• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membedah Kegagalan Gerakan Politik Islam (GPI) Suatu Telaah Awal Oleh: Malik Ibrahim. Kata kunci: GPI, syari'at Islam, khilafah dan kegagalan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Membedah Kegagalan Gerakan Politik Islam (GPI) Suatu Telaah Awal Oleh: Malik Ibrahim. Kata kunci: GPI, syari'at Islam, khilafah dan kegagalan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Suatu Telaah Awal

Oleh: Malik Ibrahim

Abstrak

Tulisan ini berupaya memaparkan kelemahan-kelemahan yang ada pada Gerakan Politik Islam (GPI) dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam GPI, baik faktor yang berasal dari dalam (internal) maupun yang datang dari luar (eksternal).

Kata kunci:GPI, syari'at Islam, khilafah dan kegagalan

A. Pendahuluan

Belakangan ini wacana tentang perlunya sistem kekhalifahan serta formal isasi syariat Islam kembali mencuat, baik di dunia Muslim pada

umumnya (muslim world) maupun Indonesia pada khususnya. Hal ini

misalnya ditandai dengan maraknya kemunculan Peraturan Daerah (Perda) yang beruansa syari'at Islam di beberapa daerah seperti Banten, Riau, Sulawesi Selatan, Pamekasan, Cianjur, Tasikmalaya dan sederet daerah lain. Menguatnya tuntutan formalisasi syari'at Islam akhir-akhir

ini juga dapat dilihat sebagai show off dari kelompok Islam politik (political

Islam), yang menyuarakan tuntutan syari'at Islam kepada publik dengan mengerahkan ribuan massa, misalnya Hizbut Tahrir, Majlis Mujahidin,

Front Pembela Islam, Ikhwanul Muslimin, Jama'ah Islamiyah dan lain

sebagainya.

Tulisan yang sederhana ini berupaya untuk melihat latar belakang

dari kemunculan kelompok Gerakan Politik Islam (Harakah Islamiyah),

tersebut yang berupaya untuk memformalisasi syari'at Islam serta tegaknya khilafah Islamiyah, baik secara epistimologi maupun historis serta faktor-faktor yang menyebabkan gagalnya gerakan politik Islam secara umum. B. Latar Belakang Kemunculan

Tuntutan untuk mewujudkan sistem kekhalifahan dan formalisasi syari'at Islam menurut pengusungnya, salah satunya dipicu dan dilatarbelakangi oleh krisis multidimensi yang mendera Indonesia juga negara-negara Muslim lainnya, di mana krisis tersebut merupakan kegagalan ideologi-ideologi yang pernah diterapkan dalam lembaga negara,

(2)

sehingga sangat diperlukan sistem alternatif untuk menggantikan ideologi-ideologi yang gagal membawa bangsa dan umat Islam ke arah yang lebih baik. Di sinilah diharapkan syari'at Islam akan memberikan jawaban atas semua permasalahan bangsa dan umat Islam di dunia. Yang dimaksud dengan syari'at Islam di sini adalah segala aturan hidup serta tuntunan yang diajarkan oleh Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan hadis, sehingga syari'at Islam menjadi rujukan tunggal bagi sistem pemerintahan dan kebijakan kenegaraan secara nasional maupun internasional.

Salah satu penyebab kegagalan dalam upaya mewujudkan kekhilafahan dan formalisasi syari'at Islam diduga karena di antara negara-negara Muslim tidak menjalankan praktik politik secara Islami, namun sebaliknya mempraktikkan politik sekuler. Bagi mereka penerapan syari'at Islam diyakini bakal menjadi semacam obat mujarab yang diharapkan mampu untuk menuntaskan segala krisis yang melilit bangsa dan dunia Islam secara keseluruhan. Tidak dapat dipungkiri bahwa keyakinan kalangan Muslim yang getol menyuarakan syari'at Islam ini berakar dari

romantisme sejarah keemasan Islam di abad pertengahan.1

Terminologi gerakan politik Islam (harakah Islamiyyah) atau Islam

politik (Islamic Political) sengaja dimunculkan karena kelompok Islam ini

menggunakan agama sebagai kerangka atau dasar ideologi demi tujuan politik. Agendanya antara lain: pendirian negara Islam dan penerapan syari'at Islam. Salah satu intelektual Muslim yang menggunakan

terminologi “islam politik” adalah al-Asymawi dalam karya magnum

opusnya ‘”Al-Islam al-Siyasi”. MSG Hodgson mendefinisikan Islam politik atau gerakan politik Islam sebagai gerakan Islam yang diaktualisasikan ke

dalam political power (kekuasaan politik) dalam rangka mewujudkan sistem

kekhilafahan serta formalisasi syari'at Islam.2 Azyumardi Azra menyatakan

bahwa Islam politik sebagai Islam yang berusaha ditampilkan dan diaktualisasikan dalam kekuasaan atau kelembagaan politik resmi,

khususnya pada bidang eksekutif dan legislatif.3

Terkait dengan formalisasi syari'at Islam, kelompok Islam politik tampaknya tidak bisa membedakan antara syari'at di satu sisi dengan fiqh di sisi lain, walaupun di antara keduanya memiliki hubungan yang erat. Perlu digarisbahwahi bahwa antara keduanya berbeda. Barangkali

1 Ahmad Kusairi, "Bersyari’ah di Tengah Masyarakat Multikultural Studi Kasus

Pemikiran Muslim Liberal Tentang Formalisasi Syariat Islam di Indonesia", dalam Karya Ilmiah Unggulan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, 2008, p. 45.

2 MSG. Hodgson, The Venture of Islam, (Chicago: The University of Chicago Press,

1974).

3 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan

(3)

gambaran dari Umar Sulaiman bisa dijadikan referensi untuk membedakan antara syari'at dengan fiqh, karena memang keduanya berbeda, di antara perbedaannya adalah: pertama syari'at bersifat sempurna dan paripurna serta permanen, sementara fiqh senantiasa berkembang dan berubah sesuai dengan konteks tempat, waktu dan pemahaman. Kedua, tujuan syari'at bersifat universal serta mencakup keseluruhan masyarakat, sementara fiqh lebih bersifat lokal dan temporal. Ketiga, hasil ijtihad fiqh yang salah tidak dapat diidentifikasi sebagaii syari'at. Keempat, ketentuan syariat menjadikan manusia berkewajiban untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Sementara fiqh yang dipahami oleh seseorang tidak untuk dilakukan orang lain. Kelima, kebenaran syari'at bersifat mutlak dan absolut, sedangkan kebenaran fiqh bersifat lokal dan temporal. Oleh karena itu, fiqh berpotensi mengandung

kesalahan.4 Oleh sebab itu, dari perbedaan tersebut di atas maka sesuatu

yang bersifat pemahaman (hasil ijtihadiyah) dari syari'at (berupa fiqh) belum

tentu dapat diterapkan untuk seluruh dunia Muslim yang kondisinya sangat berbeda (heterogen) antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Pernyataan tersebut diperkuat pula dengan berbedanya situasi antara pada saat munculnya (turunnya) ayat al-Qur'an atau hadis Rasul pada sekitar 14 abad yang lampau dengan situasi umat Muslim pada saat ini yang sangat kompleks .

Ketika memperbincangkan formalisasi syari'at Islam sudah barang tentu tidak bisa lepas dari pembicaraan Islam politik. Hal ini disebabkan tujuan ideologis dari gerakan Islam politik tidak lain adalah terwujudnya syari'at Islam dalam semua dimensi kehidupan. Terasa kurang afdhol jika penyusun tidak mendiskusikan epistemologi pemikiran Islam politik, di samping yang tidak kalah penting adalah lintasan historis sistem politik Islam walaupun hanya secara garis besar.

Secara doktrinal Islam tidak menjelaskan dan menawarkan sistem politik tertentu. Meskipun istilah khalifah terdapat dalam teks al-Qur’an, namun hal tersebut tidak merujuk dan mendukung “legalitas” sistem

politik kekhilafahan.5 Islam hanya menekankan pentingnya moral etik

dalam kekuasaan. Terkait dengan formalisasi syari'at Islam yang digelontorkan para aktifis Islam politik. Sayyid Qutb sebagaimana dikutip Zaenal Maarif menuturkan bahwa dasar pemikiran para aktivis Islam

politik berakar pada konsep hakimiyyat Allah, yaitu pengakuan akan

4 Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) dan lihat juga

Zarkasji Abdussalam dan Oman Fathurrahman, Pengantar Fiqh dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Liberty, 1986).

(4)

otoritas Tuhan dan syariat-Nya semata di atas muka bumi dan ketertundukan manusia hanya kepada-Nya.

Epistemologi pemikiran para aktivis Islam politik tentang perlunya sistem “Islami” berpijak pada beberapa teks al-Qur’an. Di antara beberapa ayat al-Qur’an itu adalah surah al-An’am (6) ayat 56-57 dan 62, surah Yusuf (40) ayat 67. Kandungan kelima ayat tersebut kurang lebih sama, yakni berisi tentang otoritas mutlak "hukum Tuhan". Kendatipun

sesungguhnya asbabun nuzul (sebab turunnya ayat al-Qur'an) dari kelima

ayat tersebut hanya berbicara dalam konteks ibadah dan otoritas

eskatologis Tuhan.6

Para aktifis Islam politik berasumsi bahwa siapapun yang menentang kedaulatan dan sistem Allah (syari'at Allah) adalah musyrik jahiliyah. Hal ini lantaran telah mempersekutukan Tuhan dengan otoritas

selain-Nya.7 Bagi mereka, siapapun yang enggan menerapkan syari'at Islam

adalah kafir, fasik dan dzalim. Pandangan mereka merujuk pada surah al-Maidah (5) ayat 44-47. Manusia harus menerima kedaulatan Tuhan tersebut. Tidak ada ruang sedikitpun bagi manusia untuk berkreasi. Semua telah ditentukan Tuhan dan semua tinggal menerima apa adanya dari Tuhan. Dalam rangka merealisasikan "Kedaulatan Tuhan" ini, maka formalisasi syariat Islam sebagai "perintah agama" bukanlah menjadi alternatif lagi, melainkan menjadi sebuah imperatif. Mereka percaya bahwa Islam bersifat holistik dan dipandang lebih dari sekedar agama. Islam dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dengan kata

lain, Islam diyakini sebagai agama dan negara.8 Untuk merealisasikan

semua itu, aktifis Islam politik berjuang untuk mewujudkan daulah

islamiyyah (pemerintahan Islam).

Selain beberapa ayat al-Qur'an di atas, para penganjur formalisasi syari'at Islam juga berpijak pada ayat al-Qur'an, yakni surah al-Baqarah (2)

ayat 208, "udhkhulu fi silmi kaffah" (masuklah ke dalam Islam secara

keseluruhan). Bagi penganjur formalisasi syari'at Islam, kata al-silmi

diterjemahkan menjadi kata Islam, maka menurut mereka secara otomatis harus ada sebuah entitas Islam formal, dengan keharusan menciptakan sistem Islami yang dalam konteks ini adalah pendirian negara Islam yang di dalamnya memuat penerapan syariat Islam. Namun, sesungguhnya interpretasi tersebut tidaklah tepat. Menurut Gus Dur, sapaan akrab K.H.

6 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan

Umat, (Bandung: Mizan, 2004), pp. 418-420.

7 Sayyid Quth, Ma’alim fi al-Thariq, (Cairo: Dar Syuruq, 1992), p. 10.

8 M. Syafi’i Ma’arif, Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as

Reflected in Constituent Assembly Debates in Indonesia, (Chicago: Chicago University, 1981), p. 21.

(5)

Abdurrahman Wahid, para pengusung formalisasi syari'at tidak hanya telah melakukan tindakan subversif gramatikal Arab, namun juga telah

melakukan pemaksaan istilah yang kebablasan. Menurutnya, Islam kaffah

sangat sulit dipahami sebagai sebuah bentuk kalimat sifat dan mausuf (yang

disifati). Ia juga mempertanyakan apakah kata kaffah dalam ayat tersebut

sebagai keterangan dari dhamir (kata ganti) yang ada dalam udkhulu yaitu

dhamirantum atau keterangan dari al-silmi.9

Menurut pemerhati Islam, kemunculan gerakan Islam politik salah satunya banyak terinspirasi oleh romantisme kejayaan Islam pada masa

khalifah.10 Sejarah Islam klasik mencatat bahwa sistem khilafah Islamiyah

pernah eksis dan berkuasa selama kurang lebih 13 abad lamanya, terhitung

sejak masa khulafaur rasyidin pada 632 M hingga masa Turki Usmani yang

berakhir pada tahun 1924.11 Rentang waktu selama itu, tidak dapat

dipungkiri bahwa sistem khilafah pernah menjadi kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang dominan. Di akhir kekuasaan Turki Usmani, rakyat masih merasakan kekuasaan ekonomi yang diciptakannya. Khilafah pernah menjadi pusat perdagangan dan investasi. Turki Usmani memperbolehkan pedagang Eropa mengakses pelabuhannya dengan syarat membayar bea cukai. Route perdagangan penting dari seluruh dunia yang melewati Turki Usmani. Aktivitas ekonomi di Turki Usmani ketika itu tumbuh pesat karena ia berada pada jalur persimpangan Afrika,

Asia dan Eropa.12

Model kepemimpinan politik dalam sejarah Islam dapat dikatakan dimulai sejak periode sesudah wafat Nabi Muhammad s.a.w. Tepatnya pada masa Abu Bakar. Ketika itu umat Islam dihadapkan pada problem pengganti kepemimpinan Nabi. Umat Islam mengalami kebingungan karena Nabi tidak meninggalkan pesan siapa pengganti beliau. Kemudian atas konsensus para petinggi Islam, ditunjuklah Abu Bakar sebagaii

pengganti Nabi. Pada masa pengangkatan Abu Bakar ini muncul clash of

interest (konflik kepentingan) antara mayoritas pemuka Islam dengan Ali bin Abi Thalib beserta pengikutnya. Ali dan kelompoknya mengklaim diri sebagai pemimpin yang paling berhak menggantikan Nabi karena khilafah

menurut mereka adalah miratsun nubuwah (warisan kenabian), keluarga

9 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara

Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), p. 3.

10 Jajang Jahroni, "Khilafah Islam: Khilafah Yang Mana", dalam Abdul Moqsith

Ghazali dkk., Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis, (Jakarta: JIL, 2005), pp. 85-87.

11 Dawam Rahardjo, Ensiklopedia, p. 363.

12 Rosi Selly, Kebangkitan Khilafah Islamiyah di Tengah Arus Global, Jurnal Politik Islam,

(6)

Nabi Muhammad s.a.w. lebih berhak memperoleh mirats (warisan) ini. Karena beberapa alasan, Ali kemudian disingkirkan dari percaturan politik dan mayoritas pemuka Islam lebih memilih Abu Bakar secara aklamasi sebagai khalifah.

Sepeninggal Abu Bakar estafet kekhalifahan dipegang oleh Umar bin Khattab melaui wasiat yang diberikan oleh Abu Bakar. Setelah Umar bin Khatab wafat jabatan khalifah dikuasakan kepada Usman bin Affan melalui tim formatur yang diprakarsai oleh Umar. Setelah Usman wafat, posisi kekhalifahan dijabat oleh Ali melalui aklamasi. Periode keempat

khalifah ini terkenal dengan sebutan al-khulafaur rasyidin.13 Paska periode

al-khulafaur rasyidin terjadi transformasi yang sangat mendasar dalam sistem politik pada periode Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Berbeda dengan periode sahabat, sistem khilafah pada periode ini dijalankan secara dinasti oleh keluarga kerajaan. Hal ini berlanjut sampai dengan masa khilafah

Usmaniyah (Ottoman Empire). Para aktivis Islam politik mengklaim bahwa

semua model pemerintahan tersebut sebagai prototipe pemerintahan yang harus diadopsi sebagai sebuah "formula Islami".

Berangkat dari ekplanasi historis di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem khalifah muncul untuk merespon kondisi pada waktu itu. Dengan

demikian sifatnya ad-hoc. Hal ini dapat dilihat dari mekanisme

pengangkatan khalifah yang tidak sama antara satu dengan periode sesudahnya. Ini mengindikasikan bahwa tidak ada ketentuan baku

mengenai konsep khilafah.14 Kalau ada pihak yang mengklaim bahwa

satu-satunya sistem politik yang baku dalam Islam adalah khilafah, maka itu adalah argumentasi yang ahistoris. Sejak Islam datang Islam tidak pernah memperkenalkan satu bentuk kekuasaan. Kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa sistem khilafah menghasilkan tatanan politik yang elegan, maka asumsi itu harus dipertanyakan ulang. Tanpa bermaksud untuk menutup mata terhadap keberhasilan yang dihasilkan dari sistem khilafah, banyak dijumpai penyimpangan dan konflik politik memperebutkan kekuasaan. Otorianisme dan dispotisme kekuasaan juga lebih banyak mendominasi wajah buruk politik kekhilafahan.

Pada zaman Dinasti Umayah dan Abbasiyah yang dianggap sebagai periode keemasan Islam dalam memimpin peradaban dunia, kekuasaan banyak disalahgunakan oleh khalifah. Para khalifah banyak yang mempraktikkan sikap despotik dalam berpolitik yang jelas-jelas melanggar nilai-nilai agama. Para khalifah naik ke panggung kekuasaan dengan cara-cara yang tidak bermoral. Puncak dari dispotisme terjadi ketika diri mereka

13 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, cet. XIV, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2004), pp. 35-40.

(7)

mengklaim sebagai representasi Tuhan di muka bumi.15 Contoh kebobrokan moral khalifah antara lain dapat dilihat pada khalifah periode Muawiyah yang gemar melakukan pesta dan main perempuan. Yazid, putra khalifah pertama Muawiyah, gemar mabuk-mabukan hingga ia

dijuluki Yazid al-Khumur.16

Muhammad Said al-Asmawi, seorang pakar perbandingan hukum Islam dari Mesir mengatakan bahwa keberhasilan sistem khalifah dalam menciptakan situasi politik yang demokratis hanya terjadi sebentar pada masa Umar bin Khattab dan sebentar di masa Umar bin Abdul Aziz. Masa itu teramat pendek, kira-kira sekitar 22 tahun saja dari rentang panjang

sejarah Islam yang berumur 14 abad lebih.17 Dapat dikatakan, para aktivis

Islam politik hanya melulu bernostalgia (looking backward) ke masa

kekhalifahan pada periode awal Islam tanpa dibarengi sikap kritis terhadap sistem tersebut.

Kekhawatiran masyarakat tidak terkecuali kalangan Muslim sendiri terhadap upaya-upaya pemberlakuan syari'at Islam bukan tanpa alasan. Sebab data-data historis sejarah Islam menunjukkan bahwa isu syari'at Islam seringkali hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh sebagian elit demi mengejar ambisi pribadi atau golongan. Oleh karena itu, ketika Kemal Attaturk berkuasa di Turki, program prioritasnya adalah menghapus institusi khilafah. Alasannya adalah karena selama ini institusi tersebut seringkali digunakan untuk menjustifikasi kepentingan politik dari kelompok penguasa dengan dalih agama.

Dalam kondisi seperti itu, agama tidak lagi ditempatkan sebagai sistem penyangga moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, lewat para pemeluknya. Akan tetapi agama telah digeser dan dipaksa memainkan perannya secara berlebihan dalam urusan negara. Agama kemudian dijadikan legitimasi oleh penguasa untuk mengabsahkan kebijakan-kebijakan yang seringkali malah bertentangan dengan nilai agama. Dalam berpolitik, bendera agama seringkali dikibarkan oleh partai-partai politik untuk sekedar menguras suara pemilih sebanyak-banyaknya. Tentu saja kondisi ini bertentangan dengan idealitas agama, karena tidak sesuai dengan nilai dasar yang diperjuangkan oleh agama itu

15 Jajang Jahroni, "Khilafah, pp. 80-83.

16Farid Essack, "Muslim Engaging the Orther and the Human", dalam Abd.

Ahmad an-Naim (ed), Proletization and Command Self Determination in Africa, (New York: Orbis Book, 1995).

17 Muhammad Said al-Asymawi, "Jalan Menuju Tuhan", dalamBurhanuddin (ed)

dkk., Syari’at Islam: Pandangan Islam Liberal, (Jakarta: JIL, The Asia Foundation, 2003), p. 3.

(8)

sendiri, yakni mewujudkan masyarakat yang bermoral dalam arti seluas-luasnya.

Karena itu perjuangan dalam menerapkan syari'at Islam seharusnya dilakukan dengan mewaspadai gejala-gejala yang dikhawatirkan tersebut di atas. Akan lebih baik bila perjuangan untuk hal itu didahului dengan menata kehidupan sosial dan politik umat Islam melalui program-program pemberdayaan bagi masyarakat, yang manfaatnya segera dapat dirasakan secara konkrit, seperti pemenuhan kebutuhan pokok atau kebutuhan vital masyarakat berupa air bersih dan listrik, serta penyediaan fasilitas publik berupa rumah sakit, angkutan umum dan taman rekreasi. Demikian juga pendidikan gratis dan peningkatan pendapatan ekonomi bagi keluarga kurang mampu, sehingga pada gilirannya nanti masyarakat terbebaskan dari musuh-musuh agama yang paling menakutkan dan paling

menyesatkan, yaitu kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan,

keterbelakangan dan ketertindasan.18

Namun kemudian apa yang terjadi jika syari'at Islam benar-benar ditegakkan? Menurut Haedar Nashir terdapat tiga kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, suasana toleransi akan semakin menyempit. Padahal selama ini Islam menjadi dinamis karena keragaman internalnya. Tetapi kalau gerakan ini menguat, bila terdapat banyak varian pandangan bermunculan, maka cara menanggapinya bukan dengan dialog, tetapi fatwa dan klaim sesat dan menyesatkan. Kedua, proses dakwah Islam akan selalu bercorak struktural di mana orientasi akhirnya terletak pada perebutan kekuasaan. Memang aspek kekuasaan juga penting guna membangun negara agar berfungsi untuk mengurusi rakyat. Tetapi ketika agama terlalu ambisius ingin masuk ke pusaran kekuasaan, itu justeru akan

mematikan gerakan pencerahan dan fungsi Islam sebagai rahmatan lil

alamin. Ketiga, sebagai contoh di Indonesia, kendati di republik ini umat Islam merupakan mayoritas, tetapi secara sosiologis mereka tetap beragam dan yang mayoritas justeru "kaum abangan" dengan latar belakang sosio-kultural dan religiusitas yang tetap Islam. Munculnya corak Islam yang absolut dan serba syari'at menjadi arus yang kuat, mungkin sekali akan menimbulkan fragmentasi di tubuh umat Islam sendiri. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bagi mereka yang selama ini abangan dan sudah nyaman dengan corak Islam kultural untuk berpaling ke tempat lain yang lebih memberi kenyamanan secara teologis.

(9)

C. Beberapa hal yang menyebabkan gagalnya Islam politik (Gerakan Politik Islam)

Terdapat beberapa faktor baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap gagalnya GPI, yang secara garis besar terbagi menjadi dua faktor, yaitu faktor intern (dari dalam) dan faktor ektern (dari luar) yang paparannya adalah sebagai berikut:

1. Faktor intern

a. Lemahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Di antara para pimpinan dan para anggotanya. Fenomena tersebut disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah:

1. Ada anggapan dari sebagian GPI dan simpatisannya bahwa lembaga pendidikan di luar kelompok mereka merupakan lembaga pendidikan sekuler, sehingga kalau mereka masuk pada lembaga tersebut dikhawatirkan akan berpengaruh negatif terhadap paham keagamaan mereka. Mereka kemudian terkungkung pada pola pendidikan ala mereka yang sangat terbatas baik pada sarana dan prasarana serta kualitas pengajarnya.

2. Ada anggapan dari sebagian GPI dan simpatisannya bahwa ilmu-ilmu di luar bidang yang mereka geluti (non Islamic Studies) merupakan ilmu sekuler yang tidak perlu untuk dicari karena dikhawatirkan akan mendangkalkan keimanan mereka, sehingga dengan paham tersebut maka wawasan dan pengetahuan mereka menjadi sangat terbatas serta tidak terbuka menerima wawasan dari luar.

3. Ada anggapan dari sebagian GPI dan simpatisannya yang mengharamkan sarana informasi dan pendidikan seperti televisi dan radio, karena kekhawatiran terhadap dampak negatif yang ditimbulkan. sehingga berdampak pada rendahnya tingkat pengetahuan dan pemahaman keagamaan.

4. Ada anggapan dari sebagian GPI dan simpatisannya bahwa warisan keilmuan dan pengetahuan dari para ulama pada masa lalu sudah final dan tidak perlu dikembangkan serta dielaborasi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan umat Islam yang semakin kompleks. Dampak dari pemahaman tersebut adalah menjadikan wawasan dan pengetahuan yang mereka miliki menjadi tidak berkembang bahkan

cenderung jumud dan stagnan.

5. Dampak dari poin d di atas adalah bahwa sebagian GPI dan simpatisannya tidak mau mendialogkan (integrasi dan interkoneksi) keilmuan dan pengetahuan warisan ulama masa lalu dengan keilmuan agama dan umum masa kini. Fenomena tersebut dapat terjadi karena mereka menganggap bahwa ilmu atau pengetahuan warisan ulama masa

(10)

lalu dianggap merupakan hal yang sakral sehingga perlu dijunjung tinggi bahkan cenderung dikultuskan, sedangkan ilmu-ilmu di luar itu dianggap merupakan sesuatu yang profan yang tidak perlu diperhatikan.

6. Dampak dari poin huruf e di atas adalah karena sebagian GPI dan

simpatisannya tidak terbuka (open minded) terhadap hal-hal di luar

mereka, baik terhadap iptek maupun terhasdap komunitas di luar mereka, maka komunitas mereka menjadi sangat terbatas bahkan cenderung terasing di tengah masyarakat yang plural, sehingga karena terbatasnya (juga karena mereka membatasi diri) relasi dan komunikasi dengan pihak di luar komunitas mereka, maka menjadi sulit untuk mengembangkan kelompoknya.

Salah satu dampak dari lemahnya SDM tersebut adalah lemahnya dinamika keilmuan, pengetahuan, dan pemahaman keagamaan maupun

keilmuan umum mereka menjadi stagnan (jumud). Di samping itu, dari cara

pandang tersebut menimbulkan karakter keilmuan yang cenderung

tertutup (closed) serta perfeksionis, serta cenderung curiga terhadap produk

dari luar, baik yang berupa ilmu, pengetahuan dan teknologi. b. Lemahnya manajemen kelembagaan / organisasi

Fenomena tersebut terjadi karena lemahnya sumber daya manusia mereka di samping tidak berupaya untuk membuka wawasan dari luar. Pada umumnya mereka hanya berbekal semangat atau motivasi semata, tanpa dukungan kemampuan manajemen yang memadai.

c. Lemahnya kaderisasi pimpinan

Fenomena tersebut terjadi karena terlalu mengkultuskan sosok pimpinan tertentu sehingga kemudian menafikan para calon atau kader pimpinan, di samping memang kadang tidak ada program kaderisasi pimpinan. Dengan kata lain, hanya mengandalkan hukum alam tanpa adanya program kaderisasi calon pimpinan yang tersistem secara sistemik. d. Lemahnya persatuan (ukhuwah)

Walaupun Islam sangat menjujung tinggi ukhuwah (persaudaraan)

antara sesama Muslim, namun dalam realitasnya di antara kelompok GPI secara struktural tidak saling berhubungan satu sama lain, di samping secara kulturalpun tidak ada agenda yang tersistem untuk saling bertemu dalam rangka membahas agenda umat Islam, baik secara nasional maupun internasional, kalaupun ada agendanya cenderung hanya terbatas untuk kelompoknya sendiri (intern). Dampaknya adalah walaupun secara jumlah, umat Islam di dunia termasuk besar namun karena lemahnya ukhuwah dan solidaritas antara mereka maka tidak memiliki kekuatan yang pantas diperhitungkan dalam percaturan politik internasional. Hal yang nampak

(11)

jelas dalam kasus ini adalah lemahnya bargaining power umat Islam dalam menghadapi Israel. Termasuk lemah pula dalam lobi-lobi internasional misalnya di forum PBB.

Secara ekstern antar GPI nampak tidak saling menyapa, masing-masing berjalan sendiri-sendiri, tidak bersinergi untuk menyusun satu kekuatan baru yang terdiri dari berbagai unsur GPI yang ada, sehingga

menjadi lebih kuat bila dibanding bergerak sendiri-sendiri.19

e. Tidak menyesuaikan strategi perjuangan sesuai dengan perubahan zaman

Hal tersebut di antaranya disebabkan oleh pandangan sebagian kelompok GPI yang cenderung mengkultuskan teks-teks keagamaan tanpa ditunjang kemampuan menganalisis serta mengemas teks dengan kondisi yang sesuai dengan perubahan waktu dan tempat, sehingga diharapkan

dapat applicable dan marketable. Artinya kegagalan di sini lebih pada

ketidakmampuan mengemas teks keagamaan yang sesuai dengan masa dan tempat. Kelemahan ini juga disebabkan rendahnya SDM yang ada, sehingga tidak mampu menganalisa perkembangan zaman dalam rangka menyesuaikan strategi perjuangan.

2. Faktor ekstern:

a. Adanya kekuatan dari luar GPI yang secara sistemik berupaya dengan berbagai macam cara untuk melemahkan bahkan menggagalkan GPI dengan berbagai macam cara, dari mulai cara yang paling moderat sampai dengan cara yang radikal. Misalnya upaya adu domba yang dilakukan oleh pihak luar terhadap beberapa GPI untuk melemahkan bahkan membubarkan GPI. Hanya masalahnya di sini adalah karena lemahnya SDM yang dimiliki oleh masing-masing GPI serta lemahnya ukhuwah antar GPI yang berbeda, maka mereka (anggota GPI) kurang menyadarinya, bahkan kadang cenderung menikmati karena merasa “diuntungkan”. Dengan upaya adu domba ini, maka kekuatan GPI menjadi semakin lemah bahkan lama kelamaan tidak mustahil bisa punah. Fenomena pengaruh dari luar yang berupaya untuk menggagalkan gerakan Islamiyah sebetulnya sudah ada sejak zaman nabi Muhammad s.a.w. dan para sahabat. Misalnya adanya seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba' yang merupakan seorang propaganda ulung yang menimbulkan perpecahan di tubuh umat

Islam, sehingga karena pengaruhnya kemudian muncul kelompok Syi'ah

Imamiyah atau Syi'ah Itsna Asyariyyah yang menurut suatu sumber

19 Chumaidi Syarif Romas dan Masrur, "Relasi Agama dan Negara menurut

Partai Keadilan Sejahtera" dalam Jurnal Penelitian Agama, Pusat Penelitian (Puslit) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol XIV No. 2 Mei – Agustus 2005.

(12)

merupakan hasil propaganda seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba'.20

b. Adanya pemerintahan negara-negara Islam ataupun negara Muslim yang menerapkan sistem demokrasi, sehingga fenomena tersebut menghambat khilafah Islamiyah yang memiliki struktur (garis hierarki atau garis komando) dari tingkat yang paling rendah sampai dengan

tingkat tertinggi.21 Dengan semakin merebaknya sistem dan praktik

demokrasi dalam suatu wilayah negara Muslim tertentu maka peran dari para tokoh elit gerakan Islamiyah menjadi kurang signifikan. Merebaknya sistem dan ide tentang demokrasi dimungkinkan karena demokrasi diharapkan dapat menjanjikan solusi terbaik bagi perbaikan tatanan masyarakat suatu bangsa. Kemajemukan suatu bangsa dapat menjadi modal sosial demokrasi yang potensial bagi pengembangan demokrasi, sekalipun demokrasi bukanlah hal baru dalam perjalanan sejarah.22

c. Berkembangnya ide kebangsaan dan nasionalisme yang berkembang ke negara-negara Muslim, sehingga menghambat ide tentang khilafah

Islamiyah.23 Dengan merebaknya ide dan sistem demokrasi maka di

sisi lain juga telah mendorong bangkitnya nasionalisme. Munculnya semangat nasionalisme ditandai dengan tumbuhnya perasaan kebangsaan dan perasaan senasib dari suatu bangsa. Fenomena tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap berkurangnya rasa ukhuwah sesama Muslim di seluruh dunia, mengingat umat Islam kemudian terkotak-kotak dalam wadah bangsa tertentu dan nasional tertentu. Hal tersebut khususnya di Timur Tengah akan semakin memperkuat karakter bangsa Arab pada umumnya yang memang

memiliki ciri su’ubiyah (berkabilah-kabilah), sehingga semakin sulit

untuk menyatukan dalam wadah khilafah Islamiyah. D. Penutup

Sejauh yang telah dipaparkan dalam tulisan ini, maka dapat ditegaskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Secara garis besar terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap gagalnya Gerakan Politik Islam (GPI), yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang berpengaruh terhadap gagalnya GPI adalah: a). lemahnya kualitas sumber

20 Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-aliran dalam Islam dan Ciri-ciri Ajarannya,

(Jakarta: Pustaka Al-Riyadl, 2006), p. 7.

21Ibid., p. 150.

22 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat

Madani, (Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah), p. vi.

(13)

daya manusia (SDM) di antara para pimpinan dan anggota serta simpatisan GPI, b). lemahnya manajemen kelembagaan/organisasi GPI,

c). lemahnya kaderisasi pimpinan, d). lemahnya persatuan (ukhuwah)

baik intern dalam satu GPI maupun antar GPI yang berbeda, dan e). dalam melakukan strategi perjuangan kurang menyesuaikan dengan perkembangan zaman, sedangkan faktor ekstern penyebab gagalnya GPI adalah: a). adanya kekuatan dari luar GPI yang berupaya dengan berbagai macam cara yang tersistem secara sistemik untuk melemahkan bahkan menggagalkan GPI, b). adanya pemerintahan dari negara-negara Islam maupun negara-negara Muslim yang menerapkan sistem demokrasi, sehingga berpengaruh pada sistem khilafah, c). berkembangnya ide kebangsaan dan nasionalisme yang berkembang ke negara-negara Muslim

yang menghambat ide pembentukan khilafah Islamiyah.

(14)

Daftar Pustaka

Abdullah, Sufyan Raji, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan ciri-ciri

Ajarannya, Jakarta: Pustaka Al-Riyadl, 2006.

Abdussalam, Zarkasji dan Oman Fathurrahman, Pengantar Fiqh dan Ushul

Fiqh, Yogyakarta: Liberty, 1986.

Asroni, Ahmad, "Islam Politik dan Problematika Formalisasi Syariat Islam

di Indonesia", dalam Karya Ilmiah Unggulan Mahasiswa UIN Sunan

Kalijaga, 2008.

Al-Asymawi, Muhammad Said, "Jalan Menuju Tuhan", dalam

Burhanuddin (ed) dkk., Syari’at Islam: Pandangan Islam Liberal, Jakarta:

JIL, The Asia Foundation, 2003.

Azra, Azyumardi, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan

Antarumat, Jakarta: Kompas, 2002.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1984.

Essack, Farid, "Muslim Engaging the Orther and the Human", dalam

Abd. Ahmad an-Naim (ed), Proletization and Command Self

Determination in Africa, New York: Orbis Book, 1995.

Hodgson MSG., The Venture of Islam, Chicago: The University of Chicago

Press, 1974.

Jahroni, Jajang, "Khilafah Islam: Khilafah Yang Mana", dalam Abdul

Moqsith Ghazali dkk., Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan

Keberagamaan yang Dinamis, Jakarta: JIL, 2005. Kompas, 13 Agustus 2007.

Kusairi, Ahmad, "Bersyari’ah di Tengah Masyarakat Multikultural Studi Kasus Pemikiran Muslim Liberal Tentang Formalisasi Syariat Islam

di Indonesia", dalam Karya Ilmiah Unggulan Mahasiswa UIN Sunan

Kalijaga, 2008.

Ma’arif, M. Syafi’i, Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in Constituent Assembly Debates in Indonesia, Chicago: Chicago University, 1981.

Quth, Sayyid, Ma’alim fi al-Thariq, Cairo: Dar Syuruq, 1992.

(15)

Romas, Chumaidi Syarif dan Masrur, "Relasi Agama dan Negara menurut

Partai Keadilan Sejahtera" dalam Jurnal Penelitian Agama, Pusat

Penelitian (Puslit) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol XIV No. 2 Mei – Agustus 2005.

Selly, Rosi, Kebangkitan Khilafah Islamiyah di Tengah Arus Global, Jurnal Politik

Islam, Volume I, Nomor 2, 2006/1427.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai

Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2004.

Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1995.

Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan

Masyarakat Madani, Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah.

Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat

Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, cet. XIV, Jakarta: RajaGrafindo

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Minat terhadap muzik rock bawah tanah, amalan sub-budayanya yang unik dan gaya hidup yang diekspresikan oleh remaja diandaikan mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung

Metode analisis data terdiri atas 3 tahap, yaitu analisis pola spasial longsor, penggunaan lahan, dan lereng; analisis pola spasial bentuklahan, jejaring jalan,

Model yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri atas 5 variabel atau konstruk, yaitu keahlian komunikasi, perencanaan penjualan, dukungan material, sistem kontrol,

Dalam kegiatan Peninjauan Kembali Perda tentang RTRW Kota Binjai ini syarat, tahapan Dalam kegiatan Peninjauan Kembali Perda tentang RTRW Kota Binjai ini syarat,

Iklan Baris Iklan Baris Serba Serbi JAKARTA BARAT RUPA-RUPA Rumah Dikontrakan JAKARTA TIMUR TANAH DIJUAL TELEPON.. MENGURUS PASANG Baru Tel- pon Telkom Kabel, Tambah Line Utk

perkembangan politik indonesia sebagai bagian dari komponen yang ikut menentukan arah pilitik di Indonesia. Buku selanjutnya lalah buku terbitan Pujarah ABRI karya

Pada hari Jumat 08 Januari 2016, pukul 15:20 WIB dilakukan evaluasi keperawatan dengan diangnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan