• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENOKOHAN FILM JOKER KARYA TODD PHILLIPS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENOKOHAN FILM JOKER KARYA TODD PHILLIPS"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

PENOKOHAN FILM JOKER KARYA TODD

PHILLIPS

(ANALISIS RESEPSI TOKOH ARTHUR FLECK OLEH ANAK

MUDA USIA 18-24 TAHUN DI JAKARTA SELATAN)

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh:

Nadiya Ayu Muthmainah 106116020

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

FAKULTAS KOMUNIKASI DAN DIPLOMASI

UNIVERSITAS PERTAMINA

(2)

PENOKOHAN FILM JOKER KARYA TODD

PHILLIPS

(ANALISIS RESEPSI TOKOH ARTHUR FLECK OLEH ANAK

MUDA USIA 18-24 TAHUN DI JAKARTA SELATAN)

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh:

Nadiya Ayu Muthmainah 106116020

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

FAKULTAS KOMUNIKASI DAN DIPLOMASI

UNIVERSITAS PERTAMINA

(3)
(4)
(5)

Universitas Pertamina -iv

ABSTRAK

Nadiya Ayu Muthmainah. 106116020. Penokohan Film Joker Karya Todd

Phillips (Analisis Resepsi Tokoh Arthur Fleck Oleh Anak Muda Usia 18-24 Tahun Di Jakarta Selatan).

Penelitian ini membahas fungsi penampilan tokoh dan karakterisasi Arthur Fleck pada film Joker dengan tujuan melihat interpretasi masing-masing informan sebagai khalayak aktif dalam menerima dan mengolah pesan dari media. Metode yang digunakan adalah analisis resepsi dengan pendekatan kualitatif. Teori Semiotika Saussure juga diikutsertakan untuk menganalisa wacana media agar mendapat makna dominan (preferred reading) oleh peneliti. Hasilnya menunjukkan terdapat beragam pemaknaan pesan oleh khalayak yang dikategorikan dalam the three hypothetical position Stuart Hall.

(6)

Universitas Pertamina -v

ABSTRACT

Nadiya Ayu Muthmainah 106116020. Characterization on Joker Film By Todd

Philiips (Reception Analysis of Arthur Fleck Figures by Young People Aged 18-24 Years in South Jakarta)

This research examines the function of Arthur Fleck’s acts and his characterization in Joker Movie. The purpose is to identify the interpretation of each active audiences for messages receiving and processing from media. the method of this research is using reception analysis with a qualitative approach. Futhermore, the theory of Semiotika Saussure is also used to analyze media discourse to get preferred reading. However, the result shows various meaning of the messages from active audiences which has categorized in the three hypoheetical position Stuart Hall.

(7)

Universitas Pertamina -vi

KATA PENGANTAR

Salah satu karya saya yang cukup berkesan dan memberikan banyak pengalaman sebagai pembelajar. Selesainya karya ini tidak terlepas dari saran dan doa orang-orang baik.

1. Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa

2. Kepada Mamah dan Ayah tercinta, serta Adik-Adik di rumah 3. Kepada Ibu Melisa Indriana Putri

4. Kepada Teman-Teman, Keluarga, dan Orang-Orang yang secara sadar atau tidak sadar memberikan perhatiannya kepada saya dan penelitian ini Teruslah menjadi pembelajar.

Jakarta, Januari 2020

(8)

Universitas Pertamina -vii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Penelitian Terdahulu ... 11

2.2 Media Massa ... 13

2.3 Film ... 14

2.3.1 Film Sebagai Media Komunikasi ... 23

2.4 Penokohan ... 23

2.4.1 Tokoh ... 24

2.4.2 Karakter/Watak ... 26

(9)

Universitas Pertamina -viii

2.6 Teori Resepsi ... 31

2.7 Teori Semiotika Saussure ... 33

2.8 Kerangka Berpikir ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

3.1 Strategi Penelitian ... 37

3.2 Sumber Data ... 39

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 41

3.4 Metode Analisis Data dan Interpretasi Data ... 42

3.5 Metode Pengujian Kualitas Data ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI ... 45

4.1 Gambaran Umum Penelitian ... 45

4.1.1 Film Joker ... 45

4.1.2 Sinopsis Film Joker ... 47

4.2 Hasil Penelitian ... 47

4.2.1 Preferred Reading Terhadap Fungsi Penampilan Tokoh Arthur Fleck Dalam Film Joker ... 48

4.2.2 Preferred Reading Terhadap Karakterisasi Tokoh Arthur Fleck Dalam Film Joker ... 51

4.2.3 Informan Penelitian ... 93

4.2.4 Pemaknaan Khalayak Terhadap Fungsi Penampilan Tokoh Arthur Fleck Dalam Film Joker ... 94

4.2.5 Pemaknaan Khalayak Terhadap Karakterisasi Tokoh Arthur Fleck Dalam Film Joker ... 97

4.3 Diskusi ... 100

4.3.1 Fungsi Penampilan Tokoh ... 101

4.3.2 Karakterisasi ... 103

(10)

Universitas Pertamina -ix 5.1 Kesimpulan ... 110 5.2 Keterbatasan Penelitian ... 112 5.3 Saran ... 112 DAFTAR PUSTAKA ... 114 LAMPIRAN ... 119

(11)

Universitas Pertamina -x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 11

Tabel 4.2.1.1 Scene Ciri Tokoh Memiliki Masalah ... 48

Tabel 4.2.1.2 Scene Ciri Tokoh Mengalami Perubahan ... 49

Table 4.2.1.3 Scene Ciri Tokoh Membantu Menyampaikan Pesan Film ... 50

Tabel 4.2.2.1. Shot & Scene Sifat Narsistik Arthur ... 52

Tabel 4.2.2.2 Shot & Scene Sifat Peduli Arthur ... 56

Tabel 4.2.2.3. Shot & Scene Sifat Pendendam Arthur ... 59

Tabel 4.2.2.4. Shot & Scene Sifat Iri Arthur ... 66

Tabel 4.2.2.5. Shot Sifat Emosional Arthur ... 67

Tabel 4.2.2.6. Scene Sifat Penuduh Arthur ... 69

Tabel 4.2.2.7. Shot & Scene Sifat Ingin Diakui Arthur ... 71

Tabel 4.2.2.8. Scene Sifat Arthur Yang Senang Menghibur Anak-Anak ... 75

Tabel 4.2.2.9 Shot & Scene Sifat Penyendiri Arthur ... 76

Tabel 4.2.2.10. Scene Sifat Arthur Yang Mudah Dirayu ... 78

Tabel 4.2.2.11. Shot & Scene Sifat Tidak Lucu Dan Gila Arthur ... 79

Tabel 4.2.2.12 Shot & Scene Sifat Pemarah Arthur ... 80

Tabel 4.2.2.13. Scene Arthur Memiliki Gangguan Pada Tawanya ... 81

Tabel 4.2.2.14. Shot & Scene Sifat Aneh Arthur ... 85

Tabel 4.2.2.15. Scene Karakter Arthur Dilihat Dari Gaya Penampilannya .... 89

Tabel 4.2.2.16. Scene Karakter Arthur Dilihat Dari Namanya Sebagai ‘Joker’ ... 91

(12)

Universitas Pertamina -xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.7 Elemen Tanda Saussure ... 34 Gambar 4.1.1 Poster Film Joker 2019 ... 45

(13)

Universitas Pertamina -xii

DAFTAR BAGAN

(14)

Universitas Pertamina -xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran ... 119 Panduan Wawancara ... 119 Open Coding ... 119 Axial Coding ... 128 Sellective Coding ... 133

(15)

Universitas Pertamina -1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagian besar komunikasi dan informasi yang diterima masyarakat berasal dari media massa. Media massa mampu menjangkau khalayak dalam jumlah yang besar dan luas, bersifat publik serta mampu memberikan popularitas bagi siapa saja yang muncul di media massa (McQuail, 2000: 4). Hadirnya media massa memiliki pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap khalayak melalui alat-alat komunikasi mekanis seperti film, koran dan tv (Cangara, 2002: 134). Kekuatan yang dimiliki media massa ini menjadi perhatian banyak manusia untuk menyampaikan informasi secara luas, salah satunya dengan film.

Film merupakan media massa yang berfungsi sebagai hiburan (Fais, Sudaryanto, Andayani, 2019: 25). Film dibuat menggunakan media audio visual untuk menggambarkan cerita atau pesan yang ingin disampaikan dan dapat dijangkau oleh masyarakat di berbagai negara. Cerita dapat berupa fiksi ataupun nonfiksi yang dirangkai secara mendalam sesuai dengan kebutuhan sineas. Dalam sebuah lakon, plot sering diartikan sebagai sebuah tulang punggung cerita. Namun untuk pelaksanaannya, diperlukan seorang tokoh dan penokohan sebagai penggambaran subjek dalam cerita (Mukhtar, Mukhlis, & Subhayni, 2016: 145). Menurut Pratista (2008: 1), terdapat dua unsur yang membantu kita dalam memahami sebuah film, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. Unsur naratif

(16)

Universitas Pertamina -2 terdiri dari pemeran/tokoh, permasalahan dan konflik, tujuan, ruang/lokasi, dan

waktu. Sedangkan untuk unsur sinematik terdiri dari mise-en-scene,

sinematografi, editing, dan suara. Kedua unsur ini saling berkaitan agar menghasilkan film yang diharapkan oleh sineasnya. Oleh karena itu tokoh dan penokohan merupakan salah satu elemen penting yang terdapat dalam film.

Elemen tokoh bersifat penting dalam membantu menggambarkan ide cerita. Terdapat dua jenis elemen tokoh yaitu pemeran utama/tokoh utama dan pemeran pendukung/tokoh pendukung (Pratista, 2008: 38). Nurgiyantoro (2017: 178) membagi elemen tokoh ini sesuai fungsi penampilannya yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh utama adalah bagian dari ide cerita dalam film yang diistilahkan protagonis. Salah satu jenisnya secara populer disebut hero, tokoh yang kita kagumi (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro, 2017: 178). Tokoh pendukung dijadikan pendukung ide cerita dengan karakter pembuat masalah yang menjadikan narasi lebih rumit atau sebagai pemicu konflik disebut dengan istilah antagonis (Pratista, 2008: 39). Kedua elemen ini memiliki perannya masing-masing agar menjadikan cerita lebih hidup.

Namun pandangan ini tidak begitu relevan dalam film Joker (2019) besutan Todd Phillips dari rumah produksi Warner Bros (DC Film). Ia dan tim membawa tokoh villain menjadi tokoh utama (protagonis) yang dibalut agar penonton mendapatkan kesan tersendiri setelah menontonnya yakni tokoh Arthur Fleck yang nantinya bertransformasi menjadi Joker. Villain merupakan istilah yang kerap kali disandangkan berlawanan dengan istilah hero, yang tugasnya mengganggu upaya penyelamatan yang dilakukan pahlawan sebagai tokoh protagonis (Set dan Sidharta, 2003: 74-75). Dengan begitu, Todd Phillips

(17)

Universitas Pertamina -3 membangun karakter pembuat masalah yang ada di sosok tokoh pendukung (antagonis) menjadi sosok tokoh utama (protagonis). Joker mengusung cerita

standalone dan original sang villain ikonik yang belum pernah diangkat ke layar lebar sebelumnya. Melalui laman Jokermovienet (2019) dijelaskan bahwa Todd Phillips mengeksplorasi seorang Arthur Fleck (Joaquin Phoenix), pria yang dikucilkan oleh masyarakat, bukan hanya membawa studi karakter kelam, tetapi juga mengandung peringatan keras.

Menurut Sani (1992: 17), daya tarik tokoh terkandung dalam keunikan mereka, dalam sifat-sifat dan ciri-ciri yang membedakan mereka dari orang-orang biasa. Hal ini diimplementasikan dengan baik oleh Phillips saat mengarahkan Joaquin Phoenix sebagai pemeran Arthur Fleck. Film Joker seperti berpusat pada satu tokoh tunggal yang unik melalui plot dan dialog yang diberikan. Semua karakter terlihat sebagai pemeran pendukung dalam kehidupan pribadi Arthur Fleck. Tokoh ini pun memiliki ciri khas yaitu tawa lirihnya akibat dari penyakit yang diderita. Joaquin diketahui mendalami karakter tokoh dengan sebaik mungkin. Pendalaman karakter yang dilakukannya juga menjadi perhatian masyarakat. Joaquin menurukan berat badannya hingga 23 kilogram untuk menjadi Arthur Fleck. Ia juga meriset dari berbagai sumber supaya mendapat tawa khas Joker yang dibuatnya sendiri dan mendatangi rumah sakit jiwa dalam melatih emosinya (Nugraha, 2019). Dengan pendalaman karakter tersebut, tokoh Joker karya Todd Phillips menjadi salah satu tokoh yang membekas bagi penonton (Redaksi Kumparan, 2019).

Pada dasarnya, film memiliki banyak informasi yang ingin disampaikan dan nantinya akan diterima oleh penonton. Dalam pengkajian encoding-decoding

(18)

Universitas Pertamina -4 Stuart Hall, penonton melakukan proses pemaknaan pesan dalam mengonsumsi media. Mereka sebagai khalayak aktif membentuk makna, menciptakan makna dan membuat makna bervariasi dan berbeda satu sama lain tentang gambaran-gambaran media, representasi dari teks-teks yang diciptakan dan disajikan dalam media (Rachma, 2014: 4). Peristiwa yang sama dapat dikirimkan media massa dan dapat pula diterjemahkan dengan berbagai cara oleh para khalayak (Fitri, 2015). Hal ini berlaku pada teks media, salah satunya melalui film. Khalayak tidak bersifat pasif dan makna yang disampaikan media akan terwujud bila dilakukan oleh khalayak itu sendiri. Makna dari media massa bisa saja diterima secara penuh atau bahkan bisa juga mengonstruksikan makna keluar dari apa yang sudah dibentuk. Pemaknaan teks media akan bervariasi karena khalayak memiliki pengetahuan dan pengalamannya masing-masing.

Mengenai perbedaan variasi pemaknaan teks media yang ada di film Joker, terdapat kasus yang sempat menjadi pemberitaan internasional. Peristiwa yang menimpa remaja di Rusia berusia 18 tahun bernama Gleb Korabljov ditulis

scoopsquare24.com (2019) pada laman beritanya. Ia menyiarkan langsung bagaimana cara dia bunuh diri melalui media sosialnya. Peristiwa ini merujuk pada sebuah adegan dalam film Joker. Setelah melontarkan kata-kata kasar, ia memegang sebuah pistol dan mengarahkan ke kepalanya lalu ia menarik pemantik pistol tersebut hingga kepalanya pecah. Kejadian tersebut hampir sama seperti adegan klimaks yang dilakukan tokoh Arthur Fleck dalam film Joker. Walaupun pada akhirnya Arthur Fleck berubah pikiran dan memilih untuk membunuh Murray Franklin yang diperankan oleh Robert De Niro. Namun hal tersebut

(19)

Universitas Pertamina -5 hanyalah adegan pada sebuah film, yang kenyataannya Robert De Niro masih hidup di dunia ini.

Film yang tergolong baru ini juga telah menarik perhatian dunia. Menurut Forbes pertanggal 8 November 2019, Joker meraih total US$956 juta sekitar Rp 13 triliun mengalahkan dua film Deadpool (2016 & 2018), IT (2017) dan Logan (2017) (Mandelson, 2019). Di Indonesia sendiri, jumlah pemasukan yang diperoleh Joker dalam penayangan perdananya sebesar 846 ribu dolar AS atau sekitar Rp 12 miliar, dengan jumlah penonton Indonesia di hari perdana sekitar 300 ribu penonton. Hal ini termasuk dalam kategori tinggi untuk penonton Indonesia dan mengalahkan pencapaian film superhero lokal, yakni Gundala (2019) yang hanya sejumlah 174 ribu penonton (Rizal, 2019).

Jumlah pendapatan dan penonton film tidak terlepas dari penonton yang rela mengeluarkan waktu dan uangnya untuk membeli tiket bioskop. Menurut sutradara kenamaan Rusia, Andrei Tarkovsky, orang-orang yang datang ke ruangan gelap (bioskop), selama dua jam dan menonton pertunjukan bayang-bayang dalam layar berkaitan dengan waktu yang mereka punya.

“Why people go to cinema? I think that what a person normally goes to cinema for is time: for time lost or spent or not yet had. He goes there for living experience; for cinema, like no other art, widens, enhances and concentrates a person’s experience-and not only enhances it but makes it longer, significantly longer. (Tarkovsky, 1986: 63)”.

Mereka kehilangan atau menghabiskan waktunya untuk mendapatkan dan meningkatkan pengalaman personal. Hal ini menjadikan film sebagai karya seni yang mampu memiliki ruang tersendiri bagi penontonnya. Sehingga mereka akan rela menghabiskan waktu dan perhatiannya untuk menikmati karya tersebut.

(20)

Universitas Pertamina -6 Dengan begitu, para sineas akan berusaha sebaik mungkin melakukan proses produksi film agar menjadi karya seni yang dapat dinikmati.

Menurut survei basis film di Amerika Serikat, PostTrak Motion Picture Study tahun 2019, menunjukkan bahwa usia 18 sampai 24 tahun adalah segmentasi penonton bioskop terbanyak. Separuh penonton bioskop berusia 25 tahun kebawah dan sebagian lagi berusia 25 tahun lebih. Mereka mewakili seperempat dari seluruh penjualan tiket bioskop dalam tujuh tahun terakhir dan rela membayar lebih mahal untuk menonton bioskop (Andaridefia, 2019). Selain itu data dari tim MoneySmart.id (2018) menemukan bahwa sekitar 10,9 persen pengeluaran anak muda Jakarta untuk menonton ke bioskop, posisi ini berada diperingkat empat setelah travelling, nongkrong di kafe, dan shopping. Survei ditujukan kepada anak muda ibukota mengenai gaya hidupnya. Tinggal di kota besar, khususnya Jakarta membuat anak muda cenderung boros dan konsumtif (Hidayah, 2018).

Sebagai bagian dari media massa, film mampu memberikan informasi secara universal. Informasi yang dikonstruksi media massa akan mendapatkan pemaknaan yang bervariasi dari masing-masing khalayak, hal ini terjadi karena penempatan khalayak sebagai individu yang aktif. Dalam film, salah satu unsur pentingnya ialah penokohan. Tokoh villain yang kerap kali dianggap sebagai pemeran pendukung yang dapat menimbulkan konflik, terpatahkan dengan karakter Arthur Fleck di film Joker karya Todd Phillips.

Film Joker telah menarik perhatian khalayak dunia, salah satunya Indonesia, dilihat dengan pendapatan perdana film ini mampu mengalahkan film

(21)

Universitas Pertamina -7 lokal. Aktivitas menonton bioskop menjadi salah satu pengeluaran anak muda ibukota dalam gaya hidupnya menurut survei MoneySmart.id. Hal ini menandakan anak muda Jakarta menjadi salah satu penonton film di bioskop. Dengan begitu, peneliti akan melihat hasil analisis resepsi anak muda usia 18-24 tahun terhadap penokohan Arthur Fleck dalam film Joker.

1.2 Rumusan MasalahPenelitian

Penelitian ini akan melihat penokohan Arthur Fleck menggunakan analisis resepsi yang berfokus pada bagaimana khalayak aktif memaknai isi film Joker. Pesan media memiliki banyak makna yang membuat proses pemaknaan khalayak beragam karena informasi diinterpretasikan sesuai sudut pandang masing-masing (Toni & Fajariko, 2018). Penokohan Arthur Fleck sebagai fokus utama penelitian kualitatif ini dengan subjek adalah anak muda di Jakarta Selatan berumur 18-24 tahun dengan kriteria yang sudah ditentukan, pernah menonton film Joker, dan memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Dengan tujuan untuk meneliti adanya interpretasi makna dalam penokohan sebuah film. Penelitian ini menggunakan teori resepsi yang merujuk ke encoding-decoding Stuart Hall untuk melihat proses transfer suatu teks dari produsen (sineas) ke konsumen (anak muda usia 18-24 tahun di Jakarta Selatan) yang masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda, sehingga pada akhirnya menghasilkan makna yang bervariasi. Dengan begitu, rumusan permasalahan penelitian ini adalah :

(1) Bagaimana Resepsi Khalayak terhadap Fungsi Penampilan Tokoh Arthur Fleck dalam Film Joker Karya Todd Phillips?

(22)

Universitas Pertamina -8 (2) Bagaimana Resepsi Khalayak terhadap Karakterisasi Arthur Fleck dalam Film

Joker Karya Todd Phillips?

1.3 Tujuan Penelitian

(1) Mengetahui pemaknaan khalayak mengenai fungsi penampilan tokoh Arthur Fleck dalam film Joker

(2) Mengetahui interpretasi khalayak mengenai karakter Arthur Fleck dalam film Joker

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut:

(1) Manfaat Akademis, dapat berkontribusi terhadap teori unsur film serta penelitian selanjutnya mengenai pemaknaan khalayak terhadap unsur penokohan di media massa

(2) Manfaat Praktis, dapat menjadi preferensi bagi sineas dalam menciptakan dan membangun unsur penokohan di film

(3) Manfaat Sosial, dapat mengingatkan masyarakat sebagai khalayak agar lebih kritis dan peka dalam menilai suatu film

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman mengenai penelitian ini, peneliti membagi pembahasan dengan lima bab utama, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN berisi mengenai latar belakang pemilihan topik serta rumusan, tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan. Latar belakang penelitian

(23)

Universitas Pertamina -9 ini melihat fenomena film Joker yang mencuri perhatian penonton di Indonesia dengan menjadikan villain iconic sebagai pemeran utama, sehingga peneliti ingin meneliti interpretasi khalayak terhadap penokohan Arthur Fleck dalam film Joker.

BAB II KAJIAN PUSTAKA berisi penelitian terdahulu serta konsep dan teori terkait topik yang dibahas dalam Bab I. Penelitian terdahulu yang diambil merujuk pada penelitian resepsi khalayak terhadap media massa. Konsep-konsep yang digunakan berupa media massa, film, penokohan dan khalayak dengan teori resepsi dan teori semiotika Saussure.

BAB III METODE PENELITIAN berisi strategi penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis data, metode interpretasi data, metode pengujian kualitas data. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivism. Sumber data diperoleh dari hasil wawancara narasumber yang dipilih berdasarkan metode purposive sampling. Penelitian menggunakan metode resepsi dengan tahap pengumpulan data (observasi dan wawancara), tahap analisis (melakukan analisis terhadap wacana media menggunakan semiotika Saussure oleh peneliti, melakukan pengkodingan untuk wacana khalayak, penyajian data dan penarikan kesimpulan) serta tahap interpretasi data. Metode triangulasi sumber data menjadi metode pengujian kualitas data yang dipilih agar hasil penelitian sesuai dengan kriteria penelitian kualitatif.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI berisi deskripsi hasil preferred reading peneliti dan hasil pemaknaan khalayak terhadap penokohan film Joker

(24)

Universitas Pertamina -10 yang selanjutnya dibandingkan untuk menentukan posisi khalayak sebagai penonton sesuai the three hypothetical positions Hall.

BAB V PENUTUP berisi kesimpulan, keterbatasan penelitan serta saran. Pada bab ini, tujuan penelitian dijawab melalui simpulan. Begitu juga kekurangan penelitan seperti dalam proses metode penelitian agar dapat menjadi perhatian kajian selanjutnya.

(25)

Universitas Pertamina -11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Sebelum memilih fokus penelitian, peneliti telah menjelajah penelitian-penelitian terkait resepsi khalayak terhadap media massa. Penelitian-penelitian-penelitian terdahulu menjadi acuan untuk melakukan riset ini, dari mulai pencarian ide, sistematika penulisan hingga metode penelitan. Umumnya penelitian dengan teori

encoding-decoding Stuart Hall membandingkan wacana media dan wacana khalayak yang nantinya dibandingkan agar dapat ditentukan posisi khalayak sebagai penonton sesuai the three hypothetical positions Hall. Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang peneliti gunakan sebagai preferensi penelitian ini:

Tabel 2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu

No. Peneliti, Judul,

Tahun Metode Hasil

1. Fitri, Ainal (2015) Judul: Pemaknaan Masyarakat Non-Muslim Di Banda Aceh Terhadap Pemberitaan Qanun Jinayah (Hukum Pidana Islam) di Harian Serambi Indonesia Kualitatif (Analisis Resepsi)

Hasilnya dari sisi wacana media adalah makna dominan yang dihasilkan Serambi Indonesia keseluruhannya berasal dari sudut pandang pemerintah dan pihak pro

yang mengutamakan kepentingan

mayoritas dengan membungkan kelompok minoritas non-Muslim di Aceh. Dari sisi

wacana khalayak, ditermukan tiga

informan (beragama Hindu, Buddha dan Protestan) berada diposisi dominan dan negosiasi sedangkan tiga informan lainnya (Hindu, Protestan dan Katholik) berada diposisi oposisi terhadap wacana teks Serambi Indonesia

2. Fikar, Muhammad

(2018)

Kualitatif (Analisis

Hasil pada fokus penelitian pertama (kesesuaian karakter pemain dengan

(26)

Universitas Pertamina -12

Judul: Analisa Resepsi Komunitas Harsha Pratala Pada Kesesuaian Karakter dan Plot Cerita di Film “Everest’

Resepsi) peran), lima informan berada pada posisi

dominan dan dua berada diposisi

negosiasi. Fokus penelitian kedua

(kesesuaian sistematika alur cerita), dua informan berada dominan, tiga berada negosiasi, dan dua berada di posisi oposisi. Para informan meresepsikan dengan melihat akting dan perwatakan tokoh serta alur cerita pada setiap adegan

3. Aldi, Cipto (2018 )

Judul: Interpretasi Khalayak Dalam Tayangan Pembukan Asian Para Games 2018 Segmen Bulan Karunia (Studi Analisis Resepsi Khalayak Terhadap Penyandan Disabilitas Dalam Tayangan Pembukan Asian Para Games 2018 Di Youtube)

Kualitatif (Analisis Resepsi)

Pemaknaan oleh lima informan beragam terhadap tayangan pembuka Asian Para Games 2018. Dalam pemaknaan tokoh Bulan, dua informan ada di posisi

dominan, satu informan di posisi

negosiasi dan dua informan di posisi oposisi. Sedangkan untuk pemaknaan penyandang disabilitas pada tayangan tersebut, posisi dominan diisi oleh dua informan, negoisasai oleh satu informan dan oposisi oleh dua informan.

Masing-masing informan sepakat bahwa

penyandang disabilitas tidak ada bedanya dengan orang normal pada umumnya

Sumber: Aldi (2018); Fikar (2018); dan Fitri (2015)

Penelitian-penelitian terdahulu menunjukan bahwa khalayak memiliki beragam variasi pemaknaan teks, hal ini berarti khalayak tidak lagi pasif dalam menerima wacana media. Konstruksi makna dari media dapat diartikan berbeda oleh khalayak. Meskipun penelitian-penelitian terdahulu menjadi acuan penelitian peneliti, namun yang membedakannya adalah pemilihan media dan fokus penelitian. Fitri (2015) memilih media cetak Harian Serambi Indonesia serta fokus dengan pemberitaan Qanul Jinayah, Aldi (2018) memilih media youtube tayangan pembukaan Asian Para Games 2018 dengan fokus penelitian mengenai penyandang disabilitas. Sedangkan Fikar (2018) memilih media massa film namun dengan judul Everest serta fokus penelitian kesesuaian karakter dan plot ceritanya.

(27)

Universitas Pertamina -13

2.2 Media Massa

Media dalam pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah alat sarana komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film poster, dan spanduk; yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dan sebagainya); perantara; penghubung (KBBI, 2019). Sedangkan pengertian massa mengacu pada jumlah yang banyak (sekumpulan orang) berkumpul di suatu tempat atau tersebar (KBBI, 2019). Istilah media massa memberikan gambaran mengenai alat komunikasi yang bekerja dalam berbagai skala, mulai dari skala terbatas hingga dapat mencapai dan melibatkan siapa saja di masyarakat, dengan skala yang sangat luas (Morissan, Wardhani & Hamid, 2013: 1).

Media massa memiliki beberapa karakteristik yaitu bersifat melembaga di mana pengelolaan media yang terdiri dari banyak orang, dan menggunakan peralatan teknis atau mekanis. Bersifat satu arah di mana minimnya dialog antara komunikator dan komunikan. Selain itu informasi media massa bersifat meluas dan serentak mematahkan hambatan waktu dan jarak serta bersifat terbuka, siapa saja dan di mana saja dapat menerima pesan (Cangara, 2002: 126).

Definisi dan karakteristik media massa memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat dewasa ini. Dalam perspektif politik, media massa dapat menjadi tempat dan saluran untuk debat publik juga berperan menyebarluaskan berbagai informasi dan pendapat. Dari perspektif budaya, media massa memberikan gambaran atas realitas sosial. Media massa juga menjadi perhatian masyarakat dalam mendapatkan hiburan bagi semua orang. Peran media massa yang besar tersebut menyebabkan media massa telah menjadi perhatian penting

(28)

Universitas Pertamina -14 masyarakat (McQuail, 2000: 4). Dari penjabaran-penjabaran tersebut, media massa berhubungan erat dengan komunikasi. Media massa menyampaikan pesan-pesan melalui proses komunikasi yang selanjutnya disebut komunikasi massa.

Littlejohn dan Foss (2009: 333) mendefinisikan komunikasi massa merupakan proses di mana organisasi-organisasi media memproduksi dan menyampaikan pesan kepada khalayak luas dan proses di mana pesan-pesan dicari, digunakan, dipahami dan dipengaruhi oleh khalayak. Organisasi media disini adalah lembaga masyarakat dan teknik di mana kelompok-kelompok terlatih menggunakan teknologi untuk menyebarluaskan simbol-simbol kepada khalayak yang tersebar luas dan bersifat heterogen (Janowitz dalam Morissan, Wardhani & Hamid, 2013: 7-8). Komunikasi massa dapat dikatakan juga sebagai saluran atau alat komunikasi yang diarahkan kepada orang banyak (channel of mass communication).

2.3 Film

Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman, film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan lainnya. Menurut Arsyad (2003: 45) film merupakan kumpulan beberapa gambar dalam frame, yang nantinya frame demi frame diproyeksikan melalui lensa

(29)

Universitas Pertamina -15 proyektor secara mekanis sehingga gambar terlihat menjadi hidup di layar. Film bergerak dengan cepat dan bergantian sehingga memberikan daya tarik (Krissandy, 2014). Film juga diartikan sebagai lakon yang merepresentasikan sebuah cerita dari tokoh tertentu secara utuh dan berstruktur (Fikar, 2018).

Dewasa ini film menjadi sebuah kebutuhan layaknya kebutuhan primer manusia dalam kehidupan sehari-hari (Fais, Sudaryanto, Andayani, 2019). Lakon cerita dalam film kerap kali menjadi sarana hiburan dan sarana edukasi bagi penontonnya. Para pembuat film menggunakan teknik sinematografi sebaik mungkin agar film menjadi terasa lebih hidup dan nyata.

Film biasanya berangkat dari fenomena sosial, psikologi, dan estetika yang kompleks dan merupakan dokumen yang terdiri dari cerita dan gambar yang diiringi kata-kata serta musik. Oleh karenanya, film merupakan produksi yang multi dimensional dan kompleks (Effendy, 2011: 211-216). Melibatkan banyak orang dalam proses produksi hingga akhirnya bisa ditayangkan kepada khayalak melalui layar. Film memiliki faktor-faktor karakteristik diantaranya yaitu layar yang luas/lebar, pengambilan gambar yang memungkinkan dari jarak jauh, mampu memberikan konsentrasi penuh, serta mengindentifikasikan diri sendiri dengan tokoh di dalam film (Ardianto & Komala, 2004: 45-147). Hal ini didapatkan ketika khalayak menonton film di bioskop. Ruang kedap suara dengan layar besar membantu penonton menikmati lakon cerita dengan khidmat hingga tidak jarang emosi terbawa suasana dan larut dalam cerita yang disajikan.

Pratista (2008: 21) membagi film menjadi tiga jenis yakni: film dokumenter, film fiksi, dan film eksperimental. Pembagian ini didasarkan atas

(30)

Universitas Pertamina -16 cara penyampaiannya, yaitu naratif (cerita) dan non-naratif (non cerita). Film dokumenter berhubungan dengan subjek dan objek yang nyata. Peristiwa yang direkam ialah sungguh-sungguh dan autentik serta tidak memiliki tokoh protagonis maupun antagonis. Film fiksi terikat dengan plot cerita rekaan di luar kejadian nyata. Tiap adegan memiliki konsep yang dirancang sejak awal dan memiliki karakter (penokohan) protagonis dan antagonis. Terakhir, film eksperimental yang tidak memiliki plot namun struktur tetap dibangun sesuai insting subyektif sineas (gagasan, ide, emosi, pengalaman batin). Umumnya film berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami karena menggunakan simbol-simpol personal sineas.

Menurut Pratista (2008: 35-60) terdapat dua unsur yang membantu kita untuk memahami sebuah film. Dua unsur tersebut adalah unsur naratif dan unsur sinematik yang keduanya saling berkesinambungan dalam membentuk sebuah film. Unsur ini saling melengkapi, dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pembentukan film.

(1) Unsur Naratif, berhubungan dengan aspek cerita atau tema film yang meliputi pelaku cerita atau tokoh, permasalahan dan konflik, tujuan, lokasi, dan waktu. Berikut penjabarannya:

1) Pemeran/tokoh. Dalam film, ada dua tokoh penting untuk membantu ide cerita yaitu pemeran utama dan pemeran pendukung. Pemeran utama adalah bagian dari ide cerita dalam film yang diistilahkan protagonis, dan pemeran pendukung disebut dengan istilah antagonis yang dijadikan

(31)

Universitas Pertamina -17 pendukung ide cerita dengan karakter pembuat masalah dalam cerita menjadi lebih rumit atau sebagai pemicu konflik cerita

2) Permasalahan dan konflik. Permasalahan dalam cerita dapat diartikan sebagai penghambat tujuan yang dihadapi tokoh protagonis biasanya disebabkan oleh tokoh antagonis. Permasalahan ini pula yang memicu konflik antara pihak protagonis dengan antagonis

3) Tujuan. Dalam sebuah cerita, pemeran utama pasti memiliki tujuan atau sebuah pencapaian dari karakter dirinya, biasanya dalam cerita ada sebuah harapan dan cita-cita dari pemeran utama, harapan itu dapat berupa fisik ataupun abstrak (nonfisik)

4) Ruang/lokasi. Ruang dan lokasi menjadi penting untuk sebuah latar cerita dalam mendukung suatu penghayatan sebuah cerita

5) Waktu. Penempatan waktu dalam cerita dapat membangun sebuah cerita yang berkesinambungan dengan alur cerita

(2) Unsur Sinematik, adalah unsur teknis yang membantu ide cerita untuk dijadikan sebuah produksi film. Terdapat empat elemen yang mendukung unsur sinematik yaitu:

1) Mise-en-scene, yaitu mata kamera yang meliputi segala hal di depan kamera. Mise-en-scene memiliki empat elemen pokok yaitu, setting atau latar, tata cahaya, kostum dan make-up, dan akting atau pergerakan pemain

(32)

Universitas Pertamina -18 2) Sinematografi, adalah perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta

hubungan antara kamera dengan obyek yang akan diambil gambarnya. Terdapat tipe shot dan angle shot yaitu:

(a) Teknik pengambilan shot atau tipe shot (Bayu dan Winastawan, 2007: 53):

a) Extreme Close Up: pengambilan gambar menitik beratkan salah satu bagian tubuh, objek atau aksi yang mendukung informasi dalam jalinan alur cerita agar terlihat nyata, jelas dan detil oleh penonton

b) Close Shot: kamera terlihat dekat dengan objek atau gambar objek memenuhi ruang frame. Bertujuan untuk memperlihatkan karakter secara lebih detil sebuah objek, salah satunya identifikasi psikologi, emosi, raut wajah dan lain-lain

c) Medium Close Up: posisi kamera lebih jauh dari close shot dan lebih dekat dari medium shot

d) Medium Shot: pengambilan gambar setengah badan dengan tujuan memperlihatkan detail objek dan sedikit memberikan ruang pandang objek. Gunanya untuk memperlihatkan aktivitas yang dilakukan objek setengah tubuh

e) Medium Full Shot: pengambilan gambar kurang lebih ¾ ukuran tubuh agar mendapatkan informasi sambungan peristiwa dari aksi tokoh sebelumnya

(33)

Universitas Pertamina -19 f) Full Shot: pengambilan gambar secara utuh dari kepala hingga kaki

suatu objek dengan tujuan memperlihatkan aktivitas tertentu

g) Medium Long Shot: framing kamera memperlihatkan setting

sebagai pendukung sebuah peristiwa bersama objek agar cerita dapat berkesinambung

h) Extreme Shot: pengambilan gambar lebih jauh dari medium long shot namun lebih dekat dari extreme long shot

i) Extreme Long Shot: pengambilan gambar yang membuat objek cukup jauh namun setting terlihat dengan luas tujuannya agar membantu imajinasi ruang cerita bagi penonton

(b) Angle camera/sudut pandang kamera (Bayu dan Winastawan, 2007: 58):

a) High Angle, Top Angle, Bird Eye View: high angle merekam dari atas objek sehingga bagian atas objek terlihat, top angle lebih memberikan kesan dramatis karena tepat dari atas objek dan bird eye view diambil seperti sudut mata seekor burung sedang terbang. Tujuannya memberikan kesan berkuasa, agung atau bisa juga menunjukan terekploitasi oleh hal tertentu

b) Low Angle, Frog Eye Level: low angle pengambilan gambar dari bawah dan frog eye level posisi kamera di bawah paha. Tujuannya memberikan kesan bahwa objek terlihat lemah dan kecil

(34)

Universitas Pertamina -20 c) Eye Level: posisi kamera sejajar dengan tinggi objek biasanya

dikombinasikan dengan transisi kamera. Jika eye level zoom in

menggambarkan ekspresi wajah objek dalam memainkan

karakternya dan zoom out menggambarkan secara menyeluruh

ekspresi gerak tubuh objek

d) Over Shoulder: posisi kamera berada dibelakang lawan bicara objek sehingga terkesan sedang berdialog

e) Walking Shot: posisi kamera mengikuti langkah objek yang sedang beraktivitas dengan menitikberatkan pada pergerakan kaki

f) Artificial Shot: memperindah shot sehingga terlihat lebih seni, seperti berada di taman bunga

g) Reflection Shot: kamera mengarah ke cermin saat objek yang sedang bercermin sehingga timbul gambar yang terefleksi

h) Tripod Transition: pergerakan kamera meliputi area yang lebih luas dari frame

i) Back Light Shot: kamera diarahkan berhadapan dengan sumber cahaya sehingga menghasilkan siluet subjek

j) Door Frame Shot: diambil dari arah luar pintu yang terbuka untuk mendapatkan footage

(35)

Universitas Pertamina -21 k) One Shot, Two Shot, Group Shot: one shot pengambilan gambar

untuk satu objek, two shot untuk dua objek dan group shot lebih dari dua objek

3) Editing, proses penyatuan dan pemberian efek pada sebuah shot ke shot

lainnya. Salah satunya adalah efek warna pada film atau biasa disebut

color grading. Color grading merupakan cara sinematografer memberikan gaya melalui warna dan meningkatkan nuansa pada film. Tujuan color grading adalah penambahan warna agar sesuai dengan tema film (Fembrianto dalam Lestari, 2017). Menurut C.S Jones dalam Lestari (2017) terdapat 8 warna dasar yang menggambarkan emosi dan rasa, dijabarkan sebagai berikut:

(a) Merah: dalam psikologi memberikan arti sebuah keberanian, kekuatan, energi, cinta dan kegembiraan. Termasuk kedalam warna yang hangat dan kehidupan (darah). Identik juga dengan kekerasan

(b) Oranye: memberikan kesan hangat, bersemangat dan simbol dari petualangan, optimisme, percaya diri dan kemampuan dalam bersosialisasi. Oranye merupakan warna ketenangan yang berkaitan dengan hubungan dan juga bernuansa keindahan seperti matahari terbenam

(c) Kuning: mengarahkan pada warna paling bahagia, menyolok, dan menyatu dengan ekstrovert. Biasanya digunakan untuk orang yang ingin diperhatikan oleh orang lain. Warna ini merangsang aktivitas

(36)

Universitas Pertamina -22 pikiran dan mental yang baik digunakan untuk membantu penaran secara logis dan analitis

(d) Biru: merangsang kemampuan berkomunikasi, ekspresi artistik dan juga sebagai simbol kekuatan. Dalam psikologi, biru merangsang pemikiran yang jernih, menenangkan pikiran dan meningkatkan konsentrasi. Biru juga berkaitan dengan tipe orang melankolis

(e) Hijau: identik dengan alam dan memberi suasana santai. Dalam psikologi warna hijau membantu seseorang dalam posisi tertekan untuk menyeimbangkan emosi dan memudahkan keterbukaan dalam berkomunikasi. Hijau adalah aura untuk orang plegmatis yaitu kedamaian yang didominasi dalam diri

(f) Hitam: memiliki kesan suram, gelap, menakutkan namun elegan. Melambangkan keanggunan, kemakmuran, kecanggihan, independen dan misteri

(g) Putih: warna suci dan bersih

(h) Cokelat: mengandung unsur bumi yang memberikan kesan hangat, nyaman, aman. Secara psikologis memberikan kesan kuat dan dapat diandalkan. Melambangkan sebuah pondasi dan kekuatan hidup

4) Suara, yaitu segala hal dalam film yang mampu ditangkap melalui indera pendengaran. Salah satunya film music atau biasa disebut scoring.

(37)

Universitas Pertamina -23 (a) Physical Functions, musik dapat menyampaikan informasi waktu dan

tempat dari suatu adegan

(b) Psychological Functions, musik dapat menguatkan efek kejiwaan dan emosi pada adegan. Musik bisa menyampaikan hal yang sama pada adegan dengan cara yang berbeda tanpa melalui dialog atau gerakan (c) Technical Functions, musik sebagai pendukung semua struktur dalam

film dan membuatnya berkesinambung antar adegan ataupun secara keseluruhan

2.3.1 Film sebagai Media Komunikasi Massa

Film memiliki kekuatan dan kemampuan dalam menjangkau banyak segmen sosial hingga memiliki potensi untuk mempengaruhi penonton. Dalam komunikasi massa, film menjadi salah satu media massa modern yang mendapat perhatian lebih dari masyarakat, dikarenakan teknologi dan isi dari film lebih mudah dipahami oleh khalayak (Sobur, 2004: 130).

Penelitian ini melihat film sebagai media komunikasi massa yang dapat memberikan berbagai pemaknaan terhadap masing-masing khalayak dari lakon cerita yang dipertunjukan. Menganalisis hasil interpretasi khalayak setelah menonton film Joker, yang realitasnya dikonstruksi oleh Warner Bros.

2.4 Penokohan

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgiyantoro, 2017: 165). Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab

(38)

Universitas Pertamina -24 ia sekaligus mencakup siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2017: 166). Penokohan/tokoh ini termasuk ke dalam bagian unsur naratif dalam film (Pratista, 2008:1). Dalam penelitian ini, peneliti membagi penokohan kedalam dua tema besar yaitu fungsi penampilan tokoh dan karakterisasi tokoh.

2.4.1 Tokoh

Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karangan naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan melalui kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2017: 165). Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, Nurgiyantoro (2017: 178) membagi menjadi dua, yaitu:

(1) Tokoh protagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro, 2017: 178). Dalam membaca sebuah fiksi, pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh tokoh tertentu, memberikan simpati,

(39)

Universitas Pertamina -25 empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut tokoh protagonis (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro, 2017: 178). Tokoh protagonis dapat dicirikan sebagai berikut (Gaikwad, 2016):

1) Tokoh utama dan pendorong utama untuk mencapai tujuan cerita

2) Tokoh yang mencoba menyelesaikan masalah dalam cerita

3) Umumnya mengalami beberapa perubahan yang menyebabkan cerita menjadi menarik

4) Membantu menyampaikan isi pesan dalam film

5) Terkadang protagonis bisa sangat kontroversial karena beberapa sifat jahatnya

6) Protagonis berputar di sekitar tema cerita

(2) Tokoh Antagonis

Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis (Nurgiyantoro, 2017: 178). Tokoh antagonis beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik ataupun batin. Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak harus disebabkan oleh tokoh antagonis yang dapat ditunjuk secara jelas. Konflik ini dapat disebabkan oleh hal-hal lain di luar individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam

(40)

Universitas Pertamina -26 dan sosial, nilai-nilai moral, kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi, dan sebagainya (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro, 2017: 179). Tokoh antagonis ciri-cirinya adalah (Phillips & Huntley, 2001: 29):

1) Berupaya untuk menghentikan tujuan protagonis

2) Melambangkan dominasi sosial seperti mengejar kekayaan, kekuasaan

3) Kemungkinan sifatnya egois, tidak disiplin, tidak stabil secara emosi dan intelektualnya membosankan

4) Memainkan peran penting dalam pengembangan cerita

5) Tokoh yang menolak resolusi cerita

6) Bertentangan langsung dengan tokoh protagonis

2.4.2 Karakter/Watak

Dalam penokohan, watak atau karakter tokoh dapat dilihat melalui dialog tokoh, penjelasan tokoh, dan penggambaran fisik. Perilaku para tokoh dapat diatur melalui tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2017: 166). Menurut Minderop (2005: 8-38) terdapat dua penggolongan metode karakterisasi yaitu:

(1) Metode Telling adalah metode penjabaran karakter tokoh yang dilakukan secara langsung oleh penciptanya. Metode karakterisasi ini mencakup tiga hal (Minderop, 2005: 8-15) yakni:

1) Characterization through the use of names, yaitu karakterisasi melalui penggunaan nama tokoh. Nama tokoh digunakan untuk memberikan ide

(41)

Universitas Pertamina -27 atau menumbuhkan gagasan, memperjelas, serta mempertajam perwatakan tokoh. Para tokoh diberikan nama yang melukiskan kualitas karakteristik yang membedakannya dengan tokoh lain. Nama tersebut mengacu pada karakteristik dominan si tokoh

2) Characterization through appearance, yaitu karakteristik melalui penampilan tokoh. Faktor penampilan para tokoh memegang peranan penting yang berhubungan dengan karakterisasi misalnya pakaian apa yang dikenakannya atau bagaimana ekspresinya

3) Characterization by the author, penciptanya berkomentar tentang watak dan kepribadian para tokoh hingga menembus ke dalam pikiran, perasaan, dan gejolak batin sang tokoh

(2) Metode Showing adalah metode tidak langsung dengan metode dramatik yang mengabaikan kehadiran penciptanya, sehingga para tokoh dalam drama dapat menampilkan diri secara langsung melalui tingkah laku mereka. Metode ini mencakup dua hal (Minderop, 2005: 22-38), yakni:

1) Karakterisasi melalui dialog, yaitu terbagi atas: apa yang dikatakan penutur, jati diri penutur, lokasi dan situasi percakapan, jati diri tokoh yang dituju oleh penutur (tuturan yang diucapkan tokoh tertentu tentang tokoh lain), kualitas mental para tokoh, nada suara (melalui alunan dan aliran alunan tuturan ketika para tokoh bercakap), penekanan, dialek, dan kosa kata para tokoh

(42)

Universitas Pertamina -28 2) Karakterisasi melalui tindakan para tokoh. Yaitu perbuatan dan tingkah

laku secara logis merupakan pengembangan psikologi dan kepribadian, memperlihatkan bagaimana watak tokoh ditampilkan dalam perbuatannya (Minderop, 2005: 23-38)

2.5 Khalayak/Audience

Pengertian khalayak dalam penelitian sosial sangat beragam, namun mengikuti urutan dalam komunikasi massa (sumber, saluran, penerima, efek), khalayak ada dibagian ‘penerima’ begitu juga posisi mereka sebagai pengguna media (Fikar, 2018). Hiebert (dalam Nasrullah, 2014: 55) memberikan pengertian khalayak dengan melihat beberapa karakteristiknya yaitu, khalayak cenderung berisi individu yang memiliki berbagai pengalaman dan dipengaruhi hubungan sosial. Khalayak yang memilih produk media secara sadar. Karakteristik selanjutnya, khalayak cenderung tersebar di berbagai wilayah dan bersifat heterogen. Khalayak cenderung anonim, tidak mengenal khalayak lainnya yang juga sama-sama mengakses media, serta posisi khalayak dipisahkan dari komunikator.

Dahulu khalayak dikaitkan dengan propaganda, di mana mereka menjadi sasaran propaganda. Propogandis mendominasi dan mengontrol pesan yang sampai kepada khalayak. Di mana objek utama adalah sumber dan konten pesan yang dikonstruksi oleh propagandis dengan tujuan mempengaruhi khalayak (Baran & Davis, 2010: 288). Lalu setelah perkembangan media, pengalaman bermedia menjadi pengalaman yang mengubah khalayak yang cenderung pasif menjadi aktif. Di mana khalayak tidak hanya menerima pesan dari produsen teks

(43)

Universitas Pertamina -29 namun juga mengolah dan menimbang kembali pesan-pesan yang disampaikan media (Fikar, 2018).

Menurut Hadi (2008: 2-3) studi khalayak dalam komunikasi massa mempunyai dua pandangan besar yaitu:

(1) Khalayak Pasif

Khalayak pasif adalah di mana khalayak hanya bereaksi terhadap apa yang mereka lihat dan dengar dari media. Mereka tidak mengolah dan mendiskusikan kembali didalam publik untuk mencari makna lain. Media massa menggunakan khalayak sebagai sasaran utama didalam penyampaian komunikasi massa. Efek yang ditimbulkan terhadap khalayak bersifat langsung

one step flow, yaitu proses penyampaian pesan melalui satu tahap (media sebagai channel komunikasi massa yang diteruskan langsung kepada khalayak)

(2) Khalayak Aktif

Khalayak aktif adalah di mana khalayak merupakan partisipan aktif didalam publik. Publik merupakan masyarakat yang terbentuk dari isu-isu didalam masyarakat dan publik membahas isu-isu yang mencuat didalam masyarakat. Efek media terhadap pesan yang disampaikan menjadi limited effect dengan kemampuan khalayak untuk berpikir dan mengolah pesan yang tidak terbatas. Khalayak bebas menginterpretasikan pesan media sesuai dengan kemampuan yang dimiliki khalayak dan juga dipengaruhi oleh kesenangan khalayak terhadap pesan yang disampaikan, sehingga khalayak bebas memilih dan menolak pesan yang disampaikan kepada mereka

(44)

Universitas Pertamina -30 Terdapat tiga hal yang paling mendasar dalam melihat keaktifan suatu khalayak terhadap media (Croteau dalam Fitri, 2015) diantaranya:

1) Interpretasi (Interpretation)

Interpretasi menjelaskan bahwa makna yang ditawarkan oleh media massa sifatnya tidak tetap. Pemaknaan akan dilakukan kembali oleh khalayak dengan konstruksi berdasarkan keterikatan antara khalayak dan isi media tersebut. Hal ini mencerminkan bahwa makna yang diciptakan dan diinginkan oleh produser teks tidak serta merta langsung mampu mempengaruhi khalayak

2) Konteks Sosial dalam Interpretasi (The Social Context of Interpretation)

Media sangat berperan besar dalam kehidupan sosial, apapun yang disampaikan media lebih kurang berkaitan dengan kehidupan sosial. Oleh karena itu baik secara langsung maupun tidak langsung pemaknaan isi media oleh khalayak terpengaruh oleh aspek sosial. Dengan begitu, khalayak bisa memunculkan banyak cara dan hasil pemaknaan lain diluar wacana media massa

3) Tindakan Kolektif (Collective Action)

Croteau mengatakan bahwa khalayak terkadang mengatur dirinya sendiri secara kolektif dalam membentuk suatu kebutuhan terhadap produksi media. Sebagai contoh, ketika khalayak menolak isi suatu media yang diikuti juga dengan khalayak lainnya yang sependapat. Mereka bisa meminta kepada

(45)

Universitas Pertamina -31 media untuk memenuhi kebutuhan informasi yang mereka butuhkan ke media tersebut

Dalam penelitian ini, khalayak dianggap aktif dalam memaknai wacana media, hasilnya penelitian dapat melihat beragam variasi pemaknaan yang dapat dikategorikan berdasarkan the three hyphotetical position yang dikemukakan Stuart Hall.

2.6 Teori Resepsi

Littlejohn dan Foss (2009: 828) mengatakan bahwa resepsi berkaitan dengan khalayak (audience). Hadirnya teori resepsi dimulai saat Stuart Hall (1974) menjelaskan tentang “Encoding dan Decoding in The Television Discourse”. Encoding diartikan sebagai proses menerjemahkan yang dilakukan sumber terhadap suatu pesan. Sedangkan proses decoding di mana khalayak, dalam hubungannya berinteraksi dengan isi media, melakukan kegiatan penerimaan melalui pemaknaan terhadap isi pesan yang disampaikan oleh media (McQuail, 2000: 326). Fokus perhatian analisis resepsi adalah individu dalam

proses komunikasi massa (decoding) yaitu pada proses pemaknaan dan

pemahaman mendalam atas media teks dan bagaimana individu

menginterpretasikan isi media (Baran, 2003: 269).

Dalam proses decoding faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pengalaman dapat mempengaruhi khalayak dalam proses pemaknaan pesan (Littlejohn dan Foss, 2009: 136). Dinamika sosial yang dominan juga mempengaruhi proses tersebut (Fikar, 2018). Ketika khalayak menerima pesan dari khalayak lain, mereka akan memaknai pesannya dengan

(46)

Universitas Pertamina -32 dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa pemaknaan pesan pada setiap individu kemungkinan akan bervariasi. Khalayak dapat menerima isi pesan, dapat mempertimbangkan atau dapat menolak pesan yang disampaikan oleh media.

Stuart Hall (dalam Davis, 2004: 66) mengasumsikan khalayak bersifat aktif dan berlaku sebagai produser makna. Pemaknaan oleh khalayak tersebut menurutnya dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, Hall menyebutnya dengan “The Three Hypothetial Positions” yang bertujuan untuk menempatkan

posisi decoding khalayak. Berikut adalah ketiga kategorinya yaitu:

(1) The Dominant-Hegemonic Position (Posisi Hegemoni Dominan), terjadi ketika khalayak menyerap makna dan informasi yang tersirat dalam suatu wacana media secara penuh dan menghasilkan pesan yang sama persis seperti ketika pesan dibuat oleh produsen (media)

(2) The Negotiated-Code or Position (Posisi Negosiasi), terjadi ketika khalayak cukup memahami apa definisi secara dominan. Namun mereka menggunakan logika untuk mengidentifikasi hubungan yang berbeda antara diri mereka dan wacana media yang mereka konsumsi. Dengan kata lain, pemaknaan khalayak disesuaikan dengan logika situasional khalayak itu sendiri, yang berarti terjadi negosiasi antara khalayak dengan sumber pesan.

(3) The Oppositional Code or Position (Posisi Oposisi), terjadi ketika khalayak menemukan dan mengerti akan makna tersirat dalam makna dominan media, namun khalayak cenderung memiliki pemaknaan yang bertolak belakang dengan makna media tersebut.

(47)

Universitas Pertamina -33 Makna dominan pada wacana media didapat melalui analisis yang dilakukan oleh peneliti atau sering diistilahkan sebagai preferred reading. Selanjutnya pemaknaan khalayak akan dibandingkan dengan preferred reading

sehingga akan terlihat posisi khalayak dalam memaknai pesan media.

Pemanfaatan teori resepsi menempatkan khalayak untuk menginterpretasi isi media, memberikan makna atas pemahaman dan pengalamannya sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, teori resepsi berguna untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan mengenai terjadinya perbedaan interpretasi dalam diri khalayak, mengetahui khalayak dapat membaca teks yang sama secara berbeda, mengetahui faktor-faktor kontekstual yang memungkinkan perbedaan pembacaan dan untuk mengetahui cara teks-teks kebudayaan dimaknai oleh khalayak, serta pengaruhnya dalam keseharian mereka (Hadi, 2008: 1-5).

2.7 Teori Semiotika Saussure

Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda yang menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan adalah tanda-tanda. Semiotik

mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang

memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti (Sobur, 2005: 95). Tanda adalah sebuah kendaraan fisik dasar makna dalam suatu bahasa, ‘sounds image’

yang dapat kita dengar atau lihat dan biasanya merujuk pada beberapa objek atau aspek realitas yang ingin kita komunikasikan, istilahnya referent/referensi. Dalam berkomunikasi, manusia menggunakan tanda-tanda untuk menyampaikan makna tentang objek yang telah dialami oleh orang lain, ditafsirkan atas dasar berbagi bahasa atau pengetahuan yang sama tentang sistem tanda yang kita gunakan

(48)

Universitas Pertamina -34 (McQuail, 2010: 293). Ferdinand de Saussure seorang ahli studi linguistik, melakukan proses penandaan dengan dua elemen tanda yaitu:

(1) Signifier/penanda: berupa elemen fisik yang diambil oleh suatu tanda (kata, gambar, suara)

(2) Signified/petanda: merujuk pada konsep mental yang dipicu oleh tanda fisik dalam kode bahasa yang diberikan

Gambar 2.7 Elemen Tanda Saussure (McQuail, 2010: 293)

Pada prinsipnya, apapun yang membuat kesan pada indera dapat disebut sebagai tanda, namun kesan pada indera ini tidak memiliki korespondensi yang diperlukan dengan kesan indera yang dibuat oleh benda yang ditandakan, misalnya, kata ‘pintu’ sama sekali tidak terlihat seperti representasi dari pintu yang sebenarnya. Intinya adalah sistem tanda mengatur dan menghubungkan seluruh proses penanda (McQuail, 2010: 293).

(49)

Universitas Pertamina -35

2.8 Kerangka Berpikir

Bagan 2.8 Kerangka Berpikir Penelitian

Kerangka berpikir dibuat peneliti agar memudahkan pemahaman terhadap penelitian dengan menghubungkan topik serta konsep teori terkait. Topik penelitian mengenai pemaknaan khalayak terhadap film Joker, di mana terdapat aspek penokohan yang ingin diteliti lebih dalam. Penokohan berdasarkan definisinya, peneliti membagi ke dalam dua tema yang yaitu fungsi penampilan tokoh dan karakterisasi tokoh. Kedua elemen penokohan ini diteliti melalui analisis resepsi. Dalam analisis resepsi terdapat proses decoding oleh khalayak

(50)

Universitas Pertamina -36 yaitu informan. Sebelum mendapatkan pemaknaan pesan dari informan, peneliti melakukan preferred reading pada wacana media terlebih dahulu dengan menggunakan semiotika Saussure. Selanjutnya mewawancari informan untuk mendapatkan pemaknaan dari sisi khalayak. Hasil pemaknaan informan nanti dibandingkan dengan hasil preferred reading. Dalam analisis resepsi, kesimpulan akhirnya menghasilkan pengkategorian pemaknaan pesan yang dilakukan khalayak dengan mengacu pada preferred reading.

(51)

Universitas Pertamina -37

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Strategi Penelitian

Penelitian kualititatif adalah jenis penelitian ilmu-ilmu sosial yang mengumpulkan dan menganalisis data berupa kata-kata (lisan maupun tulisan) dan perbuatan-perbuatan manusia serta penelitian tidak berusaha menghitung atau mengkuantifikasikan data kualitatif yang telah diperoleh (tidak menganalisis angka-angka) (Afrizal, 2014: 13). Asumsinya adalah pikiran tiap individu terhadap realitas sosial berbeda, maka ketika mereka menginterpretasikan sebuah makna pesan akan sulit untuk dikuantifikasikan.

Dalam penelitian ini, peneliti dan narasumber menelaah konstruksi realitas sosial yang dibuat media massa, yakni film Joker karya Todd Phillips. Pandangan mereka merupakan hasil olah pikir tentang sesuatu yang disebut dengan rationale.

Rationale tidak dipahami mempunyai penyebab eksternal dari manusia, melainkan dari pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya dan pengetahuan diperoleh manusia dari interaksi sosial. Peneliti berusaha untuk mengungkapkan pikiran-pikiran dan pengetahuan tersebut dan mencari hubungan dengan masyarakat (Afrizal, 2014: 27-28).

Pemilihan jenis penelitian kualitatif terhadap topik peneliti dikarenakan esensi data yang dikumpulkan dan dianalisis serta pertimbangan teoretis dan pandangan terhadap ilmu. Dalam hal ini, peneliti tidak berupaya untuk mengkuantifikasikan (menghitung) data yang telah dikumpulkan melainkan

(52)

Universitas Pertamina -38 menginterpretasikan atau menangkap apa yang terungkap dari data berupa kata-kata dan perbuatan manusia yang mendalam dan bervariasi. Oleh karenanya dengan menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif, peneliti berupaya membongkar pikiran dan pengetahuan yang ada dalam kepala narasumber melalui wawancara mendalam (Afrizal, 2014: 30-32).

Dalam penelitian kualitatif ini, paradigma yang digunakan adalah paradigma konstruktivis yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap perilaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3). Paradigma ini tercipta atas dasar relativitas ontologis dimana dipaparkan bahwa terbentuknya realita adalah tergantung dari bagaimana orang memandangnya, dan tidak ada pandangan orang yang diatur oleh data-data empiris (Patton, 2006: 92). Yang kita tahu bahwa tiap individu memiliki sifat uniknya masing-masing, oleh karena itu paradigma ini menghasilkan sesuatu yang berlawanan dari paradigma positivis yang berdasarkan data kuantitatif. Paradigma konstruktivis membantu menganalisis penelitian dengan melihat pemaknaan khalayak terhadap penokohan Arthur Fleck dalam film Joker.

Selanjutnya peneliti menggunakan analisis resepsi dimana khalayak merupakan partisipan aktif dalam membangun dan menginterpretasikan makna atas apa yang dibaca, didengar dan lihat sesuai dengan konteks budaya. Isi media akan dipahami sebagai bagian dari proses dimana akal sehat dikonstuk melalui pembacaan yang diperoleh melalui gambar dan teks bahasa (Street, 2001: 95). Dalam analisis resepsi peneliti terlebih dahulu menganalisis wacana yang ada di

(53)

Universitas Pertamina -39 media massa, kemudian peneliti melihat wacana lain yang dimunculkan oleh khalayak (Fitri, 2015). Pada penelitian ini peneliti menggunakan analisis semiotika Saussure untuk menganalisis penokohan Arthur Fleck lalu membandingkannya dengan wacana khalayak.

3.2 Sumber Data

Dalam penelitian dibutuhkan data untuk dianalisis oleh peneliti menggunakan konsep dan teori terkait. Sumber data dibagi menjadi dua, yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Pengertian data primer ialah data yang dikumpulkan melalui pihak pertama, biasanya dapat melalui jejak pendapat, wawancara dan lain-lain (Arikunto, 2013: 172). Serta informasi-informasi tambahan terkait studi literatur untuk menunjang penyusunan penelitian ini disebut data sekunder. Penelitian ini menggunakan wawancara untuk mendapatkan data primer dari khalayak, yakni para penonton Joker dengan kriteria yang dibuat sendiri. Tidak lupa juga pencarian dan pengumpulan data mengenai konsep, teori, dan literatur lainnya dengan mencari buku-buku yang tersedia di perpustakaan hingga melalui jejak di laman pencari data.

Sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling di mana peneliti menetapkan kriteria yang mesti dipenuhi oleh orang yang akan dijadikan sumber informasi, peneliti telah mengetahui identitas informan (Afrizal, 2014: 143). Peneliti memilih informan sebanyak 5 orang dengan kriteria sebagai berikut:

(1) Informan berumur 18-24 tahun

(2) Informan berdomisili di Jakarta Selatan (3) Informan pernah menonton film Joker 2019

(54)

Universitas Pertamina -40 Usia 18-24 tahun ditentukan dengan alasan yang mengacu pada hasil survei PostTrak Motion Picture tahun 2019, memperlihatkan bahwa umur tersebut adalah segmentasi penonton bioskop terbanyak. Selanjutnya, domisili di Jakarta Selatan dijadikan kriteria karena menurut survei dari MoneySmart.id (2019), anak muda Jakarta mengeluarkan uangnya sekitar 10,9% untuk menonton di bioskop. Selain itu, peneliti mengolah data dari filmindonesia.or.id (2019), ditemukan bahwa jumlah bioskop di wilayah Jakarta Selatan sebanyak 33 bioskop dengan 112 layar, terbanyak pertama di Jakarta, diikuti Jakarta Utara sebanyak 19 bioskop dengan 84 layar. Jumlah layar yang banyak memungkinkan peluang film tersebut ditayangkan dan ditonton lebih besar.

Kriteria selanjutnya adalah informan tersebut pernah menonton film Joker 2019 agar dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti saat proses wawancara. Ketiga hal tersebut menjadi kriteria utama informan yang akan diwawancara. Setiap informan memiliki latar belakang yang berbeda, seperti pendidikan, kegemaran dan kesibukan. Hal tersebut dipercaya peneliti memengaruhi jawaban mereka atas pertanyaan mengenai beberapa konsep penokohan film Joker, walaupun mereka disatukan oleh satu kesamaan yaitu menonton dan terpapar penceritaan film Joker.

Purposive Sampling dipilih sebab tidak semua elemen populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi informan. Seseorang dijadikan sebagai informan karena dianggap memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitian. Dengan kata lain ia memungkinkan peneliti untuk menjelajahi objek atau situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2007: 219).

(55)

Universitas Pertamina -41

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data diperlukan untuk membantu proses analisis peneliti dalam mengaitkan konsep dengan topik yang diteliti. Oleh karenanya penelitian ini membutuhkan data yang berupa, data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan datanya yakni observasi, wawancara dan studi literatur.

Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin, 2007: 116). Selain mendapat data berupa keterangan dari para informan, peneliti akan mengobservasi dengan menonton langsung film Joker selama 5 kali di bioskop dan 10 kali melalui online streaming. Proses observasi memerlukan alat indra untuk memproses isi pesan yang disampaikan. Kegiatan ini dilakukan agar peneliti mendapatkan pengalaman secara langsung terhadap wacana media. Peneliti akan melihat wacana media dan menginterpretasikannya sesuai rujukan konsep-konsep fungsi penampilan tokoh dan karakterisasi tokoh, sehingga menghasilkan preferred reading yang berbentuk shot dan scene dalam tabel-tabel pada bab 4.

Selanjutnya dalam metode resepsi, tahap pengumpulan data dari sisi khalayak salah satunya dengan cara wawancara. Peneliti membiarkan wawancara ini berjalan selayaknya berbincang dengan teman tanpa mengindahkan bahwa sedang terjadi penelitian. Narasumber akan terdiri dari lima orang sesuai kriteria informan. Pertanyaan akan diberikan sesuai dengan fokus utama penelitian, yakni mengenai fungsi penampilan tokoh dan karakter Arthur Fleck. Hasil wawancara

Gambar

Gambar 2.7 Elemen Tanda Saussure  ...........................................................
Tabel 2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu   No.  Peneliti, Judul,
Gambar 2.7 Elemen Tanda Saussure   (McQuail, 2010: 293)
Gambar 4.1.1 Poster Film Joker 2019   (sumber:bioskoptoday.com)  (1) Sutradara  :  Todd Phillips
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

a. Tokoh, latar, alur, tema, bahasa, sudut pandang, dan amanat. Tokoh adalah pelaku dalam sebuah cerita dan yang menjadi pusat penceritaan. Latar adalah segala yang berhubungan

dapat ditarik kesimpulan bahwa diukur dari 4 unsur naratif menurut Seymour Chatman yakni peristiwa, aksi tokoh, lokasi dan karakter, sutradara pada film TKVDW

dalam penelitian ini adalah Tema, Film dan Tokoh Cerita..

Apa perbedaan unsur naratif (story, plot, waktu, ruang, karakter, konflik, dan struktur dramatik) di dalam film Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh dengan unsur naratif

Sebagai tokoh utama, peran Takashi dan Azusa dalam cerita film tersebut tentunya sangat penting, karena tanpa kehadiran mereka cerita dalam film Forget Me Not tidak akan

Hasil penelitian aspek religius dalam Novel “ORB” Galang Lufityanto mendeskripsikan unsur intrinsik yang meliputi tokoh, perwatakan, dan konflik. Tokoh dibedakan menjadi dua

Deskripsi unsur intrinsik karya sastra meliputi unsur tema, latar, alur, tokoh dan penokohan, sudut pandang dan amanat yang terkandung dalam kumpulan cerita fiksi “Istri Kedua” karya

Dalam film digambarkan bagaimana kehidupan Arthur Fleck yang penuh dengan persoalan dan konflik yang membangun karakter tokoh utama; dan hal itu beriringan dengan kondisi sosial yang