• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskursus Politik Feminis Kontemporer Perspektif Islam Oleh: M. Sidi Ritaudin. Kata kunci: feminis, diskursus politik, Islam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diskursus Politik Feminis Kontemporer Perspektif Islam Oleh: M. Sidi Ritaudin. Kata kunci: feminis, diskursus politik, Islam."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: M. Sidi Ritaudin∗ Abstrak

Diskursus feminis telah berkembang dan beradaptasi begitu cepat menjadi diskursus publik di era kontemporer dewasa ini. Persoalan ini mendapat respon hangat di antara akademisi dan aktivis feminis perempuan, karena isu gender ini membawa pergerakan dalam menghadapi diskriminasi terhadap hak-hak perempuan di era yang beragam, seperti politik, ekonomi, karir, pendidikan, dan yang lainnya.

Hubungan antara laki-laki dan perempuan yang menyediakan basis nyata bagi kehidupan sosial laki-laki dan tentang kekuatan dan keteguhan mereka tergantung pada masa depannya. Tulisan ini membuka diskursus politis tentang feminis era modern.

Kata kunci: feminis, diskursus politik, Islam.

A.Pendahuluan

Kalaulah di ujung seutas tali ada simpul gender (aliran perempuan), gerakan feminis. Pada ujung yang lain ada simpul malestream (aliran laki-laki), maka menarik untuk didiskusikan lebih lanjut tentang bagaimana mempertautkan kedua simpul tersebut ke dalam satu ikatan politik, yakni ikatan kekuasaan yang berkeadilan, sehingga terjadi kohisi sinergis yang membentuk kekuatan dahsyat bagi manusia tanpa perbedaan status klamin sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi.

Ada pemahaman yang mengklaim bahwa adanya perbedaan gender bagi manusia mengacu kepada ketidaksempurnaan. Untuk mencapai kesempurnaan, maka manusia yang berjenis kelamin laki-laki harus bertaut dengan sesamanya yang berjenis perempuan. Jadi, perbedaan gender bukan untuk dipertentangkan, melainkan saling melengkapi satu sama lain. Dengan demikian, pertautan pikiran, pandangan dan perasaan bahkan visi politik laki-laki dan perempuan merupakan suatu keniscayaan.

Tidak ada kekuasaan politik sekuat apa pun yang dimainkan oleh laki-laki melainkan di belakangnya berdiri seorang tokoh wanita yang hebat. Kesuksesan seorang Muhammad s.a.w. sebagai kepala negara dan

Dosen tetap Program Studi Pemikiran Politik Islam. Alumni program doktoral Pengkajian Islam UIN Syahid, kini menjabat sebagai Pembantu Dekan bidang Akademik Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung.

(2)

sekaligus sebagai rasul1 tidak bisa lepas dari peran serta ummahat al

mukminin (istri-istrinya yang setia), terutama peranan Siti Khadijah dan Siti

'Aisyah, begitu pun kesuksesan Soeharto membangun kekuasaannya dan bertahan hingga 32 tahun, peranan ibu Tien tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

Ada anekdot yang mengatakan bahwa kalau anda melihat kesuksesan seseorang, baik dalam karir ekonomi, pendidikan maupun politik, maka lihatlah siapa perempuan di balik kesuksesan itu. Paling tidak ada peranan ibu atau istrinya sebagai pendampingnya.

Sebagaimana dinyatakan oleh Toynbee, bahwa Imam Khomeini membuat pernyataan besar tentang peran perempuan dalam masyarakat Islam. Dia berkata: “Seperti al-Qur’an, perempuan mempunyai fungsi membesarkan dan mendidik manusia sejati. Jika negara kehilangan para perempuan pemberani untuk membesarkan manusia sejati, negara itu akan merosot dan jatuh”.2

B.Fokus Wacana

Prinsip kesetaraan gender di antaranya adalah bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba, sebagai khalifah, penerima perjanjian primordial, sama-sama terlibat aktif dalam drama kosmis dan potensi meraih prestasi, termasuk prestasi poklitik.3 Banyak ayat al-Qur’an

yang telah menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama-sama semartabat sebagai manusia, terutama secara spiritual, sebut saja di antaranya, Al-Ahzab: 35, At-Taubah: 112, At-Tahrim: 54

Gerakan pembela hak-hak kaum perempuan (feminis) muncul karena adanya diskriminasi dan dehumanisasi terhadap mereka, terutama hak-hak mereka atas pendidikan, karir, ekonomi dan politik. Ketertindasan dan subordinasi mereka pada umumnya didominasi oleh faktor politis. Berdasarkan hasil pelacakan para pakar terhadap petunjuk wahyu dan hadis tentang kebolehan perempuan memainakan peran sertanya di dunia politik menunjukkan bahwa terdapat kontroversi dalam interpretasi.

1Thomas W. Arnold, The Caliphate, (London : Routledge and Kegan Paul, 1965).

p. 30.

2Komfirmasi dapat dilakukan pada pernyataan Arnold Toynbee, Civilization on

Trial, (London: Oxford University Press, 1957), p. 26. Secara bertanggungjawab, kutipan ini dapat dirujuk pada Israrul Haque, Menuju Renaissance Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), p. 274.

3Nasaruddin Umar, "Perspektif Jender dalam Al-Qur’an", (Disertasi) (Jakarta:

IAIN Syarif Hidayatullah, 1999), pp. 240-252.

4Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti,

(3)

Setidaknya ayat 71 dari surat ke 9 berikut ini:

”dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)

menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(at-Taubah: 71).

Menurut Israrul Haque, ayat tersebut menegaskan bahwa mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Ayat ini mengindikasikan bahwa seorang wanita beriman dalam hal menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar bukan sebagai bawahan laki-laki. Hal ini menegaskan bahwa seorang wanita beriman membawa kekuatan dan ketinggian moral yang sama dengan sorang laki-laki yang beriman.

Lebih jauh, Israrul Haque menyatakan bahwa ayat tersebut dapat mengilhami bahwa hak-hak suami dan istri ditentukan menurut prinsip-prinsip kesederajatan dan keadilan. Doktrin keadilan yang sudah sepantasnya dipahami berarti bahwa orang-orang yang ditempatkan pada situasi yang sama ditangani secara sama, tetapi mereka yang lebih lemah dan lebih rendah berhak atas proteksi dan simpati secara istimewa.5

Berada di atas prinsip keadilan inilah penentuan hak-hak manusia,

“..dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan hak laki-laki (yang

dimiliki laki-laki) terhadapnya, menurut cara-cara yang ma’ruf. Agaknya term’

ma’ruf sebagai suatu metude dalam menjalankan suatu kebaikan. Bahkan ayat-ayat al-Qur’an sendiri mengalamatkan seruannya kepada semua manusia secara umum (ya ayyuhan nas) dan kepada orang-orang yang beriman (laki-laki dan perempuan) serta tidak membedakan antara kedua jenis kelamin itu. Lihat misalnya firman Allah berikut ini:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang

mukmin6, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan

perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan

untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. 33 : 35).

5Israrul Haque, Menuju Renaissance Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), p.

266.

6Yang dimaksud dengan Muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah

dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya.

(4)

Oleh karena itu, pembahasan tentang hal tersebut diharapkan akan memiliki signifikansi untuk mencari solusi atau pemikiran alternatif di alam demokrasi.

C. Tawaran Analisis

Wacana politik feminis kontemporer perspektif Islam yang dimaksud di sini adalah kajian terhadap gerakan pembela hak-hak perempuan dalam bidang politik ditinjau dari argumen Islam berdasarkan semangat zaman, yaitu zaman modern sekarang ini. Feminisme, dalam

setting budaya Barat liberal telah menimbulkan struktur patriarkhi dan

ketidakadilan sosial yang termanifestasi antara lain dalam perbedaan gender. Secara sosial dan kultural, perbedaan gender sering menyebabkan timbulnya relasi-relasi subordinatif antara laki-laki dan perempuan.

Meski dikenal sebagai seorang yang skripturalis, Ulama Besar sekaliber Abul A’la Maududi, ternyata memiliki pandangan yang cukup luwes untuk kemajuan kaum perempuan. Di antaranya, ia mengatakan bahwa dalam upaya membina kehidupan masyarakat menciptakan keadaan peradaban serta membantu harmonisasi kehidupan masyarakat, kaum laki-laki dan perempuan telah memberikan sumbangan perasaannya melalui pemikiran-pemikiran yang matang dengan berbagai argumentasinya. Antara laki-laki dan perempuan siap untuk melatih mental dan intelektual melalui pendidikan, dalam rangka partisipasi menciptakan masyarakat sejahtera dan maju.7

Pernyataan Maududi tersebut menyiratkan bahwa solusi Islam jelas tidak mendiskreditkan perempuan dalam konteks bermasyarakat, bernegara dan bersosialisasi. Namun bagi Maududi, masyarakat Muslim wajib menjaga kehormatan perempuan, justru ia ekstrem membela untuk menjaga kehormatan perempuan itu sendiri.

Dalam kancah perpolitikan kontemporer, isu demokrasi menjadi tonggak politik yang sangat kokoh. Demokrasi tergantung tidak saja pada negara, melainkan juga pada budaya dan organisasi masyarakat secara keseluruhan.8 Atas nama demokrasi pula feminisme muncul dengan

tuntutan persamaan hak perempuan dengan laki-laki dalam segala bidang. Dalam bidang politik umpamanya, tuntutan kuota di parlemen sebesar 30 % menjadi isu politik para aktivis gender di Indonesia.

7Syed Abul Ala Maududi, Purdah and the Status of Woman in Islam, (Delhi: Markazi

Maktaba Islami, 1981), p. 113.

8Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, (Yogyakarta:

(5)

Salah satu aspek penting dalam pembentukan struktur masyarakat dalam frame politik adalah pembagian peran berdasarkan jenis kelamin atau apa yang dikenal dengan gender. Kondisi yang mendesak untuk diadakannya reinterpretasi hubungan antara peran serta yang masif dari pemilih (konstituen) perempuan dengan kecilnya jumlah perempuan yang terpilih sebagai legislator atau pun yang duduk di dalam kabinet dan atau pemerintahan, sebagai salah satu pertanda kemacetan dan keterbelakangan kaum perempuan atau bahkan ketidakadilan gender.

Perbedaan gender, perspektif Islam, sebenarnya tidak menjadi persoalan, tentu saja selama tidak menimbulkan ketidakadilan. Hal ini dapat dilihat dari pandangan M. Quraish Shihab tentang wawasan al-Qur’an mengenai politik, dalam prinsip-prinsip kekuasaan politik tidak terlihat adanya diskriminasi, tidak dibahas dikotomi laki-laki dan perempuan dalam politik.9

Namun yang terjadi sebaliknya, gender justru menggiring dan melahirkan sikap dan praktik yang mendiskriminasikan perempuan. Sikap dan praktik diskriminatif ini menyiratkan hubungan yang bersifat politis, hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Kekuasaan harus dipahami dalam arti yang paling luas sebagai hubungan dominasi dan subordinasi.

Perempuan, dalam hubungan seperti itu, berada pada posisi subordinatif. Meski berada pada posisi itu, celakanya wanita menyetujuainya dan secara sukarela menerima kekuasaan pria atas dirinya. Bentuk penguasaan seperti ini, meminjam istilah Gramsci, disebut hegemoni. Hegemoni kaum laki-laki terhadap perempuan telah membangun persepsi yang mengakar dalam kultur bangsa yang bersifat feodalis, sehingga perempuan bersikap “nerimo” dengan kondisi ini.

Gender sebagai dasar pembagian tanggungjawab pria dan wanita yang ditetapkan secara sosial dan kultural, bukanlah kodrat Tuhan, melainkan suatu pembedaan yang dihasilkan dan disosialisasikan melalui sejarah yang panjang. Sebuah pertanyaan kontemporer yang senantiasa mendapatkan jawaban yang tidak tuntas tentang gender ini adalah mengapa di negara-negara Muslim saat ini tidak terlihat banyak perempuan yang berkiprah seperti Siti Aisyah (istri Rasulullah, sekitar 614-678 M.) yang dikedepankan sebagai seorang politisi yang cerdik. Mengapa kaum perempuan saat ini tidak diberi bagian yang menjadi haknya?

9M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan

(6)

Semunaya itu tidak berkaitan dengan agama, tetapi sangat terkait dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibuat manusia.10

D.Hak Politik Perempuan Perspektif Al-Qur’an

Salah satu ayat yang sering kali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam surat At-Taubah ayat 71 berikut ini:

”dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)

menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S 9 : 71).

Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar”. Kata auliya’

dalam pengertiannya mencakup kerjasama, bantuan dan penguasaan. Sedangkan pengertian yang dikadung oleh “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasehat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasehat) dalam berbagai kehidupan.11

Keikutsertaan perempuan bersama dengan laki-laki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari kandungan sabda Nabi Muhammad s.a.w.: Man lam yahtammu bi amril Muslimin Falaisa Minhum,

”Barang siapa yang tidak perduli terhadap urusan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka.” Kepentingan (urusan) kaum muslimin mencakup banyak sisi yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang kehidupan politik.12

10 Charles Kurzman (Ed,) Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang

Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2001), p. 154.

11Amin al-Khulli, "Al-Mar’at Baina al-Bait wa al-Mujtama", dalam Al-Mar’at

al-Muslimah fi al-Ashr al-Mu’ashir, (Baghdad, t.p., t.t.), p. 13.

(7)

Di sisi lain, al-Qur’an juga mengajak umatnya (laki-laki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melaluui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya:

… sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; ..(Q.S.

42: 38)

Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap laki-laki dan perempuan. Syura (musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut al-Qur’an, termasuk keghidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat bersamanya dituntut senantiasa mengadakan musyawarah.

Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap laki-laki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan suatu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan tanpa kecuali.

Al-Qur’an juga menguraikan permintaan para perempuan pada masa Nabi untuk melakukan bai’at (janji kata setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah ayat 12: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman unhtuk mengadakan janji setia (bai’at)…”

Sementara, para ulama menjadikan bai’at perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-keloppok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami atau ayah mereka sendiri13.

Harus diakui bahwa ada sementara ulama yang menjadikan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 34, kaum laki-laki adalah pemimpin kaum

perempuan, sebagai bukti tidak bolehnya perempuan terlibat dalam

persoalan politik. Menurut mereka, kepemimpinan berada di tangan laki-laki, sehingga hak-hak berpolitik perempuan pun telah berada di tangan mereka.14

Pandangan ini bukan saja tidak sejalan dengan ayat-ayat yang telah dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang

13Muhammad Mahmud Jamaluddin Huquq al-Mar’at fi al-Mujtama’ al-Islamy, (Kairo:

Al-Hayat al-Mishriyah Al-Amat, 1986), p. 60.

14Abu Fariz Muhammad Abdul Qadir, Sistem Politik Islam, terj. Musthalah Maufur,

(8)

diamanatkan oleh ayat yang disebutkan itu. Penafsiran terhadap ayat yang sangat subjektif, karena para mufassir kebanyakan dari kaum laki-laki, sehingga cenderung misoginis. Sebab tidak ada metoda penafsiran al-Qur’an yang sepenuhnya obyektif. Setiap penafsiran membuat sejumlah pilihan yang sifatnya subyektif.15

Surat an-Nisa’ ayat 34 itu berbicara tentang kepemimpinan laki-laki (dalan hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hal kepemilikan harta pribadi dan hak dalam pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.16

Argumentasi tersebut tetap berlaku demikian, Jika perempuan tidak mampu mengurus kepemimpinan keluarga yang tidak lebih dari bilangan jari maka lebih tidak mampu menangani urusan negara. Untuk memperkuat hujjahnya Abu Fariz mengutip sebuah hadis:“Tidak akan beruntung suatu kaum yang memberikan suatu urusan kepemimpinan mereka kepada

seorang perempuan”.17 Hadis ini merupakan penegasan pernyataan Nabi

s.a.w. mengenai ketidakberuntungan bagi suatu kaum yang mengandalkan perempuan untuk memimpin urusan umum dan penting, seperti keanggotaan dalam parlemen atau kabinet.

Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam politik praktis. Umu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammmad s.a.w. ketika memberikan jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammmad s.a.w. sendiri yakni Siti A’isyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara.

Isu terbesar dalam perang itu adalah soal suksesi setelah terbunuhnya khalifah ketiga, ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam sebagai Perang Unta atau Perang Jamal (656 M.). Keterlibatan A’isyah r.a., bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam perang tersebut menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.

15Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti,

(Bandung: Pustaka, 1994), p. 1.

16Syed Abul A’la Maududi, Purdah and the Status of Woman in Islam, trans. and

edited by Al-Ash’Ari, (Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1974), pp. 148-149.

17Abu Fariz Muhammad Abdul Qadir, Sistem Politik Islam, terj. Musthalah Maufur,

(9)

Untuk rujukan yang lebih dekat (kontemporer), dapat disebutkan di sini bahwa Benazir Bhutto (Pakistan, lahir 1953), dua kali menjadi Perdana Menteri Pakistan (1988-1990 dan 1993-1996), lebih dikenal aktivis politiknya ketimbang keulamaannya. Sebagai seorang pemimpin politik dalam sebuah negara Islam, ia sangat sensitif terhadap tuduhan bahwa Islam melarang perempuan memegang jabatan politik.18

Agaknya hal ini mendapat dukungan dari pendapat Mernisi bahwa al-Qur’an dan sumber-sumber lainnya secara sistematis telah salah ditafsirkan dalam persoalan kedudukan perempuan.19 Kata-kata salah

ditafsirkan karena bertujuan mengukuhkan kekuatan aforisme

“kebenaran” politik, yang bersifat populer sekaligus tidak bisa diganggu gugat ?.

Aspek peranan perempuan dalam Islam yang sangat penting dalam bidang politik dapat ditegaskan di sini adalah ayat al-Qur’an yang secara jelas mengatakan :

“Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan (yaitu ratu Balqis yang

memerintah kerajaan Sabaiyah di zaman Nabi Sulaiman) yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”

(QS. An-Naml : 23).

Ratu Syaba, yang disebut dalam ayat di atas, merupakan sedikit perempuan yang diakui memainkan peranan politik yang menentukan.20 Dalam sejarah disebut-sebut Ratu Radhiyah yang memegang kekuasaan di Delhi pada 634/1236, dan Ratu Syajarat Al-Durr menaiki tahta Mesir 14 tahun kemudian pada 648/1250.21 Selain para sultanah Mamluk, ada para

Khatun Mungal, para ratu kepulauan, ratu-ratu Arab pada masa dinasti Syi’ah di Yaman, wanita dari Kairo dan lain sebagainya.

Dalam konteks pemahaman atas wahyu tersebut, jelas bukan Islam yang menolak kepemimpinan perempuan, melainkan kaum laki-lakilah yang menolaknya. Alasan penolakan kental sekali terlihat bersifat politis. Kongres Umat Islam yang digelar pada tahun 1999 disinyalir sebagai upaya politik “menjegal” Megawati menuju kursi kepresidenan, sebagai pemenang Pemilu 1999. Ternyata, setelah ia duduk sebagai Presiden RI menggantikan KH. Abdurrahman Wahid, suara lantang menentang keras tidak kedengaran lagi.

18Benazir Bhutto, Doughter of Destiny, (New York: Simon and Schuster, 1989), pp

368-392.

19Charles Kurzman, (Ed.), Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang

Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2001), p. 156.

20Fatima Mernissi, Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, (Bandung: Mizan, 1994), p. 222. 21Ibid., p. 141.

(10)

Tentang ayat al-Qur’an yang menegaskan “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang

Jahiliyyah yang dahulu” (Al-Ahzab: 33) yang sering dikutip terhadap

penolakan perempuan berkiprah dalam bidang politik. Murtadha Muthahhari coba mengilustrasikan dengan mengatakan bahwa sebenarnya ayat ini berkenaan dengan masalah yang berbeda dengan masalah-masalah yang dipersoalkan dalam ayat-ayat sebelumnya.

Ayat-ayat yang mendahului dan yang mengikuti, ayat ini memberikan ketentuan tentang tugas-tugas tertentu bagi istri-istri Nabi dan menyatakan secara tidak langsung tentang ancaman, rasa takut, harapan dan perintah. Ayat ini disebut sebagai ayat penyucian lebih dari sekedar eulogi (kata-kata pujian mengenai orang yang telah wafat), tetapi memberitahukan bahwa anggota keturunan Nabi adalah ma’shum dan bebas dari dosa dan kesalahan.22

Hampir semua ulama klasik memandang perlu untuk

mengetengahkan bahwa hak menjadi kepala negara (khalifah, presiden, raja) adalah hak laki-laki, bukan wanita. Ini diungkapkan baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibn Taimiyyah, maupun Ibnu Khaldun. Namun demikian, tidak sedikit pula ulama, terutama ulama kontemporer, beranggapan bahwa tidak bolehnya wanita duduk dalam kepemimpinan politik adalah produk ulama yang bias dengan patriarkhi.

Namun demikian, dalam sejarah maupun dalam perdebatan wacana, kepemimpinan wanita merupakan persoalan pelik yang sampai saat ini terus terjadi perbincangan. Siti Aisyah dan Fatimah az-Zahrah misalnya, selalu menjadi referensi atas kepemimpinan wanita dalam jabatan publik atau jabatan politik. Sehingga, untuk menafikan atau memandang sebelah mata, keterlibatan perempuan di sektor publik, agaknya perlu dipikir ulang secara holistik dan komprehensif dan tidak boleh gegabah.

E.Penutup

Tuntutan aktivis gender atau kaum feminis tentang hak-hak perempuan dalam politik adalah sebuah tuntutan yang logis dan merupakan perlawanan terhadap perlakuan diskriminatif kaum laik-laki dalam realitas empiris. Refleksi kritis atas studi para mufassir, baik yang tradisional maupun yang modernis, selalu diperlukan guna mencari jawaban yang paling sesuai dengan semangat zaman dan kawasan di mana ijtihad diperlukan.

22Murtadha Mutahhari, Imamah dan Khilafah, (Jakarta: Penerbit Firdaus, 1991), pp.

(11)

Hak-hak dan tanggungjawab perempuan di abad ke-20 yang sejajar pula dengan kesempatan penuh untuk berpartisipasi di bidang sosial, politik dan ekonomi telah dibahas dan diimplementasikan dalam peringkat politik, diperkuat ulang oleh interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, suatu hal yang tidak perlu dibahas lagi jika seorang perempuan mau meningkatkan perannya di bidang politik kenegaraan. Persepsi tentang peranan perempuan di kancah politik telah mempengaruhi setiap aspek kehidupan laki-laki dan perempuan Muslim.

Sudah saatnya untuk melenyapkan larangan-larangan yang menekan kaum perempuan mempberikan partisipasi politik mereka, biarkanlah mereka memberi kontribusi yang maksimal untuk kepentingan bangsa dan negara. Islam senantiasa mendorong peran aktif umat manusia untuk meningkatkan partisipasinya memakmurkan bumi tanpa diskriminasi laki-laki terhadap perempuan. Islam senantiasa relevan di zaman apapun.

(12)

Daftar Pustaka

al-Khulli, Amin, "Al-Mar’at Baina al-Bait wa al-Mujtama",dalam Al-Mar’at

al-Muslimah fi al-Ashr al-Mu’ashir, Baghdad, t.p., t.t.

Arnold, Thomas W., The Caliphate, London: Routledge and Kegan Paul, 1965.

Bhutto, Benazir, Doughter of Destiny, New York: Simon and Schuster, 1989. Fariz, Muhammad Abdul Qadir, Abu, Sistem Politik Islam, terj. Musthalah

Maufur, Jakarta: Robbani Press, 2000.

Haque, Israrul, Menuju Renaissance Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Hefner, Robert W., Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia,

Yogyakarta: Institut Studi Arus Informasi (ISAI), 2001.

Kurzman, Charles, (Ed), Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer

tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001.

Mahmud, Jamaluddin Muhammad, Huquq al-Mar’at fi al-Mujtama’ al-Islamy,

Kairo: Al-Hayat al-Mishriyah Al-Amat, 1986.

Maududi, Syed Abul A’la, Purdah and the Status of Woman in Islam, trans. and edited by Al-Ash’Ari, Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1939. Mernissi, Fatima, Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, Bandung: Mizan, 1994. Muhsin, Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti,

Bandung: Pustaka, 1994.

Mutahhari, Murtadha, Imamah dan Khilafah, Jakarta: Penerbit Firdaus, 1991. Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai

Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1997.

Toynbee, Arnold, Civilization on Trial, London: Oxford University Press, 1957.

Umar, Nasaruddin, "Perspektif Jender dalam Al-Qur’an", (Disertasi) Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1999.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini membahas Perilaku Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan Angkatan 2013 dalam Menyelesaikan Tugas-Tugas Mata Kuliah. Rumusan masalah dalam dalam penelitian ini adalah :

Demikian pula, dalam persamaan struktural yang dihasilkan, kualitas hidup dan Facebook secara bersama-sama memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap

Hasil pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran IPS dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif teknik berkirim salam selama dua siklus dapat dilihat pada

Pada penelitian ini peneliti mengusulkan sistem yang baru, yaitu Aplikasi Multimedia Pembelajaran Simulasi Instalasi Sistem Operasi Pada Mata Kuliah Praktek Sistem

Beberapa penelitian diatas menjadi isyarat terkait perlunya pemantapan dan ketegasan arah pendidikan kewarganegaraan dalam menghadapi pandemic covid-19, tujuan utama

Dalam hal ini, partisipasi masyarakat pun berbeda-beda, di sebabkan oleh pekerjaan masyara- kat yang ditekuni.Di suatu kelurahan/desa dalam kegiatan pembangunan ada

Menimbang, bahwa dengan berpisahnya Penggugat dan Tergugat sejak bulan Agustus 2016 dan tidak saling menghiraukan lagi menunjukkan antara Penggugat dan Tergugat

Jenis Soal Soal 3.2 Menerap kan cara perawata n sistem pelumas an. Siswa dapat menerangkan fungsi perawatan system pelumasan. Siswa dapat menjelaskan fungsi