• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Stres Pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Stres Pada Ibu yang Memiliki Anak Autis"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

A. STRES

1) Definisi Stres

Stres menurut Sarafino (2011), ialah kondisi dimana terjadi kesenjangan

antara tuntutan yang dihasilkan oleh transaksi antara individu dan lingkungan

dengan sumber daya biologis, psikologis atau sistem sosial yang dimiliki individu

tersebut yang akan mempengaruhi kognisi, emosi dan perilaku sosialnya.

Lazarus dan Folkman (1984) juga menyatakan, stres adalah keadaan internal

yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan,

dll) atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial

membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk

melakukan coping. Menurut Atkinson (2000), stres muncul akibat adanya

permintaan yang berlebihan sehingga mengakibatkan kesejahteraan fisik dan

psikologis seseorang terganggu.

Hager (dalam Santrock 2003) mendefinisikan, stres sangat bersifat

individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara

daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan

dengan suatu sumber stres tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis

maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada

persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah

(2)

menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Lazarus &

Folkman, 1984). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh

bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah

suatu kondisi internal yang dapat merusak dan membahayakan fisik maupun

psikologis individu akibat adanya ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan

individu dengan kemampuan individu dalam meresponnya.

2) Penggolongan Stres

Selye (dalam Rice, 1992) menggolongkan stres menjadi dua golongan

berdasarkan atas persepsi individu terhadap stres:

a. Distres (Stres Negatif)

Distres merupakan stres yang merusak dan tidak menyenangkan. Distres

menciptakan kondisi cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Hal ini

mengakibatkan individu mengalami keadaan psikologis yang negatif,

menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya. Akibatnya, ia lebih

banyak menarik diri, tidak mengikuti kegiatan sosial, mudah tersinggung, marah,

mudah emosi.

b. Eustres (Stres Positif)

Eustres merupakan stres bersifat menyenangkan. Istilah joy of stres

diungkapkan oleh Hanson (dalam Rice, 1992) untuk menjelaskan hal-hal positif

yang timbul dari stres. Eustres dapat meningkatkan performansi individu,

(3)

3) Sumber Stres

Sarafino (2011) membagi 3 jenis sumber-sumber stres (stresors) yang dapat

terjadi dalam kehidupan individu, antara lain sebagai berikut:

1. Sumber yang berasal dari individu

Ada dua hal yang memicu stres pada individu, yaitu: (1) Penyakit, dimana

adanya penyakit menyebabkan tekanan biologis dan psikososial sehingga dapat

menimbulkan stres; (2) Adanya Konflik, dalam konflik individu memiliki dua

kecenderungan yang berlawanan yaitu menjauh dan mendekat.

2. Sumber yang berasal dari keluarga

Stres dalam keluarga dihasilkan melalui adanya perilaku,

kebutuhan-kebutuhan dan kepribadian dari masing-masing anggota keluarga yang berdampak

pada anggota keluarga lainnya. Konflik interpersonal ini dapat timbul dari adanya

masalah finansial, perilaku yang tidak sesuai, melalui adanya tujuan yang berbeda

antar anggota keluarga, bertambahnya anggota keluarga, penyakit yang

dialaminya anggota keluarga dan kematian anggota keluarga (Sarafino, 2011).

3. Sumber yang berasal dari komunitas dan masyarakat

Adanya hubungan manusia dengan lingkungan luar menyebabkan banyak

kemungkinan munculnya sumber-sumber stres. Stres yang dialami orang dewasa

banyak diperoleh melalui pekerjaannya dan berbagai situasi lingkungan (Sarafino,

(4)

4) Aspek Stres

Sarafino (2011), mengemukakan 3 aspek psikologis dari stres yaitu:

1. Kognisi

Stres dapat melemahkan ingatan dan konsentrasi dalam aktivitas kognitif

(Cohen dkk dalam Sarafino, 2011). Stresor berupa kebisingan dapat menyebabkan

penurunan kognitif. Baum (dalam Sarafino, 2011) mengatakan bahwa individu

yang terus menerus memiliki stresor dapat menimbulkan stres yang lebih parah

terhadap stresor. Kesulitan dalam berkonsentrasi, mengingat, memecahkan

masalah dan mengontrol impuls merupakan refleksi bahwa stres dapat

melemahkan kognitif (Sarafino, 2011).

2. Emosi

Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan

keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian kognitif dapat

memengaruhi stres dan pengalaman emosional. Reaksi emosional terhadap stres

yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi/perasaan sedih, dan rasa marah.

3. Perilaku Sosial

Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain (Sarafino,

2011). Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana alam

dapat membuat individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi lain, individu

dapat mengembangkan sikap bermusuhan (Sherif & Sherif dalam Sarafino, 2011).

Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial yang negatif

(5)

5) Faktor yang mempengaruhi Stres

a. Faktor Lingkungan

Dukungan sosial dari lingkungan dapat mempengaruhi stres individu.

Ketika seseorang memperoleh dukungan sosial dari lingkungannya, maka stres

yang dialaminya dapat hilang dan kemungkinan menjadikan individu dapat

menyesuaikan keadaannya. Dukungan sosial dapat didapatkan individu juga

menjadikan individu memiliki self-esteem dalam menghadapi masalahnya

(Sarafino, 2011). Hasil Penelitian tentang dukungan sosial pada ibu dari anak

autis menyatakan bahwa ibu yang tidak memperoleh dukungan sosial yang cukup

dari lingkungan memiliki tingkat stres yang tinggi. Perasaan berjuang sendirian

menghadapi perilaku anak yang tidak dapat dikontrol menjadikan ibu memiliki

tingkat stres yang tinggi (Miftah, 2010).

b. Kontrol personal

Derajat kontrol personal yang dimiliki seseorang atas kehidupannya

mempengaruhi stres yang dialaminya. Kontrol personal ialah perasaan individu

bahwa ia dapat mengambil keputusan dan tindakan efektif yang dapat

mempengaruhi suatu peristiwa secara langsung. Penelitian menyebutkan bahwa

orang dengan kontrol personal yang tinggi mengalami tingkat stres yang lebih

rendah pula (Sarafino, 2011). Terdapat 2 jenis kontrol personal menurut Sarafino

(2011), yaitu: (1) Kontrol Perilaku, melibatkan kemampuan untuk melakukan aksi

konkrit untuk mengurangi efek dari stres; (2) Kontrol Kognitif, melibatkan

strategi berpikir untuk memodifikasi efek dari stres. Kontrol personal yang rendah

(6)

pada kebutuhan anak; ketika anak menunjukkan perilaku yang tidak dapat

dikendalikan ibu, ibu menjadi bingung dalam mengambil tindakan, hal ini akan

meningkatkan stres ibu (Sari dkk, 2011).

c. Faktor Kepribadian

Setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda, memiliki persepsi yang

berbeda pula terhadap stres. Ketika individu memandang stres sebagai sesuatu

yang negatif, maka ia akan menunjukkan perilaku maladaptif, sebaliknya, ketika

ia memandang stres sebagai sesuatu yang memotivasi, ia akan berperilaku adaptif

terhadap stres sehingga efek stres pun berbeda (Sarafino, 2011).

d. Faktor Usia

Usia seseorang dapat mempengaruhi tingkat stres yang dimilikinya. Hasil

penelitian yang relevan menyatakan bahwa ibu dengan usia yang lebih muda

cenderung memiliki anak dengan perilaku tantrum pada intensitas yang lebih

tinggi (Astuti, 2016). Hal ini dikaitkan dengan kematangan emosi dan

kemampuan coping yang belum berkembang dengan maksimal, sehingga reaksi

ibu yang diberikan atas perilaku anak belum tepat, yang berakibat pada

meningkatnya tantrum anak (Astuti, 2016).

B. AUTISME

1) Defenisi

Asosiasi Psikolog di Amerika dalam DSM-IV-TR (2004) menyebutkan

autisme adalah keabnormalan yang jelas dan gangguan perkembangan dalam

(7)

ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung pada tingkat

perkembangan dan usia kronologis dari individu (APA, 2004).

Parke & Gauvan (2009) menyatakan autisme ialah gangguan yang serius

pada kemampuan anak dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial; Anak

dengan sindrom autisme mengalami penurunan bahasa, dan mengutamakan

keteraturan dalam lingkungannya. Anak dengan sindrom autisme juga sangat

terikat dengan perilaku yang berulang-ulang (perilaku repetitif).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa autisme adalah gangguan

perkembangan pada anak - anak yang ditandai dengan gangguan interaksi sosial

seperti pengasingan diri dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain,

gangguan komunikasi dan bahasa seperti ecolalia, penggunaan kalimat - kalimat

yang tidak sesuai dengan situasi, mutism, pembalikan kalimat atau kata, gangguan

ketertarikan dan aktivitas seperti adanya aktivitas bermain yang repetitif dan

stereotipe serta keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dan

kesamaan di dalam lingkungannya.

2) Gejala Autisme

APA (2004) menyatakan gejala autisme dapat dikenali pada anak sejak usia

1 – 3 tahun. Namun dapat muncul sebelum usia 1 tahun jika penurunan terjadi

cukup parah, dapat juga muncul setelah lebih dari 2 tahun ketika gejala tidak

terlalu tampak. Adapun gejala perilaku yang sering ditunjukkan oleh anak dengan

(8)

a. Kurangnya minat dan interaksi sosial

Anak autis dapat kurang memiliki ketertarikan untuk bergabung dengan

lingkungan sosial, mereka seringkali tidak mau terlibat kontak mata dengan orang

lain, lebih menyukai bermain sendiri, dan gagal memberikan perilaku dan respon

yang sesuai dengan orang lain.

b. Masalah dalam hal komunikasi

Anak dengan sindrom autisme memiliki jumlah kosakata yang sedikit

dibanding anak seusianya. Mereka juga cenderung mengalami echolalia, dimana

anak autis mengulang kembali perkataan orang-orang disekitarnya. Pemahaman

bahasa verbal dan nonverbal pada anak autis tidak terintegrasi dengan baik.

c. Pola Perilaku yang terbatas, repetitif dan stereotip

Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang - ulang secara

terus-menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar -putar, berjingkat-jingkat dan

lain sebagainya. Anak autis juga tertarik pada hanya bagian - bagian tertentu dari

sebuah objek. Misalnya, pada roda mainan mobil- mobilannya. Anak autis juga

menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton.

3) Penyebab Autisme

Sampai sekarang, autisme masih merupakan grey area di bidang kedokteran

yang terus berkembang dan belum diketahui penyebabnya secara pasti (Marijani,

2003). Namun APA (2004) menyebut autisme sebagai gangguan perkembangan

pervasif, dimana keterampilan sosial yang diharapkan, perkembangan bahasa dan

(9)

umumnya. Gangguan ini mempengaruhi berbagai bidang perkembangan,

bermanifestasi pada awal kehidupan dan menyebabkan disfungsi yang bersistem.

APA (2004) mengemukakan 2 faktor penyebab dari anak mengalami

autisme, yaitu:

1. Faktor Lingkungan

Penyebab anak mengalami autisme disebabkan adanya faktor-faktor yang

tidak spesifik dari lingkungan, seperti usia ibu ketika mengandung, berat yang

kecil ketika dilahirkan dan paparan zat kimia yang berlebihan sejak dini.

2. Faktor Genetik dan Fisiologis

Heritabilitas atau faktor keturunan pada anak autis diperkirakan bergerak

dari angka 37 % - 90 %. Belakangan ini, sebanyak 15 % anak dengan autisme

diasosiasikan dengan adanya mutasi genetik dalam keluaranya.

4) Kriteria Diagnostik Autisme

Menurut APA (2004) kriteria diagnostik gangguan autisme adalah :

A. Jumlah dari 6 (atau lebih) aitem dari (1), (2) dan (3), dengan setidaknya dua

dari (1), dan satu dari masing-masing (2) dan (3):

(1) Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan

dengan setidak-tidaknya dua dari hal berikut:

(a) Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa

perilaku non verbal seperti tatapan langsung, ekspresi wajah,

(10)

(b) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya

yang sesuai dengan tahap perkembangan.

(c) Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi

kesenangan, ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain

(seperti dengan kurangnya menunjukkan atau membawa objek

ketertarikan).

(d) Kekurangan dalam emosi atau sosial yang timbal balik.

(2) Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada

setidak-tidaknya satu dari hal berikut:

(a) Keterlambatan perkembangan bahasa atau bahkan tidak

berkembang sama sekali (tidak disertai dengan usaha untuk

menggantinya melalui beragam alternatif dari komunikasi,

seperti gestur atau mimik).

(b) Pada individu dengan kemampuan bicara yang cukup,

kerusakan ditandai dengan ketidakmampuan untuk memulai

atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.

(c) Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap

atau bahasa yang aneh.

(d) Kekurangan dalam variasi permainan berpura-pura yang

spontan atau permainan imitasi sosial yang sesuai dengan

(11)

(3) Suatu pola-pola perilaku yang dipertahankan dan berulang-ulang dari

perilaku, minat dan kegiatan, yang dimanifestasikan setidak-tidaknya

satu dari hal berikut:

(a) Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan

yang tetap dan berulang, yang intensitas atau fokusnya

abnormal.

(b) Terpaku pada rutinitas non fungsional atau ritual yang spesifik.

(c) Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan

atau mengepakkan tangan dan jari, atau pergerakan yang

kompleks dari keseluruhan tubuh).

(d) Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek.

B. Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area

berikut, dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2)

bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan

simbolik atau imajinatif.

C. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Rett’s Disorder atau

Childhood Disintegrative Disorder.

5) Tingkat Kecerdasan Anak Autis

Pusponegoro dan Solek (2007) menyebutkan bahwa tingkat kecerdasan dari

(12)

a. Low Functioning (IQ Rendah)

Penderita autis yang dikategorikan dalam Low Functioning Autism, maka

dapat dipastikan dikemudian hari penderita tidak dapat hidup mandiri dan

seumur hidupnya akan bergantung kepada orang lain.

b. Medium Functioning (IQ Sedang)

Penderita autis yang dikategorikan dalam level ini dikemudian hari masih

bisa hidup bermasyarakat dan masih dapat bersekolah di sekolah khusus

yang memang diperuntukkan bagi penderita autis.

c. High Functioning (IQ Tinggi)

Penderita autis pada kategori ini dikemudian hari memiliki kemungkinan

untuk hidup mandiri, dapat bekerja bahkan memiliki kesempatan

berkeluarga.

6) Perkembangan Anak Autis

Wenar & Kerig (2000) menyatakan autis berkembang pada 30 bulan

pertama dalam hidup, karenanya periode perkembangan anak autis dibagi menjadi

2 (dua) kelompok, yaitu:

1. Masa infant dan toddler

Hubungan caregiver dengan anak merupakan kunci utama pada masa ini.

Beberapa faktor yang menjadi pembeda anak autis dari anak normal lainnya

ialah pola tatapan yang tidak fokus, ketidakmampuan afeksi contohnya

dalam hal senyum sosial, minimnya vokalisasi, keanehan dalam imitasi

(13)

ketidakmampuan membentuk attachment, kepatuhan hanya pada hal-hal

yang dapat mereka pahami dan bersikap negatifistik secara berlebihan.

2. Masa Prasekolah dan Middle Childhood

a. Faktor Afektif-Motivasional

Motivasi untuk menjadi partisipan aktif tidak dimiliki anak autis.

Anak autis kurang tertarik dengan teman sebayanya. Anak autis juga

kurang dalam hal empati, yaitu proses dimana seseorang berespon

secara afektif terhadap orang lain seperti mereka mengalami affect

yang sama dengan orang tersebut.

b. Hubungan Timbal-Balik

Pada anak autis, ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara penuh

dalam interaksi sosial resiprokal yang sesuai umur dapat bertahan

seumur hidup mereka.

7) Penanganan terhadap Anak Autis

Davison dkk (2006) mengungkapkan tiga (3) model penanganan terhadap

anak autis, yaitu:

a. Penanganan Behavioral

Menggunakan teknik modelling dan operant conditioning, penanganan

terhadap anak autis biasanya dilakukan dengan mengajari mereka berbicara,

memperbaiki echolalia yang mereka miliki, mendorong mereka untuk bermain

(14)

dewasa. Penggunaan reward juga dibutuhkan untuk menguatkan perilaku yang

diinginkan dari anak autis.

b. Penanganan Psikodinamika

Pandangan psikodinamika menganggap bahwa masalah attachment dan

kelemahan emosional merupakan penyebab autisme, sehingga diperlukan adanya

kehangatan dan suasana penuh kasih sayang dari lingkungan sekitar yang dapat

mendorong anak untuk ‘memasuki dunia’. Kesabaran dan penerimaan dari orang

sekitar khususnya keluarga sangat diperlukan oleh anak autis untuk mulai

memercayai orang lain dan mengambil kesempatan untuk mulai berhubungan

dengan orang lain.

c. Penanganan dengan menggunakan obat-obatan

Obat yang paling sering digunakan pada anak dengan gangguan autisme

ialah haloperidol (nama dagang Haldol). Obat ini juga sering digunakan untuk

menangani pasien skizofrenia. Obat ini mampu mengurangi gejala penarikan diri

dari lingkungan sosial, perilaku stereotip, dan perilaku maladaptif seperti melukai

diri sendiri dan agresi. Kendatipun demikian, respon anak autis terhadap

obat-obatan berbeda dari satu anak ke anak lainnya. Beberapa studi mengemukakan

banyak anak autis yang tidak merasakan efek positif dari obat tersebut. Bukti

bahwa adanya peningkatan kadar serotonin pada anak autis menjadikan peneliti

terus mengembangkan obat terkait dengan penurunan kadar serotonin pada anak

autis. Namun Davison & Neale (2006) secara singkat menyatakan penanganan

farmakologis pada anak autis kurang efektif dibandingkan berbagai intervensi

(15)

C. STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS

Ibu ialah seorang wanita yang telah menjalankan perannya dalam

melahirkan dan mengasuh seorang anak. Seorang ibu berperan dalam mengasuh

anaknya mulai dari lahir, hingga berkembang dan tumbuh dewasa. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ibu ialah sebutan bagi wanita yang telah

berkeluarga dan memiliki keturunan (Depdiknas, 2008).

Kartono (1985) mengungkapkan bahwa salah satu fungsi ibu yang utama

ialah sebagai pengasuh bagi anak-anaknya. Ibu sangat berperan dalam kehidupan

buah hatinya di saat anaknya masih bayi hingga dewasa. Peranan ibu terhadap

anak adalah sebagai pembimbing kehidupan di dunia ini khususnya dalam hal

beretika dan susila untuk bertingkah laku yang baik dan sesuai norma (Bilih,

2011).

Peranan ibu akan menjadi lebih besar ketika anaknya memiliki kebutuhan

khusus, seperti autisme yang mengharuskan ibu memiliki perhatian yang lebih

pada anaknya. Ketika anak didiagnosa autis, maka beragam respon dari ibu dapat

muncul, hal ini juga terkait dengan tingkat keberfungsian anak. Pada umumnya

respon negatiflah yang pertama kali muncul ketika ibu mengetahui bahwa

anaknya autis (Wiliam & Wright, 2004).

Penelitian mengungkapkan ibu dari anak berkebutuhan khusus cenderung

mengalami stres dibandingkan dengan orangtua dari anak normal (Beckman et al.

dalam Lam & Mackenzie, 2008). Terlebih lagi, penelitian Davis, dkk (2008) dan

Plumb (2011) mengemukakan bahwa ibu dari anak autis memiliki tingkat stres

(16)

Stres ialah kondisi terjadinya kesenjangan atau ketidaksesuaian tuntutan

yang dihasilkan oleh transaksi antara individu dan lingkungan dengan sumber

daya biologis, psikologis atau sistem sosial yang dimiliki individu tersebut yang

akan mempengaruhi kognisi, emosi dan perilaku sosialnya (Sarafino, 2011).

Salah satu sumber stres yang dikemukakan oleh Sarafino ialah bersumber

dari keluarga. Penyakit yang dialami anggota keluarga menjadikan anggota

keluarga lainnya harus mampu memahami dan beradaptasi dengan perilaku yang

berubah dikarenakan adanya anggota keluarga yang sakit (Sarafino, 2011). Dalam

sebuah keluarga yang memiliki anak autis, setiap anggota keluarga harus

melakukan penyesuaian terkait karakteristik anak autis, khususnya ibu yang

berperan penting dalam merawat anak. Kondisi ibu yang terbatas dalam

mengasuh, terkadang menjadikan ibu stres (Hutten, 2009).

Pisula (2011) menyatakan terdapat tiga penyebab utama stres ibu dari anak

autis, yaitu (1) Karakteristik perilaku anak, seperti interaksi sosial yang minim,

perilaku repetitif, ketidakmampuan menunjukkan emosi; (2) kurangnya dukungan

dari profesional yang tepat, hal seperti ini mengakibatkan hubungan orangtua

dengan profesional tidak efektif yang berdampak pada akses atas dukungan medis

maupun edukasi pada anak tidak berjalan dengan baik; (3) Sikap dari lingkungan

sosial atas kondisi anak, sikap cenderung negatif dari lingkungan terhadap anak

autis merupakan salah satu penyebab stres dari ibu anak autis. Lingkungan sosial

yang tidak mendukung, seperti orang disekitar tidak memahami keterbatasan

anaknya, bahkan mencibiri atau memandang dengan tatapan yang aneh,

(17)

Banyaknya gejala dari anak autis juga menjadikan ibu stres dalam

mengasuh anak. Berbagai kesulitan yang dialami ibu dalam mengasuh anak autis

diantaranya, dalam hal mengajar dan berkomunikasi dengan anak sangatlah sulit

karena anak bermasalah dalam bahasa dan mengekspresikan emosinya, harus

selalu waspada dengan perilaku anak yang suka menyerang, perawatan yang

ekstra karena anak autis tidak mampu merawat dirinya sendiri, memenuhi semua

kebutuhan anak autis, kebutuhan sekolah dan kesehatan anak, bahkan stigma

masyarakat tentang anak autis (Phetrasuwan & Miles, 2009).

Hasil penelitian sebelumnya terkait dengan anak autis juga mendukung

pendapat bahwa karakteristik dari anak autis dapat mengarahkan ibu dalam

kondisi stres. Tomanik (dalam Whitman & Ekas, 2010) menemukan bahwa

terdapat tingkat stres yang tinggi pada ibu dari anak autis disebabkan oleh

iritabilitas, tidak bergairah, hiperaktif, ketidakmandirian, penurunan komunikasi

dan ketidak-tertarikan sosial yang dimiliki anaknya. Davis & Carter (2008) juga

menyatakan bahwa penurunan kemampuan sosial dari anak autis merupakan

prediktor stres bagi ibu dari anak autis. Lebih khusus lagi, kesusahan dalam

mengekspresikan verbal, ketidaksesuaian kognitif, menyakiti diri sendiri ketika

kesal merupakan salah satu faktor terberat yang menyebabkan stres dari ibu

Referensi

Dokumen terkait

Penamaan ―Islam Liberal‖ yang baru beberapa tahun belakangan populer, hanyalah merupakan reinkarnasi dari istilah yang pernah digunakan baik secara eksplisit maupun

IKIP Padang yang menjadi pembahas utama dalam seminar penelitiarl.. Kami yakin tanpa dedikasi dan kerja sama yang

Selain itu program ini dapat menyajikan perhitungan tarif parkir serta informasi yang dibutuhkan bagi customer maupun operator dengan akurat, cepat, dan efisien dibandingkan

3.1.2.2 Peserta didik dapat menjelaskan paham kolonialisme dan perkembanganya di negara Eropa. 3.1.3.1 Peserta didik dapat menjelaskan sebab munculnya Revolusi Industri, makna

Situs pemesanan tiket kereta ini dibuat melihat kondisi sekarang dimana keterbatasan.jumlah petugas di loket loket penjualan tiket juga menyebabkan kesulitan dalam melayani

Penulis sekiranya dapat memberikan alternatif pilihan dalam pengaturan lampu lalu lintas tersebut sehingga dapat mengurangi kemacetan pada suatu

Akan tetapi, untuk menjaga hubungan- nya dengan Nyai Pandanwungu, mertuanya, itu tidak meruncing, Ni Kembang Arum mengurungkan kembali niatnya untuk menceritakan hal

Berdasarkan data yangtelah yang didapat dari perusahaan padatabel 4.3 makaberikutini saya akan diuraikan varian (penyimpangan) yang terjadi pada masing-masing biaya