• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Fleksibil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Fleksibil"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“Fleksibilitas Islam Dalam Kehidupan Beragama”

Dosen Pembimbing

: Muhammad Zaini, M.Pd.i

Di Susun Oleh: Kelompok 8

1. Wendy Ardi Ansyah B421 30148 2. Adim Ardi Jana B421 30639

3. Kongko Rizal Asruri B421 31094 4. Abdau Zidni B421 31100 5. Yuli Setianingrum B421 30507 6. Febi Romana Devi B421 30594 7. Roisatul Laily B421 30447

PROGRAM STUDI TEKNIK ENERGI TERBARUKAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam adalah agama samawi (Ilahi) yang diturunkan oleh Allah kepada umat Muhammad sebagai pelengkap dari agama samawi yang telah ada sebelumnya. Artinya Islam bukanlah agama yang muncul berdiri sendiri (mustaqil) di atas sendi ajaran yang tidak berkorelasi dengan agama sebelumnya yang diemban oleh rasul terdahulu, tetapi Islam berfungsi sebagai penyempurna ajaran agama sebelumnya.

Disisi lain, Islam adalah agama yang mengandung syariat (tata hukum) yang fleksibel atau transparan dan luwes. Aturan hukumnya mampu disesuaikan dengan kondisi kapan dan dimana hukum itu akan diterapkan.

Artinya keluwesan dari hukum Islam itu yang menjadikan Islam arif dan mudah didakwahkan kepada umat manusia. Tetapi justru Islam mampu menjawab tantangan dan permasalahan umat masa kini atau yang lebih kita kenal dengan masalah kontemporer.

Mengenai fleksibilitas Islam itu sendiri nampaknya mengandung banyak hikmah bagi umat Islam. Apabila Islam itu kaku maka akan banyak ditemui kesulitan untuk menerapkan hukum terhadap semua umat. Padahal umat ini berbeda, baik latar belakang, kondisi tempat, waktu dan juga pemikirannya.

Segala hal yang berkenaan dengan islam telah dikupas tuntas dalam al-Qur’an dan al-Hadits, nabi Muhammad saw.-lah yang membawakan itu semua serta menjelaskannya kepada semua umat agar tidak ada lagi yang menghujat nantinya. Nabi Muhammad saw. adalah seorang rasul pilihan Allah swt. yang dikirim khusus pada akhir zaman ini, yang mana tidak ada lagi nabi dan rasul setelahnya.

Sudah semestinya sebagai umat yang mencintai Allah dan rasulNya taat dan tunduk terhadap segala yang telah ditetapkan dalam agama Islam, selalu menjadikan segala perbuatan bernilai ibadah. Banyak sekali ibadah-ibadah dalam Islam yang telah kita ketahui bersama, namun, sholat lah yang utama. Dan sholat adalah merupakan tiang agama, “barang siapa menegakkan sholat, maka dia telah menegakkan agama ini, dan barang siapa meninggalkannya, maka dia telah menghancurkan agama ini” (al-Hadits).

(3)

Namun, disamping itu semua, islam juga sangat memperhatikan kondisi umatnya, karena Allah sendiri tidak pernah membebani hamba-hambaNya dengan beban di luar kemampuan mereka. Itu terbukti dari beberapa hal yang bisa kita jumpai dalam islam, dalam sholat, misalnya, jika seseorang tidak kuasa melaksanakan sholat dengan berdiri, maka islam datang dengan solusi yang sangat toleran, yaitu diperbolehkan sholat dengan duduk, jika tidak bisa dengan duduk, dengan terlentang pun juga boleh, jika dengan terlentang juga tidak bisa, maka denan isyarat saja juga diperbolehkan.

Contoh lain bisa kita temukan dalam diperbolehkannya menggabungkan dua sholat dalam satu waktu, atau yang biasa kita kenal dengan “jama’”, tentunya diperbolehkannya ini semua harus benar-benar memenuhi syarat-syaratnya, misalnya jika seseorang melakukan perjalanan panjang, maka diperbolehkan bagi dia untuk men-jama’ sholatnya, bisa sholat dzuhur dan ashar, bisa juga sholat maghrib dan isya. Bahkan, islam mempersilahkan seseorang tersebut untuk memperpendek sholat yang memiliki empat raka’at menjadi dua rakaat saja, semua fleksibilitas sholat dan ibadah yang lainnya adalah bukti bahwa islam adalah agama yang penuh kasih sayang dan penuh kemudahan. Wallahu a’lam.

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian fleksibilitas Islam sendiri 2. Sebagai Pengkoreksi Solat pada diri sendiri

3. Untuk memahami penyesuaian kondisi umat Islam di jaman modern 4. Untuk memahami ketentuan-ketentuan Shalat

(4)

Untuk menambah ilmu tentang fleksibilitas agama, khususnya agama Islam. Sehingga kita lebih paham dan tidak disalah artikan.

BAB II DASAR TEORI

A. SHALAT KHAUF (keadaan bahaya) 1. Ketentuan hukumnya

Shalat Khalif di syariatkan berdasarkan firman Allah:

(5)

golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandag senjata.” (QS. An-Nissa: 102). 2. Tata shalat Khauf

Tata cara shalat khauf yang paling mahsyur ialah saat peperangan berlangsung di perjalanan (di daerah musuh). Pasukan tentara di bagi menjadi dua kelompok: satu kelompok berdiri menghadap kea rah musuh dan satu kelompoknlagi membuat shaff di belakang imam dan mereka shalat bersamanya satu raka’at, lalu imam tetap dalam keadaan berdiri, sementara kelompok tersebut menyelesaikan shalat mereka satu raka’at lagi, lalu salam. Kemudian kelompok tersebut menggantikan posisi kelompok yang satunya lagi (yang menghadap ke arah musuh), lalu kelompok yang digantikan membuat shaff dan shalat bersama imam satu raka’at, dan imam tetap dalam keadaan duduk (setelah raka’at ini), sedang kelompok tersebut menyelesaikan shalat mereka satu raka’at lagi, lalu imam salam bersama mereka.

Hal ini didasarkan pada hadist Sahal bin Abi Khatsmah yang pernah melaksanakannya bersama Rasulullah, seraya berkata, “Satu kelompok membuat berisan bersama Rasulullah dan satu kelompok lagi berdiri menghadap musuh. Kemudian kelompok yang membuat barisan bersama Rasulullah bersama beliau satu raka’at, dan beliau tetap berdiri, sementara kelompok tersebut menyempurnakan shlat mereka, lalu mereka berpaling dan menghadap ke arah musuh. Selanjutnya datang kelompok satunya lagi, lalu beliau shalat bersama mereka satu raka’at yang masih tersisa dari shalatnya, dan beliau tetap duduk, sedang kelompok tersebut

menyempurnakan shalat mereka, kemudian beliau salam bersama mereka.” (HR. Muslim).

jika kondisi peperangan berkecampuk dengan situasinya pun sangat genting, sehingga tidak memungkinkan membagi pasukan tentara, maka hendaklah mereka shalat sendiri-sendiri dalam kondisi apapun baik sambil berjalan atau berkendaraan, baik menghadap kiblat atau arah lainnya, dan mereka melakukannya cukup dengan isyarat, berdasarkan firman Allah: “Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.”(QS. Al Baqarah: 239).

Juga Sabda Nabi:

“Jika mereka lebih banyak dari itu, hendaklah mereka shalat sambil berdiri atau berkendaraan.”(HR. Bukhari)

Bagi tentara Muslim yang sedang mengintai musuhdan ia merasa takut akan kehilangan jejaknya atau ia di kejar musuh dan merasa takut akan tertangkap, hendaklah ia shalat dalam kondisi apapun baik sambil berjalan atau berkendaraan, baik menghadap kiblat atau kea rah lainnya. Begitu juga dengan orang yang

mengkhawatirkan keselamatan dirinya, binatangnya dan lain-lain, hendaklah mereka shalat sebagaimana mestinya shalat yang dilakukan saat dalam kondisi bahaya dan genting sesuai dengan keadaannya pada saat itu.

B. SHALAT SAFAR

Orang yang bepergian (musafir) tetap diwajibkan untuk melaksanakan shalat. Shalat sfar dapat dilakukan diatas kendaraan. Ketika dilaksanakan di atas kendaraan, arah kiblatnya boleh mengikuti arah kendaraan berjalan.

(6)

shalatnyadari semenjak ia keluar meninggalkan pemukiman penduduk di daerahnya dan selama perjalanannya hingga ia kembali lagi ke daerahnya.

1. Shalat jama’

Shalat Jama’ adalah mengumpulkan dua waktu shalat menjadi satu. Shalat yang boleh dijama’ adalah Dhuhur dengan Ashar, serta Magrib dengan Isya’. Ada dua cara dalam men-jama’, yaitu jama’ taqdim dan jama’ ta’khir.

Bagi seorang Musafir, jika melakukan jama’ taqdim, maka ia menunaikannya pada awal waktu shalat Dhuhur, sedangkan jika jama’ ta’khir, maka ia

menunaikannya pada awal waktu shalat Ashar. Demikian halnya ketika halnya men-jama’ shalat Magrib dan shalat Isya’. Sebagaimana mestinya disebutkan dalam hadist riwayat Muslim. Bahwa suatu hari saat berada di daerah Tabuk, Rasulullah “mengakhiri shalatnya, lalu beliau pergi menunaikan shalat Dhuhur dan shalat Ashar dengan jama’, lalu beliau pergi lagi menunaikan shalat Magrib dan shalat Isya’ dengan jama’.

Shalat jama’ juga diperbolehkan bagi orang muqim, atau tidak sedang dalam perjalanan. Antara lain karena hujan deras, cuaca dingin sekali atau angina berhembus kencang, yang akan menyuitkan kembali lagi ke Masjid saat waktu shalat Isya’ tiba. Rasulullah juga pernah men-jama’ antara shalat Magrib dan shalat Isya’ pada malam hujan turun. (HR. Bukhari).

Juga di perbolehkan bagi orang yang sakit jika merasa kesulitan menunaikan tiap-tiap shalat pada waktunya. Karena alasan diisyariatkannya shalat jam’ itu karena adanya kesulitan. Jadi kapan saja kesulitan itu ada, pada saat itu shalat jama’ di perbolehkan. Terkadang seorang menghadapi kesulitan yang luar biasa disaat ia berada di tempat, misalnya mengkhawatirkan akan keselamatan diriya,

kehormatannya atau hartanya, pada saat itu di bolehkan baginya menjama’ shalatnya, berdasarkan keterangan dalam sebuah hadist sahih, bahwa Rasulullah pernah sekali menjama’ shalat saat berada di tempat, bukan karena alas an hujan. Ibnu Abbas menuturkan, bahwa nabi saat berada di Madinah, beliau mengerjakan shalat sebanyak 7 dan 8 raka’at, yaitu men-jama’shalat Dhuhur dengan shalat Ashar, serta menjama’ shalat Magrib dengan shalat Isya’. (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Shalat Qashar

Shalat Qashar adalah Shalat yang diringkas, dari empat raka’at menjadi dua raka’at. Shalat Magrib dan shalat Subuh tidak dapat di qashar, karena shalat Magrib tiga raka’at dan shalat Subuh dua raka’at.

Shalat qashar di syariatkan berdasarkan firman Allah: “ dan apabila kalian berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat.” (An-Nisa’:101).

Juga sabda Rasulullah, yang Artinya:

“(Shalat qashar) adalah sedekah yang disedekahkan Allah kepadamu, maka terimalah sedekah-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kebiasaan rasulullah mengqashar shalat (ketika bepergian) telah menjadikannya sebagai sunnah Muakkad. Karena tidaklah Rasulullah bepergian, kecuali beliau akan mengqashar shalat mereka bersama beliau.

Nabi tidak membatasi jarak perjalanan yang didalamnya dibolehkan

(7)

memberikan batas minimal perjalanan yang di perbolehkan mengqashar shalat, misalnya dalam buku Minhajul Muslim disebutkan 88 Kilometer. Tetapi berapapun jaraknya, yang harus di ingat bahwa pemberian rukhshah itu untuk meringankan menjalankan kewajiban agama dalam perjalanan yang berat.

Jadi, mengenai batasan jarak minimal sangat relative, yang pasti tujuannya perjalanannya bukan untuk melakukan sesuatu kemaksiatan kepada Allah, maka disunnahkan baginya mengqashar shalatnya.

BAB III PEMBAHASAN

2.1 Pembahasan Masalah a. Pengertian Fleksibilitas

Fleksibilitas atau Flexibility adalah kemampuan untuk beradaptasi dan bekerja dengan efektif dalam situasi yang berbeda, dan dengan berbagai individu atau kelompok. Fleksibilitas membutuhkan kemampuan memahami dan menghargai pandangan yang berbeda dan bertentangan mengenai suatu isu, menyesuaikan pendekatannya karena suatu perubahan situasi, dan dapat menerima dengan mudah perubahan dalam organisasinya.

b. Fleksibilitas beragama dalam islam

(8)

Dengan metodenya yang tepat, sehingga syari’at Islam dengan mudah diterima oleh penduduk pribumi.

Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan islam merupakan agama yang sangat fleksibel dalam pengajaran maupun penerepannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga pemeluk agama islam tidak ada kata paksaan dalam menjalaninya. Karena islam begitu mengerti kemampuan umat islam dalam menjalani syari’atnya.

Islam tidak pernah memaksa umatnya dalam menjalani syari’atnya, namun Islam menganjurkan kita untuk melaksanakan syariat sesuai dengan kemampuan dan tuntunannya. Jadi Islam begitu fleksibel dalam aplikasiannya. Jadi islam ini merupakan satu-satunya agama yang mampu mengikuti perkembangan zaman dalam penerapannya.

Firman Allah اهعسو لإ ااسفن هللا فلكي ل , bahwa Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya (Al-Baqarah: 286) adalah penjelasan yang menguatkan prinsip tersebut. Pembebanan adalah perkara yang menyulitkan. Karena itu harus berbanding lurus dengan kemampuan. Imam Qurtuby berkata, “Allah menggariskan bahwa Dia tidak akan membebani hambanya –sejak ayat ini diturunkan– dengan amalan-amalan hati atau anggota badan, sesuai dengan kemampuan orang tersebut. Dengan demikian umat Islam terangkat kesulitannya. Artinya, Allah tidak membebani apa-apa yang terlintas dalam perasaan dan tercetus dalam hati.”

c. Fleksibilitas Sholat didalam Agama Islam

Mengapa kita mengambil fokus bahasan sholat dari sekian banyak pilihan kewajiban yang ada dalam Agama Islam? Hal ini dikarenakan sholat merupakan tiang dari pada agama itu sendiri, shalat juga ibadah pokok yang wajib dilakukan dimanapun dan bagaimanapun kondisinya, selain itu shalat juga amalan yang اتوقوم اباتك نينمؤملا" (Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman)

 Diriwayatkan oleh Al-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath dari Abdullah bin Qorth bahwa Nabi bersabda: "Amalan hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalat, apabila baik maka baiklah seluruh amalnya dan apabila rusak maka rusaklah seluruh amalnya”. Kembali lagi kepada agama Islam yang begitu fleksibel dan mampu menyesuaikan antara syari’at dengan kemampuan umatnya dalam menjalani syariat tersebut. Dalam sholat pun Islam masih menunjukkan fleksibilitasnya. Misalnya, ketika kita berada pada perjalanan Islam menganjurkan kita untuk shalat denngan cara dijama’. Ketika kita dalam kondisi sakit, sakit parah pun sekalian Islam membolehkkan kita untuk shalat dengan terlentang. Berikut merupakan salah satu hadist yang menunjukkan fleksibelnya Islam,

- Dalam keadaan sakit. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

:

ممووأأفأ للأإموأ ةةيأاوأرم يوفأوأ بةنوجأ ىلأعأفأ عوطمتأسويأ مولأ نوإمفأ اددعماقأفأ عوطمتأسويأ مولأ نوإمفأ امدئماقل للمصأ ءدامأيوإم

(9)

dengan duduk, jika tidak mampu duduk maka (shalatlah) dengan berbaring.” (HR. Al Bukhari, dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan: “Jika tidak mampu berbaring maka cukup dengan isyarat.” )

- Dalam keadaan bahaya, seperti perang dan semisalnya. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): “Jika kalian dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (Al Baqarah: 239)

- Dalam keadaan bersafar juga wajib melaksanakan shalat, bahkan Allah ? memberikan keringanan bagi musafir (orang yang bepergian) untuk menjama’ (menggabungkan dua shalat dalam satu waktu) seperti menjama’ shalat zhuhur dengan shalat ‘ashar di waktu zhuhur (jama’ taqdim) atau di waktu ‘ashar (jama’ ta’khir) dan juga seperti menjama’ shalat maghrib dengan shalat isya’ dengan cara seperti semula. Dan juga diperbolehkan baginya untuk mengqashar (meringkas shalat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat seperti shalat isya’, zhuhur ataupun ‘ashar).

- Dalam keadaan lupa atau tertidur. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

اهأرأكأذأ اذأإم اهأيأللمصأيي نوأأ اهأتيرأافلأكأفأ اهأنوعأ مأانأ ووأأ ةدلأصأ يأسمنأ نومأ

“Barangsiapa yang lupa atau tertidur, maka kaffarahnya (tebusannya) adalah shalat pada waktu ia teringat (sadar).” (Muttafaqun ‘alaihi)

- Tidak mendapat air untuk bersuci (wudhu’ atau mandi junub) atau secara medis tidak boleh menyentuh air, maka diberikan keringanan untuk bersuci dengan tanah/debu yang dikenal dengan tayammum. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): “Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian kembali dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian, Allah tidak ingin memberatkan kalian, tetapi Allah ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al Maidah: 6)

Begitu banyak Al qur’an dan Hadist yang menjelaskan tentang fleksibillitas dalam Islam terutama shalat, sehingga ini cukup membuktikan bahwa Islam merupakan agama yang paling pengertian dan mampu menyesuaikan antara syariat dengan umatnya. Tanpa beban maupun paksaan.

2.2 Kesimpulan dari Permasalahan

(10)

BAB IV PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, diciptakan dalam bentuk paling sempurna. Manusia merupakan makhluk spiritual yang akan menjalani fase-fase peristiwa kehidupan baik sebelum lahir, sekarang maupun setelah mati. Dalam kehidupan umat Islam modern saat ini, Islam mampu mengikuti keaadaan jaman. Keutamaan manusia di banding dengan mahluk lain, yaitu dengan memiliki

(11)

DAFTAR PUSTAKA

http://junaidikhab.wordpress.com/2013/09/24/islam-dan-fleksibilitas-hukum-dalam-beragama/

http://indosdm.com/kamus-kompetensi-fleksibilitas-flexibility

http://www.dakwatuna.com/2008/07/21/829/allah-swt-tidak-membebani-seseorang-diluar-kemampuannya/#axzz2vQkxyHha

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Melalui Kegiatan Melukis Untuk Meningkatkan Perkembangan Motorik Halus Anak Kelompok B Tk Aisyiyah 21 Tahun Ajaran

Harmonika adalah salah satu alat musik tiup yang cukup mudah untuk digunakan, harmonika bisa menghasilkan suara dengan cara meniupkan udara dari mulut ke

Variable costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang hanya menghitung biaya produksi yang berperilaku variabel ke dalam harga pokok produksi yang

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematika IPA, 2013

Pada tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai PUQE pada ibu hamil yang mengalami mual muntah sebelum diberikan self management module morning sickness memiliki nilai rata- rata

Untuk menguji apakah semua variabel independen dalam model regresi memiliki pengaruh terhadap variabel dependen dapat ditentukan dengan membandingkan antara nilai

untuk mengetaui nilai arus# tegangan# !an ambatan "a!a rangkaian. Pra Prakti ktikka kkan n )ug )uga a mem memba$ ba$a a nil nilai ai am" am"erem eremeter eter

“ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DAN TINGKAT KONSUMSI BERAS DI DESA SENTRA PRODUKSI PADI” , studi kasus : Desa Sidoarjo Dua Ramunia, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang,