• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stres dan Koping Pasien Karsinoma Nasofaring Stadium III dan IV di RA3 Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Stres dan Koping Pasien Karsinoma Nasofaring Stadium III dan IV di RA3 Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Konsep Stres

2.1.1 Pengertian Stres

Stres adalah segala situasi dimana tuntutan non-spesifik mengharuskan

seorang individu untuk berespon atau melakukan tindakan. Respon atau tindakan

ini termasuk respon fisiologis dan psikologis. Stres dapat menyebabkan perasaan

negatif atau yang berlawanan dengan apa yang diinginkan atau mengancam

kesejahteraan emosional. Stres dapat mengganggu cara seseorang dalam mencerap

realitas, menyelesaikan masalah, berpikir secara umum, hubungan seseorang dan

rasa memiliki (Potter & Perry, 2005).

2.1.2 Sumber stresor

Sumber stresor menurut Hidayat (2008) merupakan asal dari penyebab

suatu stres yang dapat mempengaruhi sifat dari stresor seperti lingkungan, baik

secara fisik, psikososial maupun spiritual. Sumber stresor lingkungan fisik dapat

berupa fasilitas-fasilitas seperti air minum, makan, atau tempat-tempat umum

sedangkan lingkungan psikososial dapat berupa suara atau sikap kesehatan atau

orang yang ada disekitarnya, sedangkan lingkungan spiritual dapat berupa tempat

pelayanan keagamaan seperti fasilitas ibadah atau lainnya.

2.1.3 Penyebab stres

Stres menurut Muwarni (2009) dapat disebabkan karena faktor biologis,

(2)

kekurangan air, oksigen, makanan, cacat, nyeri, dll. 2) Faktor psikologis:

kehilangan orang yang dicintai, perpisahan. 3) Faktor sosial: perubahan tempat

tingal, masalah ekonomi, dikucilkan. 4) Faktor mikrobiologi: kuman penyakit.

2.1.4 Tanda & gejala stres

Gejala-gejala ini bisa menjadi tanda-tanda awal dari bakal timbulnya

masalah kesehatan, atau bahkan dari kondisi yang memerlukan perhatian medis.

Gejala-gejala stres menurut Hardjana (2007) dibagi dalam a) Gejala Fisikal: sakit

kepala, pusing, pening, tidur tidak teratur: insomnia (susah tidur), tidur terlantur,

bangun terlalu awal, sakit punggung, terutama di bagian bawah, mencret-mencret

dan radang usus besar, sulit buang air besar, sembelit, gatal-gatal pada kulit, urat

tegang-tegang terutama pada leher dan bahu, tekanan darah tinggi atau serangan

jantung, keringat berlebih, selera makan berubah, lelah atau kehilangan daya

energi. b) Gejala emosional: gelisah atau cemas, sedih, depresi, mudah menangis,

mood/suasana hati berubah-ubah cepat, mudah panas/ emosi dan marah, gugup,

rasa harga diri menurun atau merasa tidak aman, terlalu peka dan mudah

tersingung, marah-marah, gampang menyerang orang dan bermusuhan, emosi

mengering atau kehabisan sumber daya mental (burn out). c) Gejala intelektual:

susah berkonsentrasi atau memusatkan pikiran, sulit membuat keputusan, mudah

terlupa, pikiran kacau, daya ingat menurun, melamun secara berlebihan, pikiran

dipenuhi oleh satu pikiran saja, kehilangan rasa humor yang sehat, produktivitas

atau prestasi kerja menurun, mutu kerja rendah, dalam kerja bertambah jumlah

kekeliruan yang dibuat. d) Gejala interpersonal: kehilangan kepercayaan kepada

orang lain, mudah menyalahkan orang lain, mudah membatalkan janji atau tidak

(3)

dengan kata-kata, mengambil sikap terlalu membentengi dan mempertahankan

diri, mendiamkan orang lain.

2.1.5 Tahapan stres

Gejala-gejala stres pada diri seseorang sering sekali tidak disadari karena

perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat. Dan, baru dirasakan bilamana

tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari

baik di rumah, di tempat kerja ataupun pergaulan lingkungan sosialnya. Amberg

(1979 dalam Hawari, 2001) dalam penelitiannya membagi tahapan-tahapan stres

sebagai berikut:

2.1.5.1Stres tahap I

Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan biasanya

disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut, yaitu: Semangat bekerja besar,

berlebihan (over acting), penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya, merasa

mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya; namun tanpa disadari

cadangan energi habis (all out) disertai rasa gugup yang berlebihan pula, merasa

senang dengan pekerjaannya itu dan semakin bertambah semangat, namun tanpa

disadari cadangan energi semakin menipis.

2.1.5.2Stres tahapan II

Dalam tahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan”

sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul

keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup

sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk istirahat. Istirahat antara lain

dengan tidur yang cukup bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan

(4)

(HP) yang sudah lemah harus kembali diisi ulang (dicharge) agar dapat digunakan

lagi dengan baik. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang

berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut, yaitu: Merasa letih sewaktu

bangun pagi, yang seharusnya merasa segar, merasa mudah lelah sesudah makan

siang, lekas merasa capai menjelang sore hari, sering mengeluh lambung atau

perut tidak nyaman (bowel discomfort), detakan jantung lebih keras dari biasanya

(berdebar-debar), otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang, tidak bisa santai.

2.1.5.3Stres tahapan III

Bila seseorang itu tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa

menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan pada stres tahap II tersebut

di atas, maka yang bersangkutan akan menunjukkan keluhan-keluhan yang

semakin nyata dan mengganggu yaitu: Gangguan lambung dan usus semakin

nyata; misalnya keluhan “maag” (gastritis), buang air besar tidak teratur (diare),

ketegangan otot-otot semakin terasa, perasaan ketidaktenangan dan ketegangan

emosional semakin meningkat, gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar

kembali tidur (middle insomnia), atau bangun terlalu pagi/ dini hari dan tidak

dapat kembali tidur (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu (badan terasa

oyong dan serasa mau pingsan).

Pada tahap ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk

memperoleh terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh

memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang

(5)

2.1.5.4Stres tahapan IV

Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter

sehubungan dengan keluhan-keluhan stres tahap III di atas, oleh dinyatakan tidak

sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Bila

hal ini terjadi dan yang bersangkutan terus memaksakan diri untuk bekerja tanpa

mengenal istirahat, maka gejala stres tahap IV akan muncul sebagai berikut: untuk

bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit, aktivitas pekerjaan yang

semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa

lebih sulit, yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan

untuk merespons secara memadai (adequate), ketidakmampuan untuk

melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari, gangguan pola tidur disertai dengan

mimpi-mimpi yang menegangkan, seringkali menolak ajakan (negativism) karena

tiada semangat dan kegairahan, daya konsentrasi dan daya ingat menurun, timbul

perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.

2.1.5.5Tahap V

Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V

yang ditandai dengan hal-hal berikut, yaitu: Kelelahan fisik dan mental yang

semakin mendalam (physical and psychological exhaustion), ketidakmampuan

untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana, gangguan

sistem pencernaan semakin berat (gastro-intestinal disorder), timbul perasaan

(6)

2.1.5.6Stres tahap VI

Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan

panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang mengalami stres

tahap VI ini berulang-kali dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ke ICU,

meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ

tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai berikut, yaitu: Debaran jantung

teramat keras, susah bernafas (sesak dan megap-megap), sekujur badan terasa

gemetar, dingin dan keringat bercucuran, ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang

ringan, pingsan atau kolaps (collapse)

Bila dikaji maka keluhan atau gejala-gejala sebagaimana digambarkan

diatas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh

gangguan faal (fungsional) organ tubuh sebagai akibat stresor psikososial yang

melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya.

2.1.6 Tingkatan stres

Tingkatan stres menurut Acdiat (2000), stres dapat dibedakan yaitu:

2.1.6.1Stres ringan

Dalam tingkatan yang masih ringan belum berpengaruh kepada fisik dan

mental hanya saja sudah mulai agak sedikit tegang dan was-was.

2.1.6.2 Stres sedang (medium)

Pada tingkat medium ini individu mulai kesulitan tidur, sering menyendiri

(7)

2.1.6.3Stres berat (kronis)

Pada keadaan stres berat ini individu sudah mulai ada gangguan fisik dan

mental. Dan yang paling berat akan terjadi stroke dan memerlukan bantuan

penanganan dokter saraf

2.1.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres

Rasmun (2001) menyatakan setiap individu akan mendapat efek stres yang

beda-beda. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, yaitu:

2.1.7.1Kemampuan individu mempersepsikan stresor

Jika stresor dipersepsikan mengancam akan berakibat buruk bagi individu

tersebut, maka tingkat stres yang dirasakan kan semakin berat. Sebaliknya, jika

stresor dipersepsikan tidak mengancam dan individu tersebut mampu

mengatasinya, maka tingkat stres yang dirasakan akan lebih ringan.

2.1.7.2Intensitas terhadap stimulus

Jika intensitas serangan stres terhadap individu tinggi, maka kemungkinan

kekuatan fisik dan mental individu tersebut mungkin tidak akan mampu

mengadaptasikannya.

2.1.7.3Jumlah stresor yang harus dihadapi dalam waktu yang sama

Jika pada waktu yang bersamaan bertumpuk sejumlah stresor yang harus

dihadapi, stresor yang kecil dapat menjadi pemicu yang mengakibatkan reaksi

(8)

2.1.7.4Lamanya pemaparan stresor

Memanjangnya lama pemaparan stresor dapat menyebabkan menurunnya

kemampuan individu dalam mengatasi stres.

2.1.7.5Pengalaman masa lalu

Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam

menghadapi stresor yang sama.

2.1.7.6Tingkat perkembangan

Pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan intensitas stresor

yang berbeda sehingga resiko terjadinya stres pada tingkat perkembangan akan

berbeda.

2.2 Konsep Koping

2.2.1 Pengertian koping

Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan

situasi stresfull. Koping tersebut adalah merupakan respon individu terhadap

situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. Koping yang

efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan

perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak efektif berakhir

dengan maladaptif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan

dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau lingkungan. Setiap individu

dalam melakukan koping tidak sendiri dan tidak hanya menggunakan satu strategi

tetapi dapat melakukannya bervariasi, hal ini tergantung dari kemampuan dan

(9)

2.2.2 Strategi koping

Strategi koping yang bisa digunakan menurut Lazarus dan Folkman (1984)

dalam Nazir, 2001 yaitu:

2.2.2.1Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping)

Problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara

mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang

menyebabkan terjadinya tekanan. Problem focused coping ditujukan dengan

mengurangi demands dari situasi yang penuh dengan stres atau memperluas

sumber untuk mengatasinya. Strategi yang dipakai dalam problem focused coping

antara lain sebagai berikut: a) Confrontative coping: usaha untuk mengubah

keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan

yang cukup tinggi, dan pengambilan risiko, b) Seeking social support: usaha

untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain,

c) Planful problem solving: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap

menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analistis.

2.2.2.2 Emotion Focused Coping

Emotion focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara

mengatur respons emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak

yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh

tekanan. Strategi yang digunakan dalam emotion focused coping antara lain

sebagai berikut: a) Self-control: usaha mengatur perasaan ketika menghadapi

situasi yang menekan, b) Distancing: usaha untuk tidak terlibat dalam

(10)

atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap

masalah sebagai lelucon, c) Positive reappraisal: usaha mencari makna positif

dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga

melibatkan hal-hal yang bersifat religius, d) Accepting responsbility: usaha untuk

menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan

mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik, e)

Escape/avoidance: usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi

tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum,

merokok atau menggunakan obat-obatan.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi strategi koping menurut Lazarus

dan Folkman (1984) dalam Nazir (2001) yaitu:

2.2.3.1Kesehatan fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha

mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.

2.2.3.2Keyakinan atau pandangan positif

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti

keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada

penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan

(11)

2.2.3.3Keterampilan memecahkan masalah

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,

menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan

alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan

dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan

melakukan suatu tindakan yang tepat.

2.2.3.4 Keterampilan sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan

bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang

berlaku di masyarakat.

2.2.3.5Dukungan sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan

emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain,

saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

2.2.4 Penggolongan Mekanisme Koping

Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua

(Stuart, 2007) yaitu:

2.2.4.1Mekanisme koping adaptif

Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung

(12)

berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi,

latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.

2.2.4.2Mekanisme koping maladaptif

Mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang

menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan

cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak

makan, bekerja berlebihan, menghindar.

2.2.5 Jenis-jenis koping

Nazir, 2001 membagi koping menjadi dua jenis, yaitu:

2.2.5.1Tindakan langsung (Direct Action) koping jenis ini adalah setiap usaha

tingkah laku yang dijalankan oleh individu untuk mengatasi kesakitan dan

luka. Ancaman atau tantangan dengan cara mengubah hubungan yang

bermasalah dengan lingkungan. Individu menjalankan koping jenis direct

action atau tindakan langsung bila dia melakukan perubahan posisi

terhadap masalah yang di alami.

Ada empat macam koping jenis tindakan langsung:

a. Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka

Individu melakukan langkah aktif dan antisipatif (beraksi) untuk

menghilangkan atau mengurangi bahaya dengan cara menempatkan diri secara

langsung pada keadaan yang mengancam dan melakukan aksi yang sesuai dengan

(13)

b. Agresi

Agresi adalah tindakan yang dilakukan oleh individu dengan menyerang

agen yang dinilai mengancam atau akan melukai. Agresi dilakukan bila individu

merasa atau menilai dirinya lebih kuat atau berkuasa terhadap agen yang

mengancam tersebut.

c. Penghidaran (Avoidance)

Tindakan ini terjadi bila agen yang mengancam dinilai lebih berkuasa dan

berbahaya sehingga individu memilh cara menghindari atau melarikan diri dari

situasi yang mengancam tersebut

d. Apati

Jenis koping ini merupakan pola orang yang putus asa. Apati dilakukan

dengan cara individu yang bersangkutan tidak bergerak dan menerima begitu saja

agen yang melukai dan tidak ada usaha apa-apa untuk melawan ataupun melarikan

diri dari situasi yang mengancam tersebut.

2.2.5.2Peredaan atau Peringanan (pallitation) koping jenis ini mengacu pada

mengurangi atau menghilangkan atau mentoleransi tekanan-tekanan

kebeutuhan atau fisik, motorik atau gambaran afeksi dari tekanan emosi

yang dibangkitkan oleh lingkungan yang bermasalah. Atau bisa di artikan

bahwa bila individu menggunakan koping jenis ini, posisinya dengan

masalah relatif tidak berubah, yang berubah adalah diri individu, yaitu

(14)

Ada 2 macam koping jenis peredaan atau pallitation:

a. Diarahkan pada gejala (Symptom Directed Modes)

Macam koping ini digunakan bila gejala-gejala gangguan muncul dari diri

individu, kemudian individu melakukan tindakan dengan cara mengurangi

gangguan yang berhubungan dengan emosi-emosi yang disebabkan oleh tekanan

atau ancaman tersebut.

b. Cara Intrapsikis ( Intrapsykis Modes)

Koping jenis ini peredaan dengan cara intra psikis adalah cara-cara yang

menggunakan perlengkapan-perlengkapan psikologis kita, yang biasa dikenal

dengan istilah defense mechanism ( mekanisme pertahanan diri)

Macam-macam mekanisme pertahanan diri (defense mechanism atau

pembelaan ego): 1) Fantasi: Memuaskan keinginan yang terhalang dengan

prestasi dan khayalan. 2) Penyangkalan: Melindungi diri sendiri terhadap

kenyataan yang tak menyenangkan, dengan menolak menghadapi hal itu, sering

dengan melarikan diri seperti menjadi sakit atau kesibukan dengan hal-hal lain. 3)

Rasionalisasi: Berusaha membuktikan bahwa perilakunya itu masuk akal dan

dapat dibenarkan sehingga dapat di setujui oleh diri sendiri dan masyarakat. 4)

Identifikasi: Menambah rasa harga diri, dengan menyamakan dirinya dengan

orang atau institusi yang mempunyai nama. 5) Introyeksi: Menyatukan nilai dan

norma luar dengan sturktur egonya sehingga individu tidak tergantung pada belas

kasihan, hal-hal itu yang dirasakn sebagai ancaman luar. 6) Represi: Mencegah

pikiran yang menyakitkan atau berbahaya masuk ke alam sadar. 7) Regresi :

Mundur ke tingkat perkembangan yang lebih rendah, dengan respon yang kurang

(15)

orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik. 9)

Penyusunan reaksi: Mencegah keinginan yang berbahaya, bila di ekspresikan

dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan

menggunakannya sebagai rintangan. 10) Sublimasi: Mencari pemuasan atau

menghilangkan keinginan sexual dalam kegiatan non sexual. 11) Kompensasi:

Menutupi kelemahan, dengan menonjolkan sifat yang dinginkan atau pemuasan

secara berlebihan dalam suatu bidang karena mengalami frustasi dalam bidang

lain. 12) Salah pindah: Melepaskan perasaan yang terkekang, biasanya

permusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya

membangkitkan emosi itu. 13) Pelepasan: Menebus dan dengan demikian

meniadakan keinginan atau tindakan yang tak bermoral.14) Penyekatan

emosional: Mengurangi keterlibatan ego dan menarik diri menjadi pasif untuk

melindungi diri sendiri dari kesakitan. 15) Isolasi: memutuskan pelepasan afektif

karena keadaan yang menyakitkan atau memisahkan sikap-sikap yang

bertentangan, dengan tembok-tembok yang tahan logika.16) Simpatisme:

berusaha memperoleh simpati dari orang lain dan demikian menyokong rasa harga

diri, meskipu gagal. 17) Pemeranan: Menurangi kecemasan yang dibangkitkan

oleh keinginan yang terlarang, dengan membiarkan ekspresinya. (Maramis, 2009).

Pada dasarnya mekanisme pertahanan diri terjadi tanpa disadari dan

bersifat membohongi diri sendiri terhadap realita yang ada, baik realita yang ada

diluar (fakta atau kebenaran) maupun realita yang ada di dalam ( dorongan atau

impuls atau nafsu). Mekanisme pertahanan bersifat menyaring realita yang ada

(16)

realita yang ada. Ini membuat sebagian besar ahli menyatakan koping jenis

mekanisme pertahanan diri merupakan yang tidak sehat kecuali sublimasi.

Mekanisme pertahanan tidak dapat disadari, akan dapat disadari melalui

refleksi diri yang terus menerus. Dengan cara begitu individu bisa mengetahui

jenis meekanisme pertahanan diri yang biasa dilakukan dan kemudian

menggantikannya dengan koping yang lebih konstruktif.

2.2.6 Jenis-jenis koping yang konstruktif atau yang sehat

Haber & Runyon (2004) yang di kutip dalam siswanto menyebutkan

jenis-jenis koping yang di anggap konstruktif, yaitu:

a. Penalaran (Reasioning)

Yaitu pengguanaan kemampuan kognitif untuk mengeksplorasi berbagai

macam alternatif pemecahan masalah dan kemudian memilh salah satu alternative

yang di anggap paling menguntungkan. Individu secara sadar mengumpulkan

berbagai informasi yang relevanberkaitan dengan persoalan yang di hadapi,

kemudian membuat alternatif-alternatif pemecahannya, kemudian memilh

alternatif yang paling menguntungkan dimana resiko kerugiannya paling kecil

dan keuntungan yang di peroleh paling besar.

b. Objektifitas

Yaitu kemampuan untuk membedakan antara-antara komponen emosional

dal logis dalam pemikiran, penalaran, maupun tingkah laku. Kemampuan untuk

melakukan koping jenis ini masyarakat individu yang bersangkutan memiliki

kemampuan untuk mengelola emosinya sehingga individu mampu memilah dan

membuat keputusan yang tidak semata di dasari oleh pengaruh emosi.

(17)

Yaitu kemampuan untuk memusatkan perhatian secara penuh pada

pesoalan yang sedang di hadapi.

c. Humor

Yaitu kemampuan untuk melihat segi yang lucu dari persoalan yang

sedang dihadapi, sehingga perspektif persoalan tersebut menjadi lebih luas, terang

dan tidak terasa sebagai menekan lagi ketika dihadapi dengan humor. Humor

memungkinkan individu yang bersangkutan untuk memandang persoalan dari

sudut manusiawinya, sehingga persoalan di artikan secara baru, yaitu sebagai

persoalan yang biasa, wajar dan dialami oleh orang lain juga.

d. Supresi

Yaitu kemampuan untuk menekan reaksi yang mendadak terhadap situasi

yang ada sehingga memberikan cukup waktu untuk lebih menyadari dan

memberikan reaksi yang lebih konstruktif. Koping supresi juga mengandaikan

individu memililki kemampuan untuk mengelola emosi sehingga pada saat

tekanan muncul , pikiran sadarnya tetap bisa melakukan control secara baik

e. Ambiguitas

Yaitu kemampuan untuk memahami bahwa banyak hal dalam kehidupan

yang bersifat tidak jelas dan oleh karenanya perlu memberikan ruang bagi

ketidakjealasan tersebut. Kemampuan melakukan toleransi mengandaikan

individu sudah memiliki perspektif hidup yang matang, luas dan memeiliki rasa

aman yang cukup.

f. Empati

Yaitu kemampuan untuk melihat sesuatau dari pandangan orang lain.

(18)

mengahayati perspektif pengalaman orang lain sehingga individu yang

bersangkutan menjadi semakin kaya dalam kehidupan batinnya.Sumber koping

Menurut Wiscar dan Sandra Sumber koping terdiri menjadi 2 faktor.

Faktor dari dalam (internal) dan faktor dari luar (eksternal).

a. Faktor dari dalam meliputi : umur dimana semakin tinggi umur koping

individu semakin baik, kesehatan dan energi , system kepercayaan termasuk

kepercayan ekstensial (iman, kepercayaan, agama) komitmen atau tujuan

hidup, pengalaman masa lalu, tingkat pengetahuan atau pendidikan semakin

tinggi individu mudah untuk mencari informasi, jenis kelamin perempuan

lebih sensitive dari laki-laki, perasaan seseorang seperti harga diri, control

dan kemahiran, keterampilan, pemecahan masalah. Teknik pertahanan,

motivasi.

b. Faktor dari luar meliputi: dukungan sosial, sumber material atau pekerjaan,

pengaruh dari orang lain, media massa. Dukungan sosial sebagai rasa

memiliki informasi terhadap seseorang atu lebih dengan tiga ktegori yaitu

dukungan emosi dimana seseorang merasa dicintai, dukungan harga diri

dimana mendapat pengakuan dari orang lain akan kemampuan yang dimiliki,

perasaan memiliki dalam sebuah kelompok.

2.3 Karsinoma Nasofaring (KNF)

2.3.1 Pengertian Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah

nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima,

(19)

2.3.2 Epidemiologi

KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai

penderita di bawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45-54 tahun. Laki-laki

lebih banyak dari wanita dengan perbandingan antara 2-3 : 1. Kanker nasofaring

tidak umum dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor

ini di Amerika Syarikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 (Nasional Cancer

Institute, 2009).

2.3.3 Etiologi

Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya

mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya

KNF adalah:

1. Kerentanan Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu

relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi

menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim

sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap

karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma

nasofaring (Pandi, 1983).

2. Infeksi Virus Eipstein-Barr

Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma

nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum

pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer

(20)

antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini

(EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang

tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat

karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan

karsinoma nasofaring tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma

nasofaring non-keratinisasi (non- keratinizing) yang aktif (dengan mikroskop

cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel skuamosa atau

elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Nasional Cancer Institute, 2009).

3. Faktor Lingkungan

Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan

timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan Nitrosamin, diantaranya

dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur

Renik, diantaranya nikel sulfat (Roezin, Anida, 2007).

2.3.4 Klasifikasi & Histopatologi

Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi

tipe 1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran histologinya

karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi sedang dan

sebagian lainnya dengan sel yang lebih ke arah diferensiasi baik, tipe 3 karsinoma

tanpa diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas membentuk sinsitial dengan

batas sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3.

Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan

mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma

sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak

(21)

2.3.5 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring

2.3.5.1 Gejala Dini

KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan

pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting (Roezin & Anida,

2007). Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien

mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan

gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang

telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan

lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah

akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga

akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran

(National Cancer Institute, 2009).

Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh

sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau

mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan

seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu,

sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam

rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,

kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala

telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini,

karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan

lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang

(22)

2.3.5.2 Gejala Lanjut

Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5

sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan

pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke

bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering

diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus,

menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat

pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut

lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong

pasien datang ke dokter (Nurlita, 2009).

Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke

arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf

otak dan menyebabkan penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa)

didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan

pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit

kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka

akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan

hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus

pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima, 2006).

Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir

bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari

nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang,

hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat

(23)

2.3.6 Stadium

Stradium karsinoma nasofaring menurut AICC:

1. Tumor Primor (T)

TX : Tumor primer tidak dapat dinilai

TO : Tidak ada bukti tumor primer

Tis : Karsinoma in situ

2. Nasofaring:

T1 : Tumor terbatas di nasofaring

T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring atau kavum nasi

T2a: Tanpa perluasan ke parafaring

T2b: Dengan perluasan ke parafaring

T3 : Tumor invasi ke tulang dan atau sinus paranasal

T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan atau melibatan nervus kranial, fosa

infratemporal, hipofaring, atau mata, atau ruang mastikator.

3. Kelenjar limfe regional (N):

NX : Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai

NO : Tidak ada metastasis kelenjar limfe regional

N1 : Metastasis kelenjar limfe unilateral, diameter 6 cm atau kurang,

diatas fosa supra-klavikula

N2 : Metastasis kelenjar limfe bilateral, diameter 6 cm atau kurang, diatas

fosa supra-klavikula

N3 : Metastasis kelenjar limfe

N3a: Diameter besar dari 6 cm

(24)

4. Metastasis jauh (M)

MX : Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 : Tidak ada metastasis jauh

M1 : Ada metastasis jauh

Grup stadium

Stadium 0 Tis N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium IIA T2a N0 M0

Stadium IIB T1 N1 M0

T2 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N1 M0

Stadium III T1 N2 M0

T2a N2 M0

T2b N2 M0

T3 N2 M0

Stadium IVA T4 N0 M0

T4 N1 M0

T4 N2 M0

Stadium IVB Semua T N3 M0

(25)

2.3.7 Penanggulangan

2.3.7.1 Radioterapi

Radioterapi merupakan pengobatan utama pada Karsinoma Nasofaring

(KNF). Dosis radiotrapi untuk KNF adalah 1,8-2 GY setiap pemberian, sebanyak

lima kali pemberian setiap minggu selama tujuh minggu, dengan total dosis 60-70

Gy. Setiap tipe histopatologi KNF mempunyai perbedaan respon terhadap

radiotrapi.

2.3.7.2 Brakhiterafi

Brakhiterafi adalah pemberian ion radiasi dosis tinggi terhadap jaringan

dengan volume kecil. Pemberian brakhiterapi terhadap tumor primer KNF, dapat

dibagi berdasarkan beberapa indikasi. Indikasi tersebut adalah tumor persisten

lokal setelah empat bulan pemberian radiotrapi primer, sebagai adjuvant setelah

radiotrapi eksternal dan untuk tumor persisten regional dimana brahkiterapi

diberikan pada penderita yang akan menjalani diseksi leher.

2.3.7.3 Kemoterapi

Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus (KNF) recurrent atau yang

telah mengalami metastasis. Obat kemoterapi dapat bekerja menghambat

pembelahan sel pada semua siklus sel (Cell Cycle non Spesific) baik dalam siklus

pertumbuhan sel maupun dalam keadaan istrahat.

2.3.7.4 Pembedahan

Pembedahan tidak hanya berperan pada penanggulangan KNF. Tindakan

bedah terbatas pada reseksi sisa masa tumor yang kambuh atau tidak terkontrol di

(26)

2.3.7.5 Imunoterapi

Imunoterapi dan terapi gen merupakan terapi pilihan di masa datang.

Defisiensi imunitas seluler merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi pada

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Aplikasi sewa mobil adalah sebuah aplikasi pengolah database yang mengolah suatu data mobil, pelanggan dan transaksi menjadi sebuah informasi bagi konsumen dan laporan untuk

[r]

Diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran, Kelompok Kerja 1 Unit Layanan Pengadaan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menetapkan

Menganalis is Sistem Pengendali an intern pemberian kredit suatu bank Jenis Penelitia n yang berbeda yaitu kuantita tif, alat analisis yang berbeda dan Populasi penelitia

Menyadari hal tersebut, Kepala Daerah sebagai pemimpin organisasi administrasi pemerintah daerah dituntut untuk bersikap proaktif dengan mengandalkan kepemimpinan

[r]

Evaluasi kebutuhan lahan parkiran menunjukkan, luas lahan parkir yang tersedia untuk setiap karakteristik kendaraan tidak mencukupi untuk menampung jumlah kendaraan