• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif K.H. Imam Zarkasyi Mengenai Kesatuan Ilmu Pengetahuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perspektif K.H. Imam Zarkasyi Mengenai Kesatuan Ilmu Pengetahuan"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

p-ISSN: 2303-1891; e-ISSN: 2549-2926

PERSPEKTIF K.H. IMAM ZARKASYI MENGENAI

KESATUAN ILMU PENGETAHUAN

Ahmad Choirul Rofiq

IAIN Ponorogo, Jl. Pramuka No. 156 Ronowijayan Ponorogo ahmadchoirulrofiq@iainponorogo.ac.id

Abstrak: Peradaban Islam pada saat mencapai masa keemasan menempatkan ilmu pengetahuan pada posisi tinggi. Saat itu para cendekiawan tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Namun prinsip kesatuan ilmu pengetahuan tersebut kemudian memudar dan menjadi dikotomi ilmu pengetahuan ketika peradaban umat Islam mengalami kemunduran. Kenyataan itulah yang menggugah kegelisahan K.H. Imam Zarkasyi sehingga berkomitmen untuk meneguhkan prinsip kesatuan ilmu pengetahuan karena pada hakikatnya ilmu itu merupakan satu kesatuan yang bersumber dari Allah Swt. Menurut K.H. Imam Zarkasyi, kebangkitan umat Islam sangat bergantung pada pengelolaan lembaga pendidikan yang berkualitas dan persatuan yang kokoh dari umat Islam. Upaya modernisasi pendidikan mutlak dilakukan untuk mencetak lulusan yang bertakwa dan berpengatahuan luas. Oleh karena itu, pendidikan di Pondok Modern Gontor menerapkan pelajaran agama dan pelajaran umum. Konsistensi lembaga pendidikan inilah yang akhirnya mampu merealisasikan penyelenggaraan pendidikan Islam berkualitas yang diharapkan dapat berkontribusi dalam mengantarkan kembali kepada kejayaan peradaban Islam.

Kata Kunci: K.H. Imam Zarkasyi, Kesatuan Ilmu Pengetahuan, Pondok Modern Darussalam Gontor

(2)

Abstract: The Islamic civilization in the era of classical Islamput science in a high position. At that time scholars did not distinguish between religious science and general science. But the principle of unity of knowledge then has faded and become a dichotomy of science when the Islamic civilization has declined. That fact is what stirs the anxiety of K.H. Imam Zarkasyi to affirm the principle of unity of knowledge because science is a unity which is derived from Allah. According to K.H. Imam Zarkasyi, the rise of Muslim civilization is very dependent on the management of educational institution quality and solidity of Muslims. Efforts to modernize education are absolutely necessary to produce pious and knowledgeable graduates. Therefore, education curriculum at Pondok Modern Gontor applies of religious lessons and of general lessons. It is the consistency of this educational institution that is finally able to realize the implementation of advanced Islamic education which contributes to the revival of Islamic civilization.

Keywords: K.H. Imam Zarkasyi, Science Unity, Pondok Modern Darussalam Gontor

Pendahuluan

Perjalanan sejarah peradaban Islam menunjukkan bahwa umat Islam pernah berhasil merealisasikan kemajuan intelektual yang menakjubkan. Itulah masa yang disebut sebagai zaman keemasan Islam

(the Golden Age of Islam). Obor kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban berada di tangan kaum Muslimin, sedangkan masyarakat Barat saat itu berada dalam zaman kegelapan intelektual (dark age). Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada waktu itu ialah sebagai ancilla theologia

(abdi agama).1 Peradaban Islam dalam aspek ilmu pengetahuan ditandai oleh kemunculan banyak ulama, ilmuwan, dan cendekiawan beserta karya-karya monumental mereka yang pengaruh signifikannya masih dapat dirasakan hingga era sekarang. Fenomena sangat menarik pada

1

Rizal Muntasyir, “Sejarah Perkembangan Ilmu” dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2003), 63-75 dan David Burnie, “Science” dalam CD Encarta Reference Library

(3)

masa kejayaan Islam saat itu adalah dijumpainya cendekiawan-cendekiawan yang kualitas keilmuwannya mencakup ilmu agama dan sekaligus ilmu umum karena para ilmuwan tersebut tidak membeda-bedakan antara ilmu agama dan ilmu umum.

Di antara ilmuwan-ilmuwan spektakuler tersebut yang pengaruhnya sungguh besar kepada dunia Barat adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd (Averroes). Ibn Rusyd yang sekaligus ahli di bidang kedokteran dan keagamaan dilahirkan di Cordoba pada 1126 dari keluarga terhormat yang banyak melahirkan para teolog dan hakim. Pada tahun 1169 sampai 1171 Ibn Rusyd menjabat hakim (qadli)

di Seville dan selanjutnya di Cordoba selama dua tahun. Pada 1182 Ibn Rusyd dipanggil ke Maroko oleh Abu Ya’qub Yusuf untuk menggantikan Ibn Thufayl sebagai dokter istana Muwahhidun. Ibn Rusyd meninggal di Marakesy pada 10 Desember 1198 dan jenazahnya kemudian dipindahkan ke Cordoba.

Sumbangan terpenting Ibn Rusyd dalam kedokteran adalah ensiklopedia berjudul al-Kulliyyat fi al-Thibb. Sedangkan karya filsafatnya adalah Tahafut al-Tahafut yang ditulis untuk menjawab kritikan al-Ghazali terhadap filsafat di dalam karyanya berjudul Tahafut al-Falasifah. Berkat karya inilah, Ibn Rusyd dijuluki sebagai komentator Aristoteles. Pengaruh pemikiran Ibn Rusyd atau Averroisme di dunia Barat sangat signifikan. Sejak akhir abad ke-12 hingga akhir abad ke-16 Averroisme menjadi mazhab pemikiran paling dominan, walaupun terdapat penolakan dari kalangan pendeta Kristen terhadap kecenderungan pemikiran rasionalis Ibn Rusyd. Karya-karya Ibn Rusyd dijadikan sebagai rujukan utama di berbagai lembaga pendidikan tinggi di Barat dan

(4)

kemudian berlanjut menjadi elemen penting dalam perkembangan dan kebangkitan pemikiran masyarakat Eropa.2

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa kejayaan Islam terdapat pemahaman epistemologis mengenai kesatuan ilmu pengetahuan yang tidak mendikotomikan antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu umum. Pandangan terhadap kesatuan ilmu pengetahuan inilah yang juga dijadikan prinsip oleh K.H. Imam Zarkasyi dalam merintis dan mengembangkan Pondok Pesatren Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, Jawa Timur. Tulisan berikut ini memaparkan pemikiran tokoh pendidikan Islam tersebut terkait dengan prinsip kesatuan ilmu beserta latar belakang dan implementasinya dalam dunia pendidikan. Pembahasan ini penting dielaborasi karena pemikiran K.H. Imam Zarkasyi tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pemikiran Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986) mengenai the unity of knowledge (kesatuan ilmu pengetahuan).3

Metode

Dalam rangka menjelaskan pemikiran K.H. Imam Zarkasyi mengenai prinsip kesatuan ilmu pengetahuan, maka kajian berikut ini merupakan kajian kepustakaan dengan pendekatan historis. Pemilihan

2

Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2005),740-744.

3

Menurut al-Faruqi, kebenaran yang bersumber dari wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran yang bersumber dari penalaran akal. Bahkan kebenaran wahyu dapat mengatasi segala keterbatasan pengetahuan yang diperoleh oleh akal. Karena keselarasan wahyu dan akal inilah, maka tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum (sains). Ismail Raji al Faruqi,

Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1984), 66-68, Rosnani Hashim dan Imron Rossidy, “Islamization of Knowledge: A Comparative Analysis of the Conceptions of Al-Attas and Al-Faruqi” dalam

Intellectual Discourse, Vol. 8, No I, 2000, 27 dan

http://www.ismailfaruqi.com/news/dr-ismail-al-faruqis-approach-to-islamization-of-knowledge/.

(5)

topik ini didasarkan pada keberhasilan Pondok Modern Gontor yang didirikan oleh tiga bersaudara yang disebut dengan Trimurti (yakni K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fananie, dan K.H. Imam Zarkasyi) dalam mengembangkan lembaga pendidikan Islam yang menerapkan konsep kesatuan ilmu pengetahuan.

Sumber dokumen yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah berupa biografi K.H. Imam Zarkasyi yang ditulis oleh tim penyusun dari Pondok Modern Gontor dan diterbitkan oleh Penerbit Gontor Press tahun 1996. Selain itu, dipergunakan pula referensi-referensi lain yang relevan dengan topik kajian ini. Buku ini tidak memerlukan kritik sumber karena penulisannya telah melibatkan panitia khusus dari Pondok Gontor yang melakukan penggalian data sejarah sesuai dengan kaidah metode penelitian sejarah yang tentunya memanfaatkan dokumen tertulis, wawancara kepada narasumber primer, dan investigasi di lokasi secara langsung.4 Dalam analisis data digunakan metode content analysis

(analisis isi) karena content analysis merupakan analisis tentang isi pesan suatu komunikasi5 atau teks.

Hasil dan Pembahasan

Pada sekitar tahun 1750-an terdapat seorang kyai bernama Kyai Sulaiman Djamaluddin yang mendirikan pondok Gontor lama di Ponorogo. Kyai terakhir dari Pondok Gontor lama ini bernama Kyai Santoso Anom Besari yang dengan istrinya, Nyai Sudarmi, mempunyai tujuh anak, yaitu R.H. Rachmat Soekarto, R.Ngt. Sumiyah Hardjodipuro,

4

Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian terapan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), 216.

5

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), 68.

(6)

R.Ngt. Sukatmi Ibnu Hajar Imam Besari, R.Ngt. Sumilah Imam Ngulama, R.H. Ahmad Sahal, R.H. Zainuddin Fananie, dan K.H. Imam Zarkasyi. Dengan demikian, K.H. Imam Zarkasyi adalah putra terakhir dari tujuh bersaudara.

Sebagai keturunan dari Kyai Ageng Mohammad Besari (pendiri Pondok Pesantren Tegalsari yang kemasyhurannya tercapai pada abad ke-18), maka Imam Zarkasyi merasakan tanggung jawab moral untuk melanjutkan perjuangan pendahulunya.6 Sepeninggal Nyai Sudarmi, semua anak-anaknya bermusyawarah yang disepakati bahwa harta warisan Ahmad Sahal, Zainuddin Fananie, dan Imam Zarkasyi dimanfaatkan untuk biaya pendidikan mereka demi memenuhi harapan dan wasiat ibunya yang menginginkan agar putra-putranya menjadi seorang yang alim dan saleh.

Pendidikan pertama Imam Zarkasyi ditempuh di Sekolah Desa yang terletak di desa Ngumpang. Selain bersekolah, dia juga sekaligus menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Joresan (sekitar satu km dari Gontor) bersama kedua kakaknya pada sore hingga malam harinya.

Setelah menyelesaikan belajarnya di Sekolah Ongko Loro dan di Pondok Pesantren Josari tahun 1925, Imam Zarkasyi berencana melanjutkan pendidikannya ke Solo (Jawa Tengah). Kesadarannya mengenai pentingnya ilmu pengetahuan mendorongnya untuk mengamati kondisi lembaga pendidikan yang dimasukinya. Pada awal abad ke-20 Solo merupakan kota pelajar yang diidamkan sebagian besar santri dari Ponorogo karena terdapat tiga lembaga pendidikan agama yang dipandang maju, yaitu Pesantren Jamsaren, Madrasah Arabiyah Islamiyah, dan Madrasah Manbaul Ulum.

6

(7)

Pondok Pesantren Jamsaren terkenal dengan kemampuan lulusannya dalam menghafal Alfiyah serta kepeloporannya dalam pengajaran al-Qur’an dan hadis. Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI), yang dikenal dengan Arabische School, mempunyai siswa yang mayoritas terdiri dari keturunan Arab. Masa belajarnya enam tahun yang semua pelajaran disajikan dalam bahasa Arab. Pelajaran bahasa Arab mendapatkan perhatian khusus setelah kehadiran Ustadz Mohammad Oemar al-Hasyimi. Madrasah Manbaul Ulum didirikan oleh Keraton Surakarta yang dipersiapkan untuk mendidik anak-anak keraton. Madrasah ini mempunyai tiga jenjang sekolah, tingkat dasar (Ibtida’iyyah) selama empat tahun, tingkat lanjutan pertama (Tsanawiyah) selama tiga tahun, dan tingkat lanjutan atas (‘Aliyah) atau Madrasah ‘Ulya selama tiga tahun. Pada waktu itu, Madrasah Manbaul Ulum terkenal paling modern di Pulau Jawa. Salah satu dari bentuk modernitasnya adalah diterapkannya sistem klasikal. Siswa dikelompokkan menurut kelasnya dan semua pelajaran disajikan dalam kelas yang dilengkapi bangku, meja, kursi, papan tulis, kapur, dan alat peraga. Materi pelajaran mencakup materi pelajaran umum dan agama dengan perbandingan 50:50. Setelah mempertimbangkan secara matang dan melihat tekad kuat Imam Zarkasyi, akhirnya kakak-kakaknya menyetujui rencananya untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Jamsaren. Pada tahun 1925, dalam usia 15 tahun, Imam Zarkasyi berangkat ke Solo. Tanpa diantar oleh kakak-kakaknya, ia mendaftarkan diri di tiga lembaga pendidikan Islam tersebut. Pertama, ia mondok di Pesantren Jamsaren, tempat ia mengaji kitab di malam hari. Kedua, di Madrasah Arabiyah Islamiyah, tempat ia bersekolah di pagi hari. Ketiga, ia belajar di Madrasah Manbaul Ulum di sore hari.

(8)

Di samping menyelenggarakan pengajian kitab-kitab keagamaan, Pesantren Jamsaren dipenuhi bermacam-macam kegiatan ekstra. Imam Zarkasyi yang belajar tidak lebih dari tiga tahun dikenal aktif dalam kegiatan diskusi, kepanduan, olahraga, dan baris-berbaris. Dalam kegiatan diskusi ini, ia mempunyai kelompok yang terdiri atas lima orang, yakni Amin Thalhah (Solo), Fatihun (Cirebon), Ahmad Zaeni (Bekonang, Sukoharjo), Bunyamin (Majalengka), dan Imam Zarkasyi (Ponorogo). Kelimanya kemudian mendirikan pesantren atau mengajar di pesantren masing-masing. Berbeda dengan kelompok diskusi lain yang bersifat eksklusif, kelompok diskusi Imam Zarkasyi ini bersifat terbuka dan terlepas dari golongan atau partai. Tema yang dibicarakan juga tidak terlepas dari masalah khilafiyah, tapi menyangkut perkembangan umat Islam yang kadang diwarnai ketegangan akibat perbedaan khilafiyah. Setiap golongan berusaha keras menyebarkan pengaruhnya di kalangan santri Jamsaren. Pada saat itu, Imam Zarkasyi memilih sikap bebas, menjadi penengah, dan pemersatu sesuai kecenderungannya pada persatuan umat Islam.

Pengalaman belajar di Madrasah Arabiyah Islamiyah selama tiga tahun sangat berkesan bagi Imam Zarkasyi, terutama ketika belajar kepada Mohammad Oemar al-Hasyimi (alumnus Universitas Zaitun, Tunis). Imam Zarkasyi belajar di Madrasah Manbaul Ulum mulai kelas tiga hingga kelas tujuh. Saat mempraktekkan kemampuan berbahasa Arab yang diperolehnya dari Madrasah Manbaul Ulum ternyata kualitasnya masih rendah dibandingkan dengan kemampuan anak-anak Arab di Madrasah Arabiyah Islamiyah dikarenakan bercampurnya lahjah Jawa. Namun Imam Zarkasyi tidak berputus asa dalam menekuni bahasa Arab. Pada tahun ketiga, dia mengikuti program takhassus di asrama Ustadz

(9)

Mohammad Oemar al-Hasyimi dan di bawah bimbingan langsung darinya. Bagi Imam Zarkasyi, gurunya ini merupakan figur seorang guru yang sangat layak diteladani, terutama dalam cara mendidik dan mengajari murid-muridnya.

Baginya, al-Hasyimi adalah seorang guru yang sangat mempengaruhi sikap dan pandangan hidupnya sebagai seorang guru dan pemimpin. Al-Hasyimi adalah orang Arab dari Tunisia dan istrinya juga orang Arab. Pembicaraan dalam keluarga itu sepenuhnya menggunakan bahasa Arab. Kehadirannya memberikan pengaruh besar pada pengajaran bahasa Arab di MAI dengan metode langsung (thariqah mubasyarah)

yang diterapkannya. Imam Zarkasyi benar-benar memanfaatkan pengajaran al-Hasyimi yang diterapkan dengan penuh kedisiplinan dan ketegasan sehingga karakter inilah yang berpengaruh pada diri Imam Zarkasyi. Bahkan kedekatannya ditunjukkan oleh penunjukan Imam Zarkasyi untuk menuliskan buku tentang kritik al-Hasyimi terhadap konflik orang-orang Arab di Indonesia antara Alawiyyin dan non-Alawiyyin, meskipun buku itu kemudian dibakar sesuai dengan wasiat gurunya itu agar tidak semakin mempertajam konflik yang terjadi.7

Setelah selesai belajar selama lima tahun di Solo, Imam Zarkasyi mendapat tawaran untuk belajar ke Mesir. Tetapi nasibnya belum baik. Dia tergeser oleh calon lain dari keturunan Arab. Karena tidak jadi belajar ke Mesir, maka Ustadz al-Hasyimi menyarankan kepadanya untuk melanjutkan studi ke Padang Panjang, Sumatera Barat, daerah yang banyak terdapat ulama lulusan Mesir dan merupakan pintu gerbang masuknya pembaharuan pemikiran Islam ke Indonesia di penghujung abad ke-19 serta diiringi oleh berbagai lembaga pendidikan maju, seperti

7

(10)

Madrasah Adabiyah, Madrasah Diniyah al-Yunusiyah, Sumatra Thawalib, dan Normal Islam. Berbekal dorongan niat yang kuat dan dukungan penuh kakak-kakaknya, maka Imam Zarkasyi berangkat dengan hati yang mantap ke Padang Panjang pada tahun 1930.

Di Padang Panjang, sekolah yang pertama dimasuki oleh Imam Zarkasyi adalah Sumatra Thawalib School yang didirikan pada tahun 1914 dan diperbaharui tahun 1921 dengan dipimpin Syaikh Abdul Karim Amrullah (atau Haji Rasul). Masa belajar sekolah ini tujuh tahun (yakni empat tahun tingkat Ibtidaiyah dan tiga tahun tingkat Tsanawiyah). Imam Zarkasyi langsung duduk di kelas VI (kelas II Tsanawiyah), dan berhasil menamatkan pelajarannya dengan baik dalam dua tahun. Dengan pengalaman belajarnya, terutama di Solo, Imam Zarkasyi tidak mengalami kesulitan dalam menempuh pelajaran di sekolah ini. Penguasaan bahasa Arabnya tidak hanya reseptif (hanya mampu membaca dan mendengarkan saja), tetapi juga produktif (dapat berbicara dan menulis), bahkan sebelum belajar di Thawalib School.

Setelah lulus dari Sumatra Thawalib School, Imam Zarkasyi melanjutkan pendidikannya di Normal Islam School atau Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyah yang didirikan oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Padang pada tanggal 1 April 1931 dan dipimpin oleh Mahmud Yunus. Imam Zarkasyi menemukan cara-cara mengajarkan bahasa Arab maupun bahasa Inggris yang benar, serta wawasan tentang pendidikan modern dari Ustadz Mahmud Yunus. Di sinilah, Imam Zarkasyi memperdalam ilmu tentang teori pengajaran bahasa melalui metode langsung (direct method), selain ilmu-ilmu kependidikan. Bahkan Imam Zarkasyi termasuk murid kesayangan gurunya karena ketekunannya dan belajar sehingga setelah menamatkan studi pada 1935 dia diangkat

(11)

menjadi Direktur Kweekschool Muhammadiyah di Padang Sidempuan dengan dibekali surat tugas langsung dari gurunya tersebut. Setelah satu tahun menjalankan tugasnya, maka Imam Zarkasyi kembali ke Gontor pada 1936.8

Imam Zarkasyi bersama Ahmad Sahal dan Zainuddin Fananie (yang kemudian disebut sebagai Trimurti) dengan kesamaan ide dan cita-citanya berupaya serius untuk mengembalikan kejayaan Pesantren Gontor lama (yang pernah menggapai keemasannya pada masa Kyai Sulaiman Djamaluddin dan Kyai Arham Anom Besari). Pada 9 Oktober 1926 Kyai Ahmad Sahal mendirikan Pesantren Gontor baru dengan Tarbiyatul Athfal (pendidikan anak-anak). Setelah berlangsung enam tahun dan meluluskan muridnya, maka dibukalah sekolahSullamul Muta’allimin untuk pendidikan selama tiga tahun. Pada tahun 1936 Kyai Ahmad Sahal memanggil pulang Kyai Imam Zarkasyi untuk membuka program baru. Adapun Kyai Zainuddin Fananie saat itu masih bertugas di Bengkulu sebagai School Opzsier.9

Hal pertama yang dilakukan adalah mendirikan madrasah dengan mengikuti model madrasah di Sumatra Barat yang telah tersentuh pembaharuan sistem pendidikan, yakni Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) sebagaimana yang dimiliki Ustadz Mahmud Yunus, gurunya. Karena ide dan konsep KMI berasal dari Kyai Imam Zarkasyi, maka disepakati bahwa Kyai Imam Zarkasyi sekaligus diangkat sebagai Direktur KMI tersebut. Adapun Kyai Zainuddin Fananie segera kembali ke Bengkulu untuk menjalankan tugasnya. Kemudian seluruh siswa Sullamul Muta’allimin dialihikan menjadi siswa KMI.

8

Ibid., 28-34. 9

(12)

Pada tahap awalnya, kurikulum yang diterapkan di KMI mirip dengan kurikulum Normal Islam dengan berbagai modifikasi agar seimbang antara materi pesantren dan madrasah, keagamaan dan umum, serta dilengkapi dengan materi pelajaran yang disusun oleh kyai Imam Zarkasyi sendiri. Karena bahasa Arab maupun bahasa Inggris merupakan kunci pokok ilmu pengetahuan, maka pengajaran bahasa sangat diperhatikan. Para santri setelah enam bulan diwajibkan berbicara dengan bahasa Arab dan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari dengan metode langsung. Menurut Kyai Imam Zarkasyi, metode lebih penting daripada materi pelajaran, sedangkan guru lebih penting daripada metode.10

Untuk mempertahankan ciri khas pendidikan pesantren, Kyai Imam Zarkasyi menetapkan Panca Jiwa (keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwwah Islamiyah, dan kebebasan) sebagai acuan penyelenggaraan pendidikan di KMI. Keikhlasan di Pondok Gontor mewarnai kehidupan seluruh santri dan keluarga pondok. Kesederhanaan ditanamkan kepada para santri melalui cara hidup sehari-hari. Kemandirian diajarkan kepada para santri dengan mengkondisikan mereka agar dapat secara bersama-sama mengatur kehidupan mereka sendiri di bawah bimbingan dan pengawasan kyai. Untuk itu, dibentuklah Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM). Semangat ukhuwwah Islamiyyah dibina demi menghilangkan fanatisme kesukuan dan kedaerahan sehingga dapat menumbuhkan rasa kebangsaan. Meskipun demikian, kesenian daerah boleh ditampilkan dalam acara-acara tertentu untuk memperluas wawasan santri mengenai kebhinekaan budaya bangsa Indonesia. Adapun kebebasan santri (yang masih diarahkan dengan

10

(13)

penerapan kedisiplinan) diberikan agar santri dapat menyalurkan aspirasi positifnya maupun kegiatan yang sesuai dengan kecenderungan bakat dan minat santri.11

Pada tanggal 12 Oktober 1958 yang bertepatan dengan peringatan empat windu berdirinya Pondok Gontor dilakukan penyerahan wakaf dari Trimurti bersaudara sehingga mengaskan bahwa Pondok Modern Gontor adalah milik umat Islam untuk menjadi obor bagi masyarakat. Saat itu diserahkan kepada Badan Wakaf Pondok Modern Gontor berupa tanah kering seluas 1.740 ha, tanah basah (sawah) seluas 16. 851 ha, dan 12 gedung beserta perlengkapannya. Peristiwa bersejarah itu menunjukkan keikhlasan para pendiri Pondok Modern Gontor yang sering menyatakan kepada para santri dengan ungkapan “Bahu, Bondo, Pikir, Lek Perlu Sak

Nyawane Pisan” (Tenaga, Harta, Pikiran. Kalau perlu Nyawa Sekalian).12 Selanjutnya pada 17 Nopember 1963 mulai dirintis terwujudnya universitas Islam yang bermutu dengan mendirikan Perguruan Tinggi Darussalam. Bentuk ideal perguruan tinggi yang ingin dicapai adalah sintesa dari Universitas al-Azhar di Mesir dengan wakafnya yang begitu kuat, Universitas Aligarh di India dengan kemodernan dan revival of Islam-nya, Shantiniketan di India dengan kedamaiannya, dan Syanggit di Mauritania (Afrika) dengan keikhlasan para pengasuhnya. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka nama Perguruan Tinggi Darussalam diganti menjadi Institut Pendidikan Darussalam (IPD) yang meluluskan Sarjana Muda (BA) pada tahun 1966 dengan skripsi berbahasa Arab atau Inggris yang diakui sama dengan Sarjana Muda Institut Agama Islam Negeri.13

11 Ibid., 58-65. 12 Ibid., 74-78. 13 Ibid., 79-82.

(14)

Perjalanan Pondok Modern Gontor tidak selalu berjalan mulus tanpa hambatan. Peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 turut berdampak pada perjalanan Pondok Modern Gontor. Pada tanggal 18 September 1948 meletus pemberontakan PKI di Madiun yang dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin. PKI melakukan pembunuhan secara keji terhadap orang-orang yang tidak sehaluan dengan komunisme, di antaranya pegawai yang setia pada Republik Indonesia, pengikut Masyumi, para kyai, dan guru pesantren. Meskipun jarak antara Gontor dan Madiun terpaut sekitar 40 kilometer, namun para santri dan keluarga Pondok merasa resah terhadap situasi itu. Setelah terdengar berita mengenai terbunuhnya Kyai Mursyid (pengasuh Pondok Takeran, Magetan), Kyai Dimyati (pengasuh Pondok Tremas Pacitan), dan tokoh-tokoh Islam lainnya, maka Kyai Ahmad Sahal, Kyai Imam Zarkasyi, dan beberapa santri senior memutuskan untuk menyelamatkan diri dengan mengungsi, sedangkan sebagian santri telah pulang ke daerahnya masing-masing. Ada sekitar 70 santri yang ikut mengungsi menuju Trenggalek dan 150 santri yang menjaga pondok, apalagi saat itu datang surat ancaman dari PKI yang memerintahkan seluruh penghuni pondok agar tidak meninggalkan pondok.

Ketika sampai di Dukuh Gurik, Desa Ngadirejo, di daerah pegunungan Sooko, rombongan pengungsi dari Gontor dicegat gerombolan PKI yang menginterogasi mereka tentang keterlibatannya dengan pasukan Hizbullah ataupun anggota Masyumi. Mereka ditahan PKI di Dukuh Bayat, Desa Ngadirejo, selama semalam, kemudian ditahan di Kecamatan Sooko selama dua malam, dan akhirnya ditahan di Ponorogo. Mula-mula mereka ditahan Panti Yugo di sebelah selatan alun-alun yang pernah menjadi markas Kodim tahun 1960-an, lalu mereka

(15)

ditahan di Masjid Muhammadiyah dengan dilucuti pakaian dan dipasangi bom di badan mereka. Alhamdulillah, datang pasukan TNI dipimpin Abd Choliq Hasyim dan Yusuf Hasyim (keduanya putra K.H. Hasyim Asy’ari) yang membebaskan mereka.14

Peristiwa lainnya yaitu agresi Belanda pada 19 Desember 1948 kepada pusat pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta. Bahkan saat itu Menteri Agama, K.H. Masykur dan Menteri Sunanto Tirtoprojo sempat mengungsi ke Gontor. Menteri Sunanto kemudian menuju Nganjuk, sedangkan Menteri K.H. Masykur menuju ke Trenggalek. Sewaktu Belanda memasuki Ponorogo, Kyai Ahmad Sahal dan Kyai Zarkasyi memimpin para santri dalam perlawanan terhadap Belanda secara bergerilya dan dengan membentuk Barisan Korp Pelajar. Karena khawatir ditangkap Belanda yang telah menyerang pondok, maka rombongan Pondok Gontor mengungsi ke Trenggalek. Setelah Belanda menghentikan agresinya karena mendapatkan kecaman PBB pada 28 Januari 1949, maka keadaan semakin tenang. Adapun Pondok Gontor kembali dibuka pada awal tahun ajaran 1950.15

Peristiwa lainnya adalah pada 19 Maret 1967 tatkala terjadi tragedi berupa aksi brutal para santri yang diprovokasi oleh organisasi Islam tertentu untuk menggulingkan kepemimpinan Kyai Ahmad Sahal dan Kyai Imam Zarkasyi serta menguasai pondok itu untuk golongan tertentu saja, padahal sejak awal telah dinyatakan bahwa Pondok Modern Gontor mempunyai prinsip “Berdiri di atas dan untguk semua golongan”. Dalam rangka meredakan kondisi pondok, maka disepakati bahwa sejak 18 April 1967 Pondok Gontor diliburkan dan santri diperbolehkan kembali ke

14

Ibid., 137-145. 15

(16)

pondok setelah mendapatkan panggilan resmi dari pengasuh. Para santri yang kebanyakan memang hanya ikut-ikutan aksi dan jauh dari niat politis akhirnya bingung dan pulang satu persatu. Demikian pula tokoh-tokoh penggerak dan guru-guru yang terlibat karena mereka merasa tidak memiliki pondok.Pada 18 Juli 1967 KMI secara resmi dibuka kembali dengan siswa-siswa yang diseleksi secara ketat. Dari sekitar 1500 santri saat terjadi peristiwa 19 Maret hanya dipanggil sekitar 400 siswa.16

Beberapa bulan kemudian, Kyai Zainuddin Fananie yang lahir pada 23 Desember 1908 wafat di Jakarta pada 21 Juli 1967.17 Musibah serupa dialami Kyai Zarkasyi ketika istrinya, Siti Partiyah, dari Madiun yang dinikahinya pada 1940 dan melahirkan 13 anak (sebelas hidup dan dua meninggal ketika kecil) meninggal pada 26 Mei 1965. Kyai Zarkasyi menikah lagi pada 1967 dengan Siti Aini, janda dan sepupu Siti Partiyah, meskipun kemudian meninggal pula. Pada 1969 dia menikah lagi dengan janda bernama Wahyuni dan berakhir dengan perceraian karena tidak ada kecocokan. Selanjutnya dia menikah dengan Suharti, janda yang memiliki dua anak.18 Dengan wafatnya Kyai Zainuddin Fananie, maka hanya dua bersaudara yang tersisa. Tetapi sekitar sepuluh tahun kemudian, Kyai Ahmad Sahal wafat pada 9 April 1977 dalam usia 76 tahun. Semenjak itulah, Kyai Imam Zarkasyi merangkap sebagai Direktur KMI, Rektor IPD, dan sekaligus pengasuh Pondok Modern Gontor.19 Kepemimpinan Kyai Imam Zarkasyi berlangsung hingga beliau meninggal pada 30 April 1985.20

16 Ibid., 84-100. 17 Ibid., 100-101. 18 Ibid., 217-224. 19 Ibid., 103-104. 20 Ibid., 247.

(17)

Di samping mencurahkan perhatiannya pada Pondok Gontor, Kyai Imam Zarkasyi juga menjalankan aktivitas penting lainnya. Di antaranya ialah pada 1943 Kyai Imam Zarkasyi menjadi anggota Shu-Sangi Kai (Dewan Penasehat Daerah), pada 1944 menjadi Kepala Shumuka (Kantor Cabang Urusan Agama) Karesidenan Madiun, pada 1945 menjadi pengurus pusat Hizbullah bagian pendidikan dan pengajaran kader Hizbullah serta menjadi anggota Masyumi, pada 1946 menjadi anggota panitia penyelidik pengajaran Republik Indonesia, pada 1948 menjadi Ketua Persatuan Guru Islam Indonesia, pada 1951 menjadi ketua panitia perencana pendidikan agama Islam di sekolah umum negeri, pada 1953 menjadi ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Departemen Agama RI, pada 1972 menjadi delegasi RI dalam Muktamar Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (Lembaga RIset Islam) di Kairo, dan pada 1975 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga wafatnya.21

Karya Imam Zarkasyi dalam bentuk tulisan, di antaranya adalah

Durus al-Lughah al-‘Arabiyyah I & II, merupakan buku pelajaran bahasa Arab Dasar dengan sistem Gontor; Kamus Durus Lughah al-‘Arabiyyah I & II; al-Tamrinat I, II, & III, merupakan buku latihan dan pendalaman qawa’id (kaidah-kaidah tata bahasa), uslub (gaya bahasa), kalimat, dan mufradat (kosa kata); Dalil al-Tamrinat I, II, dan III;

Amtsilah al-Jumal I & II, merupakan buku yang berisi contoh-contoh i’rab dari kalimat lengkap yang benar; al-Alfazh al-Mutaradifah, buku tentang sinonim beberapa kata dasar bahasa Arab; Qawa’id al-Imla’, merupakan buku tentang kaidah-kaidah penulisan Arab yang benar;

Pelajaran Membaca Huruf Arab IA, IB, dan II, dalam bahasa Jawa;

21

(18)

Pelajaran Tajwid, dalam bahasa Indonesia, buku pelajaran tentang kaidah membaca al-Qur’an secara benar; Bimbingan Keimanan, buku pelajaran aqidah untuk tingkat dasar dan bacaan anak-anak; Ushuluddin, buku pelajaran akidah Ahlussunnah wal Jamaah untuk tingkat menengah dan tingkat lanjutan; Pelajaran Fiqih I & II, buku pelajaran fiqih tingkat menengah dan dapat digunakan untuk praktik beribadah secara praktis dan sederhana bagi pemula; Sendjata Pengandjoer, ditulis bersama kakak kandungnya, Zainuddin Fananie; Kursus Agama Islam, ditulis bersama kakak kandungnya, Zainuddin Fananie; dan berbagai makalah. Di samping karya tulis tersebut, tentu semua mengakui bahwa karya terbesar Kyai Imam Zarkasyi adalah Pondok Modern Gontor Darussalam yang manfaatnya sungguh luar biasa bagi umat Islam dan negara Indonesia dengan ribuan alumni yang diluluskannya.22

Kesatuan Ilmu Pengetahuan

Sebelum menguraikan pemikiran K.H. Imam Zarkasyi mengenai kesatuan ilmu pengetahuan, perlu diungkapkan keadaan sosial keagamaan yang melingkupi situasi pada saat K.H. Imam Zarkasyi menempuh studi hingga mengembangkan pendidikan di Pondok Modern Gontor. Catatan sejarah Islam menunjukkan bahwa pada permulaan abad ke-20 telah terjadi gerakan pembaruan Islam di Indonesia yang terinspirasi oleh pembaruan di Mesir, Turki, dan India. Pada saat itu muncul tokoh-tokoh pembaru Indonesia yang banyak bergerak di bidang organisasi sosial, pendidikan, dan politik. Di antara mereka ialah Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Syaikh Thaher Jalaluddin, Haji Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Syaikh Ibrahim Musa, Zainuddin Labai al-Yunusi, K.H. Ahmad

22

(19)

Dahlan (Muhammadiyah), A. Hasan (Persatuan Islam), H Abdul Halim (Perserikatan Ulama), K.H. Hasyim Asy’ari (Nahdlatul Ulama) dan lain-lain.

Dalam aspek pendidikan dijumpai bahwa latar belakang pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, pembaruan yang bersumber dari ide-ide yang muncul dari luar negeri yang dibawa oleh para tokoh atau ulama yang pulang ke tanah air setelah beberapa lama bermukim di Makkah, Madinah, dan Mesir. Ide-ide yang mereka peroleh di perantauan itu menjadi wacana pembaruan setelah mereka kembali ke tanah air. Makkah sebagai tempat berkumpulnya umat Islam sedunia, terutama di musim haji, menjadi tempat bertemunya berbagai pemikiran keagamaan dan bahkan politik dari segenap penjuru dunia Islam, termasuk pembaruan pemikirannya.

Kedua, kondisi di tanah air yang dikuasai pemerintah Kolonial Belanda sangat berpengaruh terhadap pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Saat itu, Belanda bersikap diskriminatif terhadap pendidikan di Indonesia. Lembaga pendidikan dibagi tiga strata. Strata pertama (tertinggi) adalah sekolah untuk anak-anak Belanda (ELS, HBS). Strata kedua adalah untuk anak-anak bumiputra yang mempunyai kemampuan ekonomi kuat atau kalangan elit masyarakat Indonesia (HIS, MULO, AMS). Strata terendah adalah sekolah untuk anak-anak bumiputra dari kalangan bawah yang hanya boleh mengikuti pendidikan Sekolah Desa (tiga tahun) atau Sekolah Kelas Dua (lima tahun).

Sementara itu, lembaga pendidikan di kalangan umat Islam berupa pesantren, rangkang, dayah, dan surau lebih menekankan pelajaran keagamaan dan berbeda sistemnya dari sekolah-sekolah pemerintah. Oleh sebab itu, sebagian tokoh-tokoh umat Islam tergerak untuk melaksanakan

(20)

pembaruan pendidikan. Misalnya, organisasi Muhammadiyah yang mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan nama-nama sekolah pemerintah dengan ditambahi muatan keagamaan (HIS met de Qur’an, MULO met de Qur’an, dan sebagainya).23 Di samping itu, pembaruan telah dilakukan pula oleh Syaikh Abdullah Ahmad yang mendirikan

Adabiyah School (Sekolah Adabiyah) di Padang pada 1909 dan Syaikh H.M. Thaib Umar yang mendirikan Madras School (Sekolah Agama) pada 1910 di Sungayang (Batu Sangkar), Zainuddin Labai al-Yunusi yang mendirikan Diniyah School (Sekolah Diniyah) di Padang Panjang pada 1915, dan Mahmud Yunus yang menghidupkan lagi Madras School pada 1918 setelah terpaksa ditutup pada 1913 (serta kemudian pada 1923 namanya diganti menjadi Diniyah School atau Sekolah Diniyah yang pada 1931 menjadi al-Jami’ah Islamiyah)24 serta memimpin Normal Islamatau Kulliyyat Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) pada 1931, Mr. Abdul Hakim memimpin Islamic College yang didirikan pada 1931.25 Demikian pula yang dilakukan komunitas masyarakat keturunan Arab di Jakarta pada 17 Juli 1905 dengan mendirikan Madrasah Jami’at Khair,26

Perhimpunan Al-Irsyad di Jakarta pada 1913 dengan Madrasah Al-Al-Irsyad Al-Islamiyah,27 Syarikat Islam pada 1915 dengan Madrasah ‘Aliyatus Saniyyah Mu’awanatul Muslimin di Kudus, Jawa Tengah,28

Madrasah Manba’ul

23

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), 39-45.

24

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), 63-66

25

Ibid., 103. 26

Sebagai reaksi atas berdirinya Jami’at Khair, maka penjajah Belanda mendukung berdirinya Boedi Oetomo untuk mengimbanginya. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009), 344.

27

Yunus, Sejarah, 307. 28

(21)

Ulum di Surakarta pada 1916,29 dan Pesantren Tebuireng dengan Madrasah Salafiyah pada 1929.30

Di antara lembaga-lembaga pendidikan tersebut, Normal Islam atau Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) yang dipimpin oleh Mahmud Yunus merupakan lembaga pendidikan yang sangat berpengaruh pada K.H. Imam Zarkasyi. Hal ini tidak mengherankan sebab Normal Islam memadukan pelajaran agama dan pelajaran umum serta menerapkan bahasa Arab secara aktif sehingga lulusan Normal Islam memiliki kemampuan yang tidak kalah dibandingkan lulusan lembaga pendidikan lain yang telah maju.31 Oleh karena itu, K.H. Imam Zarkasyi setelah belajar di Normal Islam menerapkan sistem pendidikan lembaga tersebut di KMI yang dikembangkan di Pondok Modern Gontor dengan manajemen pendidikan yang baru sehingga pondok ini mendapatkan pelabelan sebagai pondok modern. Misalnya, dalam pemakaian bahasa Arab maupun bahasa Inggris untuk pengantar pembelajaran melalui metode langsung serta penyusunan kurikulum pendidikan yang mencakup pelajaran agama dan pelajaran umum, meskipun tetap dengan penyelarasan tertentu agar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki Pondok Gontor.32

Terkait dengan penggabungan antara pelajaran agama dan umum, K.H. Imam Zarkasyi mempunyai pandangan bahwa Islam tidak memisahkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Hal inilah yang mendorongnya untuk menerapkan kurikulum yang terdiri dari 100 %

29 Ibid., 286-287. 30 Ibid., 235-236. 31

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), 309.

32

Yunus, Sejarah, 248-249 dan Tim Penyusun, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, 36-52.

(22)

pelajaran agama dan 100 % pelajaran umum di Pondok Gontor. Menurutnya, ilmu pengetahuan umum sebenarnya termasuk bagian dari ilmu pengetahuan agama dan mempunyai kedudukan sama penting sebagaimana ilmu pengetahuan agama. Apalagi, kenyataan menunjukkan bahwa penyebab utama kemunduran umat Islam adalah kekurangan penguasaan ilmu pengetahuan umum dibandingkan dengan umat non-Islam. Selain itu, K.H. Imam Zarkasyi menyaksikan sekolah-sekolah umum yang didirikan penjajah Belanda (semisal HIS dan MULO) mengajarkan ilmu-ilmu umum secara murni, sedangkan di sekolah-sekolah agama (terutama pesantren) hanya mengajarkan ilmu agama. Keadaan demikian sangat tidak menguntungkan bagi masa depan umat Islam.

Perlunya keseimbangan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum dalam lembaga pendidikan Islam yang bermutu dan berwawasan ke depan inilah yang mendorong K.H. Imam Zarkasyi untuk mengintegrasikan sistem madrasah dengan sistem pesantren. K.H. Imam Zarkasyi sering membandingkan keadaan dikotomis tersebut dengan dikotomi pendidikan di India yang kemudian diperbarui oleh Sir Sayyid Ahmad Khan melalui lembaga pendidikannya yang bernama Aligarh. Langkah yang dilakukan Ahmad Khan mula-mula cukup sederhana, yakni dengan mengumpulkan para pemimpin lembaga pendidikan tradisional Islam yang hanya mengajarkan pendidikan agama dan kemudian mengajak mereka untuk menambahkan pendidikan umum agar masyarakat Islam di India dapat bersaing dengan orang-orang yang beragama Hindu. Upayanya berhasil mewujudkan kebangkitan umat Islam

(23)

di India sehingga dikenal dengan ungkapan Revival of Islam (Kebangkitan Islam).33

Bagi K.H. Imam Zarkasyi (dan dua saudaranya), kebangkitan umat Islam sangat bergantung pada pengelolaan lembaga pendidikan yang berkualitas dan persatuan yang kokoh dari umat Islam. Lembaga pendidikan Islam (terutama Pondok Modern Gontor) harus mampu mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern. Upaya modernisasi pendidikan mutlak dilakukan untuk mencetak peserta didik yang bermutu, di antaranya dengan kemampuan bahasa Arab dan bahasa Inggris karena bahasa adalah alat utama untuk penguasaan ilmu pengetahuan.34 Apalagi pada tahun 1926 umat Islam Indonesia pernah mengalami kesulitan untuk mendapatkan utusan yang mampu berbahasa Arab dan Inggris sekaligus untuk dikirim ke Kongres Islam seluruh dunia pada 1 Juni 1926 di Makkah yang diprakarsai oleh Raja Arab Saudi, Ibnu Saud.35 K.H. Imam Zarkasyi tidak mempersoalkan mengenai apakah ilmu itu berasal dari Barat maupun Timur karena pada hakikatnya ilmu itu merupakan satu kesatuan yang bersumber dari Allah Swt.36 Oleh karena itu, pendidikan di Pondok Modern Gontor yang menerapkan 100 % pelajaran agama dan 100 % pelajaran umum merupakan prasyarat untuk dapat melakukan pemikiran antisipatif ke depan secara progresif.37

Dengan demikian, pemikiran K.H. Imam Zarkasyi yang menegaskan mengenai kesatuan ilmu pengetahuan dan tidak

33

Tim Penyusun, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, 51-52. 34

Tim Penyusun, Biografi K.H. Imam Zarkasyi,351, 640-643 dan 703. 35

Ibid., 823 dan Muhammad Husein Sanusi et al., Trimurti: Menelusuri Jejak, Sintesa, dan Genealogi Berdirinya Pondok Modern Gontor (Bantul: Etifaq, 2016), 80.

36

Tim Penyusun, Biografi K.H. Imam Zarkasyi,692. 37

(24)

mendikotomikan antara pengetahuan agama maupun pengetahuan umum merupakan gagasan cemerlang yang telah diimplementasikan secara langsung oleh Trimurti Pondok Modern Gontor. Pendidikan Islam yang integralistik inilah yang semestinya diutamakan umat Islam, sebagaimana dulu telah direalisasikan saat kejayaan peradaban Islam masa klasik

(classical Islam). Pada era keemasan peradaban Islam, para ulama berpandangan mengenai signifikansi integrasi yang utuh antara aspek duniawi dan ukhrawi, antara aspek materiil dan mental spiritual, serta antara aspek individu dan masyarakat dalam kehidupan keagamaan yang tercakup dalam Islam.

Para pecinta ilmu pada masa itu berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan, baik yang bersifat naqliyyah maupun aqliyyah. Penyebutan istilah fuqaha’ dimaksudkan untuk menunjukkan orang-orang yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang mencakup ilmu

naqliyyah maupun aqliyyah. Para cendekiawan benar-benar bersifat ensiklopedis sebab mereka mengetahui bahwa Islam tidak hanya merupakan ajaran tentang hukum, tetapi juga sebuah system pemikiran dan kehidupan yang dihayati oleh berjuta-juta manusia, baik dalam bentuk teori maupun dalam bentuk praktek.

Firman Allah Swt dalam QS. al-Baqarah, ayat 31 menunjukkan bahwa ketika Nabi Adam diangkat menjadi khalifah di bumi, maka kepadanya diajarkan berbagai nama ilmu yang diperlukan untuk mengelola bumi ini sehingga tugasnya sebagai khalifah dapat dilaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Begitu pula firman-Nya dalam QS. al-‘Alaq, ayat 1-5 menyatakan bahwa ketika Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasulullah, maka Allah Swt mengajarkan pula kepada

(25)

Nabi dan umatnya mengenai kemampuan membaca dan menulis sebagai alat untuk mencerdaskan manusia.

Penyatuan ilmu pengetahuan dan agama merupakan tuntutan akidah Islam itu sendiri. Menurut ajaran Islam, Allah Swt adalah pencipta alam semesta, termasuk manusia. Allah Swt pula yang menurunkan hukum-hukum untuk mengelola dan melestarikannya. Hukum-hukum mengenai alam fisik, termasuk fisik manusia, dinamakan sunnatullah

(sunnah Allah Swt). Sedangkan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia telah ditentukan juga dalam ajaran agama yang dinamakan dinullah (din Allah Swt) yang mencakup akidah dan syariah. Antara kedua sunnatullah dan dinullah tidak mungkin bertentangan, apalagi dipertentangkan, karena keduanya sama-sama ayat Allah Swt yang diturunkan oleh Allah Swt kepada manusia untuk mengatur alam dan melestarikannya, serta sebagai alat untuk mencari kebenaran. Apabila dalam pengembangan ilmu pengetahuan nantinya terdapat perbedaan atau pertentangan, sekalipun antara hasil penelitian ilmiah dengan informasi dari wahyu, tentu terjadi kekeliruan di antara dua hal berikut ini, yakni penyelidikan ilmiah yang belum sampai kepada kebenaran ilmiah yang obyektif dan kesalahan pemahaman seseorang terhadap ayat yang menyangkut obyek penelitian. Walaupun ilmuwan Muslim membuat kesalahan dalam masalah demikian, namun perbuatannya tidaklah merupakan suatu dosa, dan bahkan perbuatannya masih diberi satu pahala karena dirinya telah melakukan ijtihad.38

Dengan melihat pemikiran K.H. Imam Zarkasyi mengenai kesatuan ilmu pengetahuan dan kiprah monumental dalam pengembangan Pondok Modern Gontor, maka K.H. Imam Zarkasyi sesungguhnya telah

38

(26)

berupaya menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan demi mengembalikan kejayaan peradaban Islam sebagaimana masa classical Islam. Apalagi pada masa sekarang di Indonesia sudah terjadi kebijakan pemerintah yang secara nasional mengembangkan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Perubahan tersebut dibarengi dengan konsep pemikiran, penyiapan tenaga pengajar, fasilitas, sarana dan dana. Adapun landasan untuk pengembangannya terdiri dari tiga landasan, yakni landasan filosofis konstitusional, landasan sosiologis, dan landasan edukatif.

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan filosofis dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan pasal 29 UUD 1945 menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan dan beragama. Sebagai bangsa yang berketuhanan dan beragama, maka paham yang bertentangan dengan nilai religius tidak dibenarkan tumbuh di Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa bangsa Indonesia menempatkan kedudukan agama pada posisi terhormat. Selain itu, semua produk pemikiran dan tindakan yang lahir dari bangsa Indonesia berdasarkan semangat beragama. Implikasi dari landasan filosofis dan konstitusional ini akan berdampak terhadap seluruh kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan bangsa Indonesia.

Adapun landasan sosiologis berkaitan dengan masyarakat Indonesia yang bersifat religius. Kehidupan sosial kemasyarakatannya tidak dapat terlepas dari agama. Umat Islam yang jumlahnya mayoritas di negara Indonesia senantiasa memerlukan pelayanan kehidupan beragama dalam segala aspek kehidupan, baik yang berbentuk ibadah maupun kehidupan sosial keagamaan.

(27)

Sedangkan landasan edukatif berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia yang sudah berlangsung sejak awal masuknya agama Islam ke Indonesia di masjid, surau, meunasah, rangkang, dayah maupun pesantren. Sebagian output peserta didik di lembaga tersebut bisa mencapai kualitas ulama, kyai, ataupun tuan guru. Mereka inilah yang berada di barisan depan untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan beragama bagi masyarakat Indonesia. Sesuai dengan arus perkembangan zaman, maka pendidikan agama saat ini telah berkembang dalam bentuk pendidikan formal, nonformal, dan informal. Di antara lembaga pendidikan formal adalah IAIN. Dengan perubahan IAIN menjadi UIN, maka hal itu mengandung makna bahwa ilmu-ilmu yang dikembangkan tidak hanya ilmu-ilmu agama saja, tetapi telah dikembangkan ke berbagai disiplin ilmu-ilmu lainnya yang tergolong ilmu kealaman (natural science), ilmu sosial (social science), dan ilmu humaniora.

Jika dilihat dari perjalanan sejarah pendidikan tinggi Islam di Indonesia, maka perjalanan evolusi perkembangan ini sudah semestinya Perguruan Tinggi Islam berubah menjadi Universitas. Oleh karena itu, sejak tahun 2002 telah terjadi perubahan pada sebagian IAIN yang menjadi UIN. Misalnya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Qasim Pekanbaru, UIN Alauddin Makassar, UIN Sunan Gunung Jati Bandung, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,39 dan UIN Sunan Ampel Surabaya.

Dengan perubahan menjadi UIN tersebut, maka hal itu berimplikasi positif terhadap penyatuan antara perennial knowledge

(bidang ilmu agama yang bersumber dari wahyu) dengan acquired

39

(28)

knowledg (bidang ilmu umum yang bersumber dari ikhtiar manusia) sehingga tidak ada lagi dikotomi ilmu pengetahuan. Selain itu, status madrasah juga akan berubah menjadi sekolah berciri khas agama Islam sehingga peserta didik madrasah diajarkan ilmu-ilmu yang sama dengan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah sebagai tahapan persiapan untuk memasuki universitas. Lebih daripada itu, alumni UIN mempunyai kesempatan yang lebih terbuka untuk mobilitas vertikal serta mampu memasuki lapangan kerja yang lebih beragam dibandingkan dengan alumni IAIN.40

Prinsip kesatuan ilmu pengetahun juga diterapkan dalam pengembangan Universitas Darussalam Gontor. Sebagai wakif, para pendiri Pondok Modern Darussalam berupaya merealisasikan cita-cita mereka. Pada tanggal 1 Rajab 1383 (17 November 1963) didirikan Institut Pendidikan Darussalam (IPD). Karena keterbatasan sumber daya, maka IPD baru dapat membuka dua fakultas, yakni Ushuluddin dan Tarbiyah. Dalam pidato peresmiannya, K.H. Imam Zarkasyi selaku pejabat Rektor, menyatakan bahwa institut ini harus menjadi seperti Universitas al-Azhar di Mesir yang selama berabad-abad terus berjalan sebagai pusat studi Islam di dunia dan tetap bertahan seiring dengan perubahan waktu. Beliau juga berharap agar Institut ini mengikuti jejak Aligarh Muslim University di India yang merupakan simbol kebangkitan Islam karena mengintegrasikan ilmu pengetahuan Islam dan sains. Selain itu, beliau juga berharap agar pengasuh dan dosen-dosennya berjiwa ikhlas seperti para ulama di Shanggit, Afrika. Dengan kekuatan itu semua, Perguruan Tinggi di Gontor diharapkan dapat meniru Shantiniketan di abad lalu yang mengajar dunia dari tempat terpencil yang damai.

40

(29)

Hingga tahun 1985, pada saat K.H. Imam Zarkasyi (pendiri terakhir) wafat, IPD masih belum dapat meningkat menjadi universitas meskipun terus menamatkan sarjana-sarjana dalam kedua bidang di atas. Pada tahun 1994, Institut menempuh langkah kecil dengan mendirikan Fakultas Syariah dan dengan itu, IPD diberi nama baru yaitu Institut Studi Islam Darussalam (ISID). Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1996, ISID menempati kampus baru di Siman, Ponorogo. Dengan berdirinya kampus baru yang terpisah dari kampus KMI, maka ISID mulai berjalan intensif, mandiri, dan terpadu. Bahkan pada tahun 2010, ISID berhasil membuka Program Pascasarjana. Sementara Program Studi (Prodi) pada setiap fakultas terus ditambah dan dibenahi sehingga menjadi terakreditasi.

Pembangunan kampus baru di Siman juga telah membuka peluang yang lebih besar untuk merealisasikan amanat wakaf para pendiri Pondok Modern Gontor, yaitu mendirikan universitas. Maka, berdasarkan keputusan Badan Wakaf dan instruksi Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, pada tahun 2013, Panitia Pendirian Universitas Darussalam Gontor dibentuk. Dengan kerja keras, bantuan berbagai pihak, dan dukungan penuh Pimpinan Pondok Modern Gontor, Universitas Darussalam Gontor telah resmi berdiri dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 197/E/O/2014 tentang Izin Pendirian Universitas Darussalam Gontor tertanggal 4 Juli 2014. Kemudian, pada hari Sabtu, 18 September 2014, diadakan acara Peresmian Universitas Darussalam Gontor oleh Sekjen Liga Universitas Islam Dunia, Prof. Dr. Ja’far Abdussalam, di Gedung Pertemuan Pondok Modern Darussalam Gontor.

Visi Universitas Darussalam adalah menjadi universitas unggulan yang mengintegrasikan sains, teknologi dan ilmu-ilmu kemanusiaan

(30)

dengan ilmu-ilmu keislaman dan tetap mengikuti perkembangan zaman pada tahun 2030. Adapun misi universitas ini ialah menyelenggarakan kegiatan pendidikan tinggi dalam rangka mengembangkan sains, teknologi, ilmu-ilmu kemanusiaan dari perspektif Islam yang dapat merespon tantangan global, serta berperan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui penelitian dan pengabdian masyarakat guna memajukan peradaban Islam demi kesejahteraan umat dan bangsa Indonesia.

Sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah [1] menghasilkan insan yang beriman, berakhlaq mulia, berpengetahuan luas yang mampu mengamalkan ilmunya secara kreatif dan inovatif sehingga dapat memecahkan masalah umat dan bangsa, serta sanggup berkompetisi di tingkat nasional maupun internasional melalui program pendidikan diploma, sarjana, pascasarjana, dan profesi, [2] menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berdasarkan nilai-nilai keislaman yang dapat merespon tantangan global, dan [3] menghasilkan penelitian yang antisipatif dan adaptif terhadap tantangan masa depan dan bermanfaat bagi umat manusia.

Saat ini, untuk program sarjana, UNIDA Gontor memiliki tujuh fakultas dan tujuh belas Program Studi (Prodi) yang telah terakreditasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Akreditasi Nasional. Nama-nama Fakultas dan Prodi di UNIDA Gontor yaitu [1] Fakultas Ushuluddin: Perbandingan Agama, Akidah dan Filsafat Islam, Ilmu al-Quran dan Tafsir, [2] Fakultas Tarbiyah: Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Bahasa Arab, [3] Fakultas Syariah: Perbandingan Madzhab dan Hukum, Hukum Ekonomi Islam, [4] Fakultas Ekonomi dan Manajemen: Ekonomi Islam, Manajemen Bisnis, [5] Fakultas Humaniora:

(31)

Hubungan Internasional, Ilmu Komunikasi, [6] Fakultas Ilmu Kesehatan: Farmasi, Ilmu Gizi, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, [7] Fakultas Sains dan Teknologi: Teknik Informatika, Agroteknologi, Teknologi Industri Pertanian.

Kemudian bersamaan dengan momen penyelenggaraan Program Kaderisasi Ulama (PKU) yang merupakan program kerjasama segitiga antara Kemenag RI, MUI, dan UNIDA pada Maret 2009 dicanangkan pendirian Program Pascasarjana UNIDA Gontor. Program Pascasarjana UNIDA Gontor didirikan dengan segala kesiapan sarana-prasarana, sekaligus kesiapan sumber daya manusia (SDM) nya. Di samping itu, dukungan dari beberapa perguruan tinggi terkemuka baik di dalam maupun di luar negeri yang telah menjalin kerjasama (MoU) dengan UNIDA membuat PPS UNIDA tampil menjadi Program Pascasarjana yang terjamin kualitasnya, baik secara akademik maupun manajerialnya. Program Pascasarjana UNIDA Gontor, berdiri berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor: Dj.I/267/2010. Saat ini, Program Pascasarjana UNIDA Gontor telah memiliki dua Prodi, yakni Ilmu Aqidah dan Pendidikan Bahasa Arab. Sedangkan Program Doktoral membuka proram doktor dengan konsentrasi di bidang Aqidah dan Filsafat Islam.41

Dalam pandangan K.H. Imam Zarkasyi, lembaga pendidikan Gontor tidak ingin hanya mencetak sarjana yang seperti Snouck Hurgronje maupun para orientalis lain sebab sarjana semacam itu tidak menguntungkan umat Islam. Memang para sarjana itu pintar, tapi kepintarannya justru dipakai untuk menyelewengkan ajaran-ajaran Islam

41

(32)

dan melemahkan umat Islam. Semestinya yang diperlukan umat Islam adalah ulama yang beriman, bertakwa, takut berbuat dosa, takut menyesatkan, ikhlas, dan tawadhu’. Selain itu, ulama seharusnya berpengetahuan luas dalam ilmu keagamaan dan ilmu umum sehingga sanggup menghadapi berbagai persoalan masyarakat.42

Simpulan

Berdasarkan pemaparan tentang signifikansi dari peniadaan dikotomi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan Islam di atas, maka pemikiran K.H. Imam Zarkasyi mengenai kesatuan ilmu pengetahun dan penerapannya dalam Pondok Modern Gontor merupakan sebuah pencapaian sangat besar dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Kesuksesan lembaga pendidikan yang didirikan oleh tiga bersaudara, yaitu K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fananie, dan K.H. Imam Zarkasyi, pada 9 Oktober 1926 ini sangat fenomenal, terutama sejak 1936 setelah dilakukan pembaruan. Pada tahun 1939 murid-murid yang belajar ke Pondok Gontor hampir dari seluruh penjuru tanah air.43 Dalam perkembangannya, sebagian murid-murid itu bahkan ada yang berasal dari luar negeri. Kemasyuhuran Pondok Gontor dibuktikan oleh alumni-alumninya yang mempunyai gema kecendikiaan bersifat nasional maupun internasional. Jadi, dari segi keberhasilan ini, sebenarnya Pondok Gontor sudah go international.44 Pondok Gontor yang dipimpin oleh generasi kedua Trimurti45 pada tahun 2015 memiliki 14 kampus yang tersebar di

42

Tim Penyusun, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, 392-393. 43

Ibid., 41 dan 72. 44

Ibid., X. 45

Setelah tokoh Trimurti terakhir (k.H. Imam Zarkasyi) wafat pada 1985, Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dipimpin generasi pengembang yang juga mempertahankan sebutan Trimurti. Mereka adalah K.H. Shoiman

(33)

Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dengan para santri serta alumni yang berjumlah ribuan dan tanah wakaf seluas 9.214.443,5 meter persegi.46 Kesuksesan gemilang yang diraih oleh Pondok Modern Gontor tersebut menegaskan bahwa peranan K.H. Imam Zarkasyi yang terkenal sebagai ulama berdedikasi, tegas, visioner, dan berdisiplin tinggi47 telah diakui oleh umat Islam.

DAFTAR RUJUKAN

Al Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan. Terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1984.

Burnie, David. “Science” dalam CD Encarta Reference Library.

Washington: Microsoft Corporation, 2005.

Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009. Hashim, Rosnani dan Imron Rossidy, “Islamization of Knowledge: A

Comparative Analysis of the Conceptions of Attas and Al-Faruqi” dalam Intellectual Discourse, Vol. 8, No I, 2000.

Hitti, Philip K. History of the Arabs. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi, 2005.

http://www.ismailfaruqi.com/news/dr-ismail-al-faruqis-approach-to-islamization-of-knowledge/.

https://www.gontor.ac.id.

Luqmanul Hakim (wafat 1999) yang digantikan oleh K.H. Imam Badri (wafat 1006) yang digantikan K.H. Syamsul Hadi Abdan, K.H. Dr (HC). Abdullah Syukri Zarkasyi, MA dan K.H. Hasan Abdullah Sahal.

https://www.gontor.ac.id/dan Gazi Saloom, “K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi,

MA: Pendidik dari Gontor” dalam Choirul Fuad Yusuf dan Ahmad Syahid (ed.),

Pemikir Pendidikan Islam: Biografi Sosial Intelektual (Jakarta: PT. Pena Citasatria, 2007), 223.

46

Lihat Majalah Wardun:Warta Dunia Pondok Modern Darussalam Gontor (Ponorogo: Darussalam Press, 2015), 6 dan 61.

47

(34)

Majalah Wardun:Warta Dunia Pondok Modern Darussalam Gontor.

Ponorogo: Darussalam Press, 2015.

Muhadjir, Noeng.Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.

Muntasyir, Rizal. “Sejarah Perkembangan Ilmu” dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty, 2003.

Nawawi, Hadari dan Mimi Martini.Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.

Ramayulis. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2012. Saloom, Gazi. “K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA: Pendidik dari

Gontor” dalam Choirul Fuad Yusuf dan Ahmad Syahid (ed.),

Pemikir Pendidikan Islam: Biografi Sosial Intelektual. Jakarta: PT. Pena Citasatria, 2007.

Sanusi, Muhammad Husein et al. Trimurti: Menelusuri Jejak, Sintesa, dan Genealogi Berdirinya Pondok Modern Gontor. Bantul: Etifaq, 2016.

Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009.

Tim Penyusun, Biografi K.H. Imam Zarkasyi: Dari Gontor Merintis Pesantren Modern. Ponorogo: Gontor Press, 1996.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung, 1996.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kondisi PCR yang digunakan adalah denaturasi awal dilakukan pada suhu 94 o C selama 5 menit, denaturasi untuk siklus dilakukan pada suhu yang sama. selama 45 detik, kemudian

7 Guru merekod pengawasan kendiri yang dijalankan oleh murid dalam bentuk carta graf supaya tingkah laku yang ingin dibentuk dapat dipandu.. 8 Buat penilaian terhadap perubahan

Penyelenggara Teknologi Informasi berkewajiban untuk memastikan bahwa aplikasi atau sistem operasi yang digunakan oleh Pengguna Akhir merupakan aplikasi atau sistem operasi yang

Oleh itu dalam analisis Pareto disamping membentuk keluk puas sama, beliau juga telah menambahkan syarat-syarat tertentu untuk mencapai tahap yang optimum dan ini telah membawa

Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa keterampilan proses sains untuk anak usia dini yang dimaksud dalam penulisan ini merupakan keterampilan anak dalam

Persyaratan yang pertama untuk sahnya kontrak yaitu kesepakatan, kesepakatan yaitu menyatakan kemauan antara satu pihak dengan pihak lainnya, yang sesuai itu yaitu

Bila dibandingkan dengan perilaku teman sebaya ternyata pengaruh monitoring paren- tal mempunyai pengaruh yang lebih lemah terhadap perilaku seksual remaja, sehingga jalur yang