik, berdedikasi tinggi pada perusahaan, tertib

dan mematuhi peraturan dan sikap lain yang bersifat positif.

Menurut Rivai (2006) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan

kerja karyawan pada dasarnya secara praktis dapat dibedakan menjadi dua

kelompok yaitu:

• Faktor Intrinsik.

Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari diri karyawan dan

dibawa oleh setiap karyawan sejak mulai bekerja ditempat pekerjaannya.

• Faktor Ekstrinsik.

Faktor ekstrinsik ini menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri

karyawan, antara lain kondisi fisik, lingkungan kerja, interkasi dengan

(11)

Hasibuan (2003) mengemukakan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh

beberapa faktor sebagai berikut :

1. Balas jasa yang adil dan layak.

2. Penempatan yang tepat dan sesuai dengan keahlian.

3. Suasana dan lingkungan pekerjaan.

4. Berat ringannya pekerjaan.

5. Peralatan yang menunjang.

6. Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya.

2.4. Teori Turnover Karyawan

Cascio (2003) mendefinisikan turnover sebagai berhentinya hubungan

kerja secara permanen antara perusahaan dengan karyawannya. turnover sebagai

perpisahan antara perusahaan dan pekerja.

Mobley (2011) memberikan batasan turnover sebagai berhentinya individu

dari anggota suatu organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan oleh

organisasi yang bersangkutan.

Handoko (2001) menyatakan, ”Perputaran (turnover) merupakan tantangan

khusus bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena kejadian-kejadian

tersebut tidak dapat diperkirakan, kegiatan-kegiatan pengembangan harus

mempersiapkan setiap saat pengganti karyawan yang keluar. Dilain pihak, dalam

kasus nyata, program pengembangan perusahaan yang sangat baik justru

meningkatkan intensi turnover.

Pemberhentian menurut Robbins (2006) dibedakan menjadi dua tipe yaitu

(12)

tipe turnover yang terpaksa atau yang diprakarsai oleh organisasi, ditambah

dengan kematian dan pengunduran diri atas desakan.

Turnover cukup merugikan perusahaan karena banyak biaya yang telah

dikeluarkan seperti uang pisah, ketidak manfaatan fasilitas sampai mendapatkan

karyawan yang keluar, biaya kepegawaian (seperti rekruitmen, interview, test,

pencatatan komputer, kepindahan, administrasi pencatatan, dan perubahan

payroll). Kerugian nyata adalah kehilangan produktifitas sampai karyawan baru

mencapai tingkat produktfitas sama dengan karyawan lama yang berhenti tersebut.

Menurut Harnoto (2002) turnover ditandai oleh berbagai hal yang

menyangkut perilaku karyawan, antara lain absensi yang meningkat, mulai malas

kerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk

menentang atau protes kepada atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan

semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari biasanya.

Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan terjadinya

turnover karyawan dalam sebuah perusahaan.

a. Absensi yang meningkat

Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai

dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung jawab karyawan

dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya.

b. Mulai malas bekerja

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas

bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat lainnya yang

(13)

c. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja

Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering

dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering

meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung, maupun

berbagai bentuk pelanggaran lainnya.

d. Peningkatan protes terhadap atasan

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering

melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan.

Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau

aturan lain yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan.

e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya

Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan

ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan,

dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari

biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover.

2.5. Hasil Penelitian Terdahulu

Novliadi (2007), melakukan penelitian yang berjudul Intensi Turnover

Karyawan ditinjau dari Budaya Perusahaan dan Kepuasan Kerja. Penelitian ini

bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai hubungan budaya perusahaan

dan kepuasan kerja dengan intensi turnover pada karyawan. Hasil yang diperoleh

yaitu hubungan antara budaya perusahaan dan kepuasan kerja dengan intensi

turnover karyawan bersifat negatif, dimana semakin tinggi tingkat kepuasan kerja

(14)

intensi turnover karyawan.

Kadiman dan Andriana (2012), melakukan penelitian yang berjudul

Pengaruh Budaya Organisasi dan komitmen Organisasi dan Kepuasan kerja

terhadap Turnover Intention Karyawan (studi kasus pada PT. Nyonya Meneer

Semarang). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh budaya

organisasi, komitmen organisasi (komitmen efektif, komitmen kontinyu dan

komitmen normatif) kepuasan terhadap intensitas turnover. Sampel ditetapkan

sebanyak 115 orang karyawan. Dari penelitian yang telah dilakukan yang

menunjukkan tabel summary menunjukkan angka koefisien determinasi berganda

(R2) sebesar 0,614. Hal ini berarti sebesar 61,4% dapat dijelaskan oleh variabel

budaya organisasi, komitmen organisasi (komitmen efektif, komitmen kontinyu

dan komitmen normatif) dan kepuasan kerja, dan sisanya sebesar 38,6 dijelaskan

oleh sebab lain diluar variabel yang diteliti.

Malik, (2014) melakukan penelitian yang berjudul pengaruh budaya

organisasi dan loyalitas kerja dengan intensi turnover pada karyawan PT.

Cipaganti heavy equipment samarinda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh loyalitas budaya dan omset niat organisasi yang bekerja dengan

karyawan PT. Cipaganti Heavy Equipment Samarinda. Penelitian ini

menggunakan sampel dari 71 karyawan yang bekerja di kota atau samarinda. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa (1) ada pengaruh yang signifikan antara budaya

organisasi dan bekerja loyalitas dengan niat omset (F = 80,022, R2 = 0,302, dan

p= 0,000), (2) artefak yang sangat signifikan mempengaruhi budaya organisasi

dengan omset niat (beta = 0,811, t = 12,231, dan p = 0,000), (3) ada pengaruh

(15)

dan p = 0,009).

Zulaiha (2013), melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Budaya

Organisasi dan Komitmen Organisasi Terhadap Turnover Karyawan pada PT.

Massindo Sinar Pratama.Tbk Manado. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh budaya dan komitmen organisasi baik secara simultan maupun parsial

terhadap turnover karyawan. Sampel dalam penelitian ini yaitu karyawan

perusahaan PT. Massindo Sinar Pratama sebesar 72 responden. Analisis data yang

digunakan yaitu analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian tersebut

menyatakan bahwa: (1) Budaya organisasi dan komitmen organisasi secara

simultan berpengaruh secara signifikan terhadap turnover karyawan PT. Massindo

Sinar Pratama Tbk Manado. (2) Budaya organisasi berpengaruh secara signifikan

terhadap turnover karyawan PT, Massindo Sinar Pratama Tbk Manado.

(3) Komitmen organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap turnover

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Simpulan yang diperoleh penulis setelah melakukan kerja praktek adalah penulis dapat mengetahui unsur unsur yang termasuk sumber dan penggunaan modal kerja PT Bintang Timur dan

[r]

Dalam hal ini Teknos merupakan lembaga bimbingan belajar non formal yang telah menyelenggarakan bimbingan belajar untuk tugas administrasi, khususnya pembayaran honor pengajar

[r]

Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Upah Riil Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Pengolahan Kelapa Sawit dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi pada PT

Adakah terdapat hubungan yang signifikan antara ciri-ciri usahawan, tahap kemahiran sains keusahawanan dengan kesediaan mengintegrasi pemikiran keusahawanan dalam

Aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun jambu air dengan kategori lebih kuat menghambat bakteri Staphylococcus epidermis dengan konsentrasi