RANGKUMAN
HUKUM KELUARGA & WARIS ADAT
Penyusun:
Daya Perwira Dalimi
(Pertemuan Kesatu – 1 Maret 2012)
INFORMASI UMUM/PEMBUKAAN
1. Hukum Orang/Pribadi adalah Hukum untuk manusia yang sudah dewasa dan dapat dikatakan
sebagai Hukum yang membicarakan masalah kedewasaan. Jika dikaitkan dengan Hukum, maka seseorang hanya dapat diminta pertanggungjawaban jika sudah Dewasa. Ukuran kedewasaan diatur lebih detil dalam BW dan UU1/1974, yang mana batas usianya berbeda.
2. Ukuran Kedewasaan Berdasarkan Hukum Adat:
Kedewasaan seseorang tidak ada kaitannya dengan Umur seseorang, melainkan seseorang dianggap dewasa jika seseorang tersebut sudah menikah. Karena dengan menikah, dapat
melaksanakan hak dan kewajiban. Dan seseorang dapat menikah jika hanya sudah Akil Baligh. Dengan demikian, menurut Hukum Adat, kedewasaan seseorang itu jika sudah terjadi Akil Baligh dan tidak didasarkan pada batas usia.
Dewasanya seseorang dalam Hukum Adat, juga tergantung dari sikap tindak seseorang tersebut di
dalam masyarakat. Contohnya: (1) anak 10 tahun yang menandatangani perjanjian bisa dianggap dewasa, karena ternyata dia sudah bertindak dewasa, karena menjadi tulang punggung bgi keluarganya. keturunan laki2, dimana hanya anak2 laki saja yang memperoleh
4. Pola Menetap setelah Menikah – Keluarga Luas (Extended Familiy)
a. Keluarga luas Bilokal (Utrolokal): keluarga yang berdasarkan adat Biloka, dimana pola
menetapnya bebas yaitu dapat tinggal di kediaman keluarga Suami atau Istri, sehingga keluarga ini akan terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak laki2 dan perempuan
yang mereka miliki
b.Keluarga luas Patrilokal (Virilokal): keluarga yang berdasarkan adat virilokal, dimana pola
menetapnya tinggal pada kerabat suami, sehingga keluarga ini akan terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak laki2 yang mereka miliki
c. Keluarga luas Matrilokal (Uxorilokal): keluarga yang berdasarkan adat uxorilokal, dimana pola
menetapnya tinggal pada kerabat Istri, sehingga keluarga ini akan terdiri dari keluarga inti senior
PERKAWINAN ADAT
5. Hukum Perkawinan Adat
Perkawinan adat sangat dipengaruhi/ditentukan oleh sistem keluarga, yaitu Patrlineal, Matrilineal dan Bilateral, dimana setiap sistem keluarga tersebut mempunyai sistem perkawinan
yang berbeda. Dengan kata lain, sistem keluarga yang berbeda, akan melahirkan sistem
perkawinan yang berbeda. Contohnya Perkawinan Batak sangat dipengaruhi sistem Patrilinial,
Minang sistem Matrilinial, dan Jawa sistem Bilateral
Pengertian Perkawinan Adat adalah berbeda dengan pengertian Perkawinan menurut UU,
dimana menurut Hukum Adat, dalam perkawinan tidak ada suatu ikatan lahir bathin.
Perkawinan adalah suatu persoalan yang menyangkut masalah keluarga dan masalah
masyarakat. Dengan demikian menurut Hukum Adat, perkawinan adalah bukan ikatan seorang laki2 dan perempuan, tetapi ikatan antara dua keluarga (Masyarakat). Jadi prinsipnya menurut Hukum Adat walaupun terjadi perkawinan, suami istri tetap terikat dengan hukum keluarga masing2. Contohnya adalah dalam hukum warisnya, dimana seorang istri/suami ketika pasangannya
meninggal,bukanlah menjadi ahli waris, karena diantara mereka tidak ada ikatan keluarga.
6. Sistem Perkawinan Adat: sistem perkawinan adat tergantung dari sistem keluarganya, yang terbagi
menjadi:
a. Sistem PATRILINEAL
Perkawinan tidak boleh terjadi di dalam Klen, tapi harus diluar Klen, yang dinamakan
Perkawinan EKSOGAMI
Klen adalah kelompok orang dimana orang2 didalam kelompok itu mempunyai ikatan keluarga/darah, melalui penghubung perempuan (Matrilineal) atau Penghubung Laki2
(Patrilineal). Klen juga dapat disebut dengan Marga. Dengan demikian, satu klen bisa dikatakan satu keluarga, sehingga tidak dapat terjadi suatu perkawinan didalam klen yang sama
Contoh:
Dalam Patrlineal jika terdapat pasangan yang berasal dari satu Marga (terhubung oleh garis laki2), maka tidak akan pernah bisa menikah, karena mereka sebenarnya adalah satu Keluarga
Note: Jika dilihat di gambar, F tidak akan pernah bisa menikah dengan E, karena F berasal dari Marga yang sama (Satu Klen) dengan E, dimana terhubung melalui garis laki2, yaitu melalui Ayahnya (D), yang mempunyai Bapak yang sama (A) dengan Ayahnya E (C). Perkawinan
tersebut dinamakan Perkawinan Endogami.
Hubungan hukum seorang Istri dengan keluarga asalnya akan terputus dan PINDAH
hubungan hukumnya ke keluarga suaminya begitu si Istri menikah dengan sistem Patrilineal. Dan tempat tinggal Istri pun harus di tempat keluarga Laki2 (Suami), yang disebut
PATRILOKAL Hal ini dikarenakan anak yang nantinya dilahirkan oleh pasangan suami istri
tersebut akan menjadi keluarga (hubungan darah) dengan pihak laki2, sehingga harus bertempat tinggal di rumah pihak laki2 (Suami).
Status Istri yang menikah dengan sistem Patrilineal adalah PINDAH ke kekeluarga pihak Laki2 (suami). Dengan pindahnya status istri, maka keluarga dari Pihak Istri tentunya akan
kehilangan sesuatu (Nilai Magis) karena berpindahnya Istri ke keluarga Laki2. Oleh karena
Barang Magis tersebut dapat disebut dengan Barang JUJUR (orang Batak menyebutnya
SINAMOT) , yaitu barang yang WAJIB diserahkan pihak laki kepada KELUARGA pihak perempuan, yang berfungsi untuk mengganti nilai magis dari Perempuan yang ingin dinikahi
tersebut
Besarnya nilai tebusan (Barang JUJUR) tersebut, tergantung dari permintaan Pihak Keluarga Perempuan dan tergantung juga dengan status sosial keluarga perempuan tersebut.
Jika laki2 tidak dapat memenuhi Barang Jujur yang diminta, maka Perkawinan tidak dapat terjadi. Dengan demikian, besarnya Barang Jujur itu ditentukan sebelum pernikahan, karena
Barang Jujur itu adalah sebagai syarat untuk terjadinya perkawinan
(Pertemuan Kedua – 15 Maret 2012)
b. Sistem MATRILINEAL – Perkawinan SEMENDO
Perkawinan tidak boleh terjadi di dalam Klen, tapi harus diluar Klen, yang dinamakan
Perkawinan EKSOGAMI
Dalam Perkawinan Semendo, seoranga Suami didalam keluarga istrinya adalah hanya sebagai
TAMU, atau yang disebut dengan ORANG SEMENDO. Bentuk perkawinannya adalah
Perkawinan Semendo
\
Karena Suami hanya berstatus sebagai Tamu di tempat istri dan keluarganya, tentunya Suami ini TIDAK MEMPUNYAI TANGGUNG JAWAB terhadap Istri dan anak2nya. Seorang
suami hanya bertanggung jawab terhadap keponakan2nya saja
Jika ada keturunan (anak), maka keturunan tersebut akan tinggal di tempat Istri, karena
Anaknya menjadi tanggung jawab istri dan keluarga istrinya. Pola menetap tempat tinggal
Suami di tempat Istrinya ini disebut dengan MATRILOKAL
Dalam prakteknya, karena suami hanya bertindak sebagai tamu dirumah istrinya, biasanya Suami tidak boleh berada di rumah istrinya pada siang hari, dan biasanya hanya datang pada
malam hari saja, karena Fungsi Laki2 dalam adat Matrilokal adalah hanya sebagai Pemberi Keturunan
Karena suami hanya sebagai Tamu, maka dalam perkawinan Semendo ini TIDAK ADA
KEHIDUPAN BERSAMA. Baik suami dan istri tetap terikat pada hubungan keluarga masing-masing
c. Sistem BILATERAL
Bentuk perkawinannya adalah Perkawinan BEBAS, yang mana istilah bebas ini berasal dari
sifatnya tidak terikat oleh sifat2 atau ciri2 akibat perkawinan Jujur dan Semendo, yaitu tempat tinggal ditentukan bersama oleh suami istri yang disebut dengan BILOKAL
Sistem perkawinannya adalah ELEOTHEROGAMI, yaitu sistem perkawinan yang tidak
terikat kepada sistem eksogami atau endogami
Anak bisa tinggal di tempat tinggal Ibu atau Ayah, tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. Setelah menikah, biasanya keluarga tersebut akan keluar dari keluarga induk dan
membentuk keluarga sendiri
Sebenarnya pada Perkawinan Bebas ini, suami istri TIDAK TERIKAT satu sama lainnya, hanya ada TEMPAT TINGGAL BERSAMA (Secara formal). Masing2 suami dan istri tetap
terikat dengan keluarganya masing2.
KESIMPULAN PERKAWINAN TIGA SISTEM
Sahnya perkawinan adat juga terkait/dipengaruhi oleh hukum agamanya, artinya Perkawinan SAH jika sudah dilakukan menurut HUKUM AGAMA. Sama halnya dengan syarat/larangan perkawinan, juga terkait/dipengaruhi oleh hukum agama, jadi disamping larangan menurut Hukum Adat, juga berlaku larangan menurut hukum agama
8. KEMUNGKINAN terjadinya suatu Sistem Perkawinan pada Sistem Kekeluargaan yang lain Pertanyaan: apakah masing2 perkawinan bisa terjadi pada sistem kekeluargaan yang lain?
Jawaban: Meski hampir semua Sistem Perkawinan tidak dapat terjadi pada system keluarga lainnya, ternyata ada System Perkawinan yang dapat terjadi pada system keluarga lainnya
Perkawinan JUJUR TIDAK MUNGKIN TERJADI pada Matrilineal dan Bilateral, karena ,
dimana Perkawinan JUJUR hanya terjadi/Ada pada Perkawinan Patrilineal (perempuan pindah ke laki), karena pada Matrilineal, perempuan menjadi penghubung garis keturunan.
Perkawinan JUJUR juga TIDAK MUNGKIN TERJADI pada Bilateral, karena salah satu ciri Perkawinan JUJUR adalah eksogami (ada Klen), sedangkan Bilateral bukan
Perkawinan BEBAS juga TIDAK MUNGKIN TERJADI pada Patrilineal dan Matrilineal,
karena pada Patrilineal dan Matrilineal terikat pada sistem keluargaan cara menentukan tempat
tinggal (ada klen). Patrilineal dan Matrilineal adalah Eksogami.
Sedangkan untuk Perkawinan SEMENDO (Matrilokal) DAPAT TERJADI pada Sistem Masyarakat Bilateral dan Patrlineal, yang artinya Pada perkawinan Bilateral dan Patrilineal, dapat ditemukan perkawinan yang ciri2nya sama dengan Perkawinan Semendo, yaitu tempat
tinggal di tempat istri (pada Bilateral dan Patrilineal Beralih-alih) dan anak menghubungkan pada
Istri (hanya terjadi pada Patrilineal Beralih alih).
9. CIRI CIRI PERKAWINAN SEMENDO yang terjadi pada Sistem Masyarakat lainnya:
A. BILATERAL
Pada Sistem Perkawinan masyarakat Jawa Barat (Sunda), ada perkawinan “Ngalindung
Kadelung”, yang berarti Berlindung dalam Sanggul.
Perkawinan ini adalah perkawinan antara seorang Janda yang kaya/mapan dengan seorang
pemuda yang Miskin. Fungsi perkawinan bagi Janda untuk menjaga nama baik, dan fungsi
perkawinan bagi Pemuda adalah untuk menumpang hidup, sehingga pemuda harus tinggal di
tempat istri. Dengan demikian, sifat perkawinan ini adalah Matrilokal dimana Laki Laki tinggal
B. PATRILINEAL
Patrilineal ini sendiri terbagi menjadi 2, yaitu:
PATRILINEAL MURNI (Batak): apapun bentuk perkawinannya, penghubung garis keturunan TETAP pada Laki Laki
PATRILINEAL BERALIH ALIH: jika seorang perempuan dalam sistem Patrilineal
melakukan perkawinan seperti Semendo, maka perempuan tersebut bisa menjadi penghubung garis keturunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada Patrilineal Beralih Alih ini,
Penghubung Garis Keturunan Berpindah/Beralih dari Laki-Laki ke Perempuan.
1) Bali & Lampung
Sistem warisnya pada adat Bali & Lampung adalah MAYORAT LAKI LAKI, yaitu yang
menjadi Ahli waris pada sistem ini adalah Anak Laki Laki Tertua.
Permasalahan terjadi ketika didalam suatu keluarga tidak terdapat atau tidak mempunyai
anak laki2. Jalan keluar untuk permasalahan tersebut adalah salah satu dari anak perempuan ini TIDAK BOLEH melakukan perkawinan dimana si perempuan harus keluar
dari rumah atau melakukan perkawinan Jujur.
Sehingga si Perempuan harus TETAP tinggal di Rumah orang tuanya, dan suaminya lah yang harus tinggal/pindah ke tempat istrinya, seperti layaknya perkawinan Semendo. Tujuan perkawinan ini adalah agar sang Perempuan tersebut yang menikah dengan ala
Semendo, dapat melahirkan seorang anak laki2 yang nantinya menjadi ahli waris dari
Kakeknya. Dengan demikian, Perempuan tersebut akan menjadi penghubung garis
keturunan.
Perkawinan semendo dalam Sistem Patrilineal ini terjadinya terpaksa, dimana hanya terjadi jika tidak ada keturunan laki-laki dalam suatu keluarga.
Pada adat Bali, perempuan yang ingin menikah ala Semendo, sebelum dia menikah harus
diadakan upacara adat terlebih dahulu, yang tujuannya untuk merubah status perempuan tersebut menjadi lelaki. Upacara tersebut dinamakan NYENTANGAYANG. Perempuan
tersebut namanya SENTANA, suaminya namanya SENTANA TARIKAN. Perkawinan ini disebut dengan Perkawinan SEMENDO NYABURIT
2) Tanah Semendo
Sistem warisnya pada Tanah Semendo adalah MAYORAT PEREMPUAN, yaitu yang
menjadi Ahli waris pada sistem ini adalah Anak Perempuan Tertua.
Dengan demikian, didalam setiap keluarga Tanah Semendo, pasti ada kawin SEMENDO. Dimana, anak perempuan tertua HARUS melakukan Perkawinan Semendo, karena harus ada salah satu anak perempuannya yang menjadi ahli waris dalam keluarganya, dan tidak bisa melakukan perkawinan JUJUR.
3) Rejang
Pada masyarakat Rejang ini, Perkawinan Semendo ini adalah PILIHAN. Setiap keluarga
bisa memilih perkawinan JUJUR atau SEMENDO.
Sebagai masyarakat Patrilineal, tentunya Perkawinan Jujur adalah pilihan utama (pokok) bagi masyarakat Rejang. Perkawinan Semendo ini hanya akan dipilih jika suatu keluarga
merasa anggota laki-lakinya sedikit dan membutuhkan keturunan laki-laki.
Perkawinan Semendo dalam Rejang ini terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan dari bagaimana pembagian keturunan dan pembayaran uang adat, yaitu:
a. Semendo RAJO RAJO
Semua anak menjadi hak bagi ayah dan ibunya dan sang Suami tidak perlu
membayar uang adat sepeser pun kepada Pihak Istri, karena sebenarnya pada Rajo
Rajo, sang suami mempunyai bargain position yang kuat di hadapan istrinya, dimana sang Istri lah yang sebenarnya mempunyai kepentingan yang lebih besar untuk menikahi seorang laki laki dengan model Perkawinan Semendo
b. Semendo BERADAT
Semendo Penuh Beradat: Ketika uang adat yang diminta dari Pihak Perempuan, dipenuhi seluruhnya oleh Pihak Laki Laki. Dan pengasuhan Anak pun dibagi dua, setengah menjadi hak ayah (suami) dan setengahnya menjadi hak ibu (istri)
Semendo Setengah Beradat: Ketika uang adat yang diminta dari Pihak Perempuan, dipenuhi setengahnya oleh Pihak Laki Laki. Semua anak harus ikut Ibu, kecuali satu anak yang bisa ikut ayahnya.
Semendo Kurang Beradat: Ketika uang adat yang diminta dari Pihak Perempuan, dipenuhi kurang dari setengahnya oleh Pihak Laki Laki. Hak pengasuhan anak seluruhnya terdapat pada Ibunya (Semua anak harus ikut Ibu). Jika suatu saat sang
Ayah ingin anaknya tersebut, maka sang Ayah dapat ‘membeli’ anaknya dari
Keluarga Istrinya. Suami masih mempunyai kesempatan untuk ‘membeli’
anaknya di lain kesempatan
c. Semendo TIDAK BERADAT
Ketika uang adat yang diminta dari Pihak Perempuan, tidak dipenuhi sama sekali oleh Pihak Laki Laki. Hak pengasuhan anak seluruhnya terdapat pada Ibunya (Semua anak harus ikut Ibu) dan Suami tidak mempunyai kesempatan selamannya untuk membeli anaknya dari Pihak Istri.
(Pertemuan Ketiga – 22 Maret 2012)
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN
10.Akibat Hukum perkawinan pada dasarnya menyangkut 3 hal, yaitu: Kedudukan suami istri,
Kedudukan anak dan Kedudukan Harta Kekayaan
11.KEDUDUKAN SUAMI ISTRI
A. Prinsip Umum: BW DAN UU NO 1/1974:
Menurut Hukum Barat (BW) dan UU 1/1974, Jika terjadi perkawinan, maka suami istri itu
bersatu dalam suatu ikatan keluarga dan keduanya mempunyai kedudukan yang sama dan
mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap anak dan kehidupan keluarga. Intinya, jika terjadi perkawinan, suami istri itu menjadi satu ikatan hak dan kewajibannya
B. Prinsip Hukum Adat – Secara Umum:
Menurut Hukum Adat, perkawinan itu tidak menyangkut seorang laki2 dan seorang perempuan saja, perkawinan tidak menyangkut ikatan lahir bathin laki2 dan perempuan, tapi perkawinan menyangkut hubungan keluarga dan hubungan masyarakat. Oleh karena itu akibat perkawinan ini sangat terkait kepada hubungan keluarga dan hubungan masyarakat.
Dengan demikian, sebenarnya diantara suami istri pada dasarnya tidak ada ikatan hak dan kewajiban, kecuali ikatan hak dan kewajiban secara moral. Jika terjadi perkawinan, baik suami maupun istri tetap didalam keluarga masing. Jika terjadi perkawinan, yang berubah adalah ada kehidupan bersama.
1) PATRILINEAL - PERKAWINAN JUJUR (BATAK)
Antara suami istri akan timbul hubungan hak dan kewajiban, oleh karena ketika terjadi perkawinan si Istri WAJIB pindah ke keluarga suami. Dengan demikian, suami dan istri akan menjadi satu
KEDUDUKAN suami Istri dalam Perkawinan Jujur adalah TIDAK SEIMBANG/TIDAK SAMA, dalam arti kedudukan dan kewenangan suami LEBIH KUAT dari ISTRI. Hal ini karena, walaupun si Istri masuk kedalam keluarga suami, akan
tetapi secara KLEN, si istri itu tetap Orang Lain. Sehingga dapat dikatakan, meski Istri sudah masuk kedalam keluarga suami, tapi KLEN Istri tidak akan pernah berubah, sehingga istri itu pun tetap dianggap orang lain, yang berarti si Istri tidak satu KLEN
dengan suami dan keluarga suaminya.
Terhadap HARTA, Suami berkuasa penuh atau mempunyai kewenangan penuh
terhadap semua harta, sedangkan Istri kewenangannya terbatas. Kewenangan Suami itu
adalah Harta Pokok dan Buah Harta Pokok, sedangkan Kewenangan Istri adalah hanya
Buah Harta Pokok. Contohnya: Suami mempunyai kewenangan atas Pohon Kelapa dan
Buah Kelapanya, sedangkan Istri hanya buah kelapanya saja
Akibat sistem perkawinan Jujur ini, mengakibatkan secara umum Dalam Masyarakat
Patrilineal, KEDUDUKAN Laki dan Perempuan adalah TIDAK SAMA, dimana laki2
2) MATRILINEAL – SEMENDO (MINANGKABAU)
KEDUDUKAN Suami Istri didalam ikatan Perkawinan adalah TIDAK BISA DIUKUR
apakah suami dan istri punyak kedudukan yang sama atau tidak, oleh karena suami istri
TETAP didalam keluarga masing-masing.
Dengan demikian, dapat dikatakan pada Perkawinan Semendo itu sama sekali tidak
berpengaruh terhadap KEDUDUKAN Suami Istri, karena ketika terjadi perkawinan,
suami hanya berfungsi sebagai TAMU dalam keluarga istri. Jadi sebenarnya, dalam perkawinan Matrilineal, Suami betul-betul terpisah (tidak menjadi satu) dari Istri, kalaupun Suami tinggal bersama dengan Istri, itu hanya bersatu secara ikatan moral.
Sedangkan, kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Masyarakat Matrilineal adalah Sama
3) BILATERAL - JAWA
KEDUDUKAN Suami Istri pada perkawinan Bilateral adalah SAMA. Karena meski
sebenarnya antara suami dan istri itu tetap terpisah, akan tetapi pada masyarakat Bilateral ada kehidupan bersama, karena tempat tinggalnya ditentukan bersama, sehingga bagi anak, hubungan dengan ayah dan ibunya adalah sama.
Kedudukan laki-laki dan Perempuan dalam Masyarakat Bilateral juga SAMA 12.KEDUDUKAN ANAK
A. Prinsip Umum:
KEDUDUKAN anak Akibat hukum perkawinan adat adalah SEPENUHNYA ditentukan oleh SISTEM KELUARGA (Patrilineal, Matrilineal dan Bilateral), kecuali pada Sistem Patrilineal Beralih-Beralih, yaitu Bali, Lampung, Tanah Semendo dan Rejang. Karena, pada keempat masyarakat tersebut, kemana anak itu menghubungkan diri, akan tergantung kepada perkawinan orang tuanya. Jika orang tuanya melakukan perkawinan Jujur, maka si anak akan
ikut kepada ayahnya. Dan jika orang tuanya melakukan perkawinan semendo, si anak akan ikut kepada ibunya
B. Hukum Adat
1) PATRILINEAL
Anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab ayah dan keluarga ayahnya. Karena si anak hanya mempunyai hubungan dengan ayah dan keluarga ayahnya
Bagi anak, Semua orang yang berasal dari keluarga Ibunya, adalah bukan termasuk keluarganya
2) MATRILINEAL
Anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab ibu dan keluarga ibunya. Karena si anak hanya mempunyai hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya
Bagi anak, Semua orang yang berasal dari keluarga ayahnya, adalah bukan termasuk keluarganya
3) BILATERAL
13.KEDUDUKAN HARTA KEKAYAAN
A. Prinsip Umum
Pada dasarnya, jika terjadi perkawinan, maka akan timbul HARTA PERKAWINAN. Yang dimaksud dengan HARTA PERKAWINAN adalah harta yang dipunyai/dimiliki oleh suami istri yang terikat dalam suatu perkawinan, yang berfungsi untuk memenuhi dan menjaga
kebutuhan kehidupan materi suami istri dan anak-anaknya. Hal ini perlu ditekankan, karena
dalam perkawinan, Harta yang dimiliki oleh suami dan istri dapat berbeda (tidak sama)
Harta Perkawinan terdiri dari 2 (merupakan gabungan dari), yaitu:
1) HARTA PERSEORANGAN: harta yang dimiliki masing-masing dari suami istri, terdiri
dari:
- Harta perseorangan yang diperoleh sebelum perkawinan, baik merupakan hasil usaha atau bukan dari hasil usaha (waris)
- Harta perseorangan yang diperoleh selama perkawinan perkawinan, bukan karena usaha. Ex. Harta waris yang didapatkan setelah perkawinan
2) HARTA BERSAMA: harta yang dimiliki secara bersama-sama, berupa harta yang diperoleh HANYA dari hasil usaha, baik usaha sendiri (masing2 suami dan istri) maupun usaha
bersama (usaha suami dan istri bersama) pada saat (selama) perkawinan berlangsung B. Prinsip Hukum Adat
Hukum Adat tidak mengenal dengan Percampuran Harta, sehingga tidak akan ada percampuran baik antara Harta Perseorangan dan juga Harta Bersama
Harta Bersama TIDAK TERDAPAT pada semua Perkawinan. Karena Harta bersama mempunyai syarat ada kehidupan bersama dan kehidupan yang seimbang, sehingga Harta
Bersama hanya ada pada:
1) Perkawinan Jujur: karena ada kehidupan bersama dan mempunyai status sosial sama.
Maksud status sosial yang sama itu dikaitkan dengan barang jujur. Artinya, ketika seseorang laki2 mampu membayar barang JUJUR, berarti laki2 tersebut mempunyai
status sosial dan kedudukan yang sama dengan keluarga istri. Karena barang jujur itu bersifat magis, dimana nilai magis Barang Jujur itu menggantikan nilai magis dari seorang wanita yang akan diambil.
2) Perkawinan Bebas: ada kehidupan bersama dan tidak ada persolan status sosial
- Jika ada Harta Bersama, maka kedudukan Suami Istri terhadap harta Bersama adalah SAMA, kecuali pada Perkawinan Jujur, dimana kewenangan Suami lebih besar terhadap Istri.
- Seperti pada orang Batak, kedudukan laki dan perempuan adalah berbeda, karena perempuan bukan ahli waris. Tetapi seorang ayah dapat memberikan harta kepada anak perempuannya, asal tidak menyangkut harta Pusaka
C. Prinsip BW
Pada dasarnya Harta Perkawinannya sudah bercampur jika terjadi perkawinan, tetapi dapat diadakan suatu perjanjian mengenai PEMISAHAN HARTA. Dengan kata lain, jika tidak ada suatu perjanjian mengenai pemisahan harta, maka akan terjadi percampuran harta.
Harta Bercampur jika TIDAK DIPERJANJIKAN D. Prinsip UU 1/1974
BAGAN AKIBAT HUKUM PERKAWINAN
Patrilineal Matrilineal Bilateral
1) Kedudukan Suami Istri dan Laki
Perempuan
Kedudukan Suami Istri dalam Perkawinan
Tidak Sama Tidak terdefinisikan
Sama
Kedudukan Laki dan Perempuan dalam
Masyarakat
Tidak Sama Sama Sama
2) Kedudukan Anak Berada pada
ayahnya
Berada pada ibunya
Berada pada ayah dan ibu
(Pertemuan Keempat – 29 Maret 2012)
AKIBAT PERCERAIAN
14.Perceraian sah jika dilakukan menurut hukum agama
15.Akibat Hukum Perceraian, sama halnya dengan perkawinan juga menyangkut 3 hal, yaitu: Kedudukan suami istri, Kedudukan anak dan Kedudukan Harta Kekayaan
16.KEDUDUKAN SUAMI ISTRI
Prinsip Hukum Adat – Secara Umum:
Dalam hukum adat, perkawinan tidak menyangkut ikatan lahir bathin seorang laki dan perempuan saja, tapi menyangkut ikatan hubungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu pada dasarnya, baik suami maupun istri tetap didalam keluarga masing. Seperti Bilateral, meski ada
kehidupan bersama, karena pola menetap tinggalnya adalah Bilokal, bisa tinggal di tempat suami
atau istri, tapi sebenarnya secara yuridis diantara suami tetap berada di keluarganya
masing-masing
Dengan melihat prinsip diatas, jika terjadi perceraian, yang terjadi adalah meski secara formal ikatan suami istrinya berakhir, tetapi ikatan materiilnya dari awal sudah tidak ada
1) PATRILINEAL - PERKAWINAN JUJUR (BATAK)
Jika terjadi perceraian, istri tidak hanya bercerai dengan suaminya, tapi juga bercerai
dengan keluarga suaminya. Hal ini karena ketika terjadi perkawinan, timbul suatu ikatan antara
istri dengan suami dan juga dengan keluarga suaminya. Jadi ketika bercerai, Istri harus keluar dari keluarga suaminya dan kembali keluarga asalnya
Jadi perceraian pada perkawinan Jujur akan terdiri dari 2 macam cerai, yaitu Cerai dengan
Suami dan Cerai dengan Keluarga Suami
a. Perceraian Murni
- Untuk perceraian murni (suami istri masih hidup), maka kedua macam cerai (cerai dengan
suami dan cerai dengan keluarga Suami) akan terjadi pada saat yang bersamaan.
- Perceraian antara suami dan antara keluarga suami harus dilakukan melalui Rapat Adat,
kalau di Batak disebut HASIRANGAN. Pada rapat adat tersebut akan ditentukan sekaligus
berapa bagian untuk istri dari harta bersamanya. Ukurannya adalah besar kecilnya kesalahan istri. Makin besar kesalahan istri, akan makin kecil bagiannya.
b. Perceraian karena Kematian
- Untuk perceraian karena kematian, jika yang meninggal istri maka tidak akan menjadi masalah.
- Yang menjadi masalah jika yang meninggal adalah suami. Jika yang meninggal suami,
maka Istri tetap di keluarga suami dan tetap menjadi tanggung jawab keluarga suami.
Jika si istri ingin menikah lagi, istri harus menikah dengan laki-laki yang berasal dari
keluarga suami.
- Jika istri ingin menikah dengan laki-laki yang bukan dari keluarga suami, maka istri harus melakukan Perceraian terlebih dahulu kepada keluarga suaminya. Minta cerai
2) MATRILINEAL – MINANGKABAU
Jika terjadi Perceraian pada perkawinan Semendo Minangkabau, tidak akan mempunyai
akibat terhadap hubungan suami istrinya, karena DARI AWAL perkawinan pun diantara suami istri tidak terjadi suatu ikatan, karena suami yang hanya berfungsi sebagai TAMU di
tempat istri. Dengan kata lain, jika terjadi perceraian, antara suami dan istri akan berpisah begitu saja tanpa ada akibat hukum. Suami tidak perlu datang lagi sebagai tamu.
Secara materiil, tidak ada ikatan apapun antara suami dan istri, dan juga dengan para keluarganya
3) BILATERAL - JAWA
Jika terjadi perceraian, maka ikatan perkawinan antara suami istrinya akan putus dan tidak
hidup bersama lagi. Untuk ikatan keluarganya tidak akan masalah, karena dari awal
perkawinan, secara yuridis, suami dan istri terpisah dalam keluarganya masing-masing.
Tanggung jawab suami dan istri terhadap anak adalah sama besar.
Sama halnya dengan Bilateral, secara materiil tidak ada ikatan apapun antara suami dan istri serta para keluarganya (karena suami istri tetap pada keluarganya masing2), hanya secara formil antara suami dan istri bersatu karena hidupnya bersama.
17.KEDUDUKAN ANAK A. Prinsip Umum:
Jika terjadi perceraian, Kedudukan anak jelas SEPENUHNYA tergantung dari sistem
kekeluargaan.
B. Hukum Adat 1) PATRILINEAL
Anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab AYAH dan keluarga ayahnya. Karena si anak
hanya mempunyai hubungan dengan ayah dan keluarga ayahnya. Jadi jika terjadi perceraian, maka kedudukan anak akan tetap berada pada keluarga ayahnya dan anak tersebut putus hubungan dengan ibunya.
2) MATRILINEAL
Anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab IBU dan keluarga ibunya. Karena si anak
hanya mempunyai hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Jadi jika terjadi perceraian, maka kedudukan anak akan tetap berada pada keluarga ibunya dan anak tersebut putus hubungan dengan ayahnya
3) BILATERAL
Anak mempunyai hubungan baik dengan AYAH maupun dengan IBU, baik dengan
keluarga ayah maupun keluarga ibu. Dengan demikian, jika bercerai anak menjadi
tanggung jawab bersama, baik ayah dan ibu, tergantung dari kesepakatan. Ini khusus untuk anak yang masih dibawah umur.
Pada bilateral akan timbul masalah terkait dengan Rumah dan anak yang dibawah umur, karena suami dan istri mempunyai tanggung jawab yang sama besar.
18.KEDUDUKAN HARTA KEKAYAAN A. Prinsip Umum:
Jika perceraian karena kematian, tentunya harta peninggalannya menjadi harta waris dan pembagiannya akan menggunakan aturan-aturan hukum waris
Jika perceraian murni, harta perkawinan akan menjadi bubar, dengan arti harta perorangan akan kembali kepada yang memilikinya dan harta bersama akan dibagi menjadi 2.
B. Hukum Adat
1) PATRILINEAL – JUJUR
Jika terjadi perceraian, bagian istri dari harta bersama akan tergantung dari besar kecilnya kesalahan istri dan harta perseorangannya akan kembali istri. Pada perkawinan Jujur, pada saat akan menikah, biasanya Istri akan diberikan (dibekali) harta oleh keluarganya dan itulah yang akan menjadi harta perseorangan dari Istri.
2) MATRILINEAL
Jika terjadi perceraian, maka tidak akan berakibat apa2, karena pada perkawinan matrilineal tidak akan ada harta bersama, karena antara suami dan istri benar-benar terpisah. Dimana seorang suami sama sekali tidak mempunyai tanggung jawab secara finansial kepada istri dan anaknya.
3) BILATERAL
(Pertemuan Kelima & Keenam – 19&26 April 2012)
HUKUM WARIS
19.Hukum Waris adalah peraturan yang mengatur bagaimana berpindahnya harta seseorang (Harta yang
positif dan harta yang negatif/Hutang) yang meninggal (Pewaris) kepada anggota keluarganya yang ditinggalkan (Ahli Waris) , bagaimana proses, sistemnya.
Hukum waris tidak dapat dipisahkan dengan Hukum Perkawinan, karena Hukum Waris ini merupakan kelanjutan dari Hukum Perkawinan
20.Hukum Waris hanya akan digunakan ketika ada orang yang Meninggal (Pewaris), Keluarga yang
ditinggalkan (Ahli Waris), dan harta yang ditinggalkan (Harta Waris), atau yang disebut dengan UNSUR WARIS
Dalam BW, jika ternyata ada Pewaris dan Harta Waris, TETAPI tidak ada Ahli Waris, maka Harta
Warisnya akan dimasukkan kedalam Balai Harta Peninggalan Waris
Dalam Hukum Adat, jika ternyata ada Pewaris dan Harta Waris, TETAPI tidak ada Ahli Waris, maka Harta Warisnya akan jatuh kepada masyarakat hukum adat
21.SIAPA YANG MENJADI PEWARIS
Secara umum, Pewaris adalah bisa Laki-laki atau Perempuan, KECUALI pada Masyarakat PATRILINEAL dengan Perkawinan JUJUR.
Pada Masyarakat PATRILINEAL, seorang Perempuan hanya dapat menjadi Pewaris jika:
Belum menikah
Sudah bercerai dengan suaminya dan kembali kepada keluarga asalnya.
Seorang perempuan dalam Masyarakat Patrilineal yang meninggal dalam ikatan Perkawinan Jujur, maka
OTOMATIS seluruh harta Perempuan tersebut akan DIKUASAI oleh Suaminya, dan BUKAN DIWARISI. Oleh karena itu, status Perempuan yang meninggal tersebut adalah BUKAN PEWARIS,
karena harta peninggalannya tersebut bukan diwarisi kepada suaminya, melainkan memang dengan sendirinya dikuasai oleh suami
23.SIAPA YANG MENJADI AHLI WARIS
Orang yang BERHAK menerima Harta Waris ini adalah semua orang yang mempunyai hubungan darah (anggota keluarga) yang ditinggalkan, baik kebawah (keturunan), ke atas (Orang Tua) dan kesamping (Saudara)
Secara umum, orang yang Dalam menentukan Ahli Waris, SANGAT DITENTUKAN oleh cara
Menarik Garis Keturunan, yaitu:
a. BILATERAL
Karena Hubungan darahnya ditarik melalui laki dan perempuan, maka semuanya dapat menjadi ahli waris, selama mempunyai Hubungan Darah. Dengan demikian, seorang anak dalam Bilateral adalah Ahli Waris dari Ayah dan Ibunya.
Contoh:Dari contoh ka sus No.22 diatas, yang akan menjadi Ahli Waris dalam Keluarga BILATERAL adalah: jika Suami yang meninggal adalah A hingga Q dan Jika Istri yang meninggal adalah 1 hingga 20
Sehubungan Istri adalah bukan ahli waris, maka ketika suaminya meninggal, sang istri
mempunyai hak untuk menolak membagi harta warisan kepada siapapun, sehingga si Istri dapat menguasai harta warisan tersebut, dengan alasan si Janda tidak MENDERITA/Teraniaya di akhir hidupnya
b. PATRILINEAL
Ahli Waris adalah siapapun yang mempunyai hubungan darah dan juga MERUPAKAN SATU
KLEN. Dengan demikian, walaupun seseorang mempunyai hubungan darah dengan Pewaris, tapi
belum tentu dapat menjadi Ahli Waris, jika ternyata tidak satu KLEN
Alasan Perempuan Tidak Bisa Menjadi Ahli Waris
Pada dasarnya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan adalah satu Klen dengan Ayahnya,
TETAPI dalam kaitannya dengan Hukum Waris yang menjadi Ahli Waris adalah HANYA ANAK LAKI saja. ALASANNYA adalah karena dipengaruhi oleh BENTUK PERKAWINAN JUJUR, dimana nantinya anak perempuan akan pindah ke keluarga suaminya.
Tetapi meski perempuan telah pindah kekeluarga suaminya akibat perkawinan Jujur, tetap saja, si perempuan tersebut bukan menjadi Klen suaminya, melainkan tetap pada Klen awalnya. Sehingga di keluarga suaminya pun, si Perempuan tersebut bukan menjadi AHLI WARIS. Inilah yang menjadi alasan, seorang PEREMPUAN TIDAK AKAN MENJADI AHLI WARIS dalam masyarakat Patrilineal
c. MATRILINEAL
Sama dengan Patrilineal, Ahli Waris adalah siapapun yang mempunyai hubungan darah dan juga
MERUPAKAN SATU KLEN.
Anak di Minangkabau TIDAK SATU KLEN dengan ayahnya, sehingga anak BUKAN AHLI
WARIS dari ayahnya, melainkan hanya Ahli Waris dari Ibunya saja.
Dengan demikian, khusus untuk Matrilineal, yang menjadi Ahli Waris dari seorang Laki-laki adalah BUKAN KETURUNANNYA (bukan kebawah), melainkan hanya Saudaranya (Kesamping) dan ke Ibunya (atas)
Persepsi masyarakat yang salah mengenai Laki-Laki Minangkabau bukan Ahli Waris
Laki-laki pada masyarakat Minangkabau, dalam prakteknya tidak pernah mempermasalahkan mengenai warisan, meski sebenarnya Laki-laki berhak mendapat harta warisan dengan
jumlah bagian yang SAMA dengan Perempuan. Dengan kata lain, Jatah Harta Waris untuk Laki-laki (Hak Pemakaian – Bukan Kepemilikan, karena Sistem Kolektif) adalah sebenarnya tetap ada, meski pada kenyataannya tidak pernah mempermasalahkan "jatahya" tersebut, dan lebih condong untuk memberikan jatahnya tersebut kepada Saudara perempuannya. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat Minangkabau, tugas seorang laki-laki adalah menambah harta Keluarganya.
24.KEDUDUKAN ANAK ANGKAT SEBAGAI AHLI WARIS – HANYA UNTUK BILATERAL
Dalam masyarakat Bilateral, dikenal dengan yang namanya ANAK ANGKAT, yaitu seseorang yang tidak ada hubungan darah, tetapi dijadikan sebagai keluarga. Bagi masyarakat Bilateral,
kedudukan ANAK ANGKAT adalah SAMA dengan keluarga lainnya, dimana ANAK ANGKAT juga merupakan Ahli Waris, selama proses pengangkatan anak angkat tersebut dilakukan secara sah dan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku.
Hanya saja, meski merupakan Ahli Waris, tetapi Anak Angkat hanya dapat memperoleh Harta
Pencarian dari Orang Tuanya saja, dan Anak Angkat tidak berhak atas Harta Asal/Harta Pusaka
orang tuanya.
Sedangkan, bagi Masyarakat Patrilineal dan Matrilineal TIDAK MENGENAL mengenai Anak
Angkat. Kalaupun bagi masyarakat Patrilineal mengangkat anak, PASTI akan mengambil dari
Keluarga Suami, dan Matrilineal akan mengangkat anak dari Keluarga Istri. Hal tersebut tidak dikategorikan sebagai Anak Angkat, tetapi bagian dari Keluarga juga.
25.PRINSIP KEWARISAN
Ahli waris adalah orang yang BERHAK menerima harta waris, tetapi orang yang Berhak
tersebut belum tentu menerima Harta Waris
Prinsip Kewarisan ini adalah suatu prinsip dasar yang akan memberikan petunjuk siapa saja yang berhak menjadi Ahli Waris.
Prinsip Kewarisan ini terbagi menjadi 2, yaitu:
A. Prinsip Umum:
- Prinsip Umum atau Prinsip yang digunakan oleh seluruh masyarakat adat (Patrilineal,
Matrilineal dan Bilateral) adalah seorang Ahli Waris HARUS mempunyai Hubungan
Darah dengan Pewaris, atau dengan kata lain selama seseorang mempunyai hubungan
darah dengan Pewaris, maka seseorang tersebut masuk sebagai kategori Ahli Waris.
- Dari Prinsip Umum tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasangan (suami/istri) dari seseorang yang meninggal adalah TIDAK termasuk sebagai Ahli Waris.
- Masyarakat Bilateral HANYA mengenal Prinsip Umum ini saja dalam menentukan seseorang yang dapat menjadi Ahli Waris, sehingga dapat dikatakan bagi masyarakat Bilateral, Ahli Waris adalah SEMUA orang yang mempunyai hubungan darah dengan Pewaris.
B. Prinsip Khusus – Hanya untuk Masyarakat PATRILINEAL dan MATRILINEAL
- Disamping harus mempunyai hubungan darah, juga Harus mempunyai HUBUNGAN
KLEN. Dengan kata lain, ahli waris harus satu klen dengan Pewaris
- Orang yang mempunyai Hubungan darah, belum tentu satu klen. Orang yang satu Klen, sudah pasti mempunyai hubungan darah
- KHUSUS pada Patrilineal Murni (Batak), berlaku Ketentuan tambahan yaitu Ahli
26.ATURAN UNTUK MENENTUKAN SIAPA DIANTARA PARA AHLI WARIS YANG AKAN MENERIMA WARIS
Dalam hukum Adat, untuk menentukan siapa diantara para Ahli Waris yang akan menerima Harta Waris, harus menggunakan 2 garis hukum terlebih dahulu, yang mana berfungsi sebagai Filter atau Saringan dari Para Ahli Waris untuk menjadi Ahli Waris yang DAPAT MENERIMA harta waris, yaitu:
A. GARIS POKOK KEUTAMAAN (“GPK”)
GPK adalah Saringan (Filter) PERTAMA untuk menentukan siapa diantara para ahli waris
yang nantinya akan menerima Harta Waris, yaitu dengan cara membagi para ahli waris kedalam
KELOMPOK–KELOMPOK KEUTAMAAN, yang berakibat dengan adanya Kelompok
Utama, maka dengan sendirinya akan menutup peluang kelompok lainnya untuk menerima warisan.
Penentuan Kelompok Utama dalam Hukum Adat didasarkan pada Hubungan kedekatan dengan Pewaris, yaitu:
- Kelompok Utama I: KETURUNAN, yaitu Anak, Cucu dan seterusnya - Kelompok Utama II: KEATAS, yaitu Orang Tuanya
- Kelompok Utama III: KESAMPING, yaitu Saudara dan keturunannya
Dan seterusnya (Kelompok ganjil selalu ada keturunan, dan kelompok genap tidak akan ada keturunan)
Penerapan Kasus Khusus Untuk Masyarakat Bilateral
Dengan mengacu pada Kasus No.22 diatas, dengan sudah menerapkan GPK, maka sudah menyortir da ri sekian banyak Para Ahli Wa ris yang akan menerima Ha rta Wa ris, yaitu hanya orang-orang yang termasuk dalam Kelompok Utama I, yaitu hanya A/1 sampai dengan G/7 .
Hanya saja, diantara A/1 sampai dengan G/7 tersebut, tidak semuanya yang akan menerima Harta Waris, karena ha rus disortir terlebih dahulu dengan menggunakan Garis Pokok Penggantian
B. GARIS POKOK PENGGANTIAN (“GPP”)
GPP adalah merupakan SARINGAN TERAKHIR untuk menentukan siapa diantara para Ahli
Waris, yang tentunya termasuk dalam Kelompok Utama, benar-benar akan menerima Harta Waris.
GPK mengatur bahwa yang akan menerima Harta Waris adalah hanya para Ahli Waris (dalam Kelompok Utama) yang tidak punya Penghubung atau Tidak Punya Penghubung Lagi dengan Pewaris.
Contoh Penerapan Kasus No.22:
Dengan mengacu pada kondisi seperti yang diga mbar No.22 diatas, yang akan menerima Harta Waris adalah A,B dan C, karena tidak mempunyai Penghubung lagi ke Pewaris. Sedangkan untuk D,E, F dan G tidak menerima Ha rta Waris, karena masih mempunyai penghubung ke Pewaris, yaitu orang tuanya masing-masing
27.PENENTUAN PEMBAGIAN HARTA WARIS – ANGKA BAGI
Prinsip pembagian Harta Waris pada Hukum Adat adalah harus dibagi secara ADIL. Setiap
orang harus menerima bagiannya sesuai dengan kedudukannya didalam keluarga.
Cara menentukan pembagian Harta Waris dalam Hukum Adat harus menggunakan dalil/hukum
MENENTUKAN ANGKA BAGI, yang bertujuan agar dalam membagi harta waris ini dapat
dilakukan secara adil, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Untuk menentukan Angka Bagi, harus dilihat dari JUMLAH JURAI terlebih dahulu. JURAI ini adalah Pengelompokan Ahli Waris didalam Kelompok Keutamaan, yaitu:
a. Kelompok I : Berpangkal pada jumlah Anak
b. Kelompok III: Berpangkal pada jumlah Saudara
c. Kelompok II: ini sudah pasti angka baginya, yaitu maksimal 2 saja, karena hanya ada orang tua.
Khusus untuk menentukan ANGKA BAGI dari Jurai yang berpangkal pada Anak, penghitungannya adalah Jumlah Anak yang masih Hidup DITAMBAH dengan Anak yang
sudah Meninggal yang MENINGGALKAN KETURUNAN.
Penerapan Kasus Khusus Untuk Masyarakat Bilateral a. Dengan kondisi B sudah meninggal
Angka Baginya untuk kondisi A dan C masih hidup dan B sudah meninggal dan meninggalka n keturunan adalah 3, sehingga SEMUA ANAK, baik yang hidup dan meninggal mendapat bagian masing-masing 1/3 Bagian. Dan bagi a nak yang sudah meninggal (Anak B), harta wa risnya a kan diturunkan kepada ana k-anaknya, dengan cara dibagi sama rata untuk kedua anaknya, , yaitu F dan G sebesar masing-masing menerima 1/6 bagian.
b. Dengan kondisi A sudah meninggal
Dalam Kelompok I, jika diantara ketiga Anak tersebut (A,B,C), yang meninggal adalah si A, dimana A tidak mempunyai keturunan, maka Angka Baginya akan menjadi 2, sehingga masing-masing dari B dan C akan menerima bagian sebesar ½ bagian.
c. Dengan Kondisi A dan B sudah meninggal
Dalam kelompok 1, jika A dan B sudah meninggal, maka Angka Baginya tetap 2, yaitu untuk Anak B dan Anak C, yang masing-masing akan menerima ½ bagian. Tetapi berhubung B sudah meninggal dan tidak dapat menerima Harta Wa ris, maka bagian dari Anak B, akan diberikan secara rata kepada kedua anaknya, yaitu yaitu D dan E sebesar masing-masing ¼ bagian
28.PEMBAGIAN WARIS PADA MASYARAKAT PATRILINEAL DAN MATRILINEAL
Prinsip Pembagian Waris, dari Penentuan Ahli Waris hingga sampai menentukan bagian warisnya, ini digunakan oleh seluruh masyarakat adat, yaitu Patrilineal, Matrilineal dan Bilateral. Hanya saja yang membedakan antara Patrilineal dan Matrilineal dengan Bilateral adalah HANYA Penentuan dari Ahli Warisnya saja, yaitu
a. Matrilineal: Ahli Warisnya hanya yang melalui Garis Perempuan saja
b. Patrilineal: Ahli warisnya hanya yang melalui Garis Laki saja, dengan catatan khusus bahwa Perempuan tidak Menjadi Ahli Waris
29.HARTA WARIS – Sangat Berhubunngan dengan Harta Perkawinan (HP) Harta Bersama Mutlak Pasti Harta Pencaharian
Dari beberapa jenis Harta diatas, yang akan menjadi Harta Warisan adalah Harta Perseorangan +
½ Harta Bersama
Jumlah Harta Warisan belum tentu sama, tergantung dari Besar Kecilnya Harta Perseorangan dari Suami atau Istri
Harta Pusaka hanya dikenal di Masyarakat Patrilineal dan Matrilineal, untuk Bilateral
mengenal Harta Asal
Anak Angkat pada Masyarakat Bilateral mempunyai hak yang sama dengan anak kandung, hanya Anak Angkat tersebut tidak berhak atas Harta Asal
Pada Masyarakat Matrilineal, anak mendapat warisan dari Ayah, tapi tidak menyangkut Harta
Pusaka
Pada Masyarakat Patrilineal, anak perempuan bisa mendapat warisan, selama tidak menyangkut
Harta Pusaka
Harta yang boleh dijadikan sebagai Hibah adalah hanya Harta Pribadi, tidak bisa Harta Pusaka. Dan Hibah yang diberikan ke seseorang tidak boleh melebihi 1/3 dari Keseluruhan Harta. Hibah yang diberikan kepada seseorang yang bukan keluarga, adalah harta yang bukan Harta Pusaka.
BW tidak membolehkan Hibah diantara Suami dan Istri, sedangkan hukum adat membolehkan Hibah diantara suami dan istri
30.TANGGUNG JAWAB TERHADAP HUTANG PEWARIS
Jika kewajiban (hutang) lebih besar dari Harta Waris, maka dalam hukum adat mengenal mengenai 2 jenis tanggung jawab dari Ahli Waris, yaitu Tanggung Jawab Terbatas dan Tanggung Jawab Tidak
Terbatas.
Tanggung Jawab Terbatas adalah ahli waris tidak bertanggung jawab dengan harta pribadi, dengan
demikian ahli waris tidak dapat dituntut untuk membayar hutang-hutang yang ditinggalkan oleh Pewaris, jika ternyata Harta Peninggalan Pewaris tidak dapat melunasi Hutang Pewaris
Tanggung Jawab Tidak Terbatas artinya SEMUA ahli waris yang berhak menerima, bertanggung
jawab dengan harta pribadi, artinya jika Pewaris meninggalkan sejumlah Hutang, maka Para Ahli Waris yang berhak menerima harta waris tersebut bertanggung jawab untuk melunasi hutang Pewaris tersebut, sesuai dengan bagiannya jika Ahli Waris tersebut menerima harta waris.
31.SISTEM KEWARISAN – HAK PARA AHLI WARIS PENERIMA HARTA WARIS
Hukum Adat berbeda dengan BW dalam hal Hak Para Ahli Waris yang menerima Harta Waris. Dalam BW, orang yang menerima waris akan mempunyai Hak yang penuh terhadap harta warisnya. Sedangkan untuk Hukum Adat belum tentu, karena Hukum Adat mengenal mengenai Sistem Kewarisan, yaitu: a. SISTEM INDIVIDUAL: bahwa harta warisan itu DIBAGI HABIS pemilikannya kepada semua
ahli waris yang berhak. Dengan demikian, ahli waris akan menerima bagiannya secara Individual (sama dengan BW). Sistem ini digunakan oleh Masyarakat Bilateral.
b. SISTEM KOLEKTIF : Ahi waris TIDAK menerima dengan Hak Milik, sedangkan hanya menerima Hak Pakai. Dan kepemilikan harta warisnya adalah secara bersama-sama. Jadi yang
dibagi pada Harta Warisnya adalah hanya pemakainnya saja, tidak kepemilikannya atas harta waris tersebut.
Selain itu, Sistem Kolektif ini juga diterapkan di Ambon dan Minahasa, tapi hanya harta berbentuk TANAH saja. Di Ambon dikenal dengan nama TANAH DATI, di Minahasa dikenal dengan TANAH KERANG
Sistem Kolektif ini digunakan dalam Matrilineal (MINANGKABAU), yang mengenal Harta
Pusaka Tinggi dan Harta Pusaka Rendah.
Jika asal harta tersebut berasal dari satu generasi maka Harta tersebut disebut dengan Harta
Pusaka Rendah, sedangkan jika asal harta berasal dari lebih satu generasi, maka harta tersebut
disebut dengan Harta Pusaka Tinggi
Contoh:
Jika “I” mendapat tanah dari “D”, maka tanah tersebut disebut dengan Harta Pusaka Rendah;
dan jika ternyata “I” mendapatkan harta dari “B”, maka harta tersebut disebut dengan Harta Pusaka Tinggi.
Jika “I” ingin menjual Tanahnya yang berasal dari “D”, maka si “I” harus mendapat persetujuan dari “H” juga, karena “H” adalah Ahli Waris yang juga berhak menerima ha rta
waris, meski dalam prakteknya “H” karena sebagai laki-laki tidak mengambil bagian dari harta warisnya (Laki-laki dalam Masya rakat Minangkabau, TIDAK PERNAH MEMPERMASALAHKAN HARTA, tapi tugasnya adalah MEMPERKAYA HARTA KELUARGA).
Jika “I” ingin menjual tanahnya yang berasal dari “B”, maka “I” harus mendapat persetujuan
dari “C”, “D”, “E”. dan “H”.
c. SISTEM MAYORAT
Yang menjadi Ahli Waris adalah Anak Tertua
Bali dan Lampung adalah Anak LAKI LAKI Tertua; sedangkan untuk Tanah Semendo yang
menjadi Ahli Waris adalah Anak PEREMPUAN Tertua
Para Ahli Waris tersebut, selain menerima seluruh harta warisan, tapi juga harus bertanggung
jawab juga terhadap seluruh kewajiban keluarga yang masih ada. Dengan kata lain, Ahli
Waris selain menerima waris, tapi juga menerima tanggung jawab.
Atau bisa disamakan dengan Kolektif juga. Dan ahli waris yang menerima harta tersebut, jika ingin menjual harta waris, juga harus mendapat persetujuan dari seluruh keluarganya.
KHUSUS BATAK
Sistem Batak itu adalah INDIVIDUAL, dimana yang menerima waris adalah hanya anak laki-laki. Tapi juga sebenarnya kolektif, karena selama masih ada perempuan di keluarganya, maka perempuan dan anggota keluarga lainnya, juga menjadi tanggung jawabnya.
KEDUDUKAN HUKUM PERKAWINAN ADAT SETELAH UU1/1974
32.KEDUDUKAN HUKUM PERKAWINAN ADAT
A. Secara YURIDIS FORMAL
Jika dilihat secara YURIDIS FORMAL, Hukum Adat dalam hal ini Perkawinan Adat, sebenarnya dapat dikatakan masih berlaku atau masih diakui, karena hingga saat ini tidak terdapat satu
pasal pun yang mencabut Hukum Adat atau menyatakan bahwa Hukum Adat sudah tidak
berlaku.
B. Secara TEORI HUKUM
Berdasarkan Teori Hukum, jika ada 2 hukum yang masih berlaku, maka hukum yang lebih dulu berlaku tidak dapat bertentangan dengan Hukum yang lebih baru. Jika ternyata Hukum yang lama ternyata bertentangan dengan hukum yang lebih baru, maka Hukum yang lama tersebut akan dianggap SUDAH TIDAK BERLAKU lagi.
Mengacu kepada teori tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya Hukum Perkawinan
Adat sudah tidak berlaku lagi, karena BERTENTANGAN dengan UU (hukum yang lebih baru),
khususnya pada sistem Patrilineal dan Matrilineal.
a. UU vs Bilateral
Pertentangan yang NYATA antara UU dengan Masyarakat Bilateral adalah HANYA
KEDUDUKAN SUAMI ISTRI saja, dimana kedudukan suami Istri menurut UU adalah
sama karena Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara suami dan istri. Sedangkan pada Bilateral secara materiil kedudukannya tetap berbeda, karena dalam Sistem Bilateral, setelah terjadi perkawinan secara materiil sebenarnya Suami Istri tidak
menjadi satu (bukan hubungan keluarga), karena hubungan keluarga pada Sistem adat adalah
didasarkan pada hubungan darah
Selebihnya adalah sama, seperti Ada tempat tinggal bersama, Kedudukan anak yang sama,
karena mempunyai hubungan yang seimbang dengan ayah dan ibunya
b. UU vs Patrilineal
Dilihat dari Hubungan Suami Istri, Patrilineal ini sebenarnya sama dengan UU, dimana Suami dan Istri berada dalam satu ikatan keluarga yang sama (Secara Formal), karena khususnya pada Perkawinan Jujur, Istri PINDAH ke tempat Suami.
Hanya saja PERBEDAAN pada Patrilineal, meski Suami dan Istri berada dalam satu
ikatan keluarga yang sama, tetapi Suami Istri mempunyai kedudukan YANG TIDAK SAMA, yaitu Suami mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari Istri
Kedudukan Suami Istri terhadap HARTA pada Patrilineal adalah TIDAK SAMA
Kedudukan Anak berbeda, dimana Anak HANYA mempunyai hubungan dengan Ayahnya, tidak mempunyai hubungan dengan Ibunya
c. UU vs Matrilineal
Dilihat dari Kedudukan Suami Istri, Matrilineal ini berbeda dengan UU, karena pada Matrilineal kedudukan suami istri TIDAK DAPAT dideskripsikan karena pada saatat terjadi Perkawinan tidak ada kehidupan bersama (suami hanya sebagai tamu).
Kedudukan Anak berbeda, dimana Anak HANYA mempunyai hubungan dengan Ibunya, tidak mempunyai hubungan dengan Ayahnya
C. Secara SOSIOLOGIS
Sehubungan dengan BELUM ADANYA Hukum Waris pada Hukum Nasional, yang mana menyebabkan Masyarakat Adat MAU TIDAK MAU harus TETAP menggunakan Hukum
Adatnya untuk permasalahan Waris, maka dapat dikatakan bahwa Hukum Perkawinan Adat masih berlaku (ditaati) secara SOSIOLOGIS. Hal ini disebabkan karena Hukum Perkawinan
sangat terkait/tidak akan pernah dapat dipisahkan dengan Hukum Waris, karena Hukum Waris merupakan akibat atau kelanjutan dari Hukum Perkawinan
Contohnya:
Hukum Wa ris pada Patrilenal, perempuan adala h bukan ahli waris, dan ini jelas bertentanga n dengan UU, dimana seharusnya antara Suami Istri mempunyai kedudukan yang sama dan diantara keduanya adalah ahli wa ris.
Saat ini sudah ada Yurisprudensi yang menyata kan bahwa Istri dalam Masya rakat Batak juga harus tetap mendapatkan Harta Waris, dengan pertimbangan kedudukan Istri yang harus sama dengan suami. Hanya saja, Yurisprudensi tersebut memberikan catatan bahwa Istri meski mendapat Harta Waris, tapi hanya sebatas Harta Pencaharian saja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meski Hukum Nasional berusa ha membuat kedudukan yang sama antara suami dan istri, tetapi ternyata belum sepenuhnya mengakui kedudukan yang sama antara suami istri, karena harta yang diterima oleh Istri berbeda dengan suami
33.KESIMPULAN KEDUDUKAN HUKUM PERKAWINAN ADAT
Hukum Perkawinan Adat secara Yuridis Formal masih diakui karena belum ada satu pasalpun yang dengan tegas mencabut atau menyatakan Hukum Adat sudah tidak berlaku, tetapi secara Teori Hukum Adat sudah tidak berlaku karena Hukum Adat bertentangan dengan UU. Tapi terrnyata
hingga saat ini, secara sosiologis, Hukum Perkawinan Adat masih digunakan atau masih berlaku pada mayarakat Adat, karena Masyarakat Adat masih menggunakan Hukum Waris Adatnya, yang mana Hukum Waris merupakan kelanjutan dari Hukum Perkawinannya.
34.KONDISI HUKUM PERKAWINAN ADAT SAAT INI
a. BILATERAL:Berdasarkan Yurisprudensi, dalam Masyarakat Bilateral, Janda adalah juga Ahli Waris. Karena dikhawatirkan ketika Janda menguasai harta waris suaminya, maka akan ada ahli2
waris yang sebenarnya berhak atas harta waris, tapi tidak mendapatkan, karena dikuasai oleh Istrinya b. PATRILINEAL: Yurisprudensi yang menyatakan bahwa Istri dalam Masyarakat Batak juga harus
tetap mendapatkan Harta Waris, dengan pertimbangan kedudukan Istri yang harus sama dengan suami. Hanya saja, Yurisprudensi tersebut memberikan catatan bahwa Istri meski mendapat Harta Waris, tapi hanya sebatas Harta Pencaharian saja.
c. MATRILINEAL: saat ini anak bisa mendapatkan harta waris dari Ayah, asal tidak menyangkut