2.1 Konsep Stres
2.1.1 Pengertian Stres
Stres adalah segala situasi dimana tuntutan non-spesifik mengharuskan
seorang individu untuk berespon atau melakukan tindakan. Respon atau tindakan
ini termasuk respon fisiologis dan psikologis. Stres dapat menyebabkan perasaan
negatif atau yang berlawanan dengan apa yang diinginkan atau mengancam
kesejahteraan emosional. Stres dapat mengganggu cara seseorang dalam mencerap
realitas, menyelesaikan masalah, berpikir secara umum, hubungan seseorang dan
rasa memiliki (Potter & Perry, 2005).
2.1.2 Sumber stresor
Sumber stresor menurut Hidayat (2008) merupakan asal dari penyebab
suatu stres yang dapat mempengaruhi sifat dari stresor seperti lingkungan, baik
secara fisik, psikososial maupun spiritual. Sumber stresor lingkungan fisik dapat
berupa fasilitas-fasilitas seperti air minum, makan, atau tempat-tempat umum
sedangkan lingkungan psikososial dapat berupa suara atau sikap kesehatan atau
orang yang ada disekitarnya, sedangkan lingkungan spiritual dapat berupa tempat
pelayanan keagamaan seperti fasilitas ibadah atau lainnya.
2.1.3 Penyebab stres
Stres menurut Muwarni (2009) dapat disebabkan karena faktor biologis,
kekurangan air, oksigen, makanan, cacat, nyeri, dll. 2) Faktor psikologis:
kehilangan orang yang dicintai, perpisahan. 3) Faktor sosial: perubahan tempat
tingal, masalah ekonomi, dikucilkan. 4) Faktor mikrobiologi: kuman penyakit.
2.1.4 Tanda & gejala stres
Gejala-gejala ini bisa menjadi tanda-tanda awal dari bakal timbulnya
masalah kesehatan, atau bahkan dari kondisi yang memerlukan perhatian medis.
Gejala-gejala stres menurut Hardjana (2007) dibagi dalam a) Gejala Fisikal: sakit
kepala, pusing, pening, tidur tidak teratur: insomnia (susah tidur), tidur terlantur,
bangun terlalu awal, sakit punggung, terutama di bagian bawah, mencret-mencret
dan radang usus besar, sulit buang air besar, sembelit, gatal-gatal pada kulit, urat
tegang-tegang terutama pada leher dan bahu, tekanan darah tinggi atau serangan
jantung, keringat berlebih, selera makan berubah, lelah atau kehilangan daya
energi. b) Gejala emosional: gelisah atau cemas, sedih, depresi, mudah menangis,
mood/suasana hati berubah-ubah cepat, mudah panas/ emosi dan marah, gugup,
rasa harga diri menurun atau merasa tidak aman, terlalu peka dan mudah
tersingung, marah-marah, gampang menyerang orang dan bermusuhan, emosi
mengering atau kehabisan sumber daya mental (burn out). c) Gejala intelektual:
susah berkonsentrasi atau memusatkan pikiran, sulit membuat keputusan, mudah
terlupa, pikiran kacau, daya ingat menurun, melamun secara berlebihan, pikiran
dipenuhi oleh satu pikiran saja, kehilangan rasa humor yang sehat, produktivitas
atau prestasi kerja menurun, mutu kerja rendah, dalam kerja bertambah jumlah
kekeliruan yang dibuat. d) Gejala interpersonal: kehilangan kepercayaan kepada
orang lain, mudah menyalahkan orang lain, mudah membatalkan janji atau tidak
dengan kata-kata, mengambil sikap terlalu membentengi dan mempertahankan
diri, mendiamkan orang lain.
2.1.5 Tahapan stres
Gejala-gejala stres pada diri seseorang sering sekali tidak disadari karena
perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat. Dan, baru dirasakan bilamana
tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari
baik di rumah, di tempat kerja ataupun pergaulan lingkungan sosialnya. Amberg
(1979 dalam Hawari, 2001) dalam penelitiannya membagi tahapan-tahapan stres
sebagai berikut:
2.1.5.1Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan biasanya
disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut, yaitu: Semangat bekerja besar,
berlebihan (over acting), penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya, merasa
mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya; namun tanpa disadari
cadangan energi habis (all out) disertai rasa gugup yang berlebihan pula, merasa
senang dengan pekerjaannya itu dan semakin bertambah semangat, namun tanpa
disadari cadangan energi semakin menipis.
2.1.5.2Stres tahapan II
Dalam tahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan”
sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul
keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup
sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk istirahat. Istirahat antara lain
dengan tidur yang cukup bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan
(HP) yang sudah lemah harus kembali diisi ulang (dicharge) agar dapat digunakan
lagi dengan baik. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang
berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut, yaitu: Merasa letih sewaktu
bangun pagi, yang seharusnya merasa segar, merasa mudah lelah sesudah makan
siang, lekas merasa capai menjelang sore hari, sering mengeluh lambung atau
perut tidak nyaman (bowel discomfort), detakan jantung lebih keras dari biasanya
(berdebar-debar), otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang, tidak bisa santai.
2.1.5.3Stres tahapan III
Bila seseorang itu tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa
menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan pada stres tahap II tersebut
di atas, maka yang bersangkutan akan menunjukkan keluhan-keluhan yang
semakin nyata dan mengganggu yaitu: Gangguan lambung dan usus semakin
nyata; misalnya keluhan “maag” (gastritis), buang air besar tidak teratur (diare),
ketegangan otot-otot semakin terasa, perasaan ketidaktenangan dan ketegangan
emosional semakin meningkat, gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar
kembali tidur (middle insomnia), atau bangun terlalu pagi/ dini hari dan tidak
dapat kembali tidur (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu (badan terasa
oyong dan serasa mau pingsan).
Pada tahap ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk
memperoleh terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh
memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang
2.1.5.4Stres tahapan IV
Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter
sehubungan dengan keluhan-keluhan stres tahap III di atas, oleh dinyatakan tidak
sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Bila
hal ini terjadi dan yang bersangkutan terus memaksakan diri untuk bekerja tanpa
mengenal istirahat, maka gejala stres tahap IV akan muncul sebagai berikut: untuk
bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit, aktivitas pekerjaan yang
semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa
lebih sulit, yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan
untuk merespons secara memadai (adequate), ketidakmampuan untuk
melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari, gangguan pola tidur disertai dengan
mimpi-mimpi yang menegangkan, seringkali menolak ajakan (negativism) karena
tiada semangat dan kegairahan, daya konsentrasi dan daya ingat menurun, timbul
perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.
2.1.5.5Tahap V
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V
yang ditandai dengan hal-hal berikut, yaitu: Kelelahan fisik dan mental yang
semakin mendalam (physical and psychological exhaustion), ketidakmampuan
untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana, gangguan
sistem pencernaan semakin berat (gastro-intestinal disorder), timbul perasaan
2.1.5.6Stres tahap VI
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan
panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang mengalami stres
tahap VI ini berulang-kali dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ke ICU,
meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ
tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai berikut, yaitu: Debaran jantung
teramat keras, susah bernafas (sesak dan megap-megap), sekujur badan terasa
gemetar, dingin dan keringat bercucuran, ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang
ringan, pingsan atau kolaps (collapse)
Bila dikaji maka keluhan atau gejala-gejala sebagaimana digambarkan
diatas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh
gangguan faal (fungsional) organ tubuh sebagai akibat stresor psikososial yang
melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya.
2.1.6 Tingkatan stres
Tingkatan stres menurut Acdiat (2000), stres dapat dibedakan yaitu:
2.1.6.1Stres ringan
Dalam tingkatan yang masih ringan belum berpengaruh kepada fisik dan
mental hanya saja sudah mulai agak sedikit tegang dan was-was.
2.1.6.2 Stres sedang (medium)
Pada tingkat medium ini individu mulai kesulitan tidur, sering menyendiri
2.1.6.3Stres berat (kronis)
Pada keadaan stres berat ini individu sudah mulai ada gangguan fisik dan
mental. Dan yang paling berat akan terjadi stroke dan memerlukan bantuan
penanganan dokter saraf
2.1.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres
Rasmun (2001) menyatakan setiap individu akan mendapat efek stres yang
beda-beda. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, yaitu:
2.1.7.1Kemampuan individu mempersepsikan stresor
Jika stresor dipersepsikan mengancam akan berakibat buruk bagi individu
tersebut, maka tingkat stres yang dirasakan kan semakin berat. Sebaliknya, jika
stresor dipersepsikan tidak mengancam dan individu tersebut mampu
mengatasinya, maka tingkat stres yang dirasakan akan lebih ringan.
2.1.7.2Intensitas terhadap stimulus
Jika intensitas serangan stres terhadap individu tinggi, maka kemungkinan
kekuatan fisik dan mental individu tersebut mungkin tidak akan mampu
mengadaptasikannya.
2.1.7.3Jumlah stresor yang harus dihadapi dalam waktu yang sama
Jika pada waktu yang bersamaan bertumpuk sejumlah stresor yang harus
dihadapi, stresor yang kecil dapat menjadi pemicu yang mengakibatkan reaksi
2.1.7.4Lamanya pemaparan stresor
Memanjangnya lama pemaparan stresor dapat menyebabkan menurunnya
kemampuan individu dalam mengatasi stres.
2.1.7.5Pengalaman masa lalu
Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam
menghadapi stresor yang sama.
2.1.7.6Tingkat perkembangan
Pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan intensitas stresor
yang berbeda sehingga resiko terjadinya stres pada tingkat perkembangan akan
berbeda.
2.2 Konsep Koping
2.2.1 Pengertian koping
Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan
situasi stresfull. Koping tersebut adalah merupakan respon individu terhadap
situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. Koping yang
efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan
perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak efektif berakhir
dengan maladaptif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan
dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau lingkungan. Setiap individu
dalam melakukan koping tidak sendiri dan tidak hanya menggunakan satu strategi
tetapi dapat melakukannya bervariasi, hal ini tergantung dari kemampuan dan
2.2.2 Strategi koping
Strategi koping yang bisa digunakan menurut Lazarus dan Folkman (1984)
dalam Nazir, 2001 yaitu:
2.2.2.1Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping)
Problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara
mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang
menyebabkan terjadinya tekanan. Problem focused coping ditujukan dengan
mengurangi demands dari situasi yang penuh dengan stres atau memperluas
sumber untuk mengatasinya. Strategi yang dipakai dalam problem focused coping
antara lain sebagai berikut: a) Confrontative coping: usaha untuk mengubah
keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan
yang cukup tinggi, dan pengambilan risiko, b) Seeking social support: usaha
untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain,
c) Planful problem solving: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analistis.
2.2.2.2 Emotion Focused Coping
Emotion focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara
mengatur respons emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak
yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh
tekanan. Strategi yang digunakan dalam emotion focused coping antara lain
sebagai berikut: a) Self-control: usaha mengatur perasaan ketika menghadapi
situasi yang menekan, b) Distancing: usaha untuk tidak terlibat dalam
atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap
masalah sebagai lelucon, c) Positive reappraisal: usaha mencari makna positif
dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga
melibatkan hal-hal yang bersifat religius, d) Accepting responsbility: usaha untuk
menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan
mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik, e)
Escape/avoidance: usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi
tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum,
merokok atau menggunakan obat-obatan.
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi strategi koping menurut Lazarus
dan Folkman (1984) dalam Nazir (2001) yaitu:
2.2.3.1Kesehatan fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha
mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.
2.2.3.2Keyakinan atau pandangan positif
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti
keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada
penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan
2.2.3.3Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,
menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan
alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan
dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan
melakukan suatu tindakan yang tepat.
2.2.3.4 Keterampilan sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan
bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang
berlaku di masyarakat.
2.2.3.5Dukungan sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan
emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain,
saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
2.2.4 Penggolongan Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua
(Stuart, 2007) yaitu:
2.2.4.1Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung
berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi,
latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.
2.2.4.2Mekanisme koping maladaptif
Mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang
menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan
cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak
makan, bekerja berlebihan, menghindar.
2.2.5 Jenis-jenis koping
Nazir, 2001 membagi koping menjadi dua jenis, yaitu:
2.2.5.1Tindakan langsung (Direct Action) koping jenis ini adalah setiap usaha
tingkah laku yang dijalankan oleh individu untuk mengatasi kesakitan dan
luka. Ancaman atau tantangan dengan cara mengubah hubungan yang
bermasalah dengan lingkungan. Individu menjalankan koping jenis direct
action atau tindakan langsung bila dia melakukan perubahan posisi
terhadap masalah yang di alami.
Ada empat macam koping jenis tindakan langsung:
a. Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka
Individu melakukan langkah aktif dan antisipatif (beraksi) untuk
menghilangkan atau mengurangi bahaya dengan cara menempatkan diri secara
langsung pada keadaan yang mengancam dan melakukan aksi yang sesuai dengan
b. Agresi
Agresi adalah tindakan yang dilakukan oleh individu dengan menyerang
agen yang dinilai mengancam atau akan melukai. Agresi dilakukan bila individu
merasa atau menilai dirinya lebih kuat atau berkuasa terhadap agen yang
mengancam tersebut.
c. Penghidaran (Avoidance)
Tindakan ini terjadi bila agen yang mengancam dinilai lebih berkuasa dan
berbahaya sehingga individu memilh cara menghindari atau melarikan diri dari
situasi yang mengancam tersebut
d. Apati
Jenis koping ini merupakan pola orang yang putus asa. Apati dilakukan
dengan cara individu yang bersangkutan tidak bergerak dan menerima begitu saja
agen yang melukai dan tidak ada usaha apa-apa untuk melawan ataupun melarikan
diri dari situasi yang mengancam tersebut.
2.2.5.2Peredaan atau Peringanan (pallitation) koping jenis ini mengacu pada
mengurangi atau menghilangkan atau mentoleransi tekanan-tekanan
kebeutuhan atau fisik, motorik atau gambaran afeksi dari tekanan emosi
yang dibangkitkan oleh lingkungan yang bermasalah. Atau bisa di artikan
bahwa bila individu menggunakan koping jenis ini, posisinya dengan
masalah relatif tidak berubah, yang berubah adalah diri individu, yaitu
Ada 2 macam koping jenis peredaan atau pallitation:
a. Diarahkan pada gejala (Symptom Directed Modes)
Macam koping ini digunakan bila gejala-gejala gangguan muncul dari diri
individu, kemudian individu melakukan tindakan dengan cara mengurangi
gangguan yang berhubungan dengan emosi-emosi yang disebabkan oleh tekanan
atau ancaman tersebut.
b. Cara Intrapsikis ( Intrapsykis Modes)
Koping jenis ini peredaan dengan cara intra psikis adalah cara-cara yang
menggunakan perlengkapan-perlengkapan psikologis kita, yang biasa dikenal
dengan istilah defense mechanism ( mekanisme pertahanan diri)
Macam-macam mekanisme pertahanan diri (defense mechanism atau
pembelaan ego): 1) Fantasi: Memuaskan keinginan yang terhalang dengan
prestasi dan khayalan. 2) Penyangkalan: Melindungi diri sendiri terhadap
kenyataan yang tak menyenangkan, dengan menolak menghadapi hal itu, sering
dengan melarikan diri seperti menjadi sakit atau kesibukan dengan hal-hal lain. 3)
Rasionalisasi: Berusaha membuktikan bahwa perilakunya itu masuk akal dan
dapat dibenarkan sehingga dapat di setujui oleh diri sendiri dan masyarakat. 4)
Identifikasi: Menambah rasa harga diri, dengan menyamakan dirinya dengan
orang atau institusi yang mempunyai nama. 5) Introyeksi: Menyatukan nilai dan
norma luar dengan sturktur egonya sehingga individu tidak tergantung pada belas
kasihan, hal-hal itu yang dirasakn sebagai ancaman luar. 6) Represi: Mencegah
pikiran yang menyakitkan atau berbahaya masuk ke alam sadar. 7) Regresi :
Mundur ke tingkat perkembangan yang lebih rendah, dengan respon yang kurang
orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik. 9)
Penyusunan reaksi: Mencegah keinginan yang berbahaya, bila di ekspresikan
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. 10) Sublimasi: Mencari pemuasan atau
menghilangkan keinginan sexual dalam kegiatan non sexual. 11) Kompensasi:
Menutupi kelemahan, dengan menonjolkan sifat yang dinginkan atau pemuasan
secara berlebihan dalam suatu bidang karena mengalami frustasi dalam bidang
lain. 12) Salah pindah: Melepaskan perasaan yang terkekang, biasanya
permusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya
membangkitkan emosi itu. 13) Pelepasan: Menebus dan dengan demikian
meniadakan keinginan atau tindakan yang tak bermoral.14) Penyekatan
emosional: Mengurangi keterlibatan ego dan menarik diri menjadi pasif untuk
melindungi diri sendiri dari kesakitan. 15) Isolasi: memutuskan pelepasan afektif
karena keadaan yang menyakitkan atau memisahkan sikap-sikap yang
bertentangan, dengan tembok-tembok yang tahan logika.16) Simpatisme:
berusaha memperoleh simpati dari orang lain dan demikian menyokong rasa harga
diri, meskipu gagal. 17) Pemeranan: Menurangi kecemasan yang dibangkitkan
oleh keinginan yang terlarang, dengan membiarkan ekspresinya. (Maramis, 2009).
Pada dasarnya mekanisme pertahanan diri terjadi tanpa disadari dan
bersifat membohongi diri sendiri terhadap realita yang ada, baik realita yang ada
diluar (fakta atau kebenaran) maupun realita yang ada di dalam ( dorongan atau
impuls atau nafsu). Mekanisme pertahanan bersifat menyaring realita yang ada
realita yang ada. Ini membuat sebagian besar ahli menyatakan koping jenis
mekanisme pertahanan diri merupakan yang tidak sehat kecuali sublimasi.
Mekanisme pertahanan tidak dapat disadari, akan dapat disadari melalui
refleksi diri yang terus menerus. Dengan cara begitu individu bisa mengetahui
jenis meekanisme pertahanan diri yang biasa dilakukan dan kemudian
menggantikannya dengan koping yang lebih konstruktif.
2.2.6 Jenis-jenis koping yang konstruktif atau yang sehat
Haber & Runyon (2004) yang di kutip dalam siswanto menyebutkan
jenis-jenis koping yang di anggap konstruktif, yaitu:
a. Penalaran (Reasioning)
Yaitu pengguanaan kemampuan kognitif untuk mengeksplorasi berbagai
macam alternatif pemecahan masalah dan kemudian memilh salah satu alternative
yang di anggap paling menguntungkan. Individu secara sadar mengumpulkan
berbagai informasi yang relevanberkaitan dengan persoalan yang di hadapi,
kemudian membuat alternatif-alternatif pemecahannya, kemudian memilh
alternatif yang paling menguntungkan dimana resiko kerugiannya paling kecil
dan keuntungan yang di peroleh paling besar.
b. Objektifitas
Yaitu kemampuan untuk membedakan antara-antara komponen emosional
dal logis dalam pemikiran, penalaran, maupun tingkah laku. Kemampuan untuk
melakukan koping jenis ini masyarakat individu yang bersangkutan memiliki
kemampuan untuk mengelola emosinya sehingga individu mampu memilah dan
membuat keputusan yang tidak semata di dasari oleh pengaruh emosi.
Yaitu kemampuan untuk memusatkan perhatian secara penuh pada
pesoalan yang sedang di hadapi.
c. Humor
Yaitu kemampuan untuk melihat segi yang lucu dari persoalan yang
sedang dihadapi, sehingga perspektif persoalan tersebut menjadi lebih luas, terang
dan tidak terasa sebagai menekan lagi ketika dihadapi dengan humor. Humor
memungkinkan individu yang bersangkutan untuk memandang persoalan dari
sudut manusiawinya, sehingga persoalan di artikan secara baru, yaitu sebagai
persoalan yang biasa, wajar dan dialami oleh orang lain juga.
d. Supresi
Yaitu kemampuan untuk menekan reaksi yang mendadak terhadap situasi
yang ada sehingga memberikan cukup waktu untuk lebih menyadari dan
memberikan reaksi yang lebih konstruktif. Koping supresi juga mengandaikan
individu memililki kemampuan untuk mengelola emosi sehingga pada saat
tekanan muncul , pikiran sadarnya tetap bisa melakukan control secara baik
e. Ambiguitas
Yaitu kemampuan untuk memahami bahwa banyak hal dalam kehidupan
yang bersifat tidak jelas dan oleh karenanya perlu memberikan ruang bagi
ketidakjealasan tersebut. Kemampuan melakukan toleransi mengandaikan
individu sudah memiliki perspektif hidup yang matang, luas dan memeiliki rasa
aman yang cukup.
f. Empati
Yaitu kemampuan untuk melihat sesuatau dari pandangan orang lain.
mengahayati perspektif pengalaman orang lain sehingga individu yang
bersangkutan menjadi semakin kaya dalam kehidupan batinnya.Sumber koping
Menurut Wiscar dan Sandra Sumber koping terdiri menjadi 2 faktor.
Faktor dari dalam (internal) dan faktor dari luar (eksternal).
a. Faktor dari dalam meliputi : umur dimana semakin tinggi umur koping
individu semakin baik, kesehatan dan energi , system kepercayaan termasuk
kepercayan ekstensial (iman, kepercayaan, agama) komitmen atau tujuan
hidup, pengalaman masa lalu, tingkat pengetahuan atau pendidikan semakin
tinggi individu mudah untuk mencari informasi, jenis kelamin perempuan
lebih sensitive dari laki-laki, perasaan seseorang seperti harga diri, control
dan kemahiran, keterampilan, pemecahan masalah. Teknik pertahanan,
motivasi.
b. Faktor dari luar meliputi: dukungan sosial, sumber material atau pekerjaan,
pengaruh dari orang lain, media massa. Dukungan sosial sebagai rasa
memiliki informasi terhadap seseorang atu lebih dengan tiga ktegori yaitu
dukungan emosi dimana seseorang merasa dicintai, dukungan harga diri
dimana mendapat pengakuan dari orang lain akan kemampuan yang dimiliki,
perasaan memiliki dalam sebuah kelompok.
2.3 Karsinoma Nasofaring (KNF)
2.3.1 Pengertian Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima,
2.3.2 Epidemiologi
KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai
penderita di bawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45-54 tahun. Laki-laki
lebih banyak dari wanita dengan perbandingan antara 2-3 : 1. Kanker nasofaring
tidak umum dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor
ini di Amerika Syarikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 (Nasional Cancer
Institute, 2009).
2.3.3 Etiologi
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya
mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya
KNF adalah:
1. Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim
sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma
nasofaring (Pandi, 1983).
2. Infeksi Virus Eipstein-Barr
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma
nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum
pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer
antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini
(EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang
tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat
karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan
karsinoma nasofaring tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma
nasofaring non-keratinisasi (non- keratinizing) yang aktif (dengan mikroskop
cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel skuamosa atau
elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Nasional Cancer Institute, 2009).
3. Faktor Lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan
timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan Nitrosamin, diantaranya
dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur
Renik, diantaranya nikel sulfat (Roezin, Anida, 2007).
2.3.4 Klasifikasi & Histopatologi
Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi
tipe 1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran histologinya
karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi sedang dan
sebagian lainnya dengan sel yang lebih ke arah diferensiasi baik, tipe 3 karsinoma
tanpa diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas membentuk sinsitial dengan
batas sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3.
Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan
mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma
sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak
2.3.5 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring
2.3.5.1 Gejala Dini
KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan
pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting (Roezin & Anida,
2007). Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien
mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan
gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang
telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan
lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah
akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga
akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran
(National Cancer Institute, 2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh
sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau
mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan
seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu,
sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam
rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,
kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala
telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini,
karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan
lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang
2.3.5.2 Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5
sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan
pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke
bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering
diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus,
menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat
pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut
lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong
pasien datang ke dokter (Nurlita, 2009).
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke
arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf
otak dan menyebabkan penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa)
didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan
pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit
kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka
akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan
hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus
pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima, 2006).
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir
bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari
nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang,
hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat
2.3.6 Stadium
Stradium karsinoma nasofaring menurut AICC:
1. Tumor Primor (T)
TX : Tumor primer tidak dapat dinilai
TO : Tidak ada bukti tumor primer
Tis : Karsinoma in situ
2. Nasofaring:
T1 : Tumor terbatas di nasofaring
T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring atau kavum nasi
– T2a: Tanpa perluasan ke parafaring
– T2b: Dengan perluasan ke parafaring
T3 : Tumor invasi ke tulang dan atau sinus paranasal
T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan atau melibatan nervus kranial, fosa
infratemporal, hipofaring, atau mata, atau ruang mastikator.
3. Kelenjar limfe regional (N):
NX : Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai
NO : Tidak ada metastasis kelenjar limfe regional
N1 : Metastasis kelenjar limfe unilateral, diameter 6 cm atau kurang,
diatas fosa supra-klavikula
N2 : Metastasis kelenjar limfe bilateral, diameter 6 cm atau kurang, diatas
fosa supra-klavikula
N3 : Metastasis kelenjar limfe
–N3a: Diameter besar dari 6 cm
4. Metastasis jauh (M)
MX : Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Ada metastasis jauh
Grup stadium
Stadium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a N2 M0
T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVA T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
Stadium IVB Semua T N3 M0
2.3.7 Penanggulangan
2.3.7.1 Radioterapi
Radioterapi merupakan pengobatan utama pada Karsinoma Nasofaring
(KNF). Dosis radiotrapi untuk KNF adalah 1,8-2 GY setiap pemberian, sebanyak
lima kali pemberian setiap minggu selama tujuh minggu, dengan total dosis 60-70
Gy. Setiap tipe histopatologi KNF mempunyai perbedaan respon terhadap
radiotrapi.
2.3.7.2 Brakhiterafi
Brakhiterafi adalah pemberian ion radiasi dosis tinggi terhadap jaringan
dengan volume kecil. Pemberian brakhiterapi terhadap tumor primer KNF, dapat
dibagi berdasarkan beberapa indikasi. Indikasi tersebut adalah tumor persisten
lokal setelah empat bulan pemberian radiotrapi primer, sebagai adjuvant setelah
radiotrapi eksternal dan untuk tumor persisten regional dimana brahkiterapi
diberikan pada penderita yang akan menjalani diseksi leher.
2.3.7.3 Kemoterapi
Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus (KNF) recurrent atau yang
telah mengalami metastasis. Obat kemoterapi dapat bekerja menghambat
pembelahan sel pada semua siklus sel (Cell Cycle non Spesific) baik dalam siklus
pertumbuhan sel maupun dalam keadaan istrahat.
2.3.7.4 Pembedahan
Pembedahan tidak hanya berperan pada penanggulangan KNF. Tindakan
bedah terbatas pada reseksi sisa masa tumor yang kambuh atau tidak terkontrol di
2.3.7.5 Imunoterapi
Imunoterapi dan terapi gen merupakan terapi pilihan di masa datang.
Defisiensi imunitas seluler merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi pada